Emily menumpangi sebuah taksi dan pulang ke kontrakannya.
Dalam perjalanan pulang, dia merasa agak gelisah saat teringat pertemuannya dengan pria yang di pesta tadi. Lalu dia mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Samuel. Meminta bantuan temannya itu untuk mengetahui informasi tentang Felix Widjaja. Setelah mengirim pesan, Emily merasa agak menyesal. Kenapa dia harus penasaran dengan pria itu? Bukankah dia sudah menikah. Seharusnya dia tidak boleh penasaran dengan pria lain. Tapi, Ketika memikirkan jika dia sudah menikah, dia tersenyum geli. Pernikahan macam apa itu? Terlalu kilat. Selain karena kerjasama, tidak ada alasan lain yang mendasari pernikahan mereka. Saat dia sedang tenggelam dalam pikirannya, ponselnya berdering. Saat menjawab, dia mendengar suara, Samuel, di seberang telepon. "Kamu menanyakan siapa Felix Widjaja? Ada urusan apa dengannya?” “Tidak. Aku hanya penasaran saja. Tadi orang itu datang ke pesta pertunangan Alika. Orang-orang menyebutnya tamu agung.” “Kalau menurutku, adikmu itu kan bertunangan dengan keluarga Widjaja. Jadi wajar saja kalau Tuan Felix ikut menghadiri pesta.” “Ya, sepertinya begitu.” Sebelum Emily menutup panggilan, Samuel kembali berkata,”Felix Widjaja adalah cucu pertama dari putra tertua keluarga Widjaja. Orang tuanya sudah meninggal sejak dia anak-anak. Menurut rumor, dia sempat diculik. Setelah berhasil ditemukan, dia lalu dikirim ke luar negri. Dia hanya pernah pulang sekali saat ulang tahun neneknya. Setelah itu dia tidak pernah kembali lagi. Perjodohannya juga sudah diatur oleh kakeknya. Tapi, dia tiba-tiba kembali ke negara ini secara tak terduga minggu lalu, menggunakan cara yang kejam untuk memaksa paman dan bibinya pensiun dan mengambil alih kontrol Grup Widjaja. Aku tidak tahu apakah itu hanya rumor semata atau beneran.” Setelah hening beberapa detik, Samuel kembali berbicara. “Kabar terbaru, hari ini Felix Widjaja baru saja menikah secara diam-diam sebelum pergi ke vila keluarga Juwanda. Entah apa maksudnya dengan pernikahan diam-diamnya itu. Tapi orang-orang menduga, dia melakukan pernikahan itu hanya untuk mendapatkan warisan keluarga Widjaja sekaligus menenangkan hati kakeknya. Selebihnya aku tidak tahu.” Emily terdiam. Samuel lalu bertanya. “Bukannya hari ini kamu juga menikah? Bagaimana? Apa semua lancar?” Emily tidak buru-buru menjawab. Setelah hening beberapa saat, dia berdehem kecil. “Hmm..” “Apanya yang hmm.. kamu beneran sudah menikah pria yang bertemu denganmu di kencan buta itu?” Belum sempat Emily menjawab, Samuel sudah menerocos lagi. “Emily, aku sudah bilang berapa kali, kamu tidak boleh kecerobohan itu…” “Aku tidak jadi menikah dengannya.” “Hah? Apa?” Samuel terdengar sangat terkejut. “Lalu dengan siapa lagi? Emily.. kamu, kenapa sangat sembarangan..” “Sudah, sudah. Tidak perlu khawatir. Yang terpenting saat ini, aku sudah menikah. Oke.” “...” Disana Samuel tidak dapat berkata-kata lagi. Lalu panggilan pun berakhir. Mobil juga telah berhenti. Dia menghela nafas dan menuruni taksi. Perlahan dia berjalan ke rumah kontrakannya. Saat dia hampir sampai rumah setelah belokan, sebuah mobil muncul dari belakangnya. Emily segera minggir untuk menghindar, tapi tiba-tiba saja seorang wanita tua berusia sekitar 80 tahunan muncul dari samping jalan yang ada didepan dan hampir tertabrak mobil itu. Emily segera sadar dan langsung berlari untuk menyelamatkan nenek itu. Untung saja si pengendara mobil waspada. Dia mengerem tepat waktu dan tidak terjadi apa-apa pada nenek itu. Karena tidak terjadi apa-apa pada nenek itu, si pengendara pun pergi setelah mengucapkan beberapa kalimat pada Emily dan nenek itu. Emily menatap nenek yang justru terlihat tenang itu. Padahal nyawa nenek itu hampir saja celaka. Meski wanita tua itu kurus dan pendek, dia berpakaian rapi dan tampaknya tidak berasal dari keluarga biasa. “Nenek, nenek tidak apa-apa?” Nenek itu nampak kebingungan dan menatap Emily. “Nenek, dimana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang.” Nenek itu tidak mengatakan apapun selain menggeleng. Emily mengerutkan keningnya. ‘Apa nenek ini lupa ingatan?’ Wanita tua yang tadi terlihat bingung itu tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. Matanya yang keruh bersinar terang, "Cucu menantuku! Ya ampun! Cucu menantuku! Akhirnya aku menemukanmu!” Sudut mulut Emily bergerak heran. Dia merasa geli dan bertanya dengan tidak peduli, "Nenek, siapa cucumu itu?" Si nenek terlihat berpikir keras. “Aduh, siapa ya.. Wi-dja.. ” Nenek itu berusaha menyebut nama cucunya. “Fel.. fel.. ah.. Cucu kesayanganku itu.. Nenek lupa." “Oh, sayangku.. Cucu menantuku. Tolong hubungi nomornya.” “Ini, nenek ada nomornya. Ayo..ayo.. cepat!” Nenek itu mengeluarkan kertas catatan nomor ponsel dari balik sakunya. Emily menerima kertas itu sambil kembali bertanya. “Tadi siapa nama cucu Nenek?” Nenek itu mulai berbicara lagi. "Namanya Fel.. siapa ya?" Nama yang baru saja teringat itu kembali hilang dari pikirannya. Mulutnya berkali-kali membuka dan menutup, tapi nenek itu tidak bisa menyusun kata-kata. "Tenang ya, Nek. Tidak apa-apa kalau tidak ingat," Emily menghiburnya sebelum membuat panggilan telepon.Sesampainya di rumah, Rania dibuat terkejut. Meja makan penuh dengan hidangan hangat: sup ayam ginseng, tumis sayuran, ikan bakar, dan bahkan puding mangga kesukaannya.“Ini... kamu yang pesan?” Rania meliriknya curiga.Aaron duduk santai, melepas jasnya, lalu menggulung lengan kemejanya. “Aku yang masak.”Rania menahan tawa. “Jangan bercanda. Mana mungkin CEO yang sibuk bisa masak seperti ini.”“Tanya saja pada koki keluarga. Aku belajar beberapa menu sederhana.” Aaron menatapnya serius. “Aku ingin kamu makan makanan yang benar, bukan hanya instan atau camilan.”Hati Rania seperti tersengat. Dia ingin menyangkal, tapi perhatiannya yang kecil itu begitu nyata. Dengan malas ia duduk, lalu mulai menyendok sup ayam ginseng. Rasanya hangat, lembut, dan entah kenapa ini membuat perasaannya agak aneh.Aaron memperhatikan dengan seksama. “Bagaimana?” tanyanya.Rania berdehem, berusaha menyembunyikan perasaannya. “Lumayan.”Aaron tersenyum puas, lalu menambahkannya dengan lembut, “Kalau kamu
"Suamimu akan membantumu mengambil pakaian." Aaron berkata sambil mengeluarkan sebuah gaun dari lemari, "Pakailah ini."Rania melihatnya, itu adalah gaun kuning angsa yang dia beli bersama Mirna.Gaun itu memang bagus, tapi terlalu panjang dan desain kerahnya juga terlalu tinggi.Bukankah tidak nyaman jika pergi ke kelas mengemudi dengan gaun seperti itu?"Cukup." Hanya kata itu yang diucapkan Aaron, dan Rania langsung menundukkan kepalanya. Dia melemparkan bajunya dengan marah lalu berbalik dan kembali berbaring, "Aku tidak mau ke kelas!""Sangat menjengkelkan!"Aaron mengangkat alisnya, "Benar nih tidak mau pergi?""Iya.""Bagus kalau begitu."Detik selanjutnya... "Ahhhhhhhh aku pergi, bisakah aku pergi?" Rania segera mengambil gaun itu, dan memakainya."Bagus." Aaron terlihat sangat puas. "Setelah mandi, pergilah ke bawah untuk sarapan."Setelah 10 menit, Rania bersiap-siap dan turun ke bawah dengan menggunakan tas kecil. Dari jauh, tercium bau lezat.Rania melihat meja makan yang
"Kak Aaron." Suara wanita dari seberang telepon memanggil dengan lembut, "Besok, aku akan berada di pesawat yang sama dengan Ziyang, akan ku kirimkan nomor penerbangan saat aku sudah mendaftar."Rania bertanya, "Siapa kamu?"Wanita di seberang telepon itu terdiam."Halo? Kenapa diam?"Masih belum ada jawaban dari wanita itu, tiba-tiba telepon langsung ditutup.Rania meletakkan handphone itu lalu menatap Aaron yang sedang mabuk, dia terus bertanya-tanya.Wanita tadi memanggilnya Kak Aaron, "Intim sekali, dia bukan cinta lama suamiku kan?""Ck, apa cinta lamanya akan datang menemuinya?"Seperti menyadari sesuatu, Aaron mulai bertingkah angkuh, "Sayang, bantu aku mandi.""Mandi? Mau mandi kan?" Rania tersenyum jahat.Dia berjalan ke kamar mandi dan menyalakan air. Setelah beberapa saat, dia keluar dengan baskom berisi air dingin dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia menyiramkan air itu ke Aaron.Aaron yang masih terkapar di kasur langsung bangun dan membuka mata. Rania sangat senan
Jangankan Ken, sebagai perempuan dia juga berpikir kalau kata "sayang" sangatlah menjijikan.Rania berbicara dengan nada yang kasar dan terlihat kesal, "Menyusahkan, Besok aku harus bangun pagi-pagi, dan sekarang sudah lebih dari jam sebelas. Cepat bangun, ayo pulang denganku!"Aaron sangat jarang kehilangan kesabarannya, ia meraih tangan Rania dan berdiri di atas sofa. Dengan seketika dia memeluk gadis kecil itu dengan beban yang lebih dari 50 kilogram, "sayang, kenapa kamu terlambat datang?"Rania merasa semakin kesal, dia mengerutkan kening dan mencoba membantunya keluar, tapi yang terjadi malah..."Aku bertanya, tapi kamu tidak menjawab, suamimu ini akan menghukummu."Tiga orang lain yang ada di ruangan itu tertawa dan membuat Rania semakin merasa malu serta marah, "Kamu sengaja kan pura-pura mabuk?""Sayang kamu tidak sopan. Jangan keluarkan kata-kata kotor lagi."Wajah Rania kembali memerah, dia hanya bisa membisikkan peringatan kepadanya, "Kalau begitu kamu tidak boleh berbicar
Rnia turun setelah bus sampai di pusat kota, lalu dia harus naik bus umum. Karena terlambat, Aaron mengirim pesan teks, [Sayang, kamu sudah pulang?] Rania membalas, [Masih lima halte lagi.] [Kenapa kamu tidak naik taksi?] [Tidak ada uang.] Kemudian tidak ada balasan dari Aaron. Tapi beberapa detik kemudian dia mendapat notifikasi dari bank. Rania terlihat senang, dan segera memeriksa. "Sialan!" "100 ribu?" "hhmm, bos perusahaan Widjaja hanya mengirim uang segitu kepada istrinya?" "Dasar pelit!" Jelas terlihat, Rania sangat kesal sampai berteriak, "Kurang ajar". Dia pun mengirim pesan, [Aku ingin memukulmu sampai mati] Karena masih belum merasa lega. Baru saja dia ingin mengirim lagi [Aku akan membunuhmu suami sialan] Aaron membalas dengan stiker "senyum" Melihat stiker itu, Rania seperti melihat pria itu menatapnya dengan tajam dan dalam... Dia pun takut, dan langsung buru-buru menghapus stiker terakhir itu dan menggantinya dengan "Berlutut dan berterima k
Setelah kelas mengemudi itu selesai dan Rania sudah pergi, staf itu segera pergi ke samping untuk mengambil ponselnya dan menekan nomor, "Halo, asisten Li.” “...” "Ya, Rido sudah dipindahkan. Saya menjadi satu-satunya pelatih wanita di sekolah mengemudi ini untuk melatih Nona Rania. Sekarang Nona Rania sudah di kelas." "Pasti, pasti, sama-sama.” Karena ingin segera mendapatkan SIM-nya, Rania mendaftar banyak kelas selama beberapa hari terakhir ini. Dia mengikuti kelas dari pukul 10:00 hingga 11:30 pagi, lalu istirahat dan makan, kemudian pukul 1:00 siang sudah harus masuk kelas lagi.Cuaca di akhir Agustus sangatlah panas.Terutama pada pukul dua atau tiga sore, matahari bersinar sangat terik. Bahkan di dalam mobil ber-AC pun, Rania tetap saja tidak tahan.Akhirnya waktu istirahat tiba. Rania pun pergi ke kafe dan memesan segelas besar es teh susu. Baru saja dia duduk dan minum seteguk, terdengar dua gadis di meja sebelah yang sedang bergosip, "Wow, lihat pria tampan itu?""Apa d