Share

3. Masalah Baru, Lagi dan Lagi

"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?"

"Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda.

Perjalanan dimulai dengan suasana yang cukup santai karena lawakan Inah dan Karmin. Juli tidak dapat membayangkan hidupnya tanpa kedua orang ini.

Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika Karmin menghentikan mobil di sebuah bangunan yang tampak masih baru dan terlihat mungil namun asri. Dari layar ponsel memperlihatkan bahwa mereka berada di wilayah dataran tinggi dan berjarak 2 jam dari Kota.

"Ini Non kuncinya," Inah menyerahkan sebuah kunci kepada Juli.

Betapa berbinarnya wajah Juli ketika masuk ke dalam rumah tersebut, yang didominasi oleh warna cokelat nan estetik. Tidak seluas rumah lama mereka memang, namun sepertinya Juli akan nyaman tinggal di sini sementara waktu. Ayahnya sangat ahli memberi kejutan.

Karena tidak tingkat, Juli menempati kamar utama yang berada di dekat ruang keluarga. Inah menempati kamar yang ada di dekat pantry, sedangkan Karmin menempati Kamar kecil yang berada di luar rumah. Tugas seorang Pak Karmin bertambah menjadi security untuk rumah mungil ini.

Pukul delapan pagi, Inah sudah selesai membuat sarapan. Mereka bertiga duduk di ruang makan sambil menyalakan TV. Dan disitulah Juli melihat berita yang menampakkan wajah Ayahnya sedang tertunduk. Seorang Surya Tama ditahan atas dugaan penggelapan dana, ia ditangkap di kediamannya seorang diri.

Juli mengatupkan bibirnya rapat. Ayah...

Inah memeluk tubuh Juli yang sedikit bergetar. "Nggak apa-apa Non, semua akan baik-baik saja."

***

Baru 2 hari Juli hidup agak terasing, namun dirinya rindu dengan gemerlap Kota. Ia rindu menari diantara hingar bingar musik meski keesokan harinya ia datang terlambat ke kampus. Di sini, meski tenang namun terasa kurang bagi gadis muda seperti Juli.

Pagi itu pun berlalu seperti biasa, Juli jogging tipis-tipis keliling halaman rumah agar jiwa raganya tetap seimbang walau galau menyerang. Namun baru kali itu ia lihat wajah Inah murung. Pandangannya tidak fokus. Sampah yang ia sapu menggunakan sapu lidi banyak yang terlewat.

"Eh ayam, ayam!" Inah terkejut mendapati satu tepukan di pundaknya.

"Kenapa sih Bi? Galau banget mukanya," sapa Juli dengan nada riang.

Inah terlihat kikuk dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Itu Non, anak Bibi baru melahirkan semalam. Tapi ada sedikit masalah di kampung. Bibi mau bantu ke sana, tapi Bibi juga sadar kalau nggak bisa ninggalin Non sendiri."

Yes, ada celah buat ke Kota! Juli malah asik dengan pemikirannya sendiri.

"Penting banget Bi urusannya?" Juli memastikan.

"Bagi Bibi penting Non, menyangkut nasib cucu Bibi."

Juli khawatir, namun ia juga belum tahu apakah kondisi di Kota sudah kondusif.

"Emn, begini saja deh Bi. Kalau aku di sini sama Pak Karmin nggak mungkin, jadi aku pergi ke Kota saja ya sampai Bibi balik. Nanti aku bisa sewa penginapan mingguan di sana, aku masih ada budget kok. Lagian biarpun Ayah punya kasus, dari kemarin aku pantau nggak ada yang cari informasi tentang aku," ujar Juli santai. Ia berpikir bisa sekaligus mengurus cuti kuliahnya.

"Memang boleh begitu Non?" tanya Inah ragu.

Juli mengangguk mantap.

Sebelum siang mereka bertiga sudah jalan menuju Kota, menggunakan mobil jenis SUV yang terparkir di garasi rumah dan atas nama Juli. Entah kapan Ayahnya membeli mobil itu, yang jelas mempermudah mobilitas mereka bertiga karena mobil Karmin sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh.

Di kota, Juli mendapatkan kost exclusive yang bisa disewa mingguan dekat Kampusnya. Ia hanya membawa koper kecil yang berisi barang-barang berharga dan beberapa pakaian karena kost ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap.

Setelah memastikan tidak ada yang mengenali Juli, Inah dan Karmin melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman mereka yang memang bertetangga. Juli meminta Karmin untuk rehat juga dari segala kegaduhan beberapa hari ini.

"Ah, hawa Kota memang beda." Juli bergelung di atas ranjang yang dilapisi bedcover berwarna putih dan tebal.

Karena hari sudah sore, selesai merapikan pakaiannya agar tidak kusut di dalam koper, Juli memutuskan untuk pergi ke sebuah klub malam yang tidak terlalu ramai karena para mahasiswa sedang libur semester. Ia ingin melampiaskan segala kepenatan otaknya. Dan supaya ia bisa berjalan pulang sendiri ketika dirinya mungkin agak mabuk.

Selesai mandi, Juli mengenakan dress vintage lengan panjang di atas lutut dengan motif bunga. Rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai, tentunya dengan riasan wajah flawless namun berkesan natural.

Jika ada yang bertanya apakah selama beberapa hari ini tidak ada sahabat Juli yang menghubungi? Jawabannya tidak ada, karena Juli adalah orang yang introvert. Ia menganggap dirinya bisa bertahan seorang diri meski hujan badai menyerang.

"Selamat malam, selamat datang di Lian Club," sapa seorang security yang membukakan pintu ketika lihat Juli berjalan pelan menuju tempat tersebut.

"Malam," jawab Juli singkat.

Ia mengambil posisi duduk di sudut meja namun depan bartender. Ia tidak suka keramaian dan sapaan dari orang asing, jadi ia selalu mengambil posisi itu. Dengan harapan orang lain akan menganggap kalau Juli adalah kekasih sang bartender.

"Mau lagi kak?" tanya sang bartender yang melihat gelas Juli telah kosong.

"Boleh, sama Aglio Olio satu ya," jawab Juli semangat. Meski dipenuhi euforia, ia ingat bahwa terakhir ia makan adalah tadi pagi sebelum berangkat ke Kota.

Juli merasa dirinya belum mabuk, karena sejak awal ia meminta minuman yang kadar alkoholnya rendah. Dengan begitu setelah menenggak 3 gelas dirinya masih bisa pulang sendiri.

"YEAY!!!" jerit Juli memecah keheningan. Musik baru menyala, ia sudah berdiri di tengah lantai dansa dengan wajah memerah dan pandangan sedikit kabur, berniat untuk membakar kalori dari makanan yang telah habis ia santap.

Beberapa meter dari tempat Juli berdiri, ada sepasang mata tajam familiar yang segera bangkit ketika melihat Juli. Ia berdiri, lalu menyandar pada tembok, memperhatikan seberapa kacau tingkah laku Juli ketika mabuk. Meskipun ia sering mendapat laporan dari mata-matanya, namun melihat dengan mata kepala sendiri benar-benar menjadi candu bagi lelaki itu. Maka, lelaki itu putuskan untuk tidak minum sama sekali.

"Eh maaf, maaf, aku nggak sengaja" Juli menangkupkan tangannya di depan lelaki bertubuh besar dan berwajah mesum.

Lelaki asing itu hendak menarik tangan Juli, namun sebuah tangan dari lelaki yang memperhatikan Juli tadi membatalkan niatnya.

"Maaf mas, tunangan saya kalau mabuk memang suka menyebalkan," katanya meminta maaf, tapi dengan wajah datar dan dingin.

Lelaki mesum itu mendengus sebal dan meninggalkan mereka berdua, merasa bahwa tidak ada kesempatan untuk mengelabui Juli.

"Apa, memang kita tunangan?" tanya Juli di telinga lelaki itu.

Sekujur tubuh lelaki itu meremang. Kali ini, ia tidak akan melepas Juli. Entah bagaimana caranya, ia akan memberikan "tanda" agar Juli selalu mengingatnya.

Lelaki itu menggandeng tangan Juli menuju meja kasir untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu, lalu memapah Juli menuju parkir untuk memasuki mobilnya.

Tidak bisa menunggu lebih lama, lelaki itu memarkirkan mobinya pada sebuah hotel bintang 4 yang tidak jauh dari klub. Ia kembali memapah tubuh Juli menuju resepsionis untuk memesan kamar VIP. Baru setelah keluar lift, lelaki itu menggendong tubuh Juli menuju kamar yang dimaksud.

"Ini dimana? Aku dimana? Kenapa Om lepas baju?" tanya Juli merancu yang kini terduduk di atas ranjang dengan pakaian lengkap.

Lelaki itu menaikkan tubuh Juli hingga menyandar pada ranjang. Dengan perlahan ia mengecup bibir ranum yang sejak 2 tahun ini ia damba, seraya tangannya meraba dan berusaha melepaskan pakaian Juli.

Namun, Juli tidak sebodoh itu fergusooo.

Dengan sengaja Juli membalas pangutan lelaki yang di penglihatan mabuknya malam itu sangat tampan, ia bahkan menahan kepala lelaki itu dengan tangan kirinya.

Merasa gayung bersambut, lelaki itu lengah dan melonggarkan pegangannya. Tanpa ia sadar bahwa tangan kanan Juli sudah mengambil air mineral berbotol kaca warna hijau yang ada di meja kecil sebelah ranjang.

Dan... Pranggg!

Juli mendorong tubuh tinggi itu dengan susah payah hingga ia bisa menyelinap dan segera melarikan diri dari kamar terkutuk.

"JULI!" bentak lelaki yang terlihat murka. Ia memegang kepala yang meski tidak sampai berdarah namun cukup berdengung.

"KALAU MAU ITU NIKAHIN DULU, HUWO!" jerit Juli sambil berlari.

Juli menekan tombol lift setelah berlari keluar kamar. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya agak tersengal, keringat menetes dari kening. Sebelum lift sampai lobi, Juli merapikan pakaian dan wajahnya.

"Terima kasih sudah berkunjung," sapa security di pintu lobi sambil mendekap tangan kanan ke dada.

Juli tersenyum ramah, berusaha bersikap tidak mencurigakan. Saat berada di belokan jalan, ia berlari sekencang mungkin menuju kost dengan jarak yang agak jauh. Takut lelaki gila itu mengikutinya.

Security gerbang kost yang melihat Juli berlari di jam 11 malam terlihat terkejut, namun sebelum ia sempat bertanya, Juli telah mengangkat tangan kanannya dan berkata... "Saya sakit perut, Pak."

"Oh... saya pikir kenapa Neng," katanya kembali duduk, tidak jadi panik.

Saat naik tangga, Juli mengendap karena tidak mau menarik perhatian warga kost yang cukup padat dan terkadang ada yang kepo pada anak baru.

Sesampainya di dalam kamar, Juli duduk di meja belajar sambil menstabilkan jantungnya. Kemudian mengambil beberapa skincare mahalnya untuk membersihkan wajah. Salah satu rahasia kemulusan wajah Juli yang tidak pernah skip double cleansing dan pakai skincare sebelum tidur.

"Jul, Jul, bisa-bisanya ketemu Om seram kayak gitu, ckckck."

Lalu Juli mengerejapkan mata berkali-kali, coba mengingat orang yang baru ia saja beri label 'Om serem'. Eh sepertinya nggak seram-seram amat, kayaknya sih ganteng deh.

Jam sudah lewat tengah malam. Selesai mandi, Juli menyelesaikan rangkaian skincare-nya. Kemudian merebahkan tubuh di atas ranjang sambil meng-scroll ponselnya. Tidak lupa Juli memeriksa pesan di grup baru yang berjudul 'Grup Rahasia' berisikan Juli, Bi Inah, Pak Karmin. Ada pesan dari Inah yang mengatakan kalau ia belum bisa kembali ke Kota dalam beberapa hari. Lalu ada, tunggu... kenapa ada pesan dari Amel anaknya Karmin?

Malam Kak Juli, ini Amel anaknya Pak karmin.

Degh, kenapa Amel mengirim pesan tengah malam? Mau Juli telepon, tapi sudah larut. Kalau kirim pesan, Juli takut jadi penasaran. Akhirnya Juli putuskan untuk menyalakan alarm pukul 7 pagi, agar ia bisa segera menelepon Amel dan menanyakan ada apa.

Juli menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

"Pasti ada masalah baru, lagi dan lagi," ujar Juli pasrah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status