Share

2. Hidup Yang Sedang Lelah-Lelahnya

"Sudah mau sampai, Non."

Juli yang sejak masuk ke mobil tadi menutup mata, kini membukanya perlahan. Ada Inah dan Karmin, serta Ibunya dipelukan. Juli pikir ketika ia membuka mata keadaannya akan berubah, namun tetap sama. Ternyata ini semua bukan mimpi.

Perjalanan terasa sangat lama, terutama jika kau sedang menunggu sesuatu.

20 menit setelah keluar dari rumah, mobil berhenti di depan Rumah Sakit swasta terbesar di kota. Security yang melihat wajah kacau Juli datang membawa tandu, segera mereka membawa tubuh wanita cantik itu ke dalam ruang ICU.

Lutut Juli lemas, dirinya terduduk di lantai depan ruang ICU yang terasa dingin menusuk betisnya.

10 menit selanjutnya jadi moment terberat dalam hidup Juli. Dunianya seketika hancur, air mata sudah tidak mampu menetes. Hanya deru nafasnya yang terasa sesak. Inah membekap tubuh Juli erat. Tangisnya meraung memenuhi lorong.

Juli melangkahkan kakinya yang lemas ke dalam ruang ICU. Di atas ranjang, tubuh Ibunya berbaring dengan tenang. Wajahnya yang pucat terlihat terpejam namun ada semburat kelegaan. Lengan Juli menjutai. Diusapnya kepala Ibu dan mengecupnya lama. Dengan mata terpejam, tanpa air mata, hanya ada do'a yang ia panjatkan kepada Sang Pencipta.

Ibu... bagimana ini? Apa dengan begini beban Ibu terasa berkurang? Semoga Tuhan mengampuni Ibu. Maaf Juli belum bisa bahagiain Ibu selama ini.

"Non, sabar ya."

"Iya Bi," jawab Juli dengan suara bergetar.

Kejadian pagi ini begitu cepat. Sampai Juli merasa seperti bom waktu. Ia merasa kalut, sedih, bingung. Mungkin orang lain melihat Juli begitu tegar, tapi tidak. Juli hanya merasa bahwa air mata tidak dapat mewakili betapa ia merasa sangat kehilangan Ibunya. Seorang wanita yang dengan segenap jiwa raga membawanya lahir ke dunia. Memberikan seluruh cinta selama 22 tahun hidup Juli. Apapun alasan Ibunya, Juli yakin bahwa Ibunya telah berjuang selama ini.

TIK, TIK, TIK

Suara gerimis ikut mengantarkan jasad Ibu ke pembaringan terakhir. Mata Juli terpejam, dirinya sedari tadi memeluk lengan Ayah dan merapalkan do'a-do'a. Perjalanan dari Rumah Sakit menuju pemakaman yang cukup elit pun terasa sangat singkat, karena Juli merasa tidak ada yang bisa ia tunggu lagi. Ayahnya datang 2 jam setelah Karmin menelepon, di saat proses administrasi di Rumah Sakit telah selesai.

"Ibu bukan bundir, saya pastikan penyebab meninggalnya Ibu bukan karena bundir. Ibu meninggal karena serangan jantung, sepertinya setelah ia menyayat pergelangan tangannya."

Juli mengingat jelas perkataan dokter yang menangani Ibunya tadi pagi. Hatinya terasa jauh lebih lega dan lapang. Bahwa sampai detik terakhir, Ibunya tetap berjuang bagi keluarga mereka. Meski akhir-akhir ini ada beberapa masalah yang menimpa.

Bu, tenang di sana ya. Semoga Juli punya hati yang lapang seperti Ibu, suatu saat Juli bisa bahagiain anak Juli seperti Ibu yang selama ini bahagiain Juli. Juli sayang Ibu...

Juli menabur bunga yang aromanya semerbak di atas pusara Ibu. Tanpa ia sadari bahwa sejak tadi, ada sepasang mata tajam yang menatapnya lekat. Seorang lelaki yang bertubuh tinggi, berwajah tegas, bermata hazel yang menawan dan duduk di deretan kursi VIP.

Lelaki yang saat ini sedang mengutuk pikirannya karena bisa-bisanya ia berfantasi saat melihat sosok Juli yang mengenakan dress hitam polos di atas mata kaki berbalut blazer warna senada, rambut sebawah bahu yang tergerai ikal dan wajah yang polos tanpa riasan.

"Kita pergi sekarang, Pak?" tanya seorang lelaki yang tampak lebih muda darinya.

Lelaki itu menoleh, bersyukur karena asistennya berhasil menghentikan pikiran lelaki itu yang semakin tidak terkontrol. Ia tahu bahwa tempat ini merupakan tempat yang sakral. "Iya," jawabnya singkat.

Lelaki itu meninggalkan area pemakaman. Sebelum mobilnya melaju, dirinya masih menatap Juli dengan pandangan yang sulit diartikan karena hari ini dirinya merasa terlambat. Ia sudah tidak dapat merayu Juli lewat Ibunya yang baru saja tiada. Maka dari itu sebagai penghormatan dan rayuan terakhir, lelaki itu membawa sebuket besar bunga mawar putih yang tidak diberi nama. Berharap jika roh Ibunya masih ada, ia akan merestui jika suatu saat ada takdir yang mengikat lelaki itu dan Juli.

***

Upacara pemakaman telah selesai. Juli, Ayah, Inah dan Karmin kembali ke rumah menggunakan satu mobil.

Ayah berkali-kali menatap ke arah luar gerbang. Seakan menunggu sesuatu yang pasti datang menghampirinya. Wajah lelaki tampan yang kini terlihat menua itu sangat lelah. Mungkin karena perjalanan dari luar kota yang harus segera ia tempuh agar dapat melihat upacara pemakanan istri tercintanya. Ataupun tetang kasusnya yang sebentar lagi pasti naik ke permukaan.

"Jul..." ujar Ayah perlahan.

"Iya Yah," jawab Juli singkat. Kini tangannya telah sibuk merapikan bunga mawar putih yang ia bawa beberapa tangkai dari pemakaman dan rencananya akan ia taruh dalam vas bunga di kamar Ibunya. Entah siapa yang memberikan sebuket besar bunga mawar putih tadi.

Ayah terlihat duduk santai sambil membuka lembaran koran. Mataya menatap koran namun bicaranya pada Juli. "Ayah mau bicara serius, tapi kamu jangan menoleh ke Ayah. Kamu cukup dengarkan, dan berbicara sambil mainin bunga itu. Paham?"

"I-iya, Yah."

Jika Ayah memberikan kode seperti itu, kemungkinan karena ada masalah yang berhubungan dengan CCTV rumah mereka.

"Nanti malam kamu berbenah, nanti pagi sebelum menyalakan semua lampu, masukin koper yang penting bagi kamu ke dalam mobil Karmin. Perhiasan punya Ibu dan kunci rumah baru sudah Ayah titipkan ke Inah, nanti kalian bertiga tinggal menuju ke sana."

"Maksudnya gimana Yah?" Juli menatap nanar pada mawar itu.

"Demi cinta Ayah dan Ibu, Ayah bersumpah nggak pernah melakukan apapun itu yang orang bilang. Tapi kondisi Ayah benar-benar sulit. Yang harus kamu tahu apapun keputusan terakhir Ayah, ini semua demi melindungi kalian bertiga, harta Ayah saat ini."

"Jul... Juli mau taruh bunga ini dulu di atas."

"Iya."

Dengan sedikit berlari, Juli menaiki tangga menuju kamar Ibunya yang telah bersih.

Maksud Ayah bagaimana? Jadi kami harus pergi dari rumah ini? Kenapa?

Juli berniat merebahkan tubuhnya, namun ia ingat kalau harus membereskan barang bawaan. Dengan secepat kilat Juli menyiapkan dua buah koper dan hanya ia isi dengan yang penting-penting saja. Yang sekiranya bisa Juli manfaatkan ketika suatu hari ia tidak memiliki uang.

Memastikan ulang semuanya telah masuk ke dalam koper, kemudian memasang alarm pukul empat pagi dan Juli mulai memejamkan matanya yang terasa berat.

"Non, Non, ayok kita bawa kopernya ke mobil."

Setengah tersadar, Juli duduk di atas ranjang. Inah bahkan membangunkannya sebelum alarm berbunyi.

Dengan langkah terpogoh dan mengerejapkan mata berkali-kali karena minimnya cahaya, Juli menuruni tangga dengan membawa satu koper besar berwarna maroon. Sedangkan Inah ia minta membawa koper ukuran sedang berwarna hijau.

Karmin sudah menunggu di teras yang sama remangnya. Ia memasukkan 2 koper itu dan sedikit mengecek kembali barang bawaan mereka.

"15 menit lagi kita berangkat ya Non, sekarang Non siap-siap dulu. Pakaiannya nggak usah yang terlalu tebal Non, soalnya AC mobil Pak Karmin sedang rusak," ujar Inah yang terlihat sudah berganti pakaian.

"Oke," jawab Juli singkat.

Di cahaya yang remang depan kamar Juli, Ayah menunggu sambil tersenyum hangat.

Sedikit berlari Juli memeluk tubuh Ayahnya, ia ingin menangis tapi takut hal itu akan menjadi beban bagi Ayah.

"Ayah... apapun itu semoga Ayah diberi kesehatan dan kekuatan untuk menyelesaikan ini semua. Juli sayang banget sama Ayah, janji secepatnya kita ketemu lagi ya Yah," suara Juli sedikit bergetar.

"Terima kasih ya Nak, sudah tumbuh bahagia dan kuat. Ayah janji akan menyelesaikan ini semua semaksimal mungkin. Semoga ada kesempatan supaya kita bisa berkumpul lagi."

Juli mengangguk dalam pelukan Ayah.

"Sudah sana siap-siap, nanti kamu langsung masuk mobil saja ya."

Surya mengusap ingus yang mengalir dari hidung Juli dengan kaos lengan panjangnya. Salah satu kebiasaan Juli sejak kecil.

15 menit kemudian Juli membuka pintu mobil bagian belakang. Meski ada rasa khawatir dengan tindakan apa yang akan Ayahnya lakukan, namun ia berusaha tenang. Juli hanya dapat pasrah dan berdo'a dengan setulus-tulusnya.

"Bi, nasib Ayah gimana ya? Apa kita nggak apa-apa ninggalin Ayah begini?"

"Bibi juga nggak tahu Non, tapi semoga Bapak sabar. Seperti selama ini Bapak mengurus Non, hehehe," Inah mengajak bercanda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status