แชร์

Menagih Tawaran

ผู้เขียน: Nurhayati Soetardjo
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-08-08 19:14:15

Sambungan telepon diputus tanpa aku sempat berkata-kata lagi. Dengan lunglai, tanganku yang memegang ponsel jatuh ke pangkuan.

"Kenapa?"

Pertanyaan itu tidak diucapkan dengan keras, bahkan cenderung lembut untuk ukuran suara laki-laki. Namun, cukup membuatku terkejut. Aku menoleh ke arah pemilik suara. Reinhard sedang menatap dengan sorot mata yang berbeda sepanjang kami berinteraksi hari ini. Apakah ia tahu aku sedang mendapat cobaan bertubi-tubi?

"Oh, i-ini telepon dari bos tempatku bekerja."

Aku hampir tidak sanggup melanjutkan kata-kata. Pandangan mata mulai kabur dan panas. Tolong, jangan sekarang. Aku tidak ingin menangis lagi di depan lelaki ini.

"Masukkan alamat tempat kerjamu di sini," tunjuk Reinhard ke arah layar di dashboard. Aku menatapnya bingung.

"Aku butuh memasukkannya dalam peta untuk sampai ke sana," ujarnya lagi.

Segera aku mengetik lokasi toko, kemudian mengalihkan pandangan ke tepi jalan. Tanpa bicara lagi, Reinhard melajukan mobil miliknya dengan kecepatan sedang.

Ia sama sekali tidak bertanya ada masalah apa. Aku tidak terbebani untuk harus bercerita tentang keadaan saat ini. Kenyataan itu membuat rasa terima kasih membuncah di dada untuk Reinhard, yang mungkin akan kubalas di satu hari nanti.

Setelah setengah jam, kami sampai di lokasi. Reinhard menghentikan kendaraannya persis di depan toko tempatku bekerja. Aku menatap ke arahnya.

"Ka-kamu ...."

"Kenapa?"

"Bagaimana kamu tahu tempatku bekerja?"

Ia menunjuk layar di dashboard. "Petanya bilang kita sudah sampai tepat saat mobil mencapai titik ini."

"Oh."

"Perlu aku temani?"

"Nggak usah. Terima kasih untuk bantuanmu."

Aku mengangguk dan berusaha mengulas senyum walau berat. Tepat saat hendak membuka pintu, Reinhard menarik tanganku.

"Aku akan tunggu di sini."

Harusnya aku mengucap kata tidak. Sewajarnya aku mencegahnya melakukan itu. Namun, bibirku mengatup rapat. Pandangan mata ini tidak fokus. Perlahan kubuka pintu mobil dan menjejak kaki ke tepi jalan.

Saat aku menutup pintu mobil, Ines terlihat berlari menyongsong. "Kamu ngapain aja sampai terlambat seperti ini, sih?"

"Habis buang sampah."

"Hah? Buang sampah di mana sampai telat kerja berjam-jam? Kamu dipecat, El."

"Udah tahu. Itu sebabnya aku ke sini."

Kutinggalkan gadis itu, berlalu dengan langkah yang lebar. Pada jam seperti ini bos besar biasanya ada di lantai dua. Kantornya ruang pojok dekat jendela depan. Mungkin saja ia sedang mengawasiku sekarang.

Terdengar suara langkah Ines yang berlari mengejarku. "Kamu mau apa, El? Ketemu Bos? Bukannya dia udah pecat kamu tadi via telepon?"

"Yah, setidaknya aku bisa minta pesangon. Sudah lama jadi karyawannya, masa bos nggak ada empati sama sekali?"

"Masih berani kamu minta pesangon?"

"Kenapa nggak?"

Ines menghentikan langkahnya, sementara aku membiarkan ia seperti itu. Terus melangkah, aku masuk ke dalam toko. Beberapa karyawan yang sedang bertugas di lantai satu memberikan tatapan penuh rasa ingin tahu. Pastinya mereka sudah mendengar tentang pemecatanku hari ini.

Saat beberapa meter lagi kakiku mencapai tangga, terdengar langkah berat dari atas. Pemilik toko dengan pakaian khasnya yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong, sedang melangkah turun. Ia menatapku dengan sorot pandang yang masih diliputi amarah.

Aku membeku di tempat. Ia terus mendekat sambil memasukkan tangan kanannya ke dalam saku. Saat jarak kami hanya tinggal dua langkah saja, ia mengulurkan sesuatu padaku.

"Ini untukmu. Jangan kembali lagi ke sini. Aku tidak menerima pegawai malas."

Sebuah amplop putih terulur di depanku. Apakah itu pesangon? Sejenak aku mengangguk hormat sambil menangkupkan dua tangan di depan dada.

"Maafkan saya, Pak. Ini benar-benar bukan kesengajaan. Saya hanya berniat menyelesaikan satu keperluan penting tadi, lalu hendak langsung ke sini. Ternyata di jalan ada halangan yang bikin terlambat. Tolong jangan pecat saya, Pak."

Lelaki bertubuh gempal dengan mata sipit itu mengibaskan tangan kirinya. "Keputusanku sudah bulat. Kamu selama ini terlalu sering terlambat dengan alasan yang entah benar atau tidak. Setiap bulan juga selalu kasbon jauh sebelum tanggal gajian. Masih untung kamu kuberi pesangon ini."

Kali ini ia meraih tangan kananku dan menjejalkan amplop putih itu di sana. Mau tidak mau aku menerimanya.

"Terima kasih, Pak."

Tanpa bicara lagi, aku meninggalkan toko sebelum rasa panas di kedua mata semakin kuat. Aku sudah banyak menangis hari ini. Jangan sampai air mata tumpah lagi di wajah.

"El," sapa Ines yang ternyata sudah berdiri jarak beberapa langkah saja di depanku. "Kamu mau pulang?"

"Mungkin," jawabku lirih.

"Kayaknya kamu ditungguin."

"Hah? Sama siapa?"

Ines memberi kode dengan gerakan dagu ke arah seseorang yang dia maksud. Lebih tepatnya mobil yang tadi mengantarku. Kenapa lelaki itu belum juga pergi?

"Dia siapa, El?"

"Eh, i-itu ...." Bergegas aku menggeleng. "Nanti aku ceritain."

Aku berjalan hendak menjauh dari posisi mobil Reinhard diparkir. Namun, lelaki itu tiba-tiba membuka pintu dan berjalan mendekat.

"Tunggu, Ri!" Setengah berlari ia memperpendek jarak di antara kami. "Biar aku antar. Kamu mau pulang, kan?"

Tanpa sadar aku mengangguk. Dari sudut mata bisa kulihat Ines menatap heran ke arah kami.

"Ayo," ujar Reinhard sambil menggenggam tanganku. Seperti kerbau dicucuk hidung, aku mengikuti langkahnya ke arah mobil hitam.

Dengan elegan tangan Reinhard membukakan pintu mobil. Ia baru menutupnya lagi setelah memastikan aku duduk dengan aman, lalu berjalan memutar dan masuk dari pintu di sisi kemudi.

"Ke-kenapa?" tanyaku setelah ia duduk tetapi hanya memandangiku.

"Alamatmu," ujarnya sambil menunjuk layar. Kali ini aku hanya menyebutkan nama jalan dan daerah tempatku tinggal. Masih jelas dalam ingatan, saat tadi aku mengetik alamat toko di layar itu, jarak di antara kami menjadi sangat dekat hingga menimbulkan debar aneh di dada.

Tanpa bicara, Reinhard melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sebuah pesan masuk ke ponselku. Saat kuambil benda berwarna hitam itu, terlihat nama Nia di notifikasi layar atas. Aku tidak bisa membaca selengkapnya jika dari posisi itu saja. Hanya ucapan salam dan sapaan yang terlihat. Namun, aku bisa menebak apa permintaan gadis itu di tanggal seperti ini.

Menarik napas berat, aku beralih ke jendela setelah membalik posisi handphone di pangkuan. Tentu saja dengan tujuan agar lelaki di sampingku tidak bisa melihat tulisan yang tertera di sana. Namun, bukan Nia namanya jika tidak menelepon saat pesannya belum dibalas. Dering itu pun kuabaikan dan memilih menekan tombol volume agar nadanya tidak lagi terdengar.

"Kenapa nggak diangkat?"

Aku menoleh dan menatap wajah Reinhard. "Biar aja. Bukan hal penting."

Namun, getar dari ponsel usang itu tidak sejalan dengan ucapanku. Nia ternyata memang segigih itu. Ia akan terus mengejar sampai keinginannya tercapai.

"Angkat dulu aja, Ri. Barangkali itu mendesak. Apa perlu kita menepi sejenak?"

Aku tidak menjawab pertanyaan lelaki dengan dagu yang berjanggut tipis itu. Ia benar-benar menepikan mobil dan mematikan mesin.

Aku tersenyum dan menatapnya sejenak. Reinhard membalas senyumku lalu menatap ke arah ponsel. Ada kilat keterkejutan di matanya saat aku bukan menggeser icon warna hijau, melainkan menekan tombol power.

"Kenapa dimatiin, Ri? Kasihan yang nelepon."

Kutarik napas panjang sambil memejamkan mata sejenak. "Ada yang ingin aku tanyakan."

Reinhard terdiam. Ia seperti seorang detektif yang sedang mengamati gestur tersangka. "Tentang apa?"

"Maukah kau menikah denganku?"

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Pura-pura Menikahi Tuan Presdir   Jangan Sebut Nama Itu

    "Sepertinya Pak Fery tidak akan membiarkan hal itu terjadi."Aku melirik Agus yang telah duduk di belakang kemudi. "Lalu kemana dia sekarang? Kenapa sama sekali tidak menampakkan diri di depanku.""Anda pasti tidak menduga apa yang dilakukan Tuan Nehrin saat mengetahui semuanya. Bahkan Pak Fery tidak berkutik, sampai akhirnya ia juga harus patuh saat ditugaskan menangani kantor kita di Jepang.""Oke. Stop bicara pekerjaan. Kepalaku masih terasa pusing. Kamu jelaskan nanti saat kita sampai di rumah dan aku sudah punya cukup tenaga."Agus mengangguk, lalu mulai menjalankan mobilnya. Tekadku amat besar untuk menyelesaikan semua kekacauan ini, tetapi tubuh ternyata tidak mau kompromi. Sampai di rumah tentu saja hanya keheningan yang kutemui. Bahkan tidak ada tanda-tanda Rihana pernah tinggal di rumah ini. Pak Muji bahkan sudah tidak lagi bertugas. Satpam baru sengaja ditempatkan kakek di sini. Sejak awal aku tahu semua tidak akan pernah mudah. Namun, tidak kusangka lelaki satu-satunya y

  • Pura-pura Menikahi Tuan Presdir   Sebuah Rencana

    Siapa yang paling ingin kamu jumpai saat bangun dari koma? Siapa yang ingin kau lihat berekspresi paling bahagia setelah tidur yang panjang? Tentu saja dia. Sosok yang paling dicintai dalam hidup. Yang dengannya kamu ingin berbagi. Namun, faktanya aku tidak bisa melihat wajah cantik itu saat membuka mata. Tidak terdengar suaranya saat aku benar-benar terjaga di ruangan VVIP rumah sakit ini. Koma selama tiga bulan tidak membuat ingatanku lupa dengan wajahnya yang berlesung pipi saat tersenyum. "Dia sedang pulang ke rumah dulu," ujar Kakek setiap aku bertanya tentangnya. Namun, mata lelaki tua itu sepertinya menyimpan sesuatu yang tidak ingin ia katakan.Fery? Dia pun seperti ditelan bumi tak terdeteksi ke mana rimbanya. Panggilanku ke ponselnya hanya masuk ke kotak suara. Beberapa orang kepercayaan Kakek hanya menggeleng saat ditanya tentang asistenku itu. Ini hari kedua sejak aku bangun dari koma. Atmosfer kamar rumah sakit benar-benar membosankan. Tak ada selarik senyum hangat mil

  • Pura-pura Menikahi Tuan Presdir   Pertemuan yang Tidak Terelakkan

    "Jadi, kamu nggak tahu kalau aku kekasihnya Reinhard?"Eliana mendekati Kenzie dengan langkah gemulainya. Perempuan itu melirikku. "Ah, rupanya kamu nggak ngasih tahu dia kalau Reinhard sudah punya kekasih," ujarnya lagi. "Kamu nggak mau dianggap mendua dan sedang memilih mana yang lebih menguntungkan. Bukan begitu, Rihana?"Kenzie memindahkan dua tangannya hingga posisinya kini berkacak pinggang. Ia memindai wanita yang sedang melangkah semakin dekat itu. "Kenalkan, aku Eliana. Kekasihnya Reinhard."Bukan membalas salam perkenalan itu, Kenzie justru tergelak. "Ternyata selera dia dulu hanya seperti ini. Kenapa tiba-tiba naik kelas jadi yang kayak kamu, Elisha Rihana?"Ken menatapku sejenak. Kenapa ia menyebut nama lengkapku? Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku, Kenzie tersenyum."Karena sekarang aku paham kenapa kamu dipanggil Rihana di rumah itu."Aku diam dan menunggu kalimatnya lagi.

  • Pura-pura Menikahi Tuan Presdir   Umpan yang Bagus

    Jika ini tentang kehilangan, biarlah aku saja yang merasakannya. Saat Reinhard terbangun nanti, semoga Tuhan membuatnya lupa tentang seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya karena kontrak. Sebuah perjanjian yang bermutasi menjadi cinta penuh harap. Aku mengucapkan terima kasih pada driver taksi setelah memberikan ongkos. Tidak lupa menambahkan tip. Ayah pernah bilang, uang itu tidak akan membuat kita jatuh miskin. Ia juga tidak akan membuat si penerima serta merta jadi kaya raya. Namun, nilai pahalanya bisa membuat si pemberi terhindar bala. Dengan langkah yang satu-satu, aku menuju ke tempat cetak tiket. Sebuah tas ransel menggantung di punggung. Itu satu-satunya benda pemberian Reinhard yang kubawa. Isinya hanya pakaian yang kubeli sendiri sebelum datang ke rumah besar itu. Selesai mencetak tiket, aku menuju mini market. Perjalanan dengan kereta memang hanya tiga jam untuk sampai di Stasiun Kejaksan Cirebon. Namun, aku tetap butuh bekal walau hanya

  • Pura-pura Menikahi Tuan Presdir   Kembalikan Saja Uangnya

    "Ken, kalau aku tidak jadi buka usaha bisakah pembelian toko milikmu dibatalkan?""Ada apa, El? Kenapa tiba-tiba?"Aku mengganjur napas berat. Tidak mungkin menjelaskan semua permasalahan pada lelaki itu. Ken pasti akan melangkah lebih jauh jika tahu perkara yang sebenarnya. "Nggak ada apa-apa, Ken. Aku hanya berubah pikiran. "Nggak mungkin. Suaramu menyiratkan sebaliknya. Aku nggak masalah kalau kamu ingin membatalkan pembelian ruko itu, tapi tolong kasih tahu alasannya, El.""Karena aku nggak jadi buka usaha, Ken.""Kenapa? Kamu bilang mau lepas dari lelaki itu, kan?"Aku tidak menjawab pertanyaan Kenzie dan mengalihkan pandang ke luar jendela. Patung Pahlawan yang sering disebut Tugu Tani masih berdiri tegar seperti saat aku kecil. Figur satu orang pria bercaping dan seorang wanita itu konon dibuat oleh dua pematung Rusia kenamaan sebagai hadiah untuk Indonesia.Lalu lintas di sekitar Tugu Tani cukup padat

  • Pura-pura Menikahi Tuan Presdir   Perlawanan

    Walau tidak menoleh ke belakang, aku tahu pandangan mata Reinhard masih terus mengawasi. Mobilnya baru meninggalkan halaman saat aku telah menghidupkan lampu kamar. Lelaki itu sempat berbicara dengan Pak Muji, mungkin berpesan ini dan itu. Belum ada satu menit ia meninggalkan rumah ini, kesunyian terasa melilit. Sekali lagi aku mengukur dalamnya rasa. Benarkah ini cinta? Kalau iya, apakah kami akan mampu melewati setiap aral yang akan tumbuh di sepanjang jalan? Ingin aku menolaknya, tapi kegigihan Reinhard membuat hati benar-benar hangat.Lelaki itu dengan semua kejutan-kejutannya setiap hari, membuatku seperti menaiki roller coaster. Seperti sore tadi saat ia tiba-tiba muncul. Tentu saja bukan hanya aku yang terbelalak, melainkan Kenzie juga. Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa pun dari Reinhard. Namun, kehadiran Kenzie di ruko juga bukan kehendakku. Ia ternyata adalah pemilik lahan dan banyak bangunan di wilayah itu. Termasuk yang aku beli.

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status