Pagi-pagi sekali, Bunga sudah disibukkan dengan Fatih. Bocah kecil yang belum genap berumur lima tahun itu ribut sejak sebuah untuk menyiapkan keperluan sekolahnya. Fatih sangat antusias memulai harinya yang baru.
"Nda, nanti berangkatnya naik apa?" tanya Fatih."Naik motor, Sayang." Bunga mengambil tas dan memanggil ibunya untuk berangkat."Memangnya Unda sudah beli?" Fatih bahkan sampai mendongak dan memiringkan kepala untuk mendengar jawaban Bunga.Mencubit pelan pipi balita gembul itu, Bunga pun menjawab, "Sudah, dong. Memangnya Fatih nggak tahu? Motornya, kan, kemarin sore dianter sama pihak dealer."Si kecil menggelengkan kepala. "Nenek kok nggak ngasih tahu Fatih kalau Unda beli motor?" Menatap pada neneknya yang sudah rapi dengan gamis batik baru."Fatih kemarin tidur pas motornya datang. Udah, yuk berangkat. Semakin banyak pertanyaan, Bundamu akan semakin lama berangkat kerjanya."Mengangguk patuh, si kecil pun mengikuti langkah bunda dan neneknya ke luar rumah. Selama perjalanan menuju sekolah, Fatih terus saja bertanya tentang ini dan itu. Dia memang sosok anak yang ceria dengan keingintahuan besar.Bunga sengaja memilih sekolah yang direkomendasikan salah satu sahabatnya. Sebuah sekolah milik yayasan yang cukup terkenal. Keponakan sahabatnya itu bersekolah di sana.Memasuki gerbang sekolah, Bunga di hadang oleh satpam. "Maaf, Mbak. Di sini tidak diperbolehkan menawarkan makanan atau sejenisnya. Lingkungan sekolah sudah menyediakan semua fasilitas tersebut dan pastinya dengan tingkat kebersihan serta kehigienisan yang terjaga." Lelaki dengan seragam putih hitam itu berkata dengan sangat ketus.Bunga menghentikan laju motor dan menegakkan dongkraknya. "Maaf, Pak. Saya nggak menawarkan apa pun, tapi ingin mendaftarkan putra saya di sekolah ini. Bukankah hari ini adalah hari pertama anak-anak masuk sekolah setelah liburan naik kelas." Kata-katanya masih sopan dan rendah. Bunga sudah terbiasa diremehkan oleh orang lain karena penampilannya.Lelaki dengan kumis tebal serta kulit cenderung gelap itu meneliti tampilan Bunga dari atas ke bawah termasuk kendaraan yang dia gunakan. Menyunggingkan sebelah bibir, si satpam berkata. "Mbak yakin menyekolahkan anaknya di sini? Lihat itu," tunjuknya pada deretan mobil mewah yang terparkir rapi. "Tidak ada satu pun wali murid yang membawa motor untuk mengantar anaknya ke sekolah ini. Mbak mampu bayar biaya sekolah yang tinggi?""Jangan meremehkan, Pak. Tampilan kami mungkin sederhana, tapi kami mampu menyekolahkan anak kami di sini. Bukan begitu, Nduk?" tanya sang Ibu pada Bunga.Sedikit gentar, Bunga pun menganggukkan kepala. Walau sampai saat ini, ayah kandung Fatih belum menemuinya dan memberikan nafkah. Namun, Bunga sudah berjanji bahwa dia akan memberikan yang terbaik untuk sekolah putra semata wayangnya."Ya, sudah kalau kalian memaksa. Tapi, saran saya sebaiknya tidak di sekolahkan di sini. Sekalian ini kan sekolah bertaraf internasional, biayanya selangit. Ibarat kata, ya, biaya setahun di sekolah ini bisa digunakan oleh anak Mbak sampai masuk SMP nanti." Seperti terpaksa, satpam itu mempersilakan mereka untuk masuk.Fatih turun dari motor dituntun sang nenek, sedangkan Bunga mulai was-was memikirkan biaya sekolah yang dikatakan satpam tadi. Melirik mobil yang terparkir rapi, Bunga memastikan harganya tidak ada yang murah.Body mobil kinclong, belum ada goresan sama sekali. Plat nomor pun rata-rata dengan nomor cantik. Bunga menghela napas panjang dan berharap semoga pilihannya tidak salah demi masa depan putranya."Ayo, Bu. Kita masuk." Melangkah sambil berdoa, Bunga menuju loket pendaftaran untuk anak sekolah TK.Menunggu antrian, Bunga duduk di deretan bangku yang disediakan. Setiap anak datang bersama kedua orang tuanya kecuali Fatih."Unda, Ayah kapan pulang? Aku juga pengen diantar sekolah kayak mereka," tunjuk Fatih pada salah satu anak perempuan yang bergandengan tangan dengan kedua orang tuanya ketika berjalan.Bunga dan ibunya menatap arah telunjuk si kecil. Mata yang mulai berkaca-kaca, keduanya melempar pandangan ke segala arah. Walau tanpa bicara, hati mereka seakan diiris pisau tajam. Luka yang belum sepenuhnya mengering itu harus mereka sembunyikan dari si kecil."Nanti Unda telpon ayah dan tanyakan kapan libur. Suatu saat nanti, ayah pasti datang dan mengantar sekolah asal Fatih pintar dan menjadi anak baik," terang Bunga disertai elusan pada rambut putranya.Nomor antrian yang dipegang Bunga terpanggil. Gegas wanita berkerudung itu menuju loket pendaftaran. Menyodorkan map yang dibawa pada petugas.Beberapa menit setelah semua dicatat oleh petugas. Seorang pria yang bertugas selanjutnya memberikan rincian biaya yang harus dibayar oleh Bunga. Alangkah terkejutnya wanita itu ketika mengetahui jumlah keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan untuk sekolah Fatih."Pak, semua biaya ini harus saya bayarkan sekarang atau bisa dicicil?" tanya Bunga hati-hati dan cukup lirih.Pria itu menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Menatap Bunga dari ujung kaki hingga kepala. "Jika ibu keberatan dengan biaya tersebut, sebaiknya putranya tidak disekolahkan di sini. Masih banyak yang mau sekolah di sini dengan biaya sebesar itu dan mereka langsung melunasinya.""Pak, saya nggak mengatakan keberatan dengan biaya ini. Tapi, bertanya apakah bisa dicicil atau tidak?" Bunga mencoba untuk tidak emosi dengan sikap meremehkan pria itu. Bukankah sejak awal dia datang ke sekolah ini, perlakuan tersebut sudah didapatkannya."Tidak bisa, Bu. Kecuali Ibu menunjukkan surat rekomendasi dan warga tidak mampu. Maka, pihak sekolah akan berusaha memberikan keringanan."Jantung Bunga berpacu dengan cepat. Dia mulai berkeringat. Bagaimana dia akan meminta surat keterangan warga tidak mampu jika dia sendiri bukanlah penduduk di tempat tinggalnya sekarang. KTP yang dia miliki masih penduduk kabupaten tempatnya lahir.Menoleh pada ibunya, Bunga terlihat kalut. Biaya sekolah itu sangat tinggi bagi dirinya bahkan seluruh tabungan yang dia persiapkan tidak ada separuhnya untuk melunasi uang sekolah tersebut."Nek, Unda kenapa sedih?" tanya Fatih yang menyadari keadaan bundanya."Nenek nggak tahu, Sayang. Sebaiknya kita samperin bundamu."Keduanya berdiri dan melangkah menuju Bunga."Unda, kenapa?" tanya Fatih. Tangannya menarik-narik gamis Bunga.Berjongkok di hadapan putranya, Bunga berkata, "Fatih suka nggak sama sekolah ini? Kalau nggak suka, kita bisa cari sekolah lain." Setelahnya, dia menatap ke arah sang ibu."Fatih suka banget sekolah di sini, Nda. Tempatnya besar dan banyak arena bermain." Jari telunjuk si kecil sudah mengarah pada beberapa permainan yang di sediakan sekolah tersebut."Ada apa, Nduk? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa sekolah ini paling bagus untuk perkembangan pendidikan Fatih?""Iya, Bu. Cuma ...." Bunga pun membisikkan sesuatu."Eh, Bu. Bagaimana? Malah asyik ngobrol sendiri. Masih banyak yang antri. Kalau memang keberatan cabut saja berkas pendaftaran anaknya," kata lelaki yang bertugas itu."Unda," panggil Fatih. Si kecil kembali menarik gamis Bunga. Kelopak mata yang begitu jernih itu kini terlihat dipenuhi genangan kabut.Bunga tak tahan lagi melihat segala kesedihan dan kekecewaan putranya. Meneguhkan hati, dia mengambil dompet dan menyerahkan kartu ajaib pada pria yang memanggilnya tadi."Semoga ini jalan terbaik. Maafkan aku, Mas. Menggunakannya tanpa meminta izin terlebih dahulu," ucap Bunga dalam hati.Happy Reading*****Kegagalan meneguk indahnya malam pertama setelah sekian lama keduanya terpisah membuat Bunga begitu canggung saat ini. Walau berkali-kali Yusuf mengatakan tidak masalah, tetapi tetap saja perempuan itu merasa bersalah. Di saat sang suami sedang berada di puncak gairahnya terpaksa harus padam karena tamu bulanan Bunga datang lebih awal."Sini, Sayang," panggil Yusuf menepuk bagian pahanya."Mas, ih. Aku kan nggak bisa itu.""Tidak masalah. Walau tidak bisa masak kamu mau jauhi Mas, Yang.""Maaf, ya, Mas. Aku sudah membuatmu kecewa.""Tidak masalah, Sayang. Kita bisa mengulangnya di lain waktu. Mau jalan-jalan ke luar? Besok, kita pasti sibuk dan tidak memiliki kesempatan untuk berduaan.""Gimana bisa keluar kalau kuncinya saja dibawa Mama, Mas."Yusuf menepuk kening. Lupa jika seluruh keluarganya telah mengurung mereka di kamar tersebut. "Jadi, apa yang harus kita lakukan saat ini.""Nggak ada," jawab Bunga. Perempuan itu sengaja menjauhi sang suami. Duduk di sofa,
Happy Reading*****Sore sekitar pukul enam, keluarga Prayoga sudah berada di kediaman mereka. Tak membuang waktu lagi, Yusuf dilarikan ke rumah sakit tempat sang dokter praktek. Ada banyak harapan dari seluruh anggota keluarga tersebut atas kesembuhan Yusuf. Pemeriksaa panjang dan melelahkan akan segera mereka hadapi setelah Yusuf masuk ke ruang sang dokter. "Unda, Ayah sebenarnya sakit apa?" tanya si mungil yang sejak tadi berusaha menahan rasa ingin tahunya karena semua orang dewasa sibuk membicarakan sang ayah. "Ayah nggak sakit, Sayang. Cuma kelelahan saja.""Apa Ayah bekerja terlalu berat? Bisakah Fatih membantu pekerjaan Ayah supaya nggak kelelahan lagi seperti sekarang?"Kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir mungil itu terdengar oleh Purnama dan Jafar. Keduanya lantas tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng. "Apa Ayah harus membawanya ke kantor sejak dini," ujar Jafar pada sang putra. "Lebih cepat lebih baik. Fatih itu persis Yusuf. Semangatnya untuk membantu p
Happy Reading*****Pletak .... Satu sentilan mendarat di kening sang direktur yang terkenal pandai dan selalu berhasil dalam bisnisnya. Namun, entah mengapa pikirannya menjadi buntu ketika dihadapkan pada persoalan asmara. "Apa?" kata Yusuf tak terima diperlakukan kurang ajar oleh sahabatnya."Kamu memang tidak mengingat tragedi pelecehan itu atau pura-pura bodoh. Mana mungkin aku menyukai istri sahabatku sendiri. Yang benar saja, tunanganku sekarang sudah amat sangat sempurna," seloroh Irsan. Dia masih mengawasi Bunga. Takut perempuan itu berbuat nekat jika langsung menolong.Yusuf terdiam beberapa saat, memaksa memorinya untuk mengingat semua kejadian yang telah terlewat. Berhasil, kenangan demi kenangan beberapa hari lalu serta seluruh kejadian bagaimana keluarganya mengenal Bunga hadir dalam ingatan. Namun, menit berikutnya lelaki itu merasakan kepalanya berputar."San, tolong!" ucap Yusuf lirih.Irsan menoleh pada sahabatnya dan segera berteriak sekencang mungkin memanggil nam
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, setelah melakukan salat subuh berjemaah dengan para sahabatnya. Yusuf dan Bunga dikejutkan dengan kehadiran Purnama beserta seluruh keluarga besar keluarga Prayoga termasuk putra mereka. Kemarin malam, setelah melakukan panggilan video dan mengetahui kondisi kesehatan Yusuf, mereka sekeluarga tidak bisa duduk diam ataupun tidur nyenyak.Jafar bahkan langsung meminta asisten pribadinya untuk memesan tiket penerbangan ke Bali. Malam itu juga, lewat tengah malam, mereka sekeluarga menyusul Bunga."Eyang, Papa?" ucap Yusuf dengan bola mata terbuka sempurna. Detik berikutnya, lelaki itu melirik sang istri. "Eyang, aku bisa jelaskan siapa Bunga."Yusuf mengajak rombongan keluarganya masuk dan duduk di sofa. Para sahabatnya melihat dari jarak yang tidak begitu jauh sambil menggelengkan kepala."Ayah, kenapa nggak mau nyapa? Fatih kangen." Bukannya Jafar atau Purnama yang menjawab pertanyaan lelaki tampan itu, tetapi seorang anak kecil. Yusuf mengerutkan
Happy Reading*****Bunga menatap panik pada sang suami. Dia telah berteriak minta tolong pada dua sahabat ayahnya Fatih. Namun, Yusuf masih tetap berteriak dan berjalan ke tengah pantai.Entah apa yang terjadi dengan sang suami. Padahal, Bunga cuma ingin mengambil kerang dan segera kembali ke sisi Yusuf saat ombak yang datang terlihat sangat besar. Akan tetapi, sng suami malah berteriak keras memperingatkan dan berlari ke tengah pantai."Berhenti, Suf. Ada apa denganmu?" tanya Fawas. Sekuat tenaga, lelaki itu mengejar. Irsan dan Shaqina bahkan menghentikan kegiatan pemotretan karena takut terjadi sesuatu dengan sahabatnya."Ya Allah, Mas. Kamu kenapa sebenarnya?" kata Bunga. Dia terus berteriak memanggil Yusuf. Pergerakannya kalah cepat karena tubuh mungil si wanita.Ombak yang begitu besar menghantam Yusuf. Beruntung, Fawas sudah memegang tangan lelaki itu. Mereka berdua terseret beberapa meter ke tengah pantai. "Suf, sadar," ucap Fawas. Lelaki itu terpaksa menampar sahabatnya. Pan
Happy Reading*****Kelima rombongan Aghista pun melihat ke arah pandang ibu satu anak tersebut. Yusuf bahkan dengan cepat menutup mata sang istri dengan tangannya, sedangkan Shaqina terpaksa harus memalingkan muka. Malu sekali dengan adegan dua orng dewasa di depan mereka saat ini. "Cih, belum ada satu menit mengatakan akan melindungi Bunga dari gangguan lelaki manapun, tapi kelakuannya yang sekarang sungguh memalukan," kata Irsan. "Namanya bajingan, selamanya tidak akan pernah berubah," tambah Shaqina cukup keras hingga dua orang yang sedang melakukan adegan dewasa berciuman tersebut menoleh. Mata Damar membulat sempurna bahkan dia langsung mendorong perempuan yang tadi menjadi partner ya berciuman. "Jangan salah paham Bunga," kata Damar, "kamu tahu siapa dia. Sejak dulu, dia sudah mengejarku. Entah bagaimana dia bisa tahu, aku sedang ada kerjaan di sini.""Untuk apa kamu menjelaskan semua itu pada kekasihku?" tanya Yusuf. Tangannya sudah disingkirkan dari wajah sang istri."Mas
Happy Reading*****Bunga menatap suaminya yang tersenyum ketika melihat ekspresi terkejut Damar. "Mas, kamu nggak melakukan hal-hal menakutkan seperti janjimu tadi, kan?" tanya Bunga. Dia, hanya ingin memastikan bahwa suaminya tidak bertindak apa pun juga saat ini. Sungguh, keluarga Prayoga itu sangat menakutkan jika sudah merasa disakiti atau terancam. Seperti kasus Yudhistira dan Adhisti. Sepupu Yusuf itu, tega memasukkan si ibu hamil ke penjara berserta ayahnya sendiri. Padahal jelas-jelas mereka sudah meminta maaf. Kejadian pelecehan beberapa waktu lalu juga membuat Jafar marah besar. Lelaki sepuh tersebut bahkan meminta putrinya untuk bercerai dengan Iskandar. Tidak ada toleransi jika menyangkut nama baik dan rasa sakit yang dialami keluarga Prayoga. Semua harus dibayar sepadan. Sungguh, melihat wajah semringah sang suami. Bunga khawatir dengan keadaan Damar. Bukan karena dia menaruh hati pada lelaki tersebut, tetapi lebih kepada rasa kemanusiaan. "Hal-hal menakutkan gimana
Happy Reading*****"Kekanakan bagaimana?" jawab Damar, "aku cuma ingin melindungimu dari lelaki tidak baik ini."Kalimat Damar membuat Yusuf membulatkan mata. "Kita baru sekali bertemu. Jangan menyimpulkan sesuatu yang belum kamu ketahui kebenarannya," ucap suami Bunga. "Kebenaran apalagi yang perlu aku ketahui. Ekspresi wajah Bunga, jelas sangat tidak nyaman dengan perlakuanmu," jawab Damar. Masih kukuh dengan pendapat awal yang dilihatnya tadi. "Diam, Mar. Kamu terlalu jauh mencampuri urusan pribadiku," sahut Bunga. Kilat amarah itu jelas ditampakkan olehnya pada lelaki yang sejak tadi berusaha mendekatinya."Hah!" ucap sang lelaki sedikit terkejut dengan protes yang Bunga lakukan. "Kamu tidak perlu takut seperti itu, Bunga. Aku selalu siap ketika ada lelaki yang mengganggumu." Suara Damar mulai meninggi membuat orang-orang di dalam pesawat melihat ke arah mereka bertiga.Shaqina yang duduk dua kursi di belakang Yusuf dan Bunga, meminta ijin pada Irsan. "Permisi, Mas.""Mau ke ma
Happy Reading*****"Hai, Sayang. Kenapa berhenti?" ucap Yusuf tak tahan melihat sikap si lelaki yang cari-cari perhatian pada istrinya.Bunga tersenyum menatap sang suami. "Mas, kenalkan. Ini sahabat kami bertiga pas masih SMA dulu.""Hmm," jawab Yusuf tanpa berniat untuk berjabat tangan. Bunga menyadari sikap tidak suka yang ditunjukkan sang suami. Dia pun menggandeng tangan Yusuf posesif. "Mar, kenalin dia ini ....""Saya calon suaminya," ucap Yusuf. Tampang sengaja dibuat mode dingin. "Oh, rupanya sudah punya clon suami. Aku kira kamu masih sendiri." Sengaja mengedipkan sebelah mata, lelaki itu seakan memancing emosi Yusuf. "Kenalkan, saya Damar. Salah satu direksi sekaligus Direktur dari Akasurya Grup."Fawas menarik garis bibir. Seolah mengejek nama perusahaan yang disebutkan barusan. "Jika kamu mengaku direktur Akasurya Grup, lalu siapa Ganandra?""Nah, benar. Tidak perlu sok ngaku-ngaku, deh. Ganandra itu adalah direktur utama Akasurya Grup," tambah Irsan. Dia sengaja merapa