Felix menatap dingin pada Alika dan Lydia secara bergantian.
“Aku hanya sedang mencari kamar mandi. Karena semua orang sedang sibuk dan tidak ada yang bisa kutanyai, jadi aku pergi sendiri dan aku tersesat. Tidak tahunya malah melihat pemandangan buruk seperti ini.” Alika membeku, “Aku–” “Apa begini sifat calon istri pilihan Kelvin Widjaja? Kasar dan tidak punya sisi kelembutan. Benar-benar tidak pantas masuk ke keluarga Widjaja.” Alika tercengang dengan kata-kata Felix Widjaja. Lalu Lydia buru-buru menjelaskan, “Tuan Felix, Alika tidak bersalah. Justru ini kesalahannya.” Dia menunjuk ke arah Emily. Emily tertegun. Dia juga masih terkejut karena kemunculan pria ini yang tiba-tiba. “Apa yang dia lakukannya sampai Nona Alika ingin menamparnya?” Felix menoleh pada Emily yang hanya terdiam. Alika berkata, “Dia sudah menumpahkan jus pesanan Kelvin.” Felix menoleh kembali ke arah Emily, “Benar begitu?” Emily menggeleng, “Aku tidak melihatnya. Aku benar-benar tidak sengaja.” Felix kembali pada Alika dan berkata, “Dia tidak sengaja. Lagipula itu hanya sebuah jus. Suruh saja pelayan menggantinya, tidak perlu harus menamparnya.” “Tapi dia sudah mengotori gaunku. Padahal acara pertunanganku saja belum di mulai.” Alika masih ngotot menyalahkan Emily. “Acaranya masih belum dimulai, kan? Kamu bisa pergi untuk berganti. Kelvin tidak akan lari. Jangan katakan kalau seorang putri dari keluarga Juwanda hanya memiliki satu gaun saja?” Wajah Alika memerah. Kali ini dia menahan harus emosi. Dia tidak bisa berdebat dengan Felix Widjaja. Itu hanya akan menurunkan kesan baiknya di hadapan keluarga Widjaja. Lidya juga berpikir demikian. Alika tidak boleh terlihat buruk sedikitpun di depan Felix Widjaja. Lalu dia meraih lengan Alika dengan lembut dan berkata, “Benar Alika, kamu punya banyak gaun bagus seperti ini. Ayo ganti saja.” Alika tidak bisa berkata-kata, dia hanya mengepalkan tangannya dan pergi mengikuti Lidya. Begitu mereka pergi, Emily ingin mengucapkan terima kasih pada pria itu. Tetapi belum sempat membuka mulutnya, pria itu merogoh ponselnya yang berdering dan berjalan menuju balkon. Mungkin dia ingin menjawab panggilan. Emily berkedip. Dia harus tetap mengucapkan terima kasih pada pria itu. Jika dia tidak datang menengahinya dengan Alika, mungkin Emily hanya akan mendapatkan amukan besar dari Alika dan Lidya. Dia sebenarnya tidak takut, hanya saja merasa sangat malu. Kemudian dia memutuskan untuk menyusul pria itu. Tiba di balkon, dia memperhatikan sosok Felix Widjaja yang berdiri di sana dan sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Begitu pria itu menyadari jika ada orang yang sedang memperhatikannya, dia langsung menutup telepon dan menoleh. Jantung Emily berdebar. Belum sempat menenangkan jantungnya, tiba-tiba terdengar suara pria itu. “Nona, kenapa kamu ikut kemari?” Suaranya terdengar sangat dekat. Tapi yang membuat Emily terkejut, suara itu benar-benar mirip dengan suara Felix. Hanya berbeda nada saja. Begitu Emily menoleh, dia melihat sosok itu sudah berdiri di sampingnya, hanya dengan jarak beberapa senti saja. Emily tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Dia berusaha untuk tenang, padahal dadanya berdebar kencang. Dia tidak tahu kenapa dadanya tiba-tiba berdebar. Atau mungkin karena wajah pria itu memang benar-benar mirip dengan suaminya. “Oh, itu. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas bantuanmu tadi.” jawabnya dengan gugup. “Tidak masalah. Hanya seperti itu.” Pria itu berkata dengan nada datar. Wajahnya juga tampak tanpa ekspresi, bahkan tidak ada senyum sedikitpun. “Tapi ngomong-ngomong, sepertinya aku pernah melihatmu. Apa kita memang pernah bertemu sebelum ini?” Emily kembali terkejut, “Tidak. Mungkin Anda mungkin hanya salah lihat. Kita belum pernah bertemu di mana-mana selain di sini.” “Baiklah, kalau begitu. Bagaimana kalau kita berkenalan?” Emily tercengang saat pria itu mengulurkan tangannya. “Maaf, aku sudah menikah. Berkenalan dengan pria lain, itu sepertinya kurang baik. Bukankah anda juga sudah menikah?” “Oh,” Felix perlahan menurunkan tangannya yang menggantung di udara. Lalu dia bertanya, "Boleh aku tahu siapa nama suamimu?" "Sepertinya itu bukan urusan Anda. Kalau begitu, aku permisi.” Selesai mengatakan itu, Emily segera berbalik badan dan pergi dari sana. Felix menatap punggung Emily. Bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis. Felix merasa jika Emily adalah gadis yang berbeda dengan gadis lainnya. Ini sangat menarik! Felix melangkah di belakang Emily. Tetapi dia tidak mengejar Emily. Setelah keluar dari rumah Keluarga Juwanda, dia segera menaiki mobil dan langsung pergi setelah mengucapkan beberapa patah kata pada asistennya. Asisten pribadinya kembali ke ruang tamu, tempat ia disambut oleh keluarga Juwanda. Tadi saat akan turun, Alika tidak sengaja melihat Emily dan Felix Widjaja berbicara di balkon. Dia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi dia melihat Emily sangat menempel pada Felix. Sekarang dia melihat Emily pergi dan Felix Widjaja juga pergi dengan mobilnya, dia segera bertanya, "Kenapa Tuan Felix pergi? Apa ada yang menyinggung perasaannya?" Asisten pribadi itu tersenyum tipis. "Tuan Felix ada urusan yang harus dihadiri dan harus pergi lebih awal. Bisakah Anda memberitahu para orang tua di rumah Nona Juwanda?” Alika segera mengangguk, mengantar asisten itu dengan sopan. Acara pertunangan dan makan siang akhirnya selesai, selesai dan keluarga Widjaja berpamitan. Setelah melepas tamu, Tomi merasa khawatir. "Kenapa tadi Tuan Felix tiba-tiba pergi sebelum acara selesai? Apa kita melakukan sesuatu yang membuatnya kesal?" Saat memikirkan apa yang tadi dilakukan Emily padanya, dan bagaimana sikap Felix Widjaja terang-terangan membelanya, Alika mengepalkan tangannya. Matanya berkedip. "Ayah, aku tadi melihat Emily mengganggu Tuan Felix saat di balkon. Tuan Felix sepertinya sangat marah. Itu sebabnya dia pergi, dan dia meninggalkan pesan.” "Pesan apa?" "Tuan Felix bilang, dia ingin Anda mendisiplinkan anak perempuan Anda dengan baik." Alika menggigit bibirnya. "Dengan Emily berperilaku seperti itu, mereka pastí mengira kalau Ayah tidak mendisiplinkan anak dengan baik." Wajah Tomi Juwanda memucat karena marah.Sesampainya di rumah, Rania dibuat terkejut. Meja makan penuh dengan hidangan hangat: sup ayam ginseng, tumis sayuran, ikan bakar, dan bahkan puding mangga kesukaannya.“Ini... kamu yang pesan?” Rania meliriknya curiga.Aaron duduk santai, melepas jasnya, lalu menggulung lengan kemejanya. “Aku yang masak.”Rania menahan tawa. “Jangan bercanda. Mana mungkin CEO yang sibuk bisa masak seperti ini.”“Tanya saja pada koki keluarga. Aku belajar beberapa menu sederhana.” Aaron menatapnya serius. “Aku ingin kamu makan makanan yang benar, bukan hanya instan atau camilan.”Hati Rania seperti tersengat. Dia ingin menyangkal, tapi perhatiannya yang kecil itu begitu nyata. Dengan malas ia duduk, lalu mulai menyendok sup ayam ginseng. Rasanya hangat, lembut, dan entah kenapa ini membuat perasaannya agak aneh.Aaron memperhatikan dengan seksama. “Bagaimana?” tanyanya.Rania berdehem, berusaha menyembunyikan perasaannya. “Lumayan.”Aaron tersenyum puas, lalu menambahkannya dengan lembut, “Kalau kamu
"Suamimu akan membantumu mengambil pakaian." Aaron berkata sambil mengeluarkan sebuah gaun dari lemari, "Pakailah ini."Rania melihatnya, itu adalah gaun kuning angsa yang dia beli bersama Mirna.Gaun itu memang bagus, tapi terlalu panjang dan desain kerahnya juga terlalu tinggi.Bukankah tidak nyaman jika pergi ke kelas mengemudi dengan gaun seperti itu?"Cukup." Hanya kata itu yang diucapkan Aaron, dan Rania langsung menundukkan kepalanya. Dia melemparkan bajunya dengan marah lalu berbalik dan kembali berbaring, "Aku tidak mau ke kelas!""Sangat menjengkelkan!"Aaron mengangkat alisnya, "Benar nih tidak mau pergi?""Iya.""Bagus kalau begitu."Detik selanjutnya... "Ahhhhhhhh aku pergi, bisakah aku pergi?" Rania segera mengambil gaun itu, dan memakainya."Bagus." Aaron terlihat sangat puas. "Setelah mandi, pergilah ke bawah untuk sarapan."Setelah 10 menit, Rania bersiap-siap dan turun ke bawah dengan menggunakan tas kecil. Dari jauh, tercium bau lezat.Rania melihat meja makan yang
"Kak Aaron." Suara wanita dari seberang telepon memanggil dengan lembut, "Besok, aku akan berada di pesawat yang sama dengan Ziyang, akan ku kirimkan nomor penerbangan saat aku sudah mendaftar."Rania bertanya, "Siapa kamu?"Wanita di seberang telepon itu terdiam."Halo? Kenapa diam?"Masih belum ada jawaban dari wanita itu, tiba-tiba telepon langsung ditutup.Rania meletakkan handphone itu lalu menatap Aaron yang sedang mabuk, dia terus bertanya-tanya.Wanita tadi memanggilnya Kak Aaron, "Intim sekali, dia bukan cinta lama suamiku kan?""Ck, apa cinta lamanya akan datang menemuinya?"Seperti menyadari sesuatu, Aaron mulai bertingkah angkuh, "Sayang, bantu aku mandi.""Mandi? Mau mandi kan?" Rania tersenyum jahat.Dia berjalan ke kamar mandi dan menyalakan air. Setelah beberapa saat, dia keluar dengan baskom berisi air dingin dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menyiramkan air itu ke Aaron.Aaron yang masih terkapar di kasur langsung bangun dan membuka mata. Rania sangat senan
Jangankan Ken, sebagai perempuan dia juga berpikir kalau kata "sayang" sangatlah menjijikan.Rania berbicara dengan nada yang kasar dan terlihat kesal, "Menyusahkan, Besok aku harus bangun pagi-pagi, dan sekarang sudah lebih dari jam sebelas. Cepat bangun, ayo pulang denganku!"Aaron sangat jarang kehilangan kesabarannya, ia meraih tangan Rania dan berdiri di atas sofa. Dengan seketika dia memeluk gadis kecil itu dengan beban yang lebih dari 50 kilogram, "sayang, kenapa kamu terlambat datang?"Rania merasa semakin kesal, dia mengerutkan kening dan mencoba membantunya keluar, tapi yang terjadi malah..."Aku bertanya, tapi kamu tidak menjawab, suamimu ini akan menghukummu."Tiga orang lain yang ada di ruangan itu tertawa dan membuat Rania semakin merasa malu serta marah, "Kamu sengaja kan pura-pura mabuk?""Sayang kamu tidak sopan. Jangan keluarkan kata-kata kotor lagi."Wajah Rania kembali memerah, dia hanya bisa membisikkan peringatan kepadanya, "Kalau begitu kamu tidak boleh berbicar
Rnia turun setelah bus sampai di pusat kota, lalu dia harus naik bus umum. Karena terlambat, Aaron mengirim pesan teks, [Sayang, kamu sudah pulang?] Rania membalas, [Masih lima halte lagi.] [Kenapa kamu tidak naik taksi?] [Tidak ada uang.] Kemudian tidak ada balasan dari Aaron. Tapi beberapa detik kemudian dia mendapat notifikasi dari bank. Rania terlihat senang, dan segera memeriksa. "Sialan!" "100 ribu?" "hhmm, bos perusahaan Widjaja hanya mengirim uang segitu kepada istrinya?" "Dasar pelit!" Jelas terlihat, Rania sangat kesal sampai berteriak, "Kurang ajar". Dia pun mengirim pesan, [Aku ingin memukulmu sampai mati] Karena masih belum merasa lega. Baru saja dia ingin mengirim lagi [Aku akan membunuhmu suami sialan] Aaron membalas dengan stiker "senyum" Melihat stiker itu, Rania seperti melihat pria itu menatapnya dengan tajam dan dalam... Dia pun takut, dan langsung buru-buru menghapus stiker terakhir itu dan menggantinya dengan "Berlutut dan berterima k
Setelah kelas mengemudi itu selesai dan Rania sudah pergi, staf itu segera pergi ke samping untuk mengambil ponselnya dan menekan nomor, "Halo, asisten Li.” “...” "Ya, Rido sudah dipindahkan. Saya menjadi satu-satunya pelatih wanita di sekolah mengemudi ini untuk melatih Nona Rania. Sekarang Nona Rania sudah di kelas." "Pasti, pasti, sama-sama.” Karena ingin segera mendapatkan SIM-nya, Rania mendaftar banyak kelas selama beberapa hari terakhir ini. Dia mengikuti kelas dari pukul 10:00 hingga 11:30 pagi, lalu istirahat dan makan, kemudian pukul 1:00 siang sudah harus masuk kelas lagi.Cuaca di akhir Agustus sangatlah panas.Terutama pada pukul dua atau tiga sore, matahari bersinar sangat terik. Bahkan di dalam mobil ber-AC pun, Rania tetap saja tidak tahan.Akhirnya waktu istirahat tiba. Rania pun pergi ke kafe dan memesan segelas besar es teh susu. Baru saja dia duduk dan minum seteguk, terdengar dua gadis di meja sebelah yang sedang bergosip, "Wow, lihat pria tampan itu?""Apa d