Terlihat jelas darah segar terus merembes keluar dari perban di dada Rangga, setetes demi setetes, membasahi sekelilingnya.Kalingga juga menyadarinya. Wajahnya langsung menjadi suram. Dia menarik Rangga dan berkata, "Biar aku obati lukamu!"Tak disangka, Rangga malah menepis tangannya dengan kasar. "Nggak perlu kamu yang obati!"Kalingga menarik napas panjang, lalu memilih untuk diam. Dia sebenarnya datang karena mendengar kabar bahwa Rangga kembali mengganggu Andini. Padahal, lukanya sudah hampir sembuh. Siapa sangka, hanya karena pertarungan kecil tadi, lukanya malah robek kembali!Andini hanya bisa menghela napas tak berdaya. Dia melotot ke arah Rangga, lalu berkata, "Masih mau berdiri saja? Cepat duduk!"Setelah berkata begitu, dia berbalik untuk mengambil obat luka dan perban. Rangga pun merasa lega, lalu berjalan ke samping dan duduk. Dia melepas bajunya, memperlihatkan tubuhnya yang kekar.Matanya yang menatap Andini pun penuh rasa senang, tetapi juga diselimuti kekhawatiran. S
Kalau dipikir-pikir, ini sungguh menyedihkan. Dulu dia selalu mencari Rangga, tetapi sekarang justru Rangga yang harus mengerahkan segala cara hanya untuk bisa melihatnya, berharap bisa mendapat sedikit perhatian darinya.Sayangnya, hati Andini kini sekeras baja. Jenderal yang dulunya begitu percaya diri dan tak terkalahkan itu, sekarang berubah menjadi sosok menyedihkan seperti ini.Andini benar-benar tak tahu harus memakinya dengan kata-kata seperti apa agar pria ini sadar betapa tak tahu malu dirinya sekarang.Dia pun memilih untuk diam. Namun, Rangga bertanya kembali, "Mulai sekarang, kalau aku terluka, kamu saja yang mengobatiku boleh?""Nggak boleh!" Andini langsung menolak dengan dingin. "Aku ini bukan tabib militer! Kamu pikir kalau kamu terluka di medan perang, kamu bisa bertahan sampai ke ibu kota demi menemuiku?""Bisa!" Rangga menjawab dengan suara tegas, "Asal kamu bersedia mengobatiku, aku pasti akan bertahan dan menemuimu!"Kata-kata itu membuat Andini terpaku di tempat.
Jelas-jelas kedua pelayan senior ini bertindak atas perintah Safira dulu. Bukan hanya mereka berdua, tetapi semua dayang di penatu istana juga melakukan hal serupa demi menyenangkan hati sang Putri.Kini melihat keduanya berlutut dan terus-menerus bersujud di hadapannya, yang terbayang di benak Andini justru adalah bagaimana dulu kedua orang itu tak henti-hentinya mencambuknya dengan kejam. Luka-luka di punggungnya seolah-olah terasa perih kembali.Andini menerima cambuk dari tangan Safira, memandangi dua pelayan senior yang terus bersujud. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengayunkan cambuk itu ke punggung mereka dengan keras.Lima kali untuk masing-masing. Kemudian, dia pun berhenti. Meskipun demikian, kedua pelayan itu tetap saja berteriak kesakitan.Andini menyerahkan kembali cambuk itu ke tangan Safira dengan sopan. Melihatnya, dahi Safira berkerut. Dia lalu memberi isyarat kepada para pengawal agar membawa kedua pelayan itu pergi.Barulah setelah mereka menjauh, Safira bertany
"Pokoknya ini untukmu." Mungkin merasa repot, Safira langsung melangkah maju dan langsung menyematkan hiasan rambut itu ke sanggul Andini.Hiasan emas itu berayun perlahan, rubi di atasnya berkilauan, membuat wajah Andini terlihat semakin cerah dan merona.Safira pun tak menyangka, hiasan rambut yang tadinya miliknya itu ternyata sangat cocok dengan Andini.Perasaan kesal seketika muncul dalam hatinya. Namun, karena benda itu sudah diberikan, tidak mungkin dia tarik kembali, 'kan?Akhirnya, dia hanya bisa memasang wajah dingin dan berkata, "Aku punya banyak benda bagus seperti itu. Aku nggak rugi kalau kasih kamu satu."Andini tentu tahu, Safira memang tidak kekurangan barang bagus. Dia juga tahu, mangkuk kaca berharga tahun itu bahkan tidak sebanding dengan satu batu rubi di hiasan ini.Mengingat hal itu, Andini diam-diam mendengus dalam hati. Kemudian, dia segera menyadari satu hal. Safira mulai bersikap angkuh lagi.Mungkin karena Andini menolak niat baiknya, Safira merasa wajahnya
Kira-kira dua jam kemudian, Andini membawa semangkuk ramuan yang telah selesai direbus dan kembali ke kamar Permaisuri.Putra Mahkota sudah tidak ada di sana, hanya Safira yang masih menemani Permaisuri.Kondisi tubuh Permaisuri memang sangat lemah. Setelah meminum obat, dia langsung tidur. Safira menyelimuti Permaisuri dengan penuh perhatian, lalu baru bangkit dan berjalan ke luar.Andini pun mengikuti di belakangnya. Awalnya, dia bermaksud untuk memberi salam dan undur diri setelah keluar. Namun, belum sempat dia memberi salam, Safira sudah menoleh ke arah Ranti dan berkata, "Bantu Andini kembalikan barang-barang ke balai kesehatan kekaisaran. Ada yang ingin kubicarakan dengannya."Mendengar itu, Ranti langsung mengiakan dengan hormat. Dia maju dan menerima mangkuk obat dari tangan Andini, memberi hormat, lalu pergi.Begitu Ranti menjauh, Safira pun menoleh ke Andini dan tersenyum. "Temani aku jalan-jalan di taman istana ya?"Andini tidak tahu maksud apa yang sedang direncanakan oleh
Mendengar ucapan ini, Permaisuri mengangguk pelan, bahkan Safira pun menampakkan senyuman. "Aku percaya pada kemampuan Andini. Kakak lihat sendiri, 'kan? Andin yakin Ibu bisa sembuuh!"Namun, Putra Mahkota hanya mendengus dingin. "Tunggu saja sampai benar-benar sembuh baru bicara lagi! Kalau sudah rebus obat, kenapa nggak segera awasi apinya?"Andini mengerutkan kening memandang Putra Mahkota, dalam hati berpikir, 'Bukannya dia sendiri yang memanggilku ke sini?'Namun, wajah Andini tetap tenang. Dia hanya memberi hormat dan berkata, "Baik, Pangeran," lalu mundur keluar.Melihat punggung Andini yang menjauh, Putra Mahkota menaikkan alisnya. "Ibu, apakah dia tadi sempat menatapku dengan tajam?"Permaisuri hanya tersenyum samar dan tidak menjawab. Safira pun mendengus pelan. "Cuma seorang tabib wanita, apa perlu bersandiwara begini di depannya?"Putra Mahkota justru tertawa. "Kalau kamu ingin menarik hati seseorang, tentu saja kamu harus bersandiwara. Kalau kita nggak melindunginya di saa