LOGIN'Kenapa Liana bisa berpikiran seperti itu. Aku tidak mungkin memecat Karin.' "Kenapa kamu diam saja. Apa kamu masih ingin mempertahan Karin?" tambah Mirna memperkeruh suasana."Evan, sebaiknya kamu pecat saja Karin ya. Kamu bisa mencari sekretaris yang baru.""Bener itu Evan. Jangan beri ruang untuk perempuan itu mendekati kamu lagi.""Baiklah aku akan memecat Karin. Mulai hari ini dia tidak akan bekerja di kantor lagi," jawab Evan terpaksa. Kedua bola matanya menatap sang kakak dengan dingin. Menyalahkan sang kakak yang sudah menghasut Liana.'Bagus, dengan begini hubungan Liana dan Evan akan bertahan,' batin Mirna menarik sebelah ujung bibir.***Evan tiba di kantor. Mobilnya berjalan dengan kecepatan tinggi melewati mobil lain. Ketika berada di lobby, dia berpapasan dengan Karin. Karin sengaja menunggu Evan. Kedua tangannya dilipat di atas perut. Salah satu ujung sepatu dihentak-hentakan di lantai. Dia lebih awal datang karena tidak bisa tidur semalam."Evan, kita perlu bicara."
"Angkat kaki kamu dari sini," suruh Mirna. Mirna melemparkan koper beserta barang-barang milik Karin ke teras rumah. Dia dan Liana sudah menyiapkan semua barang milik Karin. Hujan dan petir di luar membuat suasana semakin dingin. Karin jadi ragu untuk pergi. "Liana, tolong kasihani aku. Setidaknya malam ini saja. Ini hujannya deras sekali. Tidur diluar juga boleh," tawar Karin takut dengan petir yang saling bersahutan. "Aku sudah tidak percaya lagi sama kamu. Mulai sekarang persahabatan kita putus. Aku tidak mau lagi berhubungan dengan kamu," final Liana. "Liana." "Ayo kita masuk," ajak Liana menarik tangan Evan. "Liana, kasihan Karin kedinginan." "Evan, kamu nggak kasihan lihat istri kamu yang menangis saat tahu apa yang terjadi antara kamu dan Karin. Kamu masih mau membela perempuan itu lagi. Perempuan yang merusak hubungan rumah tangga kamu." Evan meremas tangannya. Kemudian dia memilih masuk dan mengabaikan Karin. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. 'Awas aja kalo terja
"Kak, Kakak jangan mengompori Liana. Aku dan Karin tidak ada hubungan apapun," bantah Evan."Tidak ada hubungan apapun? Kamu pikir Kakak ini buta. Tadi siang kalian makan dengan begitu mesra di restoran. Untung saja masih sadar lagi di tempat umum. Kalau nggak, Kakak sudah melabrak kalian berdua.""Kakak jangan mengada-ada," elak Evan.'Apa mungkin kak Mirna melihat kami tadi siang. Sial.''Jadi itu sebabnya kak Mirna marah. Kenapa kami bisa ceroboh seperti ini. Tau gini aku dan Karin pergi ke tempat yang lebih privat.'"Kakak tidak mengada-ada. Kakak ada buktinya," ujar Mirna."Bukti? Bukti apa?"Mirna menarik kalung yang dipakai oleh Karin secara paksa. Hanya sekali tarik kalung itu terlepas dari leher Karin.Karin reflek memegang lehernya yang sakit akibat kalung yang bergesekan dengan kulitnya."Apa bukti ini belum cukup? Perempuan ini berani-beraninya meminta kalung dari suami sahabatnya. Ini seharusnya menjadi milik Liana, bukan dia."'Kenapa kak Mirna bisa tahu masalah ini. Apa
Liana kembali mengatur ekspresi depresi. "Liana sangat percaya sama Evan dan Karin, Kak. Liana tidak pernah berpikir kalau mereka akan berselingkuh di belakang Liana. Liana tidak tahu sampai kapan pernikahan Liana dan Evan akan bertahan. Liana takut kalau Karin benar-benar akan merebut Evan dari Liana, Kak. Sekarang apa yang harus Liana lakukan," ujar Liana sudah mengeluarkan air mata.'Tidak! Evan tidak boleh bercerai dengan Liana. Aku tidak mau kalau aku tidak bisa mendapat uang dari Liana lagi. Karin tidak ada apa-apa nya dibanding Liana. Aku harus memisahkan mereka berdua sebelum terlambat,' tekad Mirna."Kamu tenang saja. Kakak pasti bantu kamu. Kita cari solusi bersama.""Bagaimana Kakak mau membantu Liana? Apa kita usir Karin dari rumah aku saja. Tidak, aku tidak boleh usir Karin," gumam Liana menggigit kukunya."Itu ide bagus. Kenapa kamu tidak mengusir Karin saja dari sini.""Kalau Liana yang mengusir Karin, Evan akan benci sama Liana. Pasti Karin akan menghasut Evan untuk m
Mirna pulang ke rumah dengan hati senang. Di tangannya sudah ada uang hasil dari menjual baju dan juga perabot milik Liana. "Kalau begini terus aku bisa kaya raya. Buat apa Liana punya perabot mahal banyak-banyak. Mending buat aku jual saja. Kan lumayan uangnya untuk beli makanan," gumam Mirna kembali menghitung uang yang sudah didapatkan."Besok aku jual apa lagi ya. Di rumah ini masih banyak barang yang bisa aku jual," kata Mirna melirik ke seluruh ruangan tamu. Mengamati barang mana yang akan dijual lagi.Mirna berjalan ke arah sofa yang diduduki Liana. Jantungnya hampir copot ketika melihat Liana yang duduk di atas sofa dengan mata tertutup. Dari tadi tidak menyadari kalau Liana tidak jauh darinya. Karena Liana duduk di titik butanya."Gawat, jangan-jangan Liana tadi dengar omongan aku lagi. Bagaimana ini," gumamnya panik.Tidak ada respon dari Liana. Liana masih dengan posisi semula dengan nafas yang teratur."Tapi kenapa dia diam saja," ucap Mirna penasaran.Mirna kembali melih
Rapat dengan kliennya sudah selesai beberapa waktu yang lalu. Hasil diskusi sangat sesuai dengan keinginan Liana. Sekarang sudah saatnya mereka pulang. Ketika keluar dari ruangan privasi, lagi-lagi dia kembali mendengar suara orang yang tidak asing. Kali ini dia bertemu Evan dan Karin. "Ini hadiah untuk kamu." Langkah Liana terhenti mendengar suara Evan. Dia segera mencari asal suara itu. Asal suara berasal dari pojok ruangan tempat Mirna duduk tadi. Di sana ada Evan dengan Karin. "Ada apa Bu Liana?" tanya klien Liana. "Tidak apa Pak. Bapak duluan saja. Saya mau ke kamar mandi dulu," sahut Liana berbohong. "Kalau begitu, saya duluan ya Bu." "Iya Pak." Liana tidak jadi pulang ke rumah. Memilih untuk mendengar apa yang sedang mereka bahas. Siapa tahu bisa mendapatkan informasi baru. "Ini untuk aku?" tanya Karin senang dan terharu atas pemberian Evan. "Ya, ini untuk kamu," kata Evan menyerahkan kalung berlian kepada Karin. "Beneran untuk aku?" tanya Karin lagi dengan hati be







