Share

Chapter 8 : Si Misterius

Kilat cahaya menerangi sasana malam di sana. Semua bernuansa gelap dengan beberapa warna berbeda sebagai pemanis untuk menghidupkan panggung.

Bia berpose di antara daun-daun panjang yang terhias beberapa pita merah. Ia duduk di lantai berkarpet rumput dengan dua kaki yang terlipat. Bibir tipis merah mudanya tersenyum ceria, tangan kanannya memeluk jemari pria tampan dengan kemeja hitam terbuka. Warna pakaian yang bertolak dengan Bia. Gaun putih setipis sutra nampak anggun, lengan baju pendeknya menari tertiup angin.

Tidak bisa dipungkiri, Zafanya Bia dan Vian Handika menjadi pasangan sempurna di atas panggung. Mereka terlihat serasi membawakan fashion bertema alam malam.

"Okay! Break!" Teriakan nyaring dari pria yang menggenggam erat kamera.

Puluhan take sudah diabadikan sang fotografer sedari pagi. Merasa puas. Kini sudah waktunya untuk mengakhiri.

Vian--model ternama yang baru-baru ini menduduki peringkat atas di dunia fashion--mengulurkan tangan pada Bia.

"Thanks," ujar Bia seraya menggapai uluran Vian.

Mereka baru berkenalan tadi pagi di ruang meeting dan sekarang, Bia sudah cukup akrab dengan Vian beserta model lainnya. 

Bia cukup bersyukur, dirinya diterima baik di sana.

Padahal, semalaman ia merengek pada Aretha hanya karena praduga Bia yang sudah meliar bak sinetron. Ia takut akan ada kasta di antara para modeling.

Bagaimanapun, pemodelan adalah industri kompetitif yang membutuhkan dedikasi dan ketekunan. 

Bia tahu diri, ia memang tak sebanding dengan usaha mereka. Dalam hitungan jam, namanya seketika naik daun hanya karena foto yang beredar di media sosial. Menurutnya, itu sama saja melukai kerja keras mereka yang bekerja dengan serius dan penuh perjuangan.

"Aku dengar selama ini kamu hanya menjadi model online untuk toko kecil?" tanya Vian seraya mendampingi Bia ke ruang ganti. Dirinya sudah membaca beberapa artikel tentang Bia.

"Yaah ... itu benar, selama ini aku hanya menjadi model untuk temanku. Jujur saja, ini pertama kalinya aku bekerja di studio sebesar ini." Bia mendekatkan wajahnya ke wajah Vian. "Bahkan, baru kali ini juga aku dibuat pusing dengan ekspresiku sendiri," lanjutnya berbisik. Sewaktu bekerja dengan Aretha, ia tidak begitu mempedulikan ekspresi karena wajahnya bukan menjadi item yang akan dijual.

Vian terkekeh, pria itu mengerti apa yang dimaksud Bia. Dulu Vian juga seperti itu, kesulitan mengekspresikan diri untuk disesuaikan dengan tema pemotretan.

"Hari ini kamu luar biasa. Sama sekali tidak terlihat seperti baru belajar. Bahkan Deri dan fotografer terus memujimu," puji Vian yang juga merasa kagum dengan Bia.

"Itu karena kamu yang menjadi pasanganku, haha ...."

Bia menghentikan langkahnya di depan ruang ganti wanita. Jemari kanannya memegang handle. "Terima kasih untuk bantuannya hari ini, Vian."

Vian menelan cepat salivanya, kedua tangan berada di saku celana levis pendeknya. "Santai saja, Bi. Oh iya, apa Deri akan mengantarmu pulang?"

"Ah tidak, temanku yang akan menjemputku. Kenapa?" balik tanya Bia.

"Nah, tidak apa-apa. Kalau begitu, sampai bertemu besok," ucap Vian. Sudut bibirnya ditarik hingga lesung pipi muncul menambah kemanisan di wajah tampannya.

Bia tertegun. Memandang punggung Vian yang menjauh. "Apa dia ingin mengantarku pulang?" batinnya menebak.

Ck, sayang sekali. Ia sudah memiliki janji dengan Aretha malam ini. Maksudnya, wajah tampan itu sangat sayang untuk diabaikan. Bagaimanapun, Bia penggila keindahan. Namun sayangnya, sampai saat ini ... Dion masih menempati urutan pertama pria tertampan di hatinya.

Bia pun mendorong daun pintu dan masuk ke dalam. Di sana sudah ada beberapa orang yang sedang berganti pakaian.

Berjalan seraya melempar senyum ramah pada empat wanita yang beberapa jam lalu menjadi partner di sasana pemotretan. Bia mengambil baju miliknya yang tergantung di hanger kemudian membawanya ke sebuah ruang kecil tertutup tirai panjang hitam.

Menghembuskan napas lelah. Tidak bisa mengelak, ia sudah seperti anak burung yang baru keluar dari sangkar. Bia benar-benar merasa canggung untuk memulai perbincangan!

Beberapa tahun ini, Bia hanya disibukkan--ralat--sibuk mencari masalah dengan Karina dan membantu bisnis Aretha. Keluar istana pun tujuannya hanya Aretha, Aretha dan Aretha!

"Ya Tuhan, kemana teman-temanku yang lain?" batin Bia, tangannya sibuk mengganti pakaian sedangkan pikiran meratapi lingkaran sosialnya.

Bahkan di usia dua puluh lima tahunnya ini, Bia belum pernah berpacaran!

Selesai sudah ia berganti pakaian. Baju sponsor Bia gantung rapi di sana. Beruntung melepas pakaian terakhir bahkan riasan rambut tidak sampai memerlukan bantuan dari penata rias. Jadi Bia bisa mengurus tubuhnya sendiri.

Mengambil tas chanel miliknya dan membuka tirai hitam, Bia mengedarkan pandangan. Sudah sepi. Hanya ada satu penata rias sedang merapikan meja rias di sana.

"Sini, Bi. Biar aku bersihkan wajahmu dulu," ucap Erna, si penata rias.

"Tidak perlu Na. Kamu lanjutkan saja pekerjaanmu dan hati-hati saat pulang nanti, oke?" balas Bia, menepuk pelan bahu Erna. Sentuhan yang dibalas dengan senyuman oleh si pemilik bahu.

Melangkah pergi keluar ruangan. Bia menelusuri lorong yang terisi dengan gema musik ringan dari studio pemotretan.

Jenjang kaki yang terbungkus levis hitam mengecil di bagian bawah bergerak dengan jarak teratur. Bia sengaja melangkahkan kaki-kakinya dengan anggun, tidak luput peran sandal high heels yang mempercantik dua kakinya.

Pesan Aretha, meski tidak ada yang melihat bertingkahlah dengan anggun dan cantik layaknya seorang model yang sedang menjejakkan kaki di catwalk.

Aretha bilang, dirinya sudah menjadi terkenal. Jangan sampai kamera pengintai merekam sikap buruknya. Sebab, dunia hiburan sama kejamnya dengan dunia politik.

Kalau hal buruk terjadi, Bia sudah tidak bisa lagi memakai kekuasaan Sindari. Sebab, ia sudah bukan lagi bagian dari keluarga itu.

"Sial, lagi-lagi aku mengingatnya," gerutu Bia dalam hati. Jemarinya pun melepas ikat rambut yang sejak pemotretan belum ia sentuh, kemudian memasukkannya ke dalam tas.

Entah sudah berapa kali Bia teringat pada kata-kata terakhir Karina. Bahkan terkadang, ia berharap ada bodyguard Sindari yang menyeretnya untuk pulang.

Lucu, bukan? Sejak dulu selalu ingin melarikan diri. Namun sekarang, ia justru rindu berdebat dengan nenek sihir itu.

Bia sangat sadar, bahwa melupakan hal menyakitkan itu memang sulit. Oleh karena itu, ia hanya akan terus memikirkan masa depan. Sampai kesibukannya bisa mengubur hal-hal yang membuat hatinya berdesir perih.

Bia yang sudah sampai di lobi gedung pun tersenyum senang begitu melihat Aretha sedang bersandar santai di badan mobil.

Huh? Kaki-kaki Bia pun refleks berhenti. Ini aneh, ia merasa ada yang sedang memperhatikan dirinya.

Mengedarkan pandangan ke segala arah. Tidak ada tanda mencurigakan, ia hanya melihat beberapa orang yang asik dengan urusan mereka.

Masih merasakan perasaan tidak enak, kepala Bia pun menegadah ke atas.

Di lantai dua, ada seorang pria berkemeja marun. Berdiri dengan kedua tangan berada di saku celana. Pria itu memandang ke arahnya ... mungkin? Bia tidak mau berprasangka buruk.

Namun firasatnya cukup kuat sampai bisa mengatakan dengan lantang bahwa pria itu membencinya.

Menjadi bagian Sindari, harus selalu merasa waspada sudah menjadi makanan sehari-harinya. Oleh karena itu, kepekaan Bia cukup bisa diacungi jempol.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status