Hening menyelimuti percakapan mereka. Tak ada kata-kata lagi. Hanya tarikan napas panjang yang terdengar dari kedua sisi.Emily merasa kasihan dengan Kelvin, dia tidak mencintai Alika, bahkan Emily telah berpikir jika kehamilan Alika juga adalah salah satu kelicikan juga."Baiklah. Jaga dirimu baik baik. Aku akan menutup telponnya." Sebelum Emily menjawab, Kelvin sudah menutup panggilan.Apapun yang telah terjadi, ini semua tidak bisa diubah. Saat ini Emily hanya bisa mendoakan jalan terbaik untuk mereka.**Hari-hari berlalu.Emily hidup penuh kedamaian dengan bergelimang kasih sayang dari Felix yang semakin membesar. Tidak peduli Alika yang kembali hadir mengganggu, tidak peduli Mentari yang tiba-tiba kembali.Felix hanya menatap Emily.Pagi hari, Felix telah bangun terlebih dahulu. Dia menyiapkan segala sesuatu untuk Emily sendiri. Seperti air hangat untuk mandi dan sarapan untuk Emily.Felix akan melakukan ini setiap pagi, tidak akan pergi sebelum Emily mandi dan sarapan dengan ba
"Mau bagaimana lagi? Satu-satunya yang punya gaun itu cuma Alika. Dan itu sudah jelas." Ken menambahkan."Tuan, saya—""Sudahlah. Aku harus menemani Emily."Ken hanya bisa mengangguk lalu pergi meninggalkan ruangan.Felix melangkah masuk ke dalam kamar. Ia tidak melihat Emily di sana. Saat terdengar suara air dari kamar mandi, barulah ia sadar kalau Emily sedang mandi. Ia pun duduk di sofa, membiarkan pikirannya melayang.Tujuh tahun silam, saat musim gugur yang terasa dingin menusuk tulang, Felix diculik dan dikurung dalam gudang tua di dalam hutan Hyde Lis.Seorang gadis kecil menemukannya. Setiap hari memberinya makan sepotong roti dan air minum kemasan. Setelah beberapa hari diberi makan Felix mendapatkan kekuatan untuk bangun dan kabur. Namun sayangnya dia ketahuan, dan dikejar oleh para penculik. Dia berlari tanpa arah dan sembarangan.Tanpa sadar, kakinya tersandung dan ia jatuh tepat di rel kereta api. Luka menganga di tangan dan kakinya. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya
"Aku sudah bilang aku nggak mau pergi! Aku sedang menunggu Presdir Lewis! Kalau pun aku harus pergi sekarang, Presdir Lewis pasti akan memanggilku kembali. Saat itu dia akan mempertanyakan sikapmu, karena akulah yang sudah menyelamatkannya. Dan kamu? Kamu memperlakukan penyelamatnya dengan sangat tidak pantas."Emily merasakan kepalanya mendadak pusing. Ketegangan yang terus berlanjut dengan Alika mulai mengganggu kesehatannya. Apalagi sekarang, dia tengah mengandung. Dia tidak bisa mengambil risiko.Kalau Alika ingin cari masalah, biarlah dia sendiri yang menghadapinya. Emily sudah terlalu lelah untuk melayani drama ini."Kalau begitu, silakan tunggu di sini. Aku nggak bisa terus menemanimu." Emily melangkah pergi.Namun Alika berseru, "Emily! Kamu nggak boleh pergi! Temani aku! Aku ini penyelamat kalian, seharusnya kalian patuh padaku!"Entah kenapa, sorot mata Alika terlihat berbeda—seolah ada rasa puas terselubung di balik kata-katanya. Emily mendadak punya firasat tidak enak. Apa
Emily tertegun, namun segera menyadari: Alika berani bersikap seperti itu karena berlindung di balik nama Presdir Lewis, suaminya. Tanpa dukungan itu, mana mungkin dia bisa sesombong ini?“Suamiku sedang tidak di rumah. Dia sibuk bekerja. Jadi, sebaiknya kamu pulang saja. Aku mau istirahat,” ucap Emily datar, berusaha mengakhiri percakapan.Namun Alika malah berteriak, “Aku akan menunggunya di sini! Jangan berani mengusirku!Kamu ini benar-benar tidak tahu diri. Tanpa aku, suamimu itu mungkin sudah jadi mayat sekarang. Aku penyelamatnya! Maka, layani aku dengan baik! Sekarang juga, buatkan aku teh!”Emily menarik napas panjang. Meski hatinya menolak, dia sadar bahwa ucapan Alika tidak sepenuhnya salah. Perempuan itu memang pernah berjasa.Akhirnya Emily menyerah, lalu hendak memanggil pelayan. Tapi Alika menahan, “Bukan pelayan! Kamu sendiri yang harus membuatnya!”Tak ingin berdebat, Emily berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan nampan berisi teko teh hangat
Saat itulah dia melihat Tuan Tua Widjaja sudah berdiri di ujung anak tangga.“Kakek!” serunya bahagia sekaligus canggung. Sejak menikah, ini adalah kali pertama kakek datang mengunjungi mereka.Dan ternyata kakek tidak datang sendirian. Di belakangnya, beberapa pelayan mengangkat keranjang berisi makanan bergizi dan buah-buahan segar.Dengan wajah hangat, kakek menatap Emily, lalu pandangannya turun ke arah perutnya.“Emily... Akhirnya kamu hamil juga. Syukurlah… Tak lama lagi, Felix akan memiliki penerus sekaligus pewaris keluarga Widjaja. Kamu benar-benar anugerah, Emily.”Ia menunjuk ke arah makanan yang dibawa pelayan. “Itu semua untukmu. Makanlah yang bergizi. Jangan sampai kamu kekurangan.”Emily benar-benar terharu. Rupanya kehamilannya membawa sukacita bukan hanya untuk dirinya dan Felix, tapi juga untuk kakek.“Terima kasih banyak, Kek. Aku tahu, ini semua juga karena doa dan usaha Kakek. Mari duduk dulu,” ucap Emily, lalu menggandeng tangan kakek ke ruang tamu. Sementara itu
Mendengar suster menyebut nama Felix dengan panggilan Presdir Lewis, para pengunjung yang tengah menunggu di ruang tunggu langsung menoleh penuh terkejut.“Hah?! Dia Presdir Lewis? Pengusaha terkenal itu?”Baru sekarang mereka menyadari bahwa pria yang sejak tadi duduk bersama mereka ternyata adalah tokoh ternama pemilik Lewis Group.“Ya ampun! Berita itu ternyata benar! Presdir Lewis benar-benar mencintai istrinya. Sampai-sampai rela ikut antre demi menemani istrinya ke dokter kandungan!”“Dokter kandungan? Jadi… maksudnya…”“Hah! Apa ini artinya?”“Nyonya Lewis mungkin sedang mengandung!”Ruangan itu pun menjadi ramai oleh bisik-bisik kagum dan kegembiraan yang tak tersembunyikan.Seorang pria yang sempat bercakap dengan Felix tampak ternganga. Ia sama sekali tak menyangka, pria ramah yang diajaknya berbicara tadi adalah Presdir Lewis."Kalau tahu dia Felix Lewis, pasti tadi aku sudah minta selfie. Siapa tahu anak dalam kandungan istriku ikut tertular suksesnya!"Sementara itu, Feli