Share

4. Heboh

Sedikit gemetar, tangan Bunga mulai memencet tombol mesin EDC di depannya. Perempuan itu masih sangat hafal dengan pin yang disebutkan sang pemilik kartu. Suara print out dari mesin kecil itu keluar. Bunga melirik putranya yang tersenyum begitu bahagia ketika dia telah membayar biaya sekolah dengan mudah.

Namun, senyum Bunga luntur ketika mengingat seseorang yang memberikan kartu tersebut. Apalagi ketika nominal pembayaran tersebut keluar. Cukup banyak untuk ukuran kebutuhannya sebagai seorang perempuan yang hidup sendiri.

"Kartu ATM siapa yang kamu berikan pada petugas tadi, Nduk? Kenapa Ibu nggak pernah melihatnya," tanya perempuan paruh baya di sebelah Bunga.

"Nanti, Bunga akan cerita, Bu. Sekarang, kita pulang karena aku harus kerja. Ada pelanggan butik yang harus aku temui. Dia sangat cerewet sekali. Kasihan jika Shaqina sendirian menghadapinya."

Mereka bergegas kembali ke parkiran ketika semua syarat-syarat pendaftaran sekolah sudah diselesaikan.

Sesampainya di rumah, Bunga langsung pamit untuk berangkat kerja. Dia tidak akan mengecewakan kepercayaan Shaqina yang sudah memberikan kesempatan.

Lewat sepuluh menit dari waktu yang diminta kemarin sore pada sang atasan, Bunga membuka helm dan berjalan sedikit tergesa ke ruangan sang sahabat.

"Assalamualaikum," ucap Bunga ketika berada di depan ruangan Shaqina.

"Masuk saja, Say. Aku sudah menunggumu."

Memutar knop, pintu pun terbuka. Wajah tegang Shaqina terlihat dengan jelas.

"Sorry, aku telat," kata Bunga. Meletakkan tasnya di meja kerja dan menghampiri sang sahabat. "Dia belum datang, kan?" tanyanya pada tamu yang kemarin sudah janjian.

Shaqina menunjuk kamar mandi dengan dagunya. Sedikit mengerucutkan bibir tanda bahwa dia mulai lelah dengan pelanggan tersebut.

"Sorry," ucap Bunga sekali lagi. Shaqina cuma membalasnya dengan senyuman.

"It's okey buatku, tapi tidak dengan dia, Say." Sekali lagi, cewek berjilbab warna baby pink itu mengerucutkan bibir.

Tepat ketika pembicaraan dua sahabat itu selesai, seorang perempuan dengan dandanan sangat seksi keluar dari kamar mandi. Bunga mengamati tampilan perempuan itu dengan sangat teliti. Jik kemarin, dia cuma melihat wajah, maka sekarang dia melihat keseluruhan. Dari ujung kaki hingga ujung rambut perempuan itu.

"Cantik, pantas kamu bisa menjadi istrinya. Mungkin wanita sepertimu yang dia cintai," ucap Bunga dalam hati.

Shaqina mencolek lengan sahbatnya ketika pandangan mulai kosong.

"Tidak profesional sama sekali. Janjian jam berapa, datang jam berapa," sindir perempuan cantik nan seksi bernama Adhisti.

"Maaf, Bu. Saya sedikit terlambat karena harus mengurus pendaftaran anak di sekolah," kata Bunga. Dia juga menundukkan kepala supaya sang konsumen tidak semakin marah.

"Memangnya tidak ada yang ngurus lagi. Cuma mendaftar bisa diwakilkan, kan. Saya ini orang sibuk. Kerjaan banyak, tidak bisa menunggu terlalu lama seperti tadi."

"Mari kita mulai, Bu. Jika pembicaraan kita cuma berputar-putar pada masalah keterlambatan. Mungkin, pembahasan detail desain saya tidak akan selesai." Bunga tak bisa lagi cuma diam menanggapi nyinyiran wanita itu.

"Ngelunjak, ya. Sudah salah malah ngebantah." Adhisti menunjuk Bunga dengan jari telunjuknya.

"Maaf, Bu. Mungkin, karyawan saya benar. Waktu yang ibu berikan pada kami untuk membuat baju yang super wah itu sedikit. Jika kita membahas masalah lain, akan semakin lama kamu memproduksi gaun tersebut." Shaqina terpaksa menginterupsi Adhisti.

Penuh kekesalan, Adhisti duduk di sofa yang disediakan. "Tunjukkan revisi gambar yang sudah kamu buat sesuai keinginan saya kemarin."

Bunga mengambil desain yang dibuat semalam dari dalam tas. Lalu, menunjukkan pada si pelanggan. Beberapa komplain masih saja diucapkan oleh wanita itu. Sebagai desainer, Bunga cuma mengangguk-anggukkan kepala.

"Besok, saya tidak bisa datang ke butik untuk melihat hasil revisimu. Kirimkan saja lewat email. Saya akan mengeceknya," kata Adhisti di akhir pertemuan mereka.

Shaqina dan Bunga bernapas lega, tetapi revisi yang diminta Adhisti akan membuat pekerjaan mereka terhambat.

"Tenang saja, Say. Aku akan selesaikan  sore ini juga, biar besok sudah bisa dijahit. Bahan yang diminta sudah lengkap, kan?" tanya Bunga menghibur sahabatnya yang terlihat cemberut.

Di tempat lain, salah satu lelaki berperawakan gemuk mengetuk pintu ruangan atasannya.

"Masuk," perintah sang pemilik ruangan dari dalam. Lelaki yang tak lain adalah Yusuf, mengalihkan perhatian dari berkas di depannya pada sosok lelaki yang berdiri.

"Ada apa, Pak?"

Si lelaki berbadan gemuk dengan perut buncit yang tak lain adalah manajer sekaligus penasihat keuangan Yusuf, membenarkan posisi berdirinya. Setelah dipersilakan duduk oleh sang pemilik ruangan, dia mendaratkan bokongnya di kursi di depan Yusuf. Rasa cemas serta bingung kentara sekali di wajahnya.

"Pak, ada notifikasi masuk pada email. Seseorang melakukan transfer dari nomer rekening pribadi bapak."

Yusuf menghentikan gerakan tangan dan menatap tajam pada sang manajer. "Bagaimana bisa seseorang tidak dikenal melakukannya. Bukankah tidak ada seorang pun yang tahu tentang rekening itu selain dirimu?"

"Saya tidak tahu, Pak. Saya selalu melakukan tugas yang Bapak berikan.  Memasukkan 50% gaji Pak Yusuf pada rekening itu. Bukankah kartu serta nomor pun Bapak yang memegang. Lalu, mana mungkin saya bisa melakukan transfer?"

Membetulkan letak kacamatanya, Yusuf seperti mengingat sesuatu. "Saya kehilangan kartu itu sekitar enam tahun lalu. Jika kartu tersebut ditemukan oleh seseorang, tidak mungkin dia bisa menggunakannya. Pin kartu itu, hanya aku yang tahu."

Sang manajer pun menyipitkan mata. Ikut berpikir. "Tentunya tidak akan bisa orang itu menggunakan kartu tersebut. Bapak yakin jika kartu itu hilang? Bukan diberikan pada siapa, gitu?"

Menundukkan kepala dan memejamkan mata. Yusuf memegang pelipisnya. "Banyak hal yang tidak mampu saya ingat sejak kejadian itu, Pak. Sepertinya, memang hilang, tapi entahlah. Berapa yang orang itu transfer?"

"Lumayan banyak, Pak."

"Bisa sebutkan angkanya?"

"Tiga puluh enam juta," kata sang manajer. Sedikit takut dia mengatakannya.

"Tidak seberapa itu."

"Apa saya perlu memblokir kartu itu, Pak?"

Yusuf menghela napas sebelum berkata. "Tidak perlu, tapi selidiki di mana orang itu menggunakan kartu tersebut. Saya ingin tahu siapa orang yang sudah menggunakannya."

"Baik, Pak."

Tanpa mereka tahu bahwa ada seseorang yang menguping pembicaraan keduanya sejak tadi. Dia bahkan sudah bergerak lebih cepat sebelum Yusuf menyuruh manajernya.

Keluar dari ruangan si bos, sang manajer di cegat oleh orang yang menguping tadi. "Berikan nomor rekening pribadi Yusuf yang tak seorang pun tahu," perintahnya. Tegas tak terbantahkan.

"Tapi, ini adalah nomor rekening rahasia beliau."

"Saya lebih berhak tahu dibandingkan dirimu. Jangan sampai kamu saya pecat," ancam orang tersebut.

Sang manajer pun memberikannya karena takut akan ancaman orang tersebut.

"Jangan katakan apa pun pada anakku. Ingat itu!" Pergi meninggalkan sang manajer yang gemetaran.

"Semoga Pak Yusuf tidak mengetahui hal ini," ucap si manajer keuangan setelah kepergian orang itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status