Share

3. Kalut

Pagi-pagi sekali, Bunga sudah disibukkan dengan Fatih. Bocah kecil yang belum genap berumur lima tahun itu ribut sejak sebuah untuk menyiapkan keperluan sekolahnya. Fatih sangat antusias memulai harinya yang baru.

"Nda, nanti berangkatnya naik apa?" tanya Fatih.

"Naik motor, Sayang." Bunga mengambil tas dan memanggil ibunya untuk berangkat.

"Memangnya Unda sudah beli?" Fatih bahkan sampai mendongak dan memiringkan kepala untuk mendengar jawaban Bunga.

Mencubit pelan pipi balita gembul itu, Bunga pun menjawab, "Sudah, dong. Memangnya Fatih nggak tahu? Motornya, kan, kemarin sore dianter sama pihak dealer."

Si kecil menggelengkan kepala. "Nenek kok nggak ngasih tahu Fatih kalau Unda beli motor?" Menatap pada neneknya yang sudah rapi dengan gamis batik baru.

"Fatih kemarin tidur pas motornya datang. Udah, yuk berangkat. Semakin banyak pertanyaan, Bundamu akan semakin lama berangkat kerjanya."

Mengangguk patuh, si kecil pun mengikuti langkah bunda dan neneknya ke luar rumah. Selama perjalanan menuju sekolah, Fatih terus saja bertanya tentang ini dan itu. Dia memang sosok anak yang ceria dengan keingintahuan besar.

Bunga sengaja memilih sekolah yang direkomendasikan salah satu sahabatnya. Sebuah sekolah milik yayasan yang cukup terkenal. Keponakan sahabatnya itu bersekolah di sana.

Memasuki gerbang sekolah, Bunga di hadang oleh satpam. "Maaf, Mbak. Di sini tidak diperbolehkan menawarkan makanan atau sejenisnya. Lingkungan sekolah sudah menyediakan semua fasilitas tersebut dan pastinya dengan tingkat kebersihan serta kehigienisan yang terjaga." Lelaki dengan seragam putih hitam itu berkata dengan sangat ketus.

Bunga menghentikan laju motor dan menegakkan dongkraknya. "Maaf, Pak. Saya nggak menawarkan apa pun, tapi ingin mendaftarkan putra saya di sekolah ini. Bukankah hari ini adalah hari pertama anak-anak masuk sekolah setelah liburan naik kelas." Kata-katanya masih sopan dan rendah. Bunga sudah terbiasa diremehkan oleh orang lain karena penampilannya.

Lelaki dengan kumis tebal serta kulit cenderung gelap itu meneliti tampilan Bunga dari atas ke bawah termasuk kendaraan yang dia gunakan. Menyunggingkan sebelah bibir, si satpam berkata. "Mbak yakin menyekolahkan anaknya di sini? Lihat itu," tunjuknya pada deretan mobil mewah yang terparkir rapi. "Tidak ada satu pun wali murid yang membawa motor untuk mengantar anaknya ke sekolah ini. Mbak mampu bayar biaya sekolah yang tinggi?"

"Jangan meremehkan, Pak. Tampilan kami mungkin sederhana, tapi kami mampu menyekolahkan anak kami di sini. Bukan begitu, Nduk?" tanya sang Ibu pada Bunga.

Sedikit gentar, Bunga pun menganggukkan kepala. Walau sampai saat ini, ayah kandung Fatih belum menemuinya dan memberikan nafkah. Namun, Bunga sudah berjanji bahwa dia akan memberikan yang terbaik untuk sekolah putra semata wayangnya.

"Ya, sudah kalau kalian memaksa. Tapi, saran saya sebaiknya tidak di sekolahkan di sini. Sekalian ini kan sekolah bertaraf internasional, biayanya selangit. Ibarat kata, ya, biaya setahun di sekolah ini bisa digunakan oleh anak Mbak sampai masuk SMP nanti." Seperti terpaksa, satpam itu mempersilakan mereka untuk masuk.

Fatih turun dari motor dituntun sang nenek, sedangkan Bunga mulai was-was memikirkan biaya sekolah yang dikatakan satpam tadi. Melirik mobil yang terparkir rapi, Bunga memastikan harganya tidak ada yang murah.

Body mobil kinclong, belum ada goresan sama sekali. Plat nomor pun rata-rata dengan nomor cantik. Bunga menghela napas panjang dan berharap semoga pilihannya tidak salah demi masa depan putranya.

"Ayo, Bu. Kita masuk." Melangkah sambil berdoa, Bunga menuju loket pendaftaran untuk anak sekolah TK.

Menunggu antrian, Bunga duduk di deretan bangku yang disediakan. Setiap anak datang bersama kedua orang tuanya kecuali Fatih.

"Unda, Ayah kapan pulang? Aku juga pengen diantar sekolah kayak mereka," tunjuk Fatih pada salah satu anak perempuan yang bergandengan tangan dengan kedua orang tuanya ketika berjalan.

Bunga dan ibunya menatap arah telunjuk si kecil. Mata yang mulai berkaca-kaca, keduanya melempar pandangan ke segala arah. Walau tanpa bicara, hati mereka seakan diiris pisau tajam. Luka yang belum sepenuhnya mengering itu harus mereka sembunyikan dari si kecil.

"Nanti Unda telpon ayah dan tanyakan kapan libur. Suatu saat nanti, ayah pasti datang dan mengantar sekolah asal Fatih pintar dan menjadi anak baik," terang Bunga  disertai elusan pada rambut putranya.

Nomor antrian yang dipegang Bunga terpanggil. Gegas wanita berkerudung itu menuju loket pendaftaran. Menyodorkan map yang dibawa pada petugas.

Beberapa menit setelah semua dicatat oleh petugas. Seorang pria yang bertugas selanjutnya memberikan rincian biaya yang harus dibayar oleh Bunga. Alangkah terkejutnya wanita itu ketika mengetahui jumlah keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan untuk sekolah Fatih.

"Pak, semua biaya ini harus saya bayarkan sekarang atau bisa dicicil?" tanya Bunga hati-hati dan cukup lirih.

Pria itu menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Menatap Bunga dari ujung kaki hingga kepala. "Jika ibu keberatan dengan biaya tersebut, sebaiknya putranya tidak disekolahkan di sini. Masih banyak yang mau sekolah di sini dengan biaya sebesar itu dan mereka langsung melunasinya."

"Pak, saya nggak mengatakan keberatan dengan biaya ini. Tapi, bertanya apakah bisa dicicil atau tidak?" Bunga mencoba untuk tidak emosi dengan sikap meremehkan pria itu. Bukankah sejak awal dia datang ke sekolah ini, perlakuan tersebut sudah didapatkannya.

"Tidak bisa, Bu. Kecuali Ibu menunjukkan surat rekomendasi dan warga tidak mampu. Maka, pihak sekolah akan berusaha memberikan keringanan."

Jantung Bunga berpacu dengan cepat. Dia mulai berkeringat. Bagaimana dia akan meminta surat keterangan warga tidak mampu jika dia sendiri bukanlah penduduk di tempat tinggalnya sekarang. KTP yang dia miliki masih penduduk kabupaten tempatnya lahir.

Menoleh pada ibunya, Bunga terlihat kalut. Biaya sekolah itu sangat tinggi bagi dirinya bahkan seluruh tabungan yang dia persiapkan tidak ada separuhnya untuk melunasi uang sekolah tersebut.

"Nek, Unda kenapa sedih?" tanya Fatih yang menyadari keadaan bundanya.

"Nenek nggak tahu, Sayang. Sebaiknya kita samperin bundamu."

Keduanya berdiri dan melangkah menuju Bunga.

"Unda, kenapa?" tanya Fatih. Tangannya menarik-narik gamis Bunga.

Berjongkok di hadapan putranya, Bunga berkata, "Fatih suka nggak sama sekolah ini? Kalau nggak suka, kita bisa cari sekolah lain." Setelahnya, dia menatap ke arah sang ibu.

"Fatih suka banget sekolah di sini, Nda. Tempatnya besar dan banyak arena bermain." Jari telunjuk si kecil sudah mengarah pada beberapa permainan yang di sediakan sekolah tersebut.

"Ada apa, Nduk? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa  sekolah ini paling bagus untuk perkembangan pendidikan Fatih?"

"Iya, Bu. Cuma ...." Bunga pun membisikkan sesuatu.

"Eh, Bu. Bagaimana? Malah asyik ngobrol sendiri. Masih banyak yang antri. Kalau memang keberatan cabut saja berkas pendaftaran anaknya," kata lelaki yang bertugas itu.

"Unda," panggil Fatih. Si kecil kembali menarik gamis Bunga. Kelopak mata yang begitu jernih itu kini terlihat dipenuhi genangan kabut.

Bunga tak tahan lagi melihat segala kesedihan dan kekecewaan putranya. Meneguhkan hati, dia mengambil dompet dan menyerahkan kartu ajaib pada pria yang memanggilnya tadi.

"Semoga ini jalan terbaik. Maafkan aku, Mas. Menggunakannya tanpa meminta izin terlebih dahulu," ucap Bunga dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status