Share

5. Pencarian

Di sisi lain, perempuan Kamila menuju ruangan Purnama.

Dia pun masuk, tanpa mengetuk pintu.

"Papa sudah hubungi Rudy untuk menyelediki masalah yang Mama katakan di telpon tadi, kan?" tanya Kamila tanpa mengucap salam.

"Mama itu kurang kerjaan banget, sih. Lagian kenapa mesti menghubungi Rudy untuk masalah sepele seperti ini. Memang rekening siapa yang mau Mama retas?"

"Anakmu, Mama curiga. Sejak kejadian itu," kata Kamila. Pandangannya lurus ke depan, mengenang kejadian enam tahun silam.

"Curiga kenapa? Yusuf tidak berbuat macam-macam bahkan berselingkuh dari istrinya saja tidak pernah. Lalu, kenapa Mama mencurigai rekeningnya?" Purnama masih kekeh untuk tidak mengabulkan permintaan sang istri.

Menyuruh Rudy untuk meretas rekening seseorang, terlalu beresiko baginya. Jika menyangkut konsumen yang menunggak payment di perusahaan, mungkin Purnama bisa melakukannya. Akan tetapi, ini rekening pribadi seseorang, meskipun  milik anaknya sendiri.

"Papa tidak akan mengerti. Pokoknya, kalau Papa tidak bisa mencari tahu perihal rekening ini dan pengeluaran yang baru saja dilakukan seseorang. Mama akan mencari bantuan sendiri dengan menyuruh orang lain." Kamila bersedekap dan membuang muka. Merasa jengkel sekali dengan kelakuan suaminya.

"Oke ... oke. Papa akan melakukannya, tapi ingat. Jangan mengambil tindakan gegabah yang menyebabkan putramu berbuat nekat seperti dulu," peringat lelaki paruh baya berkumis tipis itu, "Yusuf sudah cukup tertekan dengan segala permintaan kita."

Meraih ponsel di sisi kanan meja tempatnya duduk, Purnama mulai memencet kontak seseorang yang disebutkan Kamila. Memberikan nomor rekening dan meminta mutasi transaksi terakhir yang dilakukan termasuk tempat terjadinya transaksi seperti yang diceritakan sang istri.

"Berapa lama kamu bisa mengerjakan tugas itu?" tanya Purnama.

"Informasi lengkap akan saya berikan paling lambat nanti sore, Pak. Sekitar jam tujuh malam kira-kira," jawab seseorang di seberang sana.

Purnama melirik arlojinya, sekitar lima jam ke depan. Segala kecurigaan dalam diri istrinya akan diketahui. Entah apa itu, Purnama sendiri tidak mengetahuinya.

"Oke. Saya tunggu kabar baiknya." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Purnama mematikan sambungan.

Menatap sang istri yang masih membuang muka, Purnama berjalan mendekatinya.

"Mama sudah dengar tadi, kan. Kenapa masih memalingkan muka?" Manarik dagu sang istri supaya menghadap ke arahnya.

"Pa, Mama cuma kasihan sama anak kita. Dia berjuang sangat keras untuk memenuhi semua harapan dan keinginan keluarga kita. Tidakkah Papa merasa kasihan? Hidupnya tidak pernah bahagia sejak kita memintanya untuk menikah dengan Adhisti." Kamila menghela napas panjang.

Melihat kesedihan di mata sang istri, Purnama luluh juga. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dia rasakan. Kesakitan yang dia pendam sendiri demi keutuhan keluarganya.

*****

Bunga bersungguh-sungguh mengerjakan revisi desain yang diminta oleh kliennya. Kali ini, dia sudah berjanji untuk menaklukkan hati perempuan sombong yang sering meremehkannya dalam setiap pertemuan mereka. Ibu satu anak itu bahkan sampai melewatkan makan siangnya dan menjemput si ganteng Fatih.

"Jangan terlalu diforsir tenaganya, Say. Kalau ada apa-apa sama dirimu, kasihan Fatih. Masih ada hari esok," ucap Shaqina. Perempuan berjilbab itu bahkan sudah membereskan meja kerja dan bersiap untuk pulang.

"Sudah selesai, Say. Nih." Bunga menyodorkan hasil gambar yang sudah dia revisi.

"Sempurna kalau menurutku, tapi entah kata si Mak Lampir." Shaqina menutup mulutnya ketika menyebut nama klien dengan panggilan yang bukan namanya.

"Hust. Mulutmu, Say. Nggak boleh manggil orang sembarangan dengan berniat mengolok-olok."

Shaqina tersenyum lebar, pikirannya benar bahwa Bunga akan memberikan ceramahnya ketika dia berbuat salah.

"Dih, malah tertawa," kata Bunga sedikit sewot.

"Kamu tidak pernah berubah, selalu mengeluarkan nasihat ketika ada yang salah. Oleh karena itu, aku tidak percaya omongan orang jika Fatih terlahir dari hubungan di luar nikah. Mengapa kamu menyembunyikan semua fakta itu, Bunga. Apa aku tidak cukup pantas untuk kamu percayai?" Shaqina menampilkan wajah sedihnya.

"Sudahlah, lupakan masalahku itu. Anggap perkataan semua orang adalah benar. Nyatanya aku tidak bisa memberikan bukti apa pun." Bunga juga mulai membereskan meja kerjanya.

Obrolan tentang siapa ayah kandung Fatih terlalu sensitif baginya yang akan menambah kesedihan pada luka lama. Kesedihan yang harus dia kubur dalam-dalam dan tidak boleh muncul lagi ke permukaan.

"Sha, aku pulang duluan, ya. Takut berondongku itu marah besar. Tadi, nggak sempet jemput dia pas pulang sekolah."

Shaqina menoleh dan tersenyum. Menyatukan jari telunjuk dan jempol hingga membentuk bulatan. "Salam untuknya. Katakan jangan terlalu posesif sama undanya." Keduanya tertawa bersamaan mengingat Fatih yang sering kali sewot tiap kali Shaqina mengajak Bunga keluar sekedar untuk menghibur diri.

*****

Sebelum pulang kantor, Kamila dan Purnama menyempatkan bertemu dengan Rudy terkait permintaannya tadi pagi. Keduanya duduk di salah satu kafe tempat janjian mereka.

Kamila sudah lebih dulu memegang map laporan yang didapat Rudy. Matanya membulat sempurna ketika mengetahui jumlah uang yang dikeluarkan oleh seseorang. "Di mana orang ini melakukan transaksi?"

"Sesuai informasi yang disampaikan teman saya. Dia melakukan transaksi di sebuah Yayasan pendidikan. Ibu mengenal baik siapa pemilik tempat tersebut. Termasuk Pak Yusuf, karena  kepala yayasan dan salah satu kepala sekolahnya adalah sahabat karib beliau."

"Katakan siapa. Jangan berbelit-belit." Purnama mulai hilang kesabaran.

"Sabar, Pa." Kamila mengusap lembut lengan sang suami. Walau dia sendiri penasaran, siapa orang yang dimaksud. "Katakan! Supaya kami bisa menindaklanjuti masalah ini."

"Pak Irsan Fauzy. Salah satu sahabat baik Pak Yusuf. Seseorang itu telah mentransfer uang sebanyak itu ke sekolah yayasan milik keluarganya. Besar kemungkinan uang tersebut digunakan untuk biaya sekolah anak pemegang kartu itu."

"Bisa kamu cari tahu, berapa usia anak itu dan siapa orang yang menggunakan uang di rekening ini?"

"Sampai sore ini, saya belum bisa meretas CCTV sekolah tersebut, Pak. Mungkin butuh banyak waktu untuk melakukannya."

Purnama dan Kamila saling pandang. Di kepala mereka ada banyak asumsi yang bermunculan saat ini. Jika Yusuf saja tidak mengingat ke mana kartu itu. Hilang atau sengaja dia berikan pada seseorang.

"Kapan saya bisa mendapatkan informasi itu? Saya tunggu kabar darimu, Rud." Purnama mulai penasaran dengan orang yang sudah berani menggunakan uang putranya untuk kepentingan dia sendiri.

"Beri saya waktu tiga hari. Saya pastikan akan mendapat informasi serta wajah orang itu."

"Aku tunggu kabar darimu." Purnama memberikan amplop cokelat pada Rudy. Sementara, Kamila masih membaca keseluruhan informasi yang diberikan lelaki bertato itu.

Tak jauh berbeda dengan kedua, Yusuf juga bertemu dengan seseorang terkait uang yang keluar dari tabungannya.

"Tetap bergerak secara rahasia dan jangan sampai ada yang tahu. Sebelum aku mengetahui siapa wanita ini," perintah Yusuf pada orang suruhannya.

Tak lama kemudian, putra tunggal Purnama itu menghubungi seseorang.  "Bisa kita bertemu besok?"

"Tumben, ada masalah apa? Kalau cuma mau dengerin curhatan tentang istrimu yang menyebalkan, aku tidak ada waktu."

"Aku butuh informasi darimu."

"Informasi apa?"

"Besok saja. Aku tidak bisa menceritakan di telpon. Terlalu banyak pasang mata yang mengawasi."

"Terserah. Besok aku sedikit sibuk. Temui aku di sekolah sebelum jam masuk."

"Gila, dikira aku mau sekolah apa!" bentak Yusuf.

Lawan bicara Yusuf terbahak sebelum kemudian mematikan sambungan secara sepihak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status