Share

Putri Kecil CEO dari Masa Depan
Putri Kecil CEO dari Masa Depan
Penulis: Moone

Bab 1

Rafli bersiap di kamarnya untuk ke kantor seperti biasa. Sembari mengenakan kemeja biru tua, matanya tertuju pada layar ponsel. Beberapa pesan muncul begitu ia menonaktifkan airplane mode

Astrid: Jangan lupa hari ini jam 11. Kalau sampai lupa, gue bakal makan soto Bogor di ruangan lo!

Rafli berdecak. Ia benci dengan beberapa makanan yang memiliki bau menyengat dan mencemari udara di ruangannya. Ia benci ketika orang mengubah posisi barang yang sudah ia tata sedemikian rupa. Ia benci ketika seseorang membuatnya menunggu lama. Ada banyak hal yang ia benci di dunia ini, tapi satu hal yang ia benci dan juga membencinya. 

Anak-anak. 

Rafli tidak ingat sejak kapan hal itu terjadi. Namun, yang jelas sampai detik ini ia tidak pernah tersenyum satu kali pun ketika melihat bayi atau anak-anak yang menggemaskan di saat semua temannya tertawa dan berteriak girang. Begitu pun dengan semua anak-anak yang bertemu dengannya akan merasa tidak nyaman atau bahkan menangis karena takut.

Ayah: Hari ini lebih dingin di Lembang. Kamu lagi siap-siap ke kantor ya? Semangat!

Sudut bibir Rafli sedikit terangkat saat membaca pesan dari Ayah. Bagi Rafli, ayahnya adalah sosok yang paling ia sayang dan hormati di dunia ini. 

Ia pun memakai jam tangannya lalu mulai membalas semua pesan sambil menunggu roti matang dari toaster. Setelah selesai sarapan, Rafli mengendarai mobilnya pergi ke rumah sakit untuk menjenguk salah satu istri rekannya dari perusahaan yang baru saja melahirkan. Begitu sampai di rumah sakit, Rafli berjalan menuju ruang rawat rekannya sambil membawa keranjang buah dan bingkisan. 

Di lorong depan ruang perawatan bayi, tampak seorang pria dan wanita paruh baya sedang mengamati seorang bayi dalam ruang perawatan lewat jendela.

“Wah lihat! Wajahnya mirip aku kan Bu?” tanya seorang pria dengan senyum lebar sambil melihat anaknya di ruang perawatan bayi. 

“Iya nak. Ah, lihat dia senyum karena tahu dijenguk papanya,” jawab seorang wanita lanjut usia di sebelahnya. 

Semua bayi tampak tenang di perawatan bayi. Bahkan ada yang tersenyum begitu suster mengecek keadaannya atau ketika orang tua mereka melihat dari balik kaca. Namun, begitu Rafli berjalan melewati lorong, satu per satu bayi mulai menangis. Beberapa orang tua dan suster yang menjenguk pun kaget dan heran akan apa yang terjadi. 

Rafli tidak peduli dan terus berjalan. Ia bahkan merasa jengah mendengar tangisan bayi dan mempercepat langkahnya. Kalau harus memilih suara ayam dan tangisan bayi sepanjang hari, Rafli akan dengan yakin memilih suara ayam. 

*** 

Setelah mengetuk, Rafli memasuki sebuah ruang rawat dan melihat Doni dengan istrinya yang duduk di ranjang rumah sakit sambil menggendong anak mereka. Rafli mencoba tersenyum sedikit dan mengucapkan selamat. 

“Selamat atas kelahiran anak pertama Don. Maaf kemarin gue belum sempat datang dengan yang lain,” ucap Rafli.

“Duh, Raf enggak usah repot-repot datang. Lo kan lagi sibuk ngurus proyek di Kemang sama tender bandara,” jawab Doni ramah.

“Selamat ya Mbak,” ucap Rafli pada istri Doni.

“Makasih banyak ya.. Maaf jadi merepotkan harus ke sini segala,” ucap istri Doni yang sedang menggendong bayinya.

Rafli hanya tersenyum sekilas tanpa melihat anak Doni sedikit pun. Ia cenderung menghindarinya dan menjaga jarak.

“Oh iya ini ada sedikit bingkisan buat anak dan istri lo,” kata Rafli sambil mengulurkan tangannya memberikan bingkisan buah dan kado yang ia bawa.

“Ehm, Raf,” panggil Doni.

“Ya?”

“Lo ngapain berdiri jauh amat di dekat pintu deh? Majuan dikit sini. Gue sama istri gue enggak lagi terinfeksi virus berbahaya kok,” canda Doni.

Rafli pun maju satu langkah.

“Elah, maju lagi sini. Enggak enak banget jauh-jauhan,” ajak Doni. 

Rafli melangkah lagi dan saat di langkah kelima, anak Doni yang semula tidur terlelap pun bangun dan menangis. Istri Doni kaget dan berusaha menenangkan putranya. 

“Loh nak, kok tiba-tiba nangis? Tadi kan baru saja dikasih susu,” gumam istri Doni bingung. 

Dengan cepat Rafli menyerahkan keranjang buah dan kado yang ia bawa ke tangan Doni lalu mundur kembali. Doni tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya dan menaruh keranjang buah di atas meja. 

Karena merasa menjadi penyebab sang bayi menangis, Rafli pun pamit pergi.

“Sorry Don, gue harus langsung cabut.”

“Loh kok langsung pergi? Duduk dulu Pak Rafli nanti biar Doni beliin kopi atau makanan dulu,” kata istri Doni. 

“Enggak perlu Mbak, makasih. Saya juga harus segera ke tempat lain. Saya permisi dulu kalau begitu. See you Don,” ujar Rafli menepuk pundak Doni sekilas lalu pergi.  

“Ih kok temannya baru datang enggak ditahan dulu sih? Enggak enak kan kita masa enggak nyuguhin apa-apa,” tegur sang istri kepada Doni. 

“Karena kalau dia enggak pergi, anak kita enggak akan berhenti nangisnya,” jawab Doni masih tersenyum simpul.

Istri Doni pun baru sadar kalau putranya perlahan sudah berhenti menangis dan kembali tertidur. 

“Loh, kok bisa gitu?” tanya sang istri heran. 

“Enggak tahu. Dari dulu si Rafli terkenal enggak suka sama anak-anak. Tapi, kalau cowok enggak suka anak-anak kan itu udah biasa, ya. Nah, masalahnya ini anak-anak juga pada takut sama dia. Enggak ngerti kenapa. Banyak yang bilang katanya Rafli ditempelin setan jadi anak-anak pada takut pas lihat dia.”

“Hush! Jangan sembarangan kalau ngomong. Kamu mau enggak dikasih proyek lagi sama Rafli?”

“Tapi, emang kenyataannya kayak gitu. Makanya dia enggak pernah nerima proyek yang berhubungan sama anak-anak kayak desain interior sekolah atau bahkan kamar anak,” jelas Doni. 

“Dia enggak mau punya anak gitu suatu hari nanti? Udah punya pacar belum sih?”

Doni menggeleng dan tertawa sekilas, “Jangankan punya anak, aku aja ragu dia bakal nikah. Pacarannya aja sama vacuum cleaner.”

Satu kantor sudah tahu kebiasaan Rafli. Daripada pergi berkencan, Rafli lebih suka menghabiskan waktunya bersih-bersih di rumah atau di kantor. Di saat teman-teman prianya terobsesi membeli sepatu atau mobil paling keren, Rafli justru paling semangat saat melihat jenis vacuum cleaner terbaru dan tercanggih. 

*** 

Astrid mengamati pantulan dirinya di cermin. Matanya mengamati setiap detail pada gaun putih yang ia kenakan. Setelah bergerak-gerak kecil dan berputar-putar beberapa kali, ia pun berbalik dan berkacak pinggang. 

“Menurut lo gimana?” tanya Astrid pada Rafli yang sedang duduk sambil sibuk sendiri dengan ponselnya. 

“Hm, bagus,” jawab Rafli singkat setelah melihat lalu kembali menatap layar ponsel.

Astrid menghembuskan napas kasar lalu menjentikkan jarinya di depan mata Rafli. 

“Gue minta lo ke sini buat ngasih pendapat tentang gaun gue, bukan buat mantengin hp lo,” tegur Astrid kesal. 

“Otak gue udah terlalu capek buat mikir. Kemarin habis ngelembur,” komen Rafli beralasan.

“Ck, abis ini gue traktir di restoran all you can eat,” kata Astrid mencoba menyogok.

Rafli nyengir. 

Fine. Bagian neckline-nya terlalu ke bawah. Dimas enggak bakal suka. Badan lo enggak begitu tinggi jadi lebih bagus kalau modelnya yang bukan ball-gown biar lo enggak tenggelam. Lo juga enggak akan bisa gerak bebas kalau ekor gaunnya terlalu panjang. Mending enggak usah pilih yang ada ekornya segala. Bikin ribet. Coba pilih yang embroidery atau bunga-bunganya itu lebih penuh jadi terlihat lebih feminim. Warnanya jangan yang putih pucat. Pilih yang putih gading biar lebih cocok sama warna kulit lo.”

Mendengar pendapat Rafli yang panjang lebar, Astrid pun tersenyum puas. 

“Nah, Mba dengar kan apa kata teman saya? Saya mau gaun kira-kira kayak yang teman saya bilang tadi,” ujar Astrid pada penjaga toko. 

“Baik Mba, mohon tunggu sebentar saya coba carikan dahulu.”

Astrid mengangguk dan tersenyum sekilas lalu menghadap Rafli kembali. Astrid ingin memberikan kejutan saat hari pernikahannya dengan Dimas nanti berupa gaun pengantin yang ia gunakan. Karena itulah ia mengajak Rafli untuk membantunya memilih gaun yang kira-kira akan disukai Dimas karena Rafli sudah mengenal calon suaminya sejak lama. Rafli tahu betul bagaimana selera Dimas, bahkan lebih tahu dibandingkan dengan dirinya.

“Aah enaknya punya teman kritis macam lo,” gumam Astrid lalu duduk di samping Rafli. 

“Ngomong-ngomong, itu rambut enggak mau diwarnain warna normal sebelum nikah?” tanya Rafli. 

Astrid mengelus-elus rambut pendek berwarna biru toscanya, “Ini warna normal tahu! Dimas bilang dia suka kok warna rambut gue.” 

“Hm,” Rafli berdeham, “Gue kira lo bakal milih gaun warna hitam.”

Astrid tertawa. Ia juga awalnya ingin seperti itu. Astrid tidak memiliki baju berwarna putih kecuali satu kemeja yang ia pakai saat dulu untuk sidang skripsi dan seragam sekolah. Astrid suka dengan warna-warna gelap seperti hitam dan ungu tua. Ia suka berpakaian dengan gaya gothic karena cocok dengan citranya yang suka dengan hal-hal mistis. Astrid bahkan bisa melihat makhluk-makhluk ghaib dan aura yang dimiliki seseorang. 

Tak lama setelah Astrid tertawa, sebuah bola menggelinding mengenai sepatu Rafli. Seorang balita berlari mengejar bolanya dan perlahan menatap Rafli yang juga menatapnya dengan tatapan datar. 

Tanpa menunggu lama, balita itu menangis yang membuat ibunya berlari menghampirinya. 

“Hei kenapa? Kok nangis? Nih bolanya enggak kenapa-kenapa kok,” ujar sang Ibu yang kebingungan. 

“Duh maaf ya mas, mba..” ucap sang Ibu yang tak enak karena anaknya membuat kebisingan dengan suara tangisan. 

“Iya enggak apa-apa. Coba dibawa keluar aja dulu. Mungkin adeknya bosan di dalam terus,” saran Astrid dengan maksud agar si anak tidak dekat-dekat dengan Rafli. 

Si Ibu pun menurut dan membawa anaknya keluar toko. Astrid langsung tertawa sambil menepuk pundak Rafli beberapa kali. 

“Gue enggak nyentuh loh ya,” sungut Rafli mengangkat kedua tangannya. 

“Raf, jangankan disentuh. Tatapan lo aja udah nusuk buat bocah itu.”

Rafli berdecak dan melipat kedua tangannya di dada. 

“Oh iya! Gue tadi pagi sempat baca ramalan. Katanya minggu ini keuangan sama percintaan buat zodiak Pisces bagus loh. Mau gue kenalin sama teman UKM gue waktu di kampus nggak? Gue punya firasat bagus kali ini beneran deh!”

“Enggak. Gue nggak tertarik. Lagian gue enggak percaya sama ramalan konyol kayak gitu. Enggak masuk akal.”

Astrid mencebikan bibirnya, “Kadang-kadang ramalan zodiak suka benar tahu. Kita kan bisa ambil yang baiknya aja biar ngasih energi positif ke diri kita.”

“Omong kosong,” balas Rafli ketus.

“Ish. Dasar kepala batu.”

“Lo enggak punya teman cewek buat bantu lo pilih gaun apa? Kenapa harus gue sih?”

“Lo tahu sendiri 90% populasi cewek dari dulu enggak tahan sama gue. Satu-satunya teman cewek yang gue punya cuma Nadia,” jawab Astrid menghela napas, “Well, gue sih menganggap Nadia sebagai teman gue. Enggak tahu kalau dianya anggap gue sebagai apa,” tambah Astrid tersenyum miring.

Rafli tidak menjawab dan kembali memainkan ponselnya. Astrid pun kembali mencoba beberapa gaun yang akhirnya mendapat approval dari Rafli. 

Sejak dulu hampir semua teman Rafli mencoba menjodohkannya dengan berbagai macam wanita. Ada satu atau dua orang yang sempat berhasil hingga mereka pacaran, tapi tidak bertahan lama. Kebanyakan mundur karena menganggap Rafli bukan tipe family man dan sangat tertutup sehingga sulit didekati. Apalagi dengan sikap jutek Rafli dan kebiasaan bersih-bersihnya yang membuat banyak cewek merasa tidak nyaman, membuat Rafli tidak pernah menjalani hubungan lebih dari 2 bulan 4 hari. Rafli pun mengaku tidak tertarik sama sekali untuk menikah, apalagi memiliki anak.  

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status