Sedikit gemetar, tangan Bunga mulai memencet tombol mesin EDC di depannya. Perempuan itu masih sangat hafal dengan pin yang disebutkan sang pemilik kartu. Suara print out dari mesin kecil itu keluar. Bunga melirik putranya yang tersenyum begitu bahagia ketika dia telah membayar biaya sekolah dengan mudah.
Namun, senyum Bunga luntur ketika mengingat seseorang yang memberikan kartu tersebut. Apalagi ketika nominal pembayaran tersebut keluar. Cukup banyak untuk ukuran kebutuhannya sebagai seorang perempuan yang hidup sendiri."Kartu ATM siapa yang kamu berikan pada petugas tadi, Nduk? Kenapa Ibu nggak pernah melihatnya," tanya perempuan paruh baya di sebelah Bunga."Nanti, Bunga akan cerita, Bu. Sekarang, kita pulang karena aku harus kerja. Ada pelanggan butik yang harus aku temui. Dia sangat cerewet sekali. Kasihan jika Shaqina sendirian menghadapinya."Mereka bergegas kembali ke parkiran ketika semua syarat-syarat pendaftaran sekolah sudah diselesaikan.Sesampainya di rumah, Bunga langsung pamit untuk berangkat kerja. Dia tidak akan mengecewakan kepercayaan Shaqina yang sudah memberikan kesempatan.Lewat sepuluh menit dari waktu yang diminta kemarin sore pada sang atasan, Bunga membuka helm dan berjalan sedikit tergesa ke ruangan sang sahabat."Assalamualaikum," ucap Bunga ketika berada di depan ruangan Shaqina."Masuk saja, Say. Aku sudah menunggumu."Memutar knop, pintu pun terbuka. Wajah tegang Shaqina terlihat dengan jelas."Sorry, aku telat," kata Bunga. Meletakkan tasnya di meja kerja dan menghampiri sang sahabat. "Dia belum datang, kan?" tanyanya pada tamu yang kemarin sudah janjian.Shaqina menunjuk kamar mandi dengan dagunya. Sedikit mengerucutkan bibir tanda bahwa dia mulai lelah dengan pelanggan tersebut."Sorry," ucap Bunga sekali lagi. Shaqina cuma membalasnya dengan senyuman."It's okey buatku, tapi tidak dengan dia, Say." Sekali lagi, cewek berjilbab warna baby pink itu mengerucutkan bibir.Tepat ketika pembicaraan dua sahabat itu selesai, seorang perempuan dengan dandanan sangat seksi keluar dari kamar mandi. Bunga mengamati tampilan perempuan itu dengan sangat teliti. Jik kemarin, dia cuma melihat wajah, maka sekarang dia melihat keseluruhan. Dari ujung kaki hingga ujung rambut perempuan itu."Cantik, pantas kamu bisa menjadi istrinya. Mungkin wanita sepertimu yang dia cintai," ucap Bunga dalam hati.Shaqina mencolek lengan sahbatnya ketika pandangan mulai kosong."Tidak profesional sama sekali. Janjian jam berapa, datang jam berapa," sindir perempuan cantik nan seksi bernama Adhisti."Maaf, Bu. Saya sedikit terlambat karena harus mengurus pendaftaran anak di sekolah," kata Bunga. Dia juga menundukkan kepala supaya sang konsumen tidak semakin marah."Memangnya tidak ada yang ngurus lagi. Cuma mendaftar bisa diwakilkan, kan. Saya ini orang sibuk. Kerjaan banyak, tidak bisa menunggu terlalu lama seperti tadi.""Mari kita mulai, Bu. Jika pembicaraan kita cuma berputar-putar pada masalah keterlambatan. Mungkin, pembahasan detail desain saya tidak akan selesai." Bunga tak bisa lagi cuma diam menanggapi nyinyiran wanita itu."Ngelunjak, ya. Sudah salah malah ngebantah." Adhisti menunjuk Bunga dengan jari telunjuknya."Maaf, Bu. Mungkin, karyawan saya benar. Waktu yang ibu berikan pada kami untuk membuat baju yang super wah itu sedikit. Jika kita membahas masalah lain, akan semakin lama kamu memproduksi gaun tersebut." Shaqina terpaksa menginterupsi Adhisti.Penuh kekesalan, Adhisti duduk di sofa yang disediakan. "Tunjukkan revisi gambar yang sudah kamu buat sesuai keinginan saya kemarin."Bunga mengambil desain yang dibuat semalam dari dalam tas. Lalu, menunjukkan pada si pelanggan. Beberapa komplain masih saja diucapkan oleh wanita itu. Sebagai desainer, Bunga cuma mengangguk-anggukkan kepala."Besok, saya tidak bisa datang ke butik untuk melihat hasil revisimu. Kirimkan saja lewat email. Saya akan mengeceknya," kata Adhisti di akhir pertemuan mereka.Shaqina dan Bunga bernapas lega, tetapi revisi yang diminta Adhisti akan membuat pekerjaan mereka terhambat."Tenang saja, Say. Aku akan selesaikan sore ini juga, biar besok sudah bisa dijahit. Bahan yang diminta sudah lengkap, kan?" tanya Bunga menghibur sahabatnya yang terlihat cemberut.Di tempat lain, salah satu lelaki berperawakan gemuk mengetuk pintu ruangan atasannya."Masuk," perintah sang pemilik ruangan dari dalam. Lelaki yang tak lain adalah Yusuf, mengalihkan perhatian dari berkas di depannya pada sosok lelaki yang berdiri."Ada apa, Pak?"Si lelaki berbadan gemuk dengan perut buncit yang tak lain adalah manajer sekaligus penasihat keuangan Yusuf, membenarkan posisi berdirinya. Setelah dipersilakan duduk oleh sang pemilik ruangan, dia mendaratkan bokongnya di kursi di depan Yusuf. Rasa cemas serta bingung kentara sekali di wajahnya."Pak, ada notifikasi masuk pada email. Seseorang melakukan transfer dari nomer rekening pribadi bapak."Yusuf menghentikan gerakan tangan dan menatap tajam pada sang manajer. "Bagaimana bisa seseorang tidak dikenal melakukannya. Bukankah tidak ada seorang pun yang tahu tentang rekening itu selain dirimu?""Saya tidak tahu, Pak. Saya selalu melakukan tugas yang Bapak berikan. Memasukkan 50% gaji Pak Yusuf pada rekening itu. Bukankah kartu serta nomor pun Bapak yang memegang. Lalu, mana mungkin saya bisa melakukan transfer?"Membetulkan letak kacamatanya, Yusuf seperti mengingat sesuatu. "Saya kehilangan kartu itu sekitar enam tahun lalu. Jika kartu tersebut ditemukan oleh seseorang, tidak mungkin dia bisa menggunakannya. Pin kartu itu, hanya aku yang tahu."Sang manajer pun menyipitkan mata. Ikut berpikir. "Tentunya tidak akan bisa orang itu menggunakan kartu tersebut. Bapak yakin jika kartu itu hilang? Bukan diberikan pada siapa, gitu?"Menundukkan kepala dan memejamkan mata. Yusuf memegang pelipisnya. "Banyak hal yang tidak mampu saya ingat sejak kejadian itu, Pak. Sepertinya, memang hilang, tapi entahlah. Berapa yang orang itu transfer?""Lumayan banyak, Pak.""Bisa sebutkan angkanya?""Tiga puluh enam juta," kata sang manajer. Sedikit takut dia mengatakannya."Tidak seberapa itu.""Apa saya perlu memblokir kartu itu, Pak?"Yusuf menghela napas sebelum berkata. "Tidak perlu, tapi selidiki di mana orang itu menggunakan kartu tersebut. Saya ingin tahu siapa orang yang sudah menggunakannya.""Baik, Pak."Tanpa mereka tahu bahwa ada seseorang yang menguping pembicaraan keduanya sejak tadi. Dia bahkan sudah bergerak lebih cepat sebelum Yusuf menyuruh manajernya.Keluar dari ruangan si bos, sang manajer di cegat oleh orang yang menguping tadi. "Berikan nomor rekening pribadi Yusuf yang tak seorang pun tahu," perintahnya. Tegas tak terbantahkan."Tapi, ini adalah nomor rekening rahasia beliau.""Saya lebih berhak tahu dibandingkan dirimu. Jangan sampai kamu saya pecat," ancam orang tersebut.Sang manajer pun memberikannya karena takut akan ancaman orang tersebut."Jangan katakan apa pun pada anakku. Ingat itu!" Pergi meninggalkan sang manajer yang gemetaran."Semoga Pak Yusuf tidak mengetahui hal ini," ucap si manajer keuangan setelah kepergian orang itu.Di sisi lain, perempuan Kamila menuju ruangan Purnama.Dia pun masuk, tanpa mengetuk pintu."Papa sudah hubungi Rudy untuk menyelediki masalah yang Mama katakan di telpon tadi, kan?" tanya Kamila tanpa mengucap salam."Mama itu kurang kerjaan banget, sih. Lagian kenapa mesti menghubungi Rudy untuk masalah sepele seperti ini. Memang rekening siapa yang mau Mama retas?""Anakmu, Mama curiga. Sejak kejadian itu," kata Kamila. Pandangannya lurus ke depan, mengenang kejadian enam tahun silam. "Curiga kenapa? Yusuf tidak berbuat macam-macam bahkan berselingkuh dari istrinya saja tidak pernah. Lalu, kenapa Mama mencurigai rekeningnya?" Purnama masih kekeh untuk tidak mengabulkan permintaan sang istri. Menyuruh Rudy untuk meretas rekening seseorang, terlalu beresiko baginya. Jika menyangkut konsumen yang menunggak payment di perusahaan, mungkin Purnama bisa melakukannya. Akan tetapi, ini rekening pribadi seseorang, meskipun milik anaknya sendiri."Papa tidak akan mengerti. Pokoknya, kalau
Pagi-pagi sekali, Bunga sudah menyiapkan bekal untuk Fatih, sedangkan ibunya tengah menyapu. Si kecil sendiri, tengah mandi saat ini.Fatih terbiasa melakukan semua hal sendirian sejak berumur empat tahun. Bocah itu begitu pengertian melihat orang tua serta neneknya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing setiap hari. Hal itu kini cukup meringankan bundanya.Setengah jam kemudian, Fatih keluar dengan dandanan yang sudah rapi. "Unda, aku sudah siap berangkat ke sekolah." Bocah itu memutar-mutar badannya memperlihatkan seragam serta tas baru yang kemarin diberikan pihak sekolah.Bunga memperhatikan si kecil dengan sangat detail, dari ujung kaki hingga kepala. Namun, ketika matanya menatap dasi, seketika tawa menguar."Unda kenapa ketawa?" Mata Fatih menyipit. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Bukannya berhenti, Bunga malah mengeraskan tawa. Fatih mulai mengerucutkan bibir dengan kaki menghentak-hentak. Bunga pun menyadari kesalahannya dan sebisa mungkin menghentikan tawa. "Say
Irsan mendelik mendengar perintah Yusuf. Belum juga hilang rasa terkejut dan kekepoannya, tangan sang sahabat sudah lebih dulu menghapus rekaman CCTV pada jam tersebut. "Kamu kenapa, Suf?" Irsan mulai panik melihat butiran keringat yang bermunculan di wajah sahabatnya. "Ambilkan obatku, San," suruh lelaki dengan kulit kuning langsat. Yusuf menunjuk jas yang tadi dilepas dan ditaruh di sofa.Tanpa banyak pertanyaan, Irsan dengan cepat mengambil Jaz hitam dan merogoh setiap sakunya demi menemukan obat yang dibutuhkan. "San, cepat sedikit," ucap Yusuf. Suaranya terdengar lemah, bergetar seakan seluruh tenaganya habis.Memberikan obat yang dibutuhkan, Irsan mengambilkan sahabatnya air putih. "Apa masih sering terjadi seperti ini?""Sudah lama tidak terjadi, tapi ada satu kondisi yang tidak bisa aku prediksi." Yusuf merebahkan tubuhnya pada sofa dibantu Irsan. "Tolong jangan katakan apa pun jika Papa dan Mama bertanya." Perlahan kesadaran Yusuf menghilang, matanya mulai terpejam. Irsan
"Kenapa terkejut seperti itu, San? Apakah permintaan Tante terlalu berat untukmu?" Irsan menelan ludah, tersenyum kecut ketika tatapan Kamila dirasa terlalu menakutkan. Lalu, lelaki yang masih betah menjomblo di antara ketiga sahabatnya itu menganggukkan kepala. "Boleh, Tan. Silakan saja jik ingin melihat rekaman CCTV.""Bisa kamu tunjukkan rekaman di jam sembilan," pinta Kamila dengan wajah serius."Bisa, Tan." Irsan mulai menghidupkan layar rekaman CCTV di komputer yang ada di mejanya.Kamila mendekat dan mengamati setiap gerakan yang terekam oleh CCTV. Mata awas melihat semua adegan di dalamnya. Namun, tak satu pun yang bisa memuaskan rasa ingin tahunya. "Putar lebih awal bisa, San. Rekaman sebelum jam yang Tante sebutkan tadi."Irsan kembali mematuhi permintaan Kamila. Dia memutar sejak gerbang sekolah dibuka oleh Satpam. Kamila menatap layar monitor lebih saksama. Beberapa orang tua berdatangan mengantarkan anak mereka untuk mendaftar. Senyum perempuan paruh baya itu terbit.D
Hari berganti, Yusuf dan Kamila berlomba-lomba mencari tahu siapa sebenarnya Bunga dan Fatih. Beberapa kali bahkan perempuan paruh baya itu sengaja mendatangi sekolah Irsan, hanya untuk bertemu dengan Fatih secara diam-diam. Beberapa kali bahkan senngaja membelikan aneka makanan ringan untuk bocah menggemaskan itu. Tiap kali selesai bertemu dengan Fatih, Kamila akan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa digambarkShan.Seperti siang ini, Kamila mendatangi kantor sang suami setelah melihat Fatih dan membelikan mainan bocah lucu nan menggemaskan berkulit kuning langsat dengan lesung pipi. Istri Purnama itu bahkan sempat merekam dan mengambil potret ketika Fatih bermain bersama teman-temannya. Ketika tak mendapati sang suami berada di ruangannya, Kamila memutar video rekaman yang didapatnya tadi.Tawa menguar ketika Fatih membagikan makanan yang diberi oleh Kamila pada beberapa sahabatnya. Si kecil bahkan dengan riangnya membuka mainan yang dibawakan dan memainkannya dengan semua sahabat.
Purnama menarik pergelangan sang istri, lalu mengajaknya sedikit menjauh dari riuhnya pesta yang digelar untuk memperingati ulang tahun pernikahan Yusuf."Jaga ucapanmu, jangan sampai Papa murka," bisik Purnama memperingati sang istri.Kamila bergeming. Sama sekali tidak merasa bersalah atau menyesal dengan perkataannya tadi. Bibirnya terbungkam karena otak tengah berpikir. Sementara di belakang keduanya, Jafar mengikuti pasangan tersebut dengan wajah penuh kecewa pada menantunya. "Bawa istrimu menjauh dari pesta ini sebelum orang lain mendegar perkataannya yang tidak mengenakkan," titah sang kepala keluarga yang setiap ucapannya tidak bisa dibantah oleh siapa pun."Iya, Pa," jawab Purnama patuh. Setelah sang pemegang tahta tertinggi di keluarga Prayoga kembali pada Adhisti dan Yusuf. Barulah lelaki paruh baya itu membawa istrinya.Sang pemilik pesta tak menghiraukan perkataan Kamila tadi. Yusuf bahkan langsung disibukkan dengan banyaknya ucapan selamat dari para koleganya. Sama sepe
Happy Reading*****Kamila mengubah posisi duduknya, menyamping dan menghadap sang suami. Meletakkan kedua tangannya di atas telapak tangan Purnama. Lelaki itu pasti syok, sama seperti dirinya beberapa tahun silam. Namun, kasih sayang sebagai seorang ibu, harus bisa menguatkan putranya. Keluarga tidak boleh mengetahui kelemahan Yusuf satu itu. Oleh karena itulah, Kamila memilih menyembunyikan semuanya. Pengakuan kehamilan Adhisti sudah merubah janji Kamila untuk tetap merahasiakan masalah Yusuf. Sekarang, dia tidak takut lagi jika keluarga lain mengetahui. Biarlah anggota Prayoga lainnya tahu, siapa sebenarnya menantu pilihan Jafar. Naluri sebagai Ibu menolak pengkhianatan yang dilakukan sang menantu. "Rekam medis itu memang milik Yusuf. Maaf, Mama sengaja menyembunyikan semua ini. Berharap akan datang suatu keajaiban yang membuat kita semua bahagia. Mama juga meminta dokter menyembunyikan semua ini." Kamila menjeda kalimatnya dan menatap sang suami yang masih terlihat syok.Perempu
Happy Reading*****Di ballroom hotel acara pesta ulang tahun perkawinan Yusuf berlangsung. Lelaki itu tersenyum penuh kebahagiaan. Sudah lama kabar kehamilan sang istri dinantikan. Walau sampai saat ini belum timbul cinta pada perempuan tersebut. Namun, lelaki itu sudah berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakan wanitanya."Terima kasih, Dhis. Kamu sudah memenuhi impian dan harapan Eyang serta keluarga ini," ucap Yusuf tulus. Tak sungkan, lelaki itu merangkul wanitanya dengan sangat mesra. Berusaha menutupi bagian punggung yang terekspos, membuat mata semua tamu lelaki menatapnya penuh kagum. Yusuf sama sekali tak menyukai hal itu."Sama-sama, Mas." Bibir Adhisti mungkin menjawab perkataan sang suami, tetapi matanya mengarah pada Yudhistira yang kini tengah dikerubungi wanita-wanita cantik. "Mas, aku sapa teman-teman di sana, ya. Sudah lama tidak bertemu mereka."Yusuf menganggukkan kepala, tetapi sebelum sang istri pergi, dia mencegah. "Pakai ini." Melepas jas yang dikenakan. "Ja