Tidak hanya aku yang terpana, Alden dan kedua orang tua Naya juga. Mereka adalah orang-orang yang sudah sangat dekat denganku dan tahu kenyataan itu.
Kalau pun itu sebuah fakta, haruskah Naya membeberkannya di tempat ini? Ia bahkan pernah berjanji tidak akan bicara tentang wanita yang melahirkanku. Lalu, tadi itu apa?"Nay," tegur Alden lirih sambil menarik tangan sahabatku. Naya bergeming. Ia masih memberikan tatapan nanar."Kenapa? Perempuan ini sudah mempermalukan kita. Wajar kalau aku juga bikin dia malu, Al."Beberapa orang terlihat menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut. Begitu pula dengan ayah dan ibu Naya. Ada sorot iba di mata mereka, tetapi keduanya tetap membeku.Perlahan kutarik napas dengan harapan bisa menguapkan getar kemarahan dari sekujur badan. Aku tahu, banyak yang sedang merekam kejadian ini. Pesta Naya mungkin sebentar lagi viral di jagat maya. Media sosialku bisa saja diserbu banyak akun. Apapun tindakan dan ucapan setelah ini, pasti akan menentukan pandangan netizen terhadap seorang Elisha Rihana."Kenapa memangnya kalau dia pernah masuk ke dunia hitam?" tanyaku sambil menegakkan wajah. "Memangnya kamu tahu dia sudah bertaubat atau belum? Lagipula, dosa tidak diwariskan dari ibu pada anaknya, Nay. Nggak ada hubungannya denganku. Setidaknya kamu bisa lihat rekam jejak sahabatmu ini. Pernahkah sekali saja aku bersikap tidak setia pada Alden? Elisha Rihana ini justru korban dari kenistaan nafsu kalian."Hening. Naya dan Alden sama-sama tidak bergerak. Aku beralih pada sosok yang berpakaian adat di belakang mereka. Ayah dan ibu Naya yang sudah kuanggap sebagai orang tua sendiri. Mendekat perlahan, aku kemudian mengangguk dan menangkupkan dua tangan di depan dada."Maafin El, Pak. Maaf sudah membuat kekacauan, Bu. Kalau bukan karena luka yang terlalu dalam, saya sungguh nggak bermaksud seperti ini. Jujur saya kecewa terhadap Bapak dan Ibu karena merahasiakan semuanya."Aku yakin mereka tahu semua dari awal, bahwa Naya menikung dari belakang. Bukan menghentikan perbuatan nista sang anak, keduanya justru mempersiapkan pesta besar ini.Dalam hati aku berharap mereka meminta maaf. Namun, panggang sepertinya sangat jauh dari api. Dua orang di depanku hanya diam dengan ekspresi yang sulit dipahami.Diiringi sorot dari banyak mata dan kamera ponsel, aku meninggalkan rumah yang pelatarannya dihias tenda dan tirai semarak itu. Langkah kaki kubuat seolah sangat tegar, sementara dua mata menahan agar kaca-kaca tidak berubah menjadi derai di pipi.Saat rumah berdesain modern itu telah berada cukup jauh di belakang, aku tidak sanggup lagi. Air mata membobol pertahanan, lalu mengalir deras seperti anak sungai setelah hujan. Namun, tanpa suara. Di sebuah halte bus aku duduk dan menutup wajah dengan tergugu.Entah berapa lama aku menangis, hingga air mata berhenti dengan sendirinya. Suara bariton dari samping kanan tiba-tiba mengejutkanku."Udah nangisnya?"Aku menarik kedua tangan dan menoleh ke arah datangnya suara. Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun tengah menatap dengan pandangan yang sulit kuterjemahkan. Apakah dia merasa kasihan? Mungkinkah penampilanku saat ini sangat menyedihkan? Sejak kapan orang itu duduk di sana?"Siapa yang lagi nangis?" tanyaku dengan nada sedikit pongah. Walau demikian, tanganku segera menghapus jejak air mata di wajah.Lelaki dengan sorot mata tajam itu menarik sudut bibirnya. Sebuah senyum getir ia lukis di wajahnya yang serupa manekin."Aku lihat semuanya."Hah? Berapa banyak yang dilihatnya? Tidak mungkin ia melihatku mengacau di pernikahan itu, kan?"Ma-maksudnya, ka-kamu lihat sejak aku datang di halte ini?"Lelaki berambut agak kemerahan itu menggeleng. Poninya yang jatuh hampir menutupi separuh mata, bergerak mengikuti irama gelengan kepalanya. Bibirnya yang proporsional sudah kembali pada posisi asli, memberikan ekspresi datar.Kalau bukan di halte ini, artinya dia melihat semua kehebohan yang aku buat di pesta tadi?"Sepertinya Pak Fery tidak akan membiarkan hal itu terjadi."Aku melirik Agus yang telah duduk di belakang kemudi. "Lalu kemana dia sekarang? Kenapa sama sekali tidak menampakkan diri di depanku.""Anda pasti tidak menduga apa yang dilakukan Tuan Nehrin saat mengetahui semuanya. Bahkan Pak Fery tidak berkutik, sampai akhirnya ia juga harus patuh saat ditugaskan menangani kantor kita di Jepang.""Oke. Stop bicara pekerjaan. Kepalaku masih terasa pusing. Kamu jelaskan nanti saat kita sampai di rumah dan aku sudah punya cukup tenaga."Agus mengangguk, lalu mulai menjalankan mobilnya. Tekadku amat besar untuk menyelesaikan semua kekacauan ini, tetapi tubuh ternyata tidak mau kompromi. Sampai di rumah tentu saja hanya keheningan yang kutemui. Bahkan tidak ada tanda-tanda Rihana pernah tinggal di rumah ini. Pak Muji bahkan sudah tidak lagi bertugas. Satpam baru sengaja ditempatkan kakek di sini. Sejak awal aku tahu semua tidak akan pernah mudah. Namun, tidak kusangka lelaki satu-satunya y
Siapa yang paling ingin kamu jumpai saat bangun dari koma? Siapa yang ingin kau lihat berekspresi paling bahagia setelah tidur yang panjang? Tentu saja dia. Sosok yang paling dicintai dalam hidup. Yang dengannya kamu ingin berbagi. Namun, faktanya aku tidak bisa melihat wajah cantik itu saat membuka mata. Tidak terdengar suaranya saat aku benar-benar terjaga di ruangan VVIP rumah sakit ini. Koma selama tiga bulan tidak membuat ingatanku lupa dengan wajahnya yang berlesung pipi saat tersenyum. "Dia sedang pulang ke rumah dulu," ujar Kakek setiap aku bertanya tentangnya. Namun, mata lelaki tua itu sepertinya menyimpan sesuatu yang tidak ingin ia katakan.Fery? Dia pun seperti ditelan bumi tak terdeteksi ke mana rimbanya. Panggilanku ke ponselnya hanya masuk ke kotak suara. Beberapa orang kepercayaan Kakek hanya menggeleng saat ditanya tentang asistenku itu. Ini hari kedua sejak aku bangun dari koma. Atmosfer kamar rumah sakit benar-benar membosankan. Tak ada selarik senyum hangat mil
"Jadi, kamu nggak tahu kalau aku kekasihnya Reinhard?"Eliana mendekati Kenzie dengan langkah gemulainya. Perempuan itu melirikku. "Ah, rupanya kamu nggak ngasih tahu dia kalau Reinhard sudah punya kekasih," ujarnya lagi. "Kamu nggak mau dianggap mendua dan sedang memilih mana yang lebih menguntungkan. Bukan begitu, Rihana?"Kenzie memindahkan dua tangannya hingga posisinya kini berkacak pinggang. Ia memindai wanita yang sedang melangkah semakin dekat itu. "Kenalkan, aku Eliana. Kekasihnya Reinhard."Bukan membalas salam perkenalan itu, Kenzie justru tergelak. "Ternyata selera dia dulu hanya seperti ini. Kenapa tiba-tiba naik kelas jadi yang kayak kamu, Elisha Rihana?"Ken menatapku sejenak. Kenapa ia menyebut nama lengkapku? Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku, Kenzie tersenyum."Karena sekarang aku paham kenapa kamu dipanggil Rihana di rumah itu."Aku diam dan menunggu kalimatnya lagi.
Jika ini tentang kehilangan, biarlah aku saja yang merasakannya. Saat Reinhard terbangun nanti, semoga Tuhan membuatnya lupa tentang seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya karena kontrak. Sebuah perjanjian yang bermutasi menjadi cinta penuh harap. Aku mengucapkan terima kasih pada driver taksi setelah memberikan ongkos. Tidak lupa menambahkan tip. Ayah pernah bilang, uang itu tidak akan membuat kita jatuh miskin. Ia juga tidak akan membuat si penerima serta merta jadi kaya raya. Namun, nilai pahalanya bisa membuat si pemberi terhindar bala. Dengan langkah yang satu-satu, aku menuju ke tempat cetak tiket. Sebuah tas ransel menggantung di punggung. Itu satu-satunya benda pemberian Reinhard yang kubawa. Isinya hanya pakaian yang kubeli sendiri sebelum datang ke rumah besar itu. Selesai mencetak tiket, aku menuju mini market. Perjalanan dengan kereta memang hanya tiga jam untuk sampai di Stasiun Kejaksan Cirebon. Namun, aku tetap butuh bekal walau hanya
"Ken, kalau aku tidak jadi buka usaha bisakah pembelian toko milikmu dibatalkan?""Ada apa, El? Kenapa tiba-tiba?"Aku mengganjur napas berat. Tidak mungkin menjelaskan semua permasalahan pada lelaki itu. Ken pasti akan melangkah lebih jauh jika tahu perkara yang sebenarnya. "Nggak ada apa-apa, Ken. Aku hanya berubah pikiran. "Nggak mungkin. Suaramu menyiratkan sebaliknya. Aku nggak masalah kalau kamu ingin membatalkan pembelian ruko itu, tapi tolong kasih tahu alasannya, El.""Karena aku nggak jadi buka usaha, Ken.""Kenapa? Kamu bilang mau lepas dari lelaki itu, kan?"Aku tidak menjawab pertanyaan Kenzie dan mengalihkan pandang ke luar jendela. Patung Pahlawan yang sering disebut Tugu Tani masih berdiri tegar seperti saat aku kecil. Figur satu orang pria bercaping dan seorang wanita itu konon dibuat oleh dua pematung Rusia kenamaan sebagai hadiah untuk Indonesia.Lalu lintas di sekitar Tugu Tani cukup padat
Walau tidak menoleh ke belakang, aku tahu pandangan mata Reinhard masih terus mengawasi. Mobilnya baru meninggalkan halaman saat aku telah menghidupkan lampu kamar. Lelaki itu sempat berbicara dengan Pak Muji, mungkin berpesan ini dan itu. Belum ada satu menit ia meninggalkan rumah ini, kesunyian terasa melilit. Sekali lagi aku mengukur dalamnya rasa. Benarkah ini cinta? Kalau iya, apakah kami akan mampu melewati setiap aral yang akan tumbuh di sepanjang jalan? Ingin aku menolaknya, tapi kegigihan Reinhard membuat hati benar-benar hangat.Lelaki itu dengan semua kejutan-kejutannya setiap hari, membuatku seperti menaiki roller coaster. Seperti sore tadi saat ia tiba-tiba muncul. Tentu saja bukan hanya aku yang terbelalak, melainkan Kenzie juga. Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa pun dari Reinhard. Namun, kehadiran Kenzie di ruko juga bukan kehendakku. Ia ternyata adalah pemilik lahan dan banyak bangunan di wilayah itu. Termasuk yang aku beli.