Di sisi lain, perempuan Kamila menuju ruangan Purnama.
Dia pun masuk, tanpa mengetuk pintu.
"Papa sudah hubungi Rudy untuk menyelediki masalah yang Mama katakan di telpon tadi, kan?" tanya Kamila tanpa mengucap salam."Mama itu kurang kerjaan banget, sih. Lagian kenapa mesti menghubungi Rudy untuk masalah sepele seperti ini. Memang rekening siapa yang mau Mama retas?""Anakmu, Mama curiga. Sejak kejadian itu," kata Kamila. Pandangannya lurus ke depan, mengenang kejadian enam tahun silam."Curiga kenapa? Yusuf tidak berbuat macam-macam bahkan berselingkuh dari istrinya saja tidak pernah. Lalu, kenapa Mama mencurigai rekeningnya?" Purnama masih kekeh untuk tidak mengabulkan permintaan sang istri.Menyuruh Rudy untuk meretas rekening seseorang, terlalu beresiko baginya. Jika menyangkut konsumen yang menunggak payment di perusahaan, mungkin Purnama bisa melakukannya. Akan tetapi, ini rekening pribadi seseorang, meskipun milik anaknya sendiri."Papa tidak akan mengerti. Pokoknya, kalau Papa tidak bisa mencari tahu perihal rekening ini dan pengeluaran yang baru saja dilakukan seseorang. Mama akan mencari bantuan sendiri dengan menyuruh orang lain." Kamila bersedekap dan membuang muka. Merasa jengkel sekali dengan kelakuan suaminya."Oke ... oke. Papa akan melakukannya, tapi ingat. Jangan mengambil tindakan gegabah yang menyebabkan putramu berbuat nekat seperti dulu," peringat lelaki paruh baya berkumis tipis itu, "Yusuf sudah cukup tertekan dengan segala permintaan kita."Meraih ponsel di sisi kanan meja tempatnya duduk, Purnama mulai memencet kontak seseorang yang disebutkan Kamila. Memberikan nomor rekening dan meminta mutasi transaksi terakhir yang dilakukan termasuk tempat terjadinya transaksi seperti yang diceritakan sang istri."Berapa lama kamu bisa mengerjakan tugas itu?" tanya Purnama."Informasi lengkap akan saya berikan paling lambat nanti sore, Pak. Sekitar jam tujuh malam kira-kira," jawab seseorang di seberang sana.Purnama melirik arlojinya, sekitar lima jam ke depan. Segala kecurigaan dalam diri istrinya akan diketahui. Entah apa itu, Purnama sendiri tidak mengetahuinya."Oke. Saya tunggu kabar baiknya." Setelah menyelesaikan kalimatnya, Purnama mematikan sambungan.Menatap sang istri yang masih membuang muka, Purnama berjalan mendekatinya."Mama sudah dengar tadi, kan. Kenapa masih memalingkan muka?" Manarik dagu sang istri supaya menghadap ke arahnya."Pa, Mama cuma kasihan sama anak kita. Dia berjuang sangat keras untuk memenuhi semua harapan dan keinginan keluarga kita. Tidakkah Papa merasa kasihan? Hidupnya tidak pernah bahagia sejak kita memintanya untuk menikah dengan Adhisti." Kamila menghela napas panjang.Melihat kesedihan di mata sang istri, Purnama luluh juga. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang dia rasakan. Kesakitan yang dia pendam sendiri demi keutuhan keluarganya.*****Bunga bersungguh-sungguh mengerjakan revisi desain yang diminta oleh kliennya. Kali ini, dia sudah berjanji untuk menaklukkan hati perempuan sombong yang sering meremehkannya dalam setiap pertemuan mereka. Ibu satu anak itu bahkan sampai melewatkan makan siangnya dan menjemput si ganteng Fatih."Jangan terlalu diforsir tenaganya, Say. Kalau ada apa-apa sama dirimu, kasihan Fatih. Masih ada hari esok," ucap Shaqina. Perempuan berjilbab itu bahkan sudah membereskan meja kerja dan bersiap untuk pulang."Sudah selesai, Say. Nih." Bunga menyodorkan hasil gambar yang sudah dia revisi."Sempurna kalau menurutku, tapi entah kata si Mak Lampir." Shaqina menutup mulutnya ketika menyebut nama klien dengan panggilan yang bukan namanya."Hust. Mulutmu, Say. Nggak boleh manggil orang sembarangan dengan berniat mengolok-olok."Shaqina tersenyum lebar, pikirannya benar bahwa Bunga akan memberikan ceramahnya ketika dia berbuat salah."Dih, malah tertawa," kata Bunga sedikit sewot."Kamu tidak pernah berubah, selalu mengeluarkan nasihat ketika ada yang salah. Oleh karena itu, aku tidak percaya omongan orang jika Fatih terlahir dari hubungan di luar nikah. Mengapa kamu menyembunyikan semua fakta itu, Bunga. Apa aku tidak cukup pantas untuk kamu percayai?" Shaqina menampilkan wajah sedihnya."Sudahlah, lupakan masalahku itu. Anggap perkataan semua orang adalah benar. Nyatanya aku tidak bisa memberikan bukti apa pun." Bunga juga mulai membereskan meja kerjanya.Obrolan tentang siapa ayah kandung Fatih terlalu sensitif baginya yang akan menambah kesedihan pada luka lama. Kesedihan yang harus dia kubur dalam-dalam dan tidak boleh muncul lagi ke permukaan."Sha, aku pulang duluan, ya. Takut berondongku itu marah besar. Tadi, nggak sempet jemput dia pas pulang sekolah."Shaqina menoleh dan tersenyum. Menyatukan jari telunjuk dan jempol hingga membentuk bulatan. "Salam untuknya. Katakan jangan terlalu posesif sama undanya." Keduanya tertawa bersamaan mengingat Fatih yang sering kali sewot tiap kali Shaqina mengajak Bunga keluar sekedar untuk menghibur diri.*****Sebelum pulang kantor, Kamila dan Purnama menyempatkan bertemu dengan Rudy terkait permintaannya tadi pagi. Keduanya duduk di salah satu kafe tempat janjian mereka.Kamila sudah lebih dulu memegang map laporan yang didapat Rudy. Matanya membulat sempurna ketika mengetahui jumlah uang yang dikeluarkan oleh seseorang. "Di mana orang ini melakukan transaksi?""Sesuai informasi yang disampaikan teman saya. Dia melakukan transaksi di sebuah Yayasan pendidikan. Ibu mengenal baik siapa pemilik tempat tersebut. Termasuk Pak Yusuf, karena kepala yayasan dan salah satu kepala sekolahnya adalah sahabat karib beliau.""Katakan siapa. Jangan berbelit-belit." Purnama mulai hilang kesabaran."Sabar, Pa." Kamila mengusap lembut lengan sang suami. Walau dia sendiri penasaran, siapa orang yang dimaksud. "Katakan! Supaya kami bisa menindaklanjuti masalah ini.""Pak Irsan Fauzy. Salah satu sahabat baik Pak Yusuf. Seseorang itu telah mentransfer uang sebanyak itu ke sekolah yayasan milik keluarganya. Besar kemungkinan uang tersebut digunakan untuk biaya sekolah anak pemegang kartu itu.""Bisa kamu cari tahu, berapa usia anak itu dan siapa orang yang menggunakan uang di rekening ini?""Sampai sore ini, saya belum bisa meretas CCTV sekolah tersebut, Pak. Mungkin butuh banyak waktu untuk melakukannya."Purnama dan Kamila saling pandang. Di kepala mereka ada banyak asumsi yang bermunculan saat ini. Jika Yusuf saja tidak mengingat ke mana kartu itu. Hilang atau sengaja dia berikan pada seseorang."Kapan saya bisa mendapatkan informasi itu? Saya tunggu kabar darimu, Rud." Purnama mulai penasaran dengan orang yang sudah berani menggunakan uang putranya untuk kepentingan dia sendiri."Beri saya waktu tiga hari. Saya pastikan akan mendapat informasi serta wajah orang itu.""Aku tunggu kabar darimu." Purnama memberikan amplop cokelat pada Rudy. Sementara, Kamila masih membaca keseluruhan informasi yang diberikan lelaki bertato itu.Tak jauh berbeda dengan kedua, Yusuf juga bertemu dengan seseorang terkait uang yang keluar dari tabungannya."Tetap bergerak secara rahasia dan jangan sampai ada yang tahu. Sebelum aku mengetahui siapa wanita ini," perintah Yusuf pada orang suruhannya.Tak lama kemudian, putra tunggal Purnama itu menghubungi seseorang. "Bisa kita bertemu besok?""Tumben, ada masalah apa? Kalau cuma mau dengerin curhatan tentang istrimu yang menyebalkan, aku tidak ada waktu.""Aku butuh informasi darimu.""Informasi apa?""Besok saja. Aku tidak bisa menceritakan di telpon. Terlalu banyak pasang mata yang mengawasi.""Terserah. Besok aku sedikit sibuk. Temui aku di sekolah sebelum jam masuk.""Gila, dikira aku mau sekolah apa!" bentak Yusuf.Lawan bicara Yusuf terbahak sebelum kemudian mematikan sambungan secara sepihak.Pagi-pagi sekali, Bunga sudah menyiapkan bekal untuk Fatih, sedangkan ibunya tengah menyapu. Si kecil sendiri, tengah mandi saat ini.Fatih terbiasa melakukan semua hal sendirian sejak berumur empat tahun. Bocah itu begitu pengertian melihat orang tua serta neneknya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing setiap hari. Hal itu kini cukup meringankan bundanya.Setengah jam kemudian, Fatih keluar dengan dandanan yang sudah rapi. "Unda, aku sudah siap berangkat ke sekolah." Bocah itu memutar-mutar badannya memperlihatkan seragam serta tas baru yang kemarin diberikan pihak sekolah.Bunga memperhatikan si kecil dengan sangat detail, dari ujung kaki hingga kepala. Namun, ketika matanya menatap dasi, seketika tawa menguar."Unda kenapa ketawa?" Mata Fatih menyipit. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Bukannya berhenti, Bunga malah mengeraskan tawa. Fatih mulai mengerucutkan bibir dengan kaki menghentak-hentak. Bunga pun menyadari kesalahannya dan sebisa mungkin menghentikan tawa. "Say
Irsan mendelik mendengar perintah Yusuf. Belum juga hilang rasa terkejut dan kekepoannya, tangan sang sahabat sudah lebih dulu menghapus rekaman CCTV pada jam tersebut. "Kamu kenapa, Suf?" Irsan mulai panik melihat butiran keringat yang bermunculan di wajah sahabatnya. "Ambilkan obatku, San," suruh lelaki dengan kulit kuning langsat. Yusuf menunjuk jas yang tadi dilepas dan ditaruh di sofa.Tanpa banyak pertanyaan, Irsan dengan cepat mengambil Jaz hitam dan merogoh setiap sakunya demi menemukan obat yang dibutuhkan. "San, cepat sedikit," ucap Yusuf. Suaranya terdengar lemah, bergetar seakan seluruh tenaganya habis.Memberikan obat yang dibutuhkan, Irsan mengambilkan sahabatnya air putih. "Apa masih sering terjadi seperti ini?""Sudah lama tidak terjadi, tapi ada satu kondisi yang tidak bisa aku prediksi." Yusuf merebahkan tubuhnya pada sofa dibantu Irsan. "Tolong jangan katakan apa pun jika Papa dan Mama bertanya." Perlahan kesadaran Yusuf menghilang, matanya mulai terpejam. Irsan
"Kenapa terkejut seperti itu, San? Apakah permintaan Tante terlalu berat untukmu?" Irsan menelan ludah, tersenyum kecut ketika tatapan Kamila dirasa terlalu menakutkan. Lalu, lelaki yang masih betah menjomblo di antara ketiga sahabatnya itu menganggukkan kepala. "Boleh, Tan. Silakan saja jik ingin melihat rekaman CCTV.""Bisa kamu tunjukkan rekaman di jam sembilan," pinta Kamila dengan wajah serius."Bisa, Tan." Irsan mulai menghidupkan layar rekaman CCTV di komputer yang ada di mejanya.Kamila mendekat dan mengamati setiap gerakan yang terekam oleh CCTV. Mata awas melihat semua adegan di dalamnya. Namun, tak satu pun yang bisa memuaskan rasa ingin tahunya. "Putar lebih awal bisa, San. Rekaman sebelum jam yang Tante sebutkan tadi."Irsan kembali mematuhi permintaan Kamila. Dia memutar sejak gerbang sekolah dibuka oleh Satpam. Kamila menatap layar monitor lebih saksama. Beberapa orang tua berdatangan mengantarkan anak mereka untuk mendaftar. Senyum perempuan paruh baya itu terbit.D
Hari berganti, Yusuf dan Kamila berlomba-lomba mencari tahu siapa sebenarnya Bunga dan Fatih. Beberapa kali bahkan perempuan paruh baya itu sengaja mendatangi sekolah Irsan, hanya untuk bertemu dengan Fatih secara diam-diam. Beberapa kali bahkan senngaja membelikan aneka makanan ringan untuk bocah menggemaskan itu. Tiap kali selesai bertemu dengan Fatih, Kamila akan merasakan kebahagiaan yang tidak bisa digambarkShan.Seperti siang ini, Kamila mendatangi kantor sang suami setelah melihat Fatih dan membelikan mainan bocah lucu nan menggemaskan berkulit kuning langsat dengan lesung pipi. Istri Purnama itu bahkan sempat merekam dan mengambil potret ketika Fatih bermain bersama teman-temannya. Ketika tak mendapati sang suami berada di ruangannya, Kamila memutar video rekaman yang didapatnya tadi.Tawa menguar ketika Fatih membagikan makanan yang diberi oleh Kamila pada beberapa sahabatnya. Si kecil bahkan dengan riangnya membuka mainan yang dibawakan dan memainkannya dengan semua sahabat.
Purnama menarik pergelangan sang istri, lalu mengajaknya sedikit menjauh dari riuhnya pesta yang digelar untuk memperingati ulang tahun pernikahan Yusuf."Jaga ucapanmu, jangan sampai Papa murka," bisik Purnama memperingati sang istri.Kamila bergeming. Sama sekali tidak merasa bersalah atau menyesal dengan perkataannya tadi. Bibirnya terbungkam karena otak tengah berpikir. Sementara di belakang keduanya, Jafar mengikuti pasangan tersebut dengan wajah penuh kecewa pada menantunya. "Bawa istrimu menjauh dari pesta ini sebelum orang lain mendegar perkataannya yang tidak mengenakkan," titah sang kepala keluarga yang setiap ucapannya tidak bisa dibantah oleh siapa pun."Iya, Pa," jawab Purnama patuh. Setelah sang pemegang tahta tertinggi di keluarga Prayoga kembali pada Adhisti dan Yusuf. Barulah lelaki paruh baya itu membawa istrinya.Sang pemilik pesta tak menghiraukan perkataan Kamila tadi. Yusuf bahkan langsung disibukkan dengan banyaknya ucapan selamat dari para koleganya. Sama sepe
Happy Reading*****Kamila mengubah posisi duduknya, menyamping dan menghadap sang suami. Meletakkan kedua tangannya di atas telapak tangan Purnama. Lelaki itu pasti syok, sama seperti dirinya beberapa tahun silam. Namun, kasih sayang sebagai seorang ibu, harus bisa menguatkan putranya. Keluarga tidak boleh mengetahui kelemahan Yusuf satu itu. Oleh karena itulah, Kamila memilih menyembunyikan semuanya. Pengakuan kehamilan Adhisti sudah merubah janji Kamila untuk tetap merahasiakan masalah Yusuf. Sekarang, dia tidak takut lagi jika keluarga lain mengetahui. Biarlah anggota Prayoga lainnya tahu, siapa sebenarnya menantu pilihan Jafar. Naluri sebagai Ibu menolak pengkhianatan yang dilakukan sang menantu. "Rekam medis itu memang milik Yusuf. Maaf, Mama sengaja menyembunyikan semua ini. Berharap akan datang suatu keajaiban yang membuat kita semua bahagia. Mama juga meminta dokter menyembunyikan semua ini." Kamila menjeda kalimatnya dan menatap sang suami yang masih terlihat syok.Perempu
Happy Reading*****Di ballroom hotel acara pesta ulang tahun perkawinan Yusuf berlangsung. Lelaki itu tersenyum penuh kebahagiaan. Sudah lama kabar kehamilan sang istri dinantikan. Walau sampai saat ini belum timbul cinta pada perempuan tersebut. Namun, lelaki itu sudah berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakan wanitanya."Terima kasih, Dhis. Kamu sudah memenuhi impian dan harapan Eyang serta keluarga ini," ucap Yusuf tulus. Tak sungkan, lelaki itu merangkul wanitanya dengan sangat mesra. Berusaha menutupi bagian punggung yang terekspos, membuat mata semua tamu lelaki menatapnya penuh kagum. Yusuf sama sekali tak menyukai hal itu."Sama-sama, Mas." Bibir Adhisti mungkin menjawab perkataan sang suami, tetapi matanya mengarah pada Yudhistira yang kini tengah dikerubungi wanita-wanita cantik. "Mas, aku sapa teman-teman di sana, ya. Sudah lama tidak bertemu mereka."Yusuf menganggukkan kepala, tetapi sebelum sang istri pergi, dia mencegah. "Pakai ini." Melepas jas yang dikenakan. "Ja
Happy Reading*****Fatih berteriak ketika melihat Yusuf hampir terjatuh ke lantai. Beruntung ada salah satu pelayan yang menolong. Beberapa orang mulai berkerumun, sedangkan Bunga lebih memilih meninggalkan pesta itu.Cukup sudah rasa sakitnya, perempuan itu telah menunggu begitu lama akan datangnya pertemuan dengan sang suami. Namun, saat takdir menghampiri dan mempertemukan mereka, kenyataan pahit bahwa Muhammad Yusuf Prayoga sudah beristri menghantam seluruh keyakinan Bunga semua akan baik-baik saja ketika perjumpaan itu tiba.Ingin rasanya menumpahkan segala kesedihan saat itu juga, tetapi di sampingnya ada Fatih yang harus di jaga perasaan dan suasana hatinya. Bunga memilih diam, bungkam bahkan ketika sang putra bertanya macam-macam tentang percakapannya dengan Yusuf tadi."Biarkan Unda tenang. Setelah itu, Unda pasti akan menceritakan hal yang sebenarnya. Sekarang, kita harus pulang karena taksi yang Unda pesan sudah datang. Ayo masuk," ajak Bunga pada Fatih. Memilih patuh pad