"Bagaimana bisa pekerjaan kalian seburuk ini, hah? Aku membayar kalian untuk menghapus semua artikel tentangku! Bukan membuatnya semakin berkembang biak!" seru kesal Bia.
Mempekerjakan beberapa orang untuk menghapus artikel dan mencari tahu dalang dari semua ini sepertinya sia-sia saja.Bukannya menghilang, justru foto-fotonya semakin terpajang di semua situs media! Jika seperti ini, bisa ia pastikan kalau Karina sudah tahu hal ini.Bia menghela berat. Ini sudah larut malam dan Karina masih diam. Tidak ada panggilan atau orang berbaju hitam yang datang untuk menyeretnya pulang."Besok pagi, kalian harus sudah mendapatkan semua informasi tentang orang itu!" perintah Bia dengan tegas, kemudian mengakhiri panggilannya."Ulah siapa ini?" batin Bia seraya meremas sebal ponselnya. "Siapapun itu, dia sungguh menggenal aku dan Sindari dengan baik," lanjutnya berbisik.Menyugar rambut panjangnya ke belakang. Bia menunduk dan menghembuskan napas frustasi. Memandang lantai keramik putih dengan pikiran yang terus menerka, apakah Karina sedang merencanakan sesuatu? Diamnya Karina justru membuat Bia semakin cemas. Bia sampai menginap di rumah Aretha malam ini.Bia tidak berani untuk pulang, ia takut jika pulang nanti. Sang ibu akan langsung menikahkannya atau bisa lebih buruk dari itu.Ugh! Membayangkannya saja Bia tidak mau!"Bi?" panggil Aretha yang baru keluar dari kamar mandi. Rambut basahnya sedang dikeringkan dengan handuk kecil. "Belum dimakan juga?" lanjutnya bertanya saat melihat piring yang terisi pasta masih utuh."Kamu benar tidak ada kenalan yang bisa mengatasi ini?" tanya Bia, mengabaikan pertanyaan Aretha. Berjalan ke arah ranjang dan melemparkan tubuhnya ke atas ranjang."Dengar ... kalau aku punya kenalan sehebat itu, tanpa diminta olehmu pun aku sudah menyuruh mereka membantumu.""Tuhan, hancur sudah masa depanku," gerutu Bia, mengasihani masa depannya. Rintangan untuk melawan tradisi keluarga Sindari benar-benar sulit. Ada saja yang membuatnya merasa seperti ini, rasa ingin menyerah dan tunduk pada Karina.Aretha terkekeh, lalu melempar asal handuk kecilnya ke sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Wanita bersurai pendek itu pun ikut merebahkan diri di samping Bia. "Menikah saja, lalu racuni suamimu.""Good idea!" balas Bia cepat. Matanya berbinar senang seolah sudah mendapatkan sebuah ilham."Meski nanti polisi tahu kamu membunuh suamimu, ibumu tentu tidak akan membiarkanmu menjadi tersangka, benar 'kan?" balas Aretha, wajahnya dipenuhi dengan senyuman licik."Benar, mau tidak mau orang tua itu akan tetap memilih untuk melindungi martabatnya."Karina benar-benar terobsesi dengan takhtanya. Apapun akan Karina lakukan demi menjaga nama baik Sindari. Bahkan rela menjual anak perempuannya demi memperkuat nama Sindari. Menjual dengan topeng berlabel pernikahan."Tapi, Bi ...." Aretha menggantung kalimatnya. Mempertimbangkan, apakah pikiran gilanya pantas untuk diutarakan?"Apa? Kenapa tidak dilanjutkan?" ujar Bia, keningnya mengerut tak sabar. Menatap dengan binar penuh rasa penasaran.Bia memang seperti itu, tipe wanita yang mudah penasaran. Pun hanya memiliki rasa sabar setipis tisu."Ah tidak penting juga, tetapi menurutku ... ini kesempatan bagus," lanjut Aretha.Bia terdiam. Berpikir, mengapa foto-foto yang tersebar dianggap Aretha sebagai sebuah kesempatan bagus? Ah .... "Tidak, itu ide gila. Aku tidak setuju dengan idemu," tolak Bia. Ia paham apa yang Aretha inginkan dan baginya, itu ide yang cukup gila."Bi--""Wanita itu sangat membenci dunia permodelan. Jadi, buang saja jauh-jauh idemu itu," sela Bia. Tangannya terlipat di depan dada, memandang langit-langit kamar yang hanya diterangi lampu tidur.Dengan dirinya menjadi model eksklusif Aretha saja, sudah membuatnya cukup was was. Bia memang selalu menentang aturan sang ibu.Namun, Bia cukup tahu batasan. Jika ia sungguh menyinggung luka sang ibu, entah balasan apa yang akan ia dapatkan dari Karina.Mungkin, diasingkan di pulau terkecil dan dicoret dari daftar warisan.Bia tidak terlalu peduli jika tidak lagi menyandang marga Sindari. Akan tetapi, jika diasingkan ... dirinya terlalu cantik untuk hidup di pulau tak berpenghuni!Aretha mendebas keras napasnya dan ikut memandangi langit-langit kamar. Situasi yang cukup sulit bagi mereka. Melawan seseorang yang entah siapa, ditambah dana di saku mereka pun terbatas.Yah ... Bia hanya perlu menyiapkan mental untuk menerima perjodohan dari Karina.Oh, tentu dengan rencana pelengkap mereka ... yaitu, meracuni suami Bia nanti.Aretha menoleh, memandang iba pada Bia. Bagaimana bisa, anak dengan masa depan cerah. Anak dengan latar belakang yang bisa membuat siapapun iri, saat ini masih betah bersusah payah bahkan betah untuk terus berada di sampingnya.Aretha, si anak miskin yang tidak memiliki ayah.Setiap hari, menonton dan menyaksikan betapa pusing dan beratnya hidup menjadi seorang Bia. Meski mungkin, kesulitan itu tercipta karena keputusan Bia sendiri."Ayahmu--" Dering nyaring ponsel Bia menghentikan niat Aretha yang baru saja ingin membahas hal tabu.Dua pasang mata langsung menatap horor layar ponsel Bia. Dion Mahesa menelepon Bia--yang artinya--Karina sudah mengetahui soal ini.Sial!Bia segera menegakkan tubuhnya. Duduk, lalu berdeham beberapa kali agar suara hati yang gelisah tidak bisa didengar Dion, si pria cerdas."Bi, jangan diangkat!" cegah Aretha yang sudah ikut duduk, bahkan debar jantungnya mungkin juga tidak kalah cepat dengan Bia."Beda cerita kalau wanita tua itu yang meneleponku," balas Bia. Ibu jarinya sudah bersiaga untuk menekan ikon hijau di layar ponselnya.Aretha kembali mencegah. "Dia dan ibumu adalah sekutu!""Ah!" Bia memekik bukan karena ucapan Aretha, tetapi karena nama Dion redup dari ponselnya.Sungguh ajaib, suasana tenang bisa langsung berubah ramai hanya karena satu panggilan saja. Entah akan segaduh apa jika Karina yang langsung menghubungi Bia."Haah ... syukurlah," lega Aretha. Perlahan degub jantungnya berangsur normal. "Cepat matikan ponselmu," lanjutnya memerintah. Sungguh, semakin lama berteman dengan Bia, mungkin umurnya akan semakin berkurang."Syukurlah?" gumam Bia, lalu dengan cepat menekan angka nomor dua."Kamu gila, Bia!" pekik Aretha, melihat panggilan Bia sudah tersambung."Dion bisa menjadi sekutuku," bisik Bia pada teman yang sudah pucat di sana. Mengingat sikap Dion waktu itu, Bia pikir Dion mungkin akan mau membantu dirinya. Yah, walau tidak begitu yakin. Namun, Bia ingin tetap mencobanya."Ada--""Nona, Nyonya Karina meminta anda untuk segera datang ke rumah utama."Bia mengerutkan dahi. Rahangnya mengeras menahan emosi. "Apa wanita tua itu ada di sampingmu?" tebaknya. Dion selalu berbicara formal dengannya hanya ketika ada Karina.Mendengar ucapan Bia, Aretha semakin mengguncang tubuh Bia. Aretha ingin Bia segera mengakhiri panggilan itu."Tidak."Singkat sekali jawaban Dion. Terlalu singkat dan dingin sampai mengundang tarikan sinis bibir Bia."Benar. Wanita itu pasti ada di sampingmu," balas Bia tidak percaya. "Kalau begitu, tolong sampaikan pada wanita terhormat di sana. Dengan berat hati, aku tidak bisa mengikuti perintah nyonya Karina.""Nona, anda harus segera datang ke rumah utama dan saya, sudah berada di depan rumah sewa nona Aretha."Hah? Bia membelalakkan matanya, kemudian segera beranjak dari ranjang dan membuka tirai tipis yang menutupi jendela kamar.Tidak luput, Aretha juga mengikuti tingkah impulsif temannya itu.Dua wajah terkejut tidak bisa disembunyikan. Melihat Dion dengan santainya menatap mereka, serta lima orang berbaju hitam yang sejak siang tadi sudah Bia bayangkan kedatangannya.Sial! Bagaimana bisa Dion tahu keberadaan rumah ini. Padahal Bia dan Aretha menyewa tempat itu atas nama orang lain.Bersambung ...."Wanita itu--""Wanita itu adalah ibu anda, Nona," potong Dion tanpa memandang Bia yang duduk di sampingnya.Tiga puluh lima menit yang lalu, Bia menyerahkan diri secara suka rela. Bia memilih ikut bersama dengan Dion untuk pergi memenuhi panggilan dari ratu Sindari, Karina."Ya benar, seorang ibu yang berulang kali mengatakan telah menyesal karena telah melahirkanku," tegas Bia membalas. Masih ingat jelas ucapan Karina yang begitu melukai hatinya. Bia hanyalah aib sang ibu."Itu karena Nona yang selalu membantah perintah dari Nyonya."Balasan Dion membuat Bia melirik dan tersenyum kecut."Kamu benar-benar anjing yang patuh," sarkas Bia.Awalnya ingin berunding dengan Dion soal foto-fotonya yang tersebar. Namun, sepertinya Bia harus mengurungkannya.Lihat saja, sejak tadi Dion bahkan tidak memandang ke arahnya.Meski setiap kali bertemu mereka saling melempar tatapan dan ucapan dingin. Akan tetapi, Bia yakin di sudut hati mereka ... ada perasaan rindu, kerinduan dengan harapan mereka
"Dia pasti kelelahan menangis," bisik Aretha dalam hati, setelah memandang jam dinding yang sudah tertuju pada angka sepuluh.Menjauh dari dapur mini, kedua tangan Aretha dengan cepat membawa dua piring yang berisi makanan berbeda. Meletakkan perlahan piring-piring itu ke atas meja, Aretha tidak ingin membuat suara yang akan membangunkan bayi besarnya, Bia."Haah ...." Aretha menghela napas, tangan-tangannya berada di pinggang. Selesai sudah untuk urusan sarapan mereka. Aretha pun menyambar dan membawa segelas teh hangat menuju jendela yang sudah menerangi ruangan kecilnya. Menikmati teh sambil memandang keluar sudah menjadi kebiasaan Aretha."Huh?" Kening Aretha mengerut dalam. Tidak lama, dua matanya pun membelalak. "Bi, Bia! Bangun!"Teriakan Aretha cukup mengejutkan Bia yang baru dua jam memejamkan mata. Kesadaran pun langsung terkumpul bersamaan dengan degup jantung yang meningkat cepat.Dengan mata yang masih berat, Bia refleks duduk menghadap Aretha. "Ada apa?" ucap Bia dengan
Chette Lipacchi.Bia menyipitkan mata, menatap lurus pada huruf-huruf terpampang besar di atas gedung pencakar langit.Chette Lipacchi, salah satu cabang perusahaan yang menerbitkan majalah Elle di Indonesia ... Bia sungguh tidak percaya kalau ia akan kembali ke tempat ini.Kemarin, Bia setuju untuk menjadi model di majalah Elle. Sekarang, Bia datang untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak Chette."Aku tidak sabar untuk melihat reaksinya," gumam Bia.Ia menerka-nerka, bagaimana jika Karina tahu kalau anak bungsunya, ah ... salah, maksudnya anak yang telah dibuang bekerja sama dengan perusahaan yang paling Karina benci, mungkinkah sang ibu akan mengirimkan setumpuk masalah untuknya atau untuk perusahaan ini?Melangkah masuk dengan percaya diri ke dalam gedung. Kedatangan Bia cukup menarik atensi orang-orang di sana.Bia begitu cantik dengan busana kemeja merah marun, model kerah berenda yang sedikit terbuka di bagian dada. Tinggi yang semampai membuat kaki-kaki berselimut
Suasana yang tenang, bahkan detak jam pun tidak terdengar. Pemandangan yang indah dari balik kaca besar, meski hanya melihat luasnya kota dan gedung pencakar langit yang seolah saling bersaing ... wanita di sana tetap menyukainya.Nuansa keabu-abuan yang dihias dekorasi hitam dan putih, sedikit membuat Bia bisa menilai seperti apa sosok Noah saat bekerja. Aura ruangan di sana seperti ruang kerja sang ibu, serius dan tanpa ampun.Bibir tipis yang terukir cantik itu pun kembali menyesap sisa teh yang sudah tak lagi hangat. Bia kini benar-benar bisa merasa tentram setelah apa yang terjadi pada dirinya beberapa hari lalu. Ditinggalkan pemilik ruangan, cukup untuk Bia merenungkan diri. Mengoreksi, memilah dan menata apa yang harus ia lakukan mulai saat ini."Maaf menunggu lama," ujar Noah sesaat setelah masuk ke dalam ruang kerjanya. Noah berjalan menghampiri Bia dengan beberapa berkas yang ada di tangan kiri."It's okay. Saya justru berterima kasih untuk waktu yang telah pak Noah sediakan
Kilat cahaya menerangi sasana malam di sana. Semua bernuansa gelap dengan beberapa warna berbeda sebagai pemanis untuk menghidupkan panggung.Bia berpose di antara daun-daun panjang yang terhias beberapa pita merah. Ia duduk di lantai berkarpet rumput dengan dua kaki yang terlipat. Bibir tipis merah mudanya tersenyum ceria, tangan kanannya memeluk jemari pria tampan dengan kemeja hitam terbuka. Warna pakaian yang bertolak dengan Bia. Gaun putih setipis sutra nampak anggun, lengan baju pendeknya menari tertiup angin.Tidak bisa dipungkiri, Zafanya Bia dan Vian Handika menjadi pasangan sempurna di atas panggung. Mereka terlihat serasi membawakan fashion bertema alam malam."Okay! Break!" Teriakan nyaring dari pria yang menggenggam erat kamera.Puluhan take sudah diabadikan sang fotografer sedari pagi. Merasa puas. Kini sudah waktunya untuk mengakhiri.Vian--model ternama yang baru-baru ini menduduki peringkat atas di dunia fashion--mengulurkan tangan pada Bia."Thanks," ujar Bia seraya
"Hei, apa terjadi masalah di sana?""Huh?" Bia mengedipkan mata. Lamunannya tersadar kembali setelah mendengar teguran Aretha. "Ah, tidak ada. Bukankah sudah kubilang, orang-orang di sana terus saja memujiku," lanjutnya. Masih belum jelas. Jadi, Aretha tidak perlu tahu tentang pria yang menandang benci padanya di lobi tadi.Aretha yang sedang mengemudi pun melirik curiga. "Aku bersyukur kalau memang seperti itu. Ingat Bi, jangan membuat masalah seperti saat kamu bekerja di restoran dulu.""Hei! Dulu itu bukan kesalahanku! Ya, Tuhan ...." Bia mengelak tidak terima. Kenapa juga Aretha masih mengingat kejadian itu? Itu pengalaman yang cukup menyebalkan! Baru bekerja satu hari, ia sudah dipecat."Iya, itu bukan salahmu. Pokoknya, selama mereka tidak melecehkanmu. Ingat untuk selalu menahan emosimu," saran Aretha seraya memutar kemudi untuk mencari tempat parkir. Mereka sudah sampai di sebuah restoran."Ya Tuhan ...." Bia menghela napas sembari memutar bola mata. "Apa di matamu aku terliha
Bia akui, cinta pertama itu sungguh seperti sebuah keramat. Sulit dimiliki dan sulit dilepas dari hati juga pikirian. Perasaan suci, tetapi akan mengutukmu selamanya.Cinta pertama memiliki tempat yang tidak akan pernah hilang. Sampai berpuluh tahun pun akan tetap bisa menggetarkan hati dengan caranya sendiri.Haah ... Bia menghela napas setelah membaca pesan yang entah sudah berapa kali masuk ke ponselnya pagi ini. Ia sudah tidak lagi mengenal Dion dengan baik.Sudah dua hari, Bia terus mengabaikan pesan Dion. Pun mengabaikan kehadiran pria itu saat menjemput atau menunggunya di depan rumah atap Aretha, tempat yang kini menjadi rumah Bia.Dion sungguh sudah seperti seorang pengangguran yang hanya memiliki jadwal untuk mengganggu Bia.Ya Tuhan ... belum mulai bekerja, tetapi hati sudah dihantui rasa yang Bia sendiri pun sulit menggambarkannya."Ada apa? Ada yang sudah membuatmu bosan pagi ini?"Bia yang sedang duduk di kursi kantin langsung menolehkan kepala ke belakang. "Ah ... Hei,
"Tentu saja, kalau kamu mau memberikan bunga ini untuk temanmu."Bia berdecak malas. "Di antara pertukaran ini, aku rasa yang paling dirugikan adalah bapak sendiri. Jadi, terima kasih untuk tawarannya," ucapnya kemudian melenggang pergi meninggalkan Noah yang mengulum senyum."Haah, sayang sekali kalau begitu," gumam Noah memeluk buket bunga yang sia-sia saja ia pesan dengan sedikit pemaksaan. Menatap punggung Bia yang kian menjauh dan berbaur dengan para model lainnya.Paras Bia memang cantik, tubuhnya yang tinggi dan ramping menambah keindahan yang seolah sengaja Tuhan ciptakan hanya untuk Bia. Namun sayang, semua itu tidak mampu menggetarkan hati Noah."Aku tidak melarangmu mendekati wanita manapun, tapi tidak untuk wanita itu dan orang-orang di sekitarnya." Suara bariton mengganggu Noah yang masih betah menatap para modelingnya.Noah mendebas napasnya kembali. Tanpa menoleh ke samping, ia sudah tahu siapa yang berbicara. "Ini, pertemuan pertama kalian, bukan?" ucapnya memilih meng