Home / Romansa / Putri Pewaris Yang Terusir / Chapter 3 : Bagaimana Bisa?

Share

Chapter 3 : Bagaimana Bisa?

Author: DaisyLia
last update Last Updated: 2023-12-02 00:39:50

"Bagaimana bisa pekerjaan kalian seburuk ini, hah? Aku membayar kalian untuk menghapus semua artikel tentangku! Bukan membuatnya semakin berkembang biak!" seru kesal Bia.

Mempekerjakan beberapa orang untuk menghapus artikel dan mencari tahu dalang dari semua ini sepertinya sia-sia saja.

Bukannya menghilang, justru foto-fotonya semakin terpajang di semua situs media! Jika seperti ini, bisa ia pastikan kalau Karina sudah tahu hal ini.

Bia menghela berat. Ini sudah larut malam dan Karina masih diam. Tidak ada panggilan atau orang berbaju hitam yang datang untuk menyeretnya pulang.

"Besok pagi, kalian harus sudah mendapatkan semua informasi tentang orang itu!" perintah Bia dengan tegas, kemudian mengakhiri panggilannya.

"Ulah siapa ini?" batin Bia seraya meremas sebal ponselnya. "Siapapun itu, dia sungguh menggenal aku dan Sindari dengan baik," lanjutnya berbisik.

Menyugar rambut panjangnya ke belakang. Bia menunduk dan menghembuskan napas frustasi. Memandang lantai keramik putih dengan pikiran yang terus menerka, apakah Karina sedang merencanakan sesuatu? Diamnya Karina justru membuat Bia semakin cemas. Bia sampai menginap di rumah Aretha malam ini.

Bia tidak berani untuk pulang, ia takut jika pulang nanti. Sang ibu akan langsung menikahkannya atau bisa lebih buruk dari itu.

Ugh! Membayangkannya saja Bia tidak mau!

"Bi?" panggil Aretha yang baru keluar dari kamar mandi. Rambut basahnya sedang dikeringkan dengan handuk kecil. "Belum dimakan juga?" lanjutnya bertanya saat melihat piring yang terisi pasta masih utuh.

"Kamu benar tidak ada kenalan yang bisa mengatasi ini?" tanya Bia, mengabaikan pertanyaan Aretha. Berjalan ke arah ranjang dan melemparkan tubuhnya ke atas ranjang.

"Dengar ... kalau aku punya kenalan sehebat itu, tanpa diminta olehmu pun aku sudah menyuruh mereka membantumu."

"Tuhan, hancur sudah masa depanku," gerutu Bia, mengasihani masa depannya. Rintangan untuk melawan tradisi keluarga Sindari benar-benar sulit. Ada saja yang membuatnya merasa seperti ini, rasa ingin menyerah dan tunduk pada Karina.

Aretha terkekeh, lalu melempar asal handuk kecilnya ke sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Wanita bersurai pendek itu pun ikut merebahkan diri di samping Bia. "Menikah saja, lalu racuni suamimu."

"Good idea!" balas Bia cepat. Matanya berbinar senang seolah sudah mendapatkan sebuah ilham.

"Meski nanti polisi tahu kamu membunuh suamimu, ibumu tentu tidak akan membiarkanmu menjadi tersangka, benar 'kan?" balas Aretha, wajahnya dipenuhi dengan senyuman licik.

"Benar, mau tidak mau orang tua itu akan tetap memilih untuk melindungi martabatnya."

Karina benar-benar terobsesi dengan takhtanya. Apapun akan Karina lakukan demi menjaga nama baik Sindari. Bahkan rela menjual anak perempuannya demi memperkuat nama Sindari. Menjual dengan topeng berlabel pernikahan.

"Tapi, Bi ...." Aretha menggantung kalimatnya. Mempertimbangkan, apakah pikiran gilanya pantas untuk diutarakan?

"Apa? Kenapa tidak dilanjutkan?" ujar Bia, keningnya mengerut tak sabar. Menatap dengan binar penuh rasa penasaran.

Bia memang seperti itu, tipe wanita yang mudah penasaran. Pun hanya memiliki rasa sabar setipis tisu.

"Ah tidak penting juga, tetapi menurutku ... ini kesempatan bagus," lanjut Aretha.

Bia terdiam. Berpikir, mengapa foto-foto yang tersebar dianggap Aretha sebagai sebuah kesempatan bagus? Ah .... "Tidak, itu ide gila. Aku tidak setuju dengan idemu," tolak Bia. Ia paham apa yang Aretha inginkan dan baginya, itu ide yang cukup gila.

"Bi--"

"Wanita itu sangat membenci dunia permodelan. Jadi, buang saja jauh-jauh idemu itu," sela Bia. Tangannya terlipat di depan dada, memandang langit-langit kamar yang hanya diterangi lampu tidur.

Dengan dirinya menjadi model eksklusif Aretha saja, sudah membuatnya cukup was was. Bia memang selalu menentang aturan sang ibu.

Namun, Bia cukup tahu batasan. Jika ia sungguh menyinggung luka sang ibu, ent

ah balasan apa yang akan ia dapatkan dari Karina.

Mungkin, diasingkan di pulau terkecil dan dicoret dari daftar warisan.

Bia tidak terlalu peduli jika tidak lagi menyandang marga Sindari. Akan tetapi, jika diasingkan ... dirinya terlalu cantik untuk hidup di pulau tak berpenghuni!

Aretha mendebas keras napasnya dan ikut memandangi langit-langit kamar. Situasi yang cukup sulit bagi mereka. Melawan seseorang yang entah siapa, ditambah dana di saku mereka pun terbatas.

Yah ... Bia hanya perlu menyiapkan mental untuk menerima perjodohan dari Karina.

Oh, tentu dengan rencana pelengkap mereka ... yaitu, meracuni suami Bia nanti.

Aretha menoleh, memandang iba pada Bia. Bagaimana bisa, anak dengan masa depan cerah. Anak dengan latar belakang yang bisa membuat siapapun iri, saat ini masih betah bersusah payah bahkan betah untuk terus berada di sampingnya.

Aretha, si anak miskin yang tidak memiliki ayah.

Setiap hari, menonton dan menyaksikan betapa pusing dan beratnya hidup menjadi seorang Bia. Meski mungkin, kesulitan itu tercipta karena keputusan Bia sendiri.

"Ayahmu--" Dering nyaring ponsel Bia menghentikan niat Aretha yang baru saja ingin membahas hal tabu.

Dua pasang mata langsung menatap horor layar ponsel Bia. Dion Mahesa menelepon Bia--yang artinya--Karina sudah mengetahui soal ini.

Sial!

Bia segera menegakkan tubuhnya. Duduk, lalu berdeham beberapa kali agar suara hati yang gelisah tidak bisa didengar Dion, si pria cerdas.

"Bi, jangan diangkat!" cegah Aretha yang sudah ikut duduk, bahkan debar jantungnya mungkin juga tidak kalah cepat dengan Bia.

"Beda cerita kalau wanita tua itu yang meneleponku," balas Bia. Ibu jarinya sudah bersiaga untuk menekan ikon hijau di layar ponselnya.

Aretha kembali mencegah. "Dia dan ibumu adalah sekutu!"

"Ah!" Bia memekik bukan karena ucapan Aretha, tetapi karena nama Dion redup dari ponselnya.

Sungguh ajaib, suasana tenang bisa langsung berubah ramai hanya karena satu panggilan saja. Entah akan segaduh apa jika Karina yang langsung menghubungi Bia.

"Haah ... syukurlah," lega Aretha. Perlahan degub jantungnya berangsur normal. "Cepat matikan ponselmu," lanjutnya memerintah. Sungguh, semakin lama berteman dengan Bia, mungkin umurnya akan semakin berkurang.

"Syukurlah?" gumam Bia, lalu dengan cepat menekan angka nomor dua.

"Kamu gila, Bia!" pekik Aretha, melihat panggilan Bia sudah tersambung.

"Dion bisa menjadi sekutuku," bisik Bia pada teman yang sudah pucat di sana. Mengingat sikap Dion waktu itu, Bia pikir Dion mungkin akan mau membantu dirinya. Yah, walau tidak begitu yakin. Namun, Bia ingin tetap mencobanya.

"Ada--"

"Nona, Nyonya Karina meminta anda untuk segera datang ke rumah utama."

Bia mengerutkan dahi. Rahangnya mengeras menahan emosi. "Apa wanita tua itu ada di sampingmu?" tebaknya. Dion selalu berbicara formal dengannya hanya ketika ada Karina.

Mendengar ucapan Bia, Aretha semakin mengguncang tubuh Bia. Aretha ingin Bia segera mengakhiri panggilan itu.

"Tidak."

Singkat sekali jawaban Dion. Terlalu singkat dan dingin sampai mengundang tarikan sinis bibir Bia.

"Benar. Wanita itu pasti ada di sampingmu," balas Bia tidak percaya. "Kalau begitu, tolong sampaikan pada wanita terhormat di sana. Dengan berat hati, aku tidak bisa mengikuti perintah nyonya Karina."

"Nona, anda harus segera datang ke rumah utama dan saya, sudah berada di depan rumah sewa nona Aretha."

Hah? Bia membelalakkan matanya, kemudian segera beranjak dari ranjang dan membuka tirai tipis yang menutupi jendela kamar.

Tidak luput, Aretha juga mengikuti tingkah impulsif temannya itu.

Dua wajah terkejut tidak bisa disembunyikan. Melihat Dion dengan santainya menatap mereka, serta lima orang berbaju hitam yang sejak siang tadi sudah Bia bayangkan kedatangannya.

Sial! Bagaimana bisa Dion tahu keberadaan rumah ini. Padahal Bia dan Aretha menyewa tempat itu atas nama orang lain.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 23 : Kata Kunci

    Sudah pukul sebelas malam, Bia berjalan lelah menuju lift di sana. Membuka satu persatu benda yang membuat wajahnya tersembunyi seharian ini.Masuk ke dalam lift, tangan yang menggenggam topi dan masker itu menekan angka sepuluh. Lantai di mana apartemen Bia berada. Menyandarkan punggung, Bia menghembuskan napas sambil memandang langit lift.Merasakan ayunan kotak besi yang perlahan mulai naik. Bia teringat perasaan beberapa jam lalu, melihat toko SunnyDay dengan kepala matanya sendiri benar-benar membuat hatinya perih.Toko itu masih dalam perbaikan. Kerusakan yang cukup parah menurut Bia, sampai Aretha harus mengosongkan tokonya."Kenapa kamu memilih untuk diam?" gumam Bia.Tidak habis pikir, sejak dulu Aretha lebih memilih untuk menyembunyikan masalahnya sendiri. "Lalu, apa gunanya aku?" lanjut Bia berbisik dalam hati. "Bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"Ting! Denting lift bergema, tanda bahwa Bia sudah sampai pada lantai tujuan.Melangkah lunglai ke luar, melewati satu

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 22 : Menanggung Sendiri

    Rumah besar nan cantik. Bia kembali menginjakkan kakinya ke sana. Berjalan dengan tatapan mengintimidasi, panas kesal di hatinya pun kian membesar. Tidak ada keinginan dari Bia untuk meredupkannya."Nona?""Jangan ikut campur," balas Bia ketus, melewati sekretaris sekaligus pengurus mansion Sindari.Pria itu terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Bia yang tiba-tiba. Sudah pasti tidak ada yang mengira anak terusir itu akan datang secepat ini."Nona, saat ini bukan waktu yang--""Cukup. Aku tidak butuh saranmu!" potong Bia tanpa mengubah pandangan yang tertuju pada sebuah pintu kayu berukiran indah delapan meter di depannya.Melewati tempat yang menjadi kenangan atas pengusirannya dari rumah. Bia menggerutu sebal dalam hati, bahkan kepalanya tidak lelah memutar gambar-gambar kenangan kejam itu."Nona, Tuan--"Bia menghentikan kakinya tiba-tiba lalu menajamkan mata memandang pria yang juga ikut memandangnya. "Aku menghargai saranmu, tetapi aku datang ke sini bukan sebagai tamu yang ha

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 21 : Jadikan Aku Bonekamu

    "Bi, apa Aretha tidak mengatakan padamu? SunnyDay dihancurkan oleh sekelompok orang tidak dikenal." Hah? Bia sontak menghentikan kaki-kakinya. Memandang lekat dua mata yang posisinya sedikit lebih tinggi. “Dihancurkan? Oleh siapa?" Bia menggeleng cepat. "Ah, maksudku, kapan kejadiannya?” tanyanya, kebingungan benar-benar sedang meneror hati dan pikirannya. “Kau ingat, malam saat kamu pindah ke apartemen? Selepas dari sana, aku mengantarkan dia kembali dan tokonya, sudah hancur berantakan.” Bia tergugu lemas. Apa ... ini, sungguhan? Bagaimana bisa ia baru mendengar hal mengejutkan ini sekarang? Kemarin Aretha mengunjunginya seolah tidak terjadi apapun, bahkan temannya itu malah menghiburnya. “Sahabat macam apa aku ini? Lagi-lagi hal buruk terjadi pada Aretha,” batin Bia. “Kamu, sudah menyelidikinya?” tanya Bia, kembali melangkahkan kakinya.

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 20 : Kubur Skandal Dengan Skandal

    “Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 19 : Cara Melindungi

    Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 18 : Akun Burung Biru

    "Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 17 : Pengakuan

    "Senang bertemu denganmu lagi, Bia."Noah tersenyum menyapa model eksklusif Elle. Senyum yang memilukan hati, sampai Bia harus menyipitkan mata menatap teliti wajah yang terlihat kusut itu. Sepertinya Noah benar-benar sedang diperbudak dengan pekerjaan.“Pak, bapak tidak apa-apa?” tanya Bia kasihan, lalu melebarkan pintu apartemennya.“Aku masih hidup hari ini juga berkat kasih sayang dari Tuhan,” balas Noah. Entah harus merasa bersyukur atau harus mengeluhkam takdir hidupnya.Pria dengan kemeja abu-abu dan dasi marun tak terikat itu langsung mendekat ke sofa panjang, menaruh tas perlengkapan kerjanya di samping meja, lalu merebahkan diri di sana tanpa menunggu izin dari si pemilik apartemen.Benar-benar sebuah keajaiban Noah masih bisa mendatangi Bia setelah berhari-hari terus dipaksa lembur.Bia menggeleng dan menghela napas. Lihat itu, benar-benar sudah seperti rumah sendiri. Bia pun membiarkannya dan pergi ke dapur.Sudah dua hari ia menempati apartemen ini. Semua pekerjaannya dih

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 16 : Istana Sindari

    “Dion masih mengikuti nona Bia.”Karina diam mendengarkan laporan dari sekretaris barunya. Menatap kesal pada foto-foto Bia yang terhampar acak di meja kerjanya. Wajah Dion saat di pantai pun ada di sana.Ini bukan pertama kali Karina mendengarkan laporan tentang Bia. Karina harus terus memantau anak ajaibnya yang selalu saja mencari cara untuk menentang aturannya.“Sekarang mereka sedang menuju ke apartemen baru nona Bia.”“Apartemen?” ulang Karina, matanya mulai terangkat menatap pria berkacamata di depannya.“Benar Nyonya. Apartemen Anasty Residence. Dari informasi, apartemen itu diberikan oleh fans nona.”“Ha, haha ....” Karina tertawa hambar. Itu tidak lucu, tetapi entah mengapa hatinya ingin tertawa mendengar informasi ini. “Aku sudah mengira anak itu bodoh, tetapi kenapa semakin jauh dariku anak itu semakin bodoh? Tidak bisa membedakan musuh atau kawan.”“Nyonya, kita harus membawa nona kembali.”Karina mendengus tidak setuju. Tangan kanannya menyambar selembar foto Bia yang me

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 15 : Anasty Residence

    “Di sini?” tanya Bia memandang sebuah papan nama apartemen. Sebagian wajahnya tertutup masker hitam.Satu setengah jam lalu, Deri datang ke toko SunnyDay untuk menjemput dirinya. Bia pun sudah menceritakan semua pada Aretha dan Dion, tentu mereka meminta Bia untuk menolak. Akan tetapi, kontrak kerjasama mengharuskan Bia mengikuti aturan perusahaan.Padahal, Dion berkata akan menanggung biaya denda pembatalan kontrak. Namun Bia menolak. Bagaimanapun, Bia belum sepenuhnya percaya pada Dion dan ia ingin mencari tahu kebenaran dari ucapan Dion Mahesa.“Ya, aku harap kamu menyukainya dan jangan sungkan untuk memberitahu aku apa pun jika ada yang membuatmu tidak nyaman.”Deri mengembangkan senyum. Pria itu masih saja bawel dan ramah kepadanya, tetapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda. Mungkin cara melihat Deri ke arahnya. Meski bibir itu tersenyum ramah, tatapan Deri seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Ini berlebihan,” akui Bia, sambil mengikuti bookernya masuk ke dalam lobi.“Tidak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status