Lampu redup di kamar VIP itu membuat bayangan jatuh di wajah pucat Aluna. Nafasnya mulai teratur, meski tatapan matanya masih waspada.
“Namamu siapa?” Aluna menjawab seraya membuka mata perlahan. “Al–una.” “Oh… Aluna,” Radit memecah keheningan, suaranya lega. “Maaf ya, tadi temenku nggak sengaja nabrak kamu.” Dia melirik sekilas ke Raka, lalu kembali fokus. “Sekarang gimana? Masih sakit di bagian kepala?” Aluna menutup mata sejenak, menarik napas dalam. “Pusing,” jawabnya singkat. “Oke, aku panggil dokter dulu,” ucap Radit sambil menekan tombol panggil perawat di sisi ranjang. Hening kembali menyelimuti ruangan. Raka, yang sejak tadi bersandar di sofa, mengalihkan pandangan ke jendela. Tapi matanya sesekali melirik Aluna, menelusuri wajah itu seperti mencari potongan memori yang hilang. ‘Kenapa mata itu nggak asing…? Siapa sebenarnya perempuan ini?’ pikirnya. Aluna bisa merasakan tatapan itu. Dingin, tajam, tapi juga seakan menuntut jawaban. Tatapan yang membuatnya terintimidasi sekaligus—anehnya—sedikit terpesona. ‘Mirip artis drakor… tapi kok kayak mesum ya? Liatin orang segitunya?’ batinnya. “Lo ngapain liatin gue? Mupeng, ya? Lo yang nabrak gue tadi, kan?!” serang Aluna tiba-tiba. Nada suaranya tinggi, tanpa basa-basi. Radit terlonjak, Raka mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya balik tanpa ekspresi. “Kepedean,” balasnya datar. “Gue liat caranya lo drama, bukan muka memelas lo itu.” Aluna mendengus. “Drama? Lo buta ya? Nyetir nggak liat jalan, pikir jalan ini warisan kakek lo?” Raka menyipitkan mata, suaranya turun satu nada tapi terasa menusuk. “Lo nyebrang kayak ayam. Jangan-jangan lo sengaja? Modus minta ganti rugi?” Tubuh Aluna menegang. “Gila lo ya?! Orang kaya emang susah punya empati!” Radit langsung maju, berdiri di antara mereka. “Stop! Udah kayak mau sparing tinju aja. Ini rumah sakit, bukan ring!” Aluna melipat tangan di dada, menoleh pada Radit. “Pak, bilang ke temen lo, punya muka jangan mupeng. Kayak nggak pernah liat perempuan.” Radit menepuk dadanya dramatis. “Astaga… Pak? Muka segini segar lo panggil Pak? Panggil Kak Radit aja, biar manis.” Aluna terkekeh singkat. “Oke deh, Radit. Deal?” “Deal!” Radit mengulurkan tangan, Aluna menyambutnya. Dari sofa, Raka bergumam pelan, “Sok akrab…” Radit menunduk, membisik pada Aluna, “Biarin. Dia memang gitu sama semua cewek. Makanya jomblo abadi.” Aluna terkekeh lagi. “Pantes… labil.” Radit tertawa kecil, tapi tawa itu terhenti saat mendengar nada lirih Aluna berikutnya. “Gue nggak punya rumah. Nggak punya keluarga.” Radit menoleh cepat. “Serius?” “Ya… diusir. Mereka udah nemuin anak kandungnya.” Senyum tipis terbit di bibir Aluna, tapi matanya tak ikut tersenyum. “Tapi gue masih bisa hidup tanpa mereka.” Radit terdiam, tak tahu harus membalas apa. Aluna cepat-cepat menarik selimut, memalingkan wajah. “Udah, tidur aja. Besok gue ke rumah temen.” Radit mengangguk pelan. “Oke… tapi kalau butuh bantuan, bilang.” Di sofa, Raka memejamkan mata, tapi telinganya menangkap setiap kata. Sorot matanya sedikit berubah. ‘Kalau itu bohong, dia aktris yang sangat meyakinkan,’ pikirnya. Tapi entah kenapa, bagian dalam dirinya… ingin tahu lebih jauh. Drrttt.. Drrttt.. Drrttt.. Tiba-tiba saja ponsel yang berada di saku celana Raka bergetar cukup keras. Alisnya mengernyit, mengumpat dengan suara lirih. “Oh shith..! Siapa yang menelpon malam-malam begini..” Saat melihat nama yang tertera di ponsel, Raka mendengus kesal. Dia langsung bangkit dan melangkah keluar ruangan dengan cepat, tubuhnya sedikit tegang. Matanya masih membaca nama ’Papa’ terpampang di layar ponsel sebelum menerima panggilan masuk itu. [Halo.. Pa..] [Raka..! Kamu dimana sekarang..?! Jam segini belum pulang?] Suara Dirgantara Wijaya, Ayahnya. Sang penguasa perusahaan sekaligus pria yang paling tidak ingin dihadapi saat ini. [Jangan lupa besok kita kerumah Pak Ardian..! Membahas perjodohan mu dengan putrinya..!] Nada tegas dan memaksa dari ayahnya seperti cambuk yang kembali menyakiti hatinya. Raka mengusap wajahnya kasar. ‘Masalah itu lagi. Perjodohan.’ gumamnya dalam hati. [Pa, aku udah bilang berkali-kali.. Aku gak mau dijodohkan..!] Raka menyandarkan tubuhnya ke dinding, tangan kirinya meremas rambutnya ke belakang dengan kesal, sementara tangan kanan masih memegang ponsel. [Kalau kamu gak mau dijodohkan, cari istri secepatnya..! Tapi untuk besok, kamu harus datang dulu sampai kamu benar-benar dapat calon istri..!] [Ck, aku ini udah dewasa, Pa.. Aku CEO.. Bukan anak es-em-ah yang harus terus dalam pengawasan.. Dan malam ini aku gak pulang.. Aku nginep di penthouse..!] Raka berbohong. Tapi demi menghindari masalah baru, itu adalah satu-satunya jawaban cepat yang bisa ia berikan. Raka melirik ke arah kaca kecil di pintu ruangan VIP, di atas ranjang rumah sakit tempat seorang gadis muda yang masih tak sadarkan diri, sosok yang membuatnya memilih tinggal malam ini. [Sama siapa? Radit..?! Jangan-jangan kamu dan Radit itu—] Mata Raka membelalak, buru-buru menjawab dengan suara setengah panik. [Papa jangan bicara sembarangan..! Aku masih normal..!] [Ya udah, terserah kamu..! Besok Papa tunggu waktu makan siang..!] [Iya Pa, iya..] Klik. Panggilan terputus. Raka mendengus keras, membuang napas panjang penuh frustrasi. “Hhhh.. Perjodohan melulu yang dibahas..” gumamnya kesal. Namun, tiba-tiba saja sebuah ide tiba-tiba muncul dalam pikirannya. ‘Apa aku cari pacar kontrak aja ya..?! Tapi.. Siapa perempuan yang akan jadi pacar kontrak ku..?!’ gumamnya dalam hati. Langkah Raka kembali masuk kedalam ruangan VIP, seketika itu pandangannya tertuju pada Aluna.. ‘Apa dia saja..?!’ tanyanya dalam hati. ***Handle pintu yang berputar membuat Aluna langsung menegang. “Ya ampun..! Ada yang buka pintu!” serunya panik. Ia buru-buru menarik selimut dan menenggelamkan wajahnya.Raka yang masih menindih setengah tubuhnya malah terkekeh pelan. Tawanya dalam tapi hangat, sukses membuat Aluna makin bersembunyi.“Raka..! Jangan ketawa gitu, ih..” suaranya teredam dari balik selimut.Raka mengusap selimut itu, lalu menunduk. “Sayang, ekspresi lo barusan lucu banget. Kayak istri yang lagi kepergok main sembunyi-sembunyi.”Aluna mencubit pinggangnya dari balik selimut. “Hush..! Kita kan sah, bukan sembunyi-sembunyi.”Raka tersenyum miring, matanya penuh sayang. “Justru itu. Lo istri gua. Kalau pun ada yang lihat, biarin aja. Gua malah bangga.”Pelan-pelan, Aluna mengintip dari balik selimut. Wajahnya merona, tapi matanya berbinar. “Lo tega banget mau bikin gua malu.”“Pintu ini dikunci, cantik. Tenang aja.” Raka mengusap pipinya lembut. “Nggak ada yang bisa masuk tanpa izin gua.”Aluna masih manyun. “
Matahari pagi mulai masuk melalui celah tirai kamar, menyinari ranjang besar yang masih tampak berantakan. Aroma tubuh maskulin Raka masih melekat di dalam ruangan, bercampur dengan wangi samar parfum kayu manis.Aluna membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa pegal, tapi juga hangat. Begitu kesadarannya pulih, ia melihat dirinya masih terbaring di dada bidang Raka, polos, hanya diselimuti kain putih tipis. Lengan kokoh pria itu melingkari pinggangnya erat, seolah tak rela melepaskannya.“Raka..” suara Aluna lirih, bibirnya masih bergetar malu.Raka menggumam rendah, matanya setengah terbuka. “Pagi, istri bar-bar gua..” suaranya serak, maskulin, membuat pipi Aluna merona.“Jangan manggil gua gitu!” Aluna buru-buru memukul pelan dada bidangnya. “Lo tuh.. bikin gua malu.”Raka terkekeh kecil, lalu menarik tubuh Aluna makin dekat ke pelukannya. Hidungnya menyelam di rambut acak-acakan istrinya, menghirup dalam-dalam. “G
Pintu kamar besar itu terbanting pelan, menyisakan ruang tamu yang masih dipenuhi tanda tanya orang tuanya. Raka menutupnya dengan kakinya, sementara tangannya masih menggendong tubuh Aluna erat di pelukan.“Raka..! Turunin gua donk!” protes Aluna, wajahnya bersemu merah. Meski begitu, tangannya justru refleks melingkar di leher suaminya.Raka mendengus kasar. “Lo pikir gua bakal nurunin lo sebelum janji lo lunas?” suaranya rendah, serak, penuh dominasi.Aluna tercekat, mencoba menghindar dari tatapan mata tajam itu. “A-apaan sih.. janji apa..?”Raka meletakkannya perlahan di atas ranjang king-size dengan sprei putih rapi. Tubuhnya condong ke depan, menindih setengah tubuh Aluna, membuat wanita itu terkurung tanpa bisa kabur. Napas hangatnya jatuh di wajah Aluna, membuat jantung gadis itu berdetak kacau.“Janji lo yang tadi, lo bilang di mobil. Lo bakal nemenin gua malam ini.” Senyum tipis Raka terbit, tatapannya
Raka mendengus kasar. “Kenal. Tapi apa yang dia lakuin di sini, Pa?”Cindy buru-buru bicara, suaranya lirih tapi penuh drama. “Gua cuma pengen kejelasan, Rak.. Kenapa lo ninggalin gua begitu aja setelah malam itu.. Setelah lo—” suaranya tercekat, lalu ia menutup wajah dengan kedua tangannya. “Padahal gua juga udah nyelametin lo waktu kecelakaan tapi lo..”Raka mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Lo ngomong apaan sih?! Gak jelas ngomong sana sini..!”Pak Dirga menatap tajam. “Berarti bener? Perempuan ini bilang kamu udah tidur sama dia, terus kamu ninggalin gitu aja. Dia datang minta pertanggungjawaban.. Jelaskan ke Papa, Raka!”Aluna sontak menoleh ke arah suaminya, matanya bergetar. Ia tidak percaya dengan tuduhan itu, tapi hatinya tak bisa menahan rasa perih yang menusuk.Raka melangkah cepat, menghampiri Cindy yang masih menangis di sofa. Dengan kasar, ia menarik lengan Cindy agar berdiri. “Lo jangan main-m
Mobil hitam Raka meluncur membelah jalanan malam yang lengang. Lampu-lampu kota berpendar, bayangannya memantul di kaca jendela. Suasana di dalam mobil terasa berat, penuh tanda tanya setelah telepon misterius dari sang Papa.Raka duduk di kursi pengemudi dengan rahang mengeras. Jemarinya menggenggam erat setir, sementara matanya fokus ke depan. Aura dingin dan tegasnya kembali menguasai ruangan sempit itu.Aluna duduk di kursi penumpang, menoleh beberapa kali, memperhatikan wajah Raka yang tampak tegang. Ia ingin mengusir kekhawatiran itu, tapi tahu pria dingin di sampingnya bukan tipe yang mudah terbuka.“Lo yakin baik-baik aja?” tanya Aluna pelan, suaranya terdengar hati-hati namun lembut.Raka mendengus kecil. “Menurut lo..?” jawabnya ketus, tanpa menoleh.Aluna memutar bola matanya, lalu menyandarkan kepala ke jok. “Kalau lo jawab kayak gitu, artinya lo lagi nggak baik-baik aja,” balasnya ceplas-ceplos, membu
Raka membuka pintu penthouse dengan wajah masam. Tatapannya dingin, rahangnya mengeras, jelas sekali kalau mood-nya sedang terganggu. Dan benar saja, di hadapannya berdiri Radit dan Nayla dengan senyum mengembang seolah mereka pasangan yang baru saja pulang dari kencan.“Kalian berdua benar-benar datang gak tepat waktu..!” gumam Raka dengan nada kesal, lalu ia berbalik masuk tanpa basa-basi, membiarkan pintu tetap terbuka.Radit dan Nayla saling berpandangan, bingung dengan kata-kata Raka. Senyum di bibir mereka perlahan meredup.“Eh.. Apa kita terlambat..? Memangnya kalian mau adakan acara apa..?” tanya Radit penasaran, langkahnya maju masuk ke dalam, diikuti Nayla yang buru-buru menutup pintu di belakang mereka.“Gak tepat waktu alias gangguin gua mau ngamar sama Aluna..!” Raka melontarkan kalimat itu begitu saja dengan nada dingin, membuat Radit nyaris tersedak ludahnya sendiri.“Ka!” Aluna refleks menegur, waj