Share

Nikah, Yuk

Seperti tahu jalan pikiranku, sosok yang mengenakan setelan jas mahal itu kini mengangguk. 

"Ya. Aku lihat dari awal kamu datang ke pesta itu dan melabrak pengantin."

Aku menarik napas berat, menghembuskannya perlahan seakan ingin mengosongkan paru-paru, lalu tersenyum getir. 

"Menurutmu, apakah kejadian tadi akan viral?"

Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke jalan raya yang tidak terlalu ramai. 

"Sudah."

"Se-serius?"

"Buka saja ponselmu. Walau bukan nomor satu, kamu masuk trending Twitter sekarang. F******k juga sudah ramai sepertinya."

Bergegas aku mengambil ponsel di dalam tas. Benar saja, video resepsi Naya dan Alden sudah bertebaran di dunia maya. Kami bertiga menjadi tokoh utamanya. Walau wajahku hanya terpampang beberapa detik karena lebih banyak yang merekam dari belakang, tetap saja itu memalukan. 

Aku menjerit dan kembali menutupi wajah dengan dua tangan. Bagaimana aku harus menghadapi dunia setelah ini? 

"Kamu nggak salah, kok."

Sesaat aku tidak percaya dengan kalimat yang baru saja terdengar. Sebuah keajaiban kalau ada yang mendukung tindakanku tadi. Kupikir semua orang akan ada di pihak pengantin. 

Perlahan kulepas telapak tangan dari wajah dan kembali menoleh ke kanan. Lelaki itu juga sedang menatapku lagi.

"Ka-kamu ...."

"Kalau aku jadi kamu, mungkin nggak akan berbuat seperti tadi karena cukup memalukan, tapi wajar jika memang semua kisah kalian itu benar. Hm, seorang sahabat merampas tunanganmu dan berkhianat di belakang. Kalau nggak ketahuan, mungkin dia akan terus merahasiakan siapa suaminya."

Aku mengangguk membenarkan ucapannya. "Sebenarnya aku tidak ingin mempermalukan mereka. Datang dan melabrak seperti itu karena aku benar-benar terluka. Mungkin nggak akan sesakit ini kalau kami sudah lama putus, baru kemudian Alden jadian sama Naya."

"Setelah ini, apa yang ingin kamu lakukan?"

Kini aku yang membuang pandang. Langit sedikit mendung. Apakah ia turut sedih melihatku?

"Mungkin nggak akan melakukan apa-apa, hanya kerja."

"Nggak ingin balas dendam?"

Kembali aku menoleh pada sosok yang kini bangkit dari duduknya itu. "Balas dendam? Apa gunanya?"

Ia tertawa sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. "Biar mereka tahu, kamu bukan wanita yang layak diperlakukan seperti itu. Supaya Alden menyesal telah mencampakkan berlian dan lebih memilih kerikil jalanan."

Kuulas senyum sehangat matahari pagi. "Bukankah setiap perbuatan akan mendapatkan ganjarannya sendiri? Aku bukan orang baik. Atas perbuatanku tadi saja, mungkin Tuhan akan memberi balasan-Nya. Bagaimana jadinya kalau aku balas dendam? Apa hidupku nggak bakal lebih terpuruk nantinya?"

Kini, lelaki itu yang mengukir senyum indah di wajahnya. Aku baru menyadari ada sedikit lesung di pipi kirinya. Tidak terlalu dalam, hanya terlihat samar. 

"Dari rangkaian kalimat-kalimat itu saja, aku tahu kalau kamu orang baik. Apa kamu nggak ingin menikah juga, biar tidak terlihat terlalu menyedihkan?"

"Hah? Nikah? Sama siapa? Kamu nggak lihat tadi kalau calon suamiku sudah pindah ke perempuan lain?"

Lelaki berkulit putih itu mengangguk perlahan. "Nikah sama aku aja, gimana?"

Hah? Mungkinkah otak lelaki itu sudah geser? Kami bahkan baru kenal dalam bilangan menit. Kenapa tiba-tiba ngajak nikah?

Jangankan menikah dengan orang asing. Makanan atau minuman saja akan aku tolak kalau itu pemberian orang yang belum dikenal. Bagaimana bisa lelaki tampan ini menawarkan pernikahan seperti sedang menjajakan permen di atas bus?

Aku akui sosoknya memang benar-benar tampan. Hidung bangir dengan mata yang agak sipit, dihiasi alis tebal serupa semut sedang bergerombol. Sepertinya aku pernah melihat wajah itu, tetapi di mana? Apakah dia mirip aktor drama Korea? Kucoba membayangkan beberapa wajah pesohor dari negeri ginseng itu.

"Kenapa? Kamu nggak mau nikah dengan orang tampan seperti aku?"

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status