Aluna mengerjapkan mata beberapa kali, pandangannya masih buram dan samar. Ia mengernyit, merasa terusik oleh suara langkah dan gerakan yang tidak dikenalnya. Ketika kesadarannya pulih sepenuhnya, matanya langsung menangkap sosok pria yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.
“Hei..! Apa yang lo lakukan..?! Lo tadi sentuh gua, ya..?!” serunya, suara serak namun penuh kecurigaan dan amarah, matanya menatap nyalang. Raka tak langsung menjawab. Pandangannya hanya melirik sekilas, lalu kembali ke tangannya yang merapikan selimut di ujung ranjang. Gerakannya tenang, terukur, seolah semua yang ia lakukan memang harus rapi dan presisi. “Selimut lo berantakan,” ucapnya datar, tanpa menoleh. “Sebentar lagi perawat datang. Jam sembilan dokter periksa. Kalau hasilnya baik, lo bisa pulang.” Dia menyilangkan tangannya di dada, menatap tajam kearah Aluna. “Memangnya jam berapa sekarang?!” tanya Aluna sambil menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan jam dinding. Jam tujuh,” jawab Raka tetap tanpa ekspresi, namun ada sesuatu di nadanya yang membuat Aluna merasa itu bukan sekadar jawaban, lebih seperti pernyataan yang tak bisa dibantah. Aluna menoleh cepat, matanya menyipit curiga. “Kenapa lo yang di sini?! Mana Radit?!” Raka meluruskan punggungnya. Cahaya lampu jatuh di sisi wajahnya, menegaskan garis rahang tegas dan tatapan yang datar namun cukup dingin. “Karena gue yang mau jaga lo pagi ini.. Bukan orang lain.” “Kenapa..?!?” Aluna mengangkat alisnya penuh tanya. “Jangan banyak tanya..! Lo gak dengerin gua ngomong tadi..?!” tanyanya dengan nada menekan, rahangnya kembali mengeras menahan emosi. Aluna memutar bola matanya malas. “Dengarlah.. Telinga gua masih nyantol di tempatnya..!” jawabnya santai, sambil memalingkan wajah seolah keberadaan Raka tak lebih dari angin lalu. Raka menghela napas panjang, tatapannya menusuk seperti ingin membaca isi kepala Aluna. “Hmm.. Bagus..” gumamnya pelan, namun nada suaranya terdengar berat. Matanya tak lepas dari wajah perempuan di depannya, seolah setiap detail garis wajah Aluna adalah teka-teki yang ingin ia pecahkan. Aluna mengangkat dagunya sedikit, tidak mau kalah. “Ngapain lo lihat gue kayak gitu…?! Mupeng lo?!” sindirnya, tatapan matanya tajam namun bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang entah sadar atau tidak, membuat Raka makin terpancing. Raka mengabaikan ejekan itu. Suaranya merendah, dalam, dan serius. “Lo bilang diusir keluarga…? Itu beneran…?!” “Hmm… Lo pikir gua akting juga…?” Aluna membalas tanpa menunduk, tetapi garis kerutan tipis di dahinya menandakan rasa lelah yang ia sembunyikan. Raka menggeser posisi duduknya, condong sedikit ke depan. “Gua bisa kasih lo tempat tinggal yang layak… dan juga uang tiap bulan… asal lo mau bantuin gua…!” Ucapannya terdengar seperti penawaran bisnis, tapi tatapan matanya mengandung intensitas yang berbeda. Aluna memicingkan mata curiga. “Maksud lo…? Lo mau minta bantuan gua dengan bayaran dan fasilitas tinggi… Jangan-jangan lo lagi cari sugar baby atau teman tidur ya…?! Lo pikir gua cewek murahan?!” nada suaranya meninggi. CETAZZZ!!! Tanpa basa-basi, jemari Raka menjentik dahi Aluna dengan cukup keras hingga membuat perempuan itu meringis. “ADUH..! Sialan lo..! Sakit tahu…!” Aluna mengusap dahinya sambil melotot, pipinya sedikit memerah. “Salah sendiri otak lo mesum…! Jangan samakan gue dengan pria murahan..!” Raka menaikkan satu alis tipis, gerakan kecil tapi penuh wibawa. Walaupun tanpa sadar ujung bibirnya sempat terangkat tipis, senyum samar yang bahkan Raka sendiri tak sadari saat memperhatikan wajah Aluna. “Kalau nggak, lo mau minta bantuan gua apa?!” kali ini suara Aluna merendah, sedikit menunduk, matanya melirik cepat ke arah Raka seperti sedang menimbang sesuatu. “Jadi pacar kontrak gue,” jawabnya singkat, tegas, tanpa jeda, seolah sedang menyampaikan kesepakatan bisnis yang tak bisa ditawar. “Sampai keluarga gue batalkan perjodohan.” Aluna membeku sejenak sebelum akhirnya tertawa lepas. “Hahaha… lo nggak laku ya sampai minta gua jadi pacar kontrak…? Eh iya sih… gimana lo bisa dapat pacar kalau model lo dingin kayak kulkas daging di supermarket…!” Raka tetap diam. Pandangannya tak beralih sedetik pun. “Tinggal di penthouse gue. Semua biaya gue tanggung. Lo cuma perlu mainkan peran lo.” Keseriusan itu membuat tawa Aluna terhenti. Matanya menunduk, jemarinya saling bertaut gelisah. ‘Apa mungkin gua terima aja ya… daripada repotin Nayla… pikirnya. Lagipula gua mau masukin lamaran kerja, bisa cari uang tanpa mikir tinggal di mana…’ Raka masih mengamatinya, seolah menunggu detik yang tepat untuk memberi tekanan terakhir. “Gimana? Lo mau terima tawaran gue?” Aluna mengangkat kepalanya perlahan, menatap langsung ke matanya. “Hmm… kira-kira berapa lama…?!” “Mmm… gak tau… pokoknya sampai keluarga gua batalin perjodohan…!” jawab Raka cepat, seolah tak mau memberi ruang untuk negosiasi. “Kalau lo setuju, gua bayarin semua pengobatan lo… dan… semua biaya hidup lo gua tanggung! Gimana?!” suaranya terdengar seperti kartu truf terakhir. Aluna menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Oke, deal… tapi… aku mau perjanjian hitam di atas putih!” nada suaranya tegas. 'Dasar cewek… semua sama… matre…!’ gumam Raka dalam hati, senyumnya sinis dalam hati. “Oke, nanti Radit akan kembali menemui lo.. Sekarang lo terima ini..” Ia merogoh dompet, mengeluarkan kartu hitam, lalu menggenggam telapak tangan Aluna dan meletakkannya di sana. Sentuhannya singkat, tapi mantap. Tidak memberi kesempatan Aluna menolak. Aluna menatap kartu itu heran. “Apa ini?” “Limit seratus juta. Pakai kalau perlu.” Tanpa menunggu respons, ia berbalik, langkahnya teratur, suara sepatunya kembali memenuhi ruangan, hingga pintu menutup di belakangnya. Yang tersisa hanyalah keheningan… dan degup jantung Aluna yang terasa terlalu keras di telinganya. “Hahhh… 100 juta…?! Dia gila ya…?! Kasih uang sebanyak ini ke gua?!” Aluna memutar kartu itu di tangannya, bibirnya sedikit terbuka. Entah harus merasa senang atau curiga, dadanya berdegup lebih cepat dari biasanya. ***Raka menghentikan mobil sport hitamnya tepat di depan sebuah gedung pencakar langit yang berkilau di sore hari.Aluna melongok keluar jendela. “Ini– rumah?”“Turun,” jawab Raka singkat, tanpa menjawab sindiran.Mereka masuk lift pribadi. Suara musik lembut mengisi ruang sempit itu, tapi hawa di antara mereka tegang.Aluna menatap angka lantai yang terus naik. “Ini mau kemana sih atau lo—”Raka meliriknya dingin. “Gue nggak punya waktu buat pikiran kotor lo.”“Ck, semua juga kayak gitu.”“Diam.” Nada Raka memotong cepat.Pintu lift terbuka di lantai teratas. Penthouse itu luas, mewah, dan penuh kaca yang menampilkan panorama kota.“Ini kamar lo.” Raka membuka pintu di sisi kiri.Aluna melangkah masuk. Ruangannya nyaris setara presidential suite hotel bintang lima. Tempat tidur king-size, balkon pribadi, kamar mandi marmer dengan bathtub besar.“Serius?”“Ya.” jawab Raka datar.Aluna menoleh dan tersenyum tipis. “Makasih ya… walau gue masih curiga lo modus.”Raka menghela napas. Aluna
Aluna melangkah keluar dari taksi, menatap megahnya pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Tangannya menggenggam erat kartu hitam pemberian Raka."Hhhh… semalam di rumah sakit rasanya udah pengap banget. Sekarang waktunya melanjutkan hidup," gumamnya sambil mengangkat dagu, berusaha menepis rasa sesak didalam hatinya. Aluna langsung menuju toko ponsel. Setelah memilih iPhone terbaru, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Bukan buat gaya-gayaan… ini investasi kerja,” bisiknya pada diri sendiri. Laptop canggih jadi target berikutnya, untuk melamar kerja dan, katanya untuk mulai hidup normal.Beberapa jam kemudian, tangannya sudah penuh dengan paper bag berisi ponsel, laptop, dan beberapa set pakaian. Bukan barang mewah, tapi cukup untuk membuatnya percaya diri.‘Ini barang pinjaman,’ batinnya mantap, meski bayangan tatapan tajam Raka masih mengganggu pikirannya.**Di kantor, Raka duduk di kursi CEO-nya. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap layar komputer. Radit duduk di sebera
Suasana restoran siang itu cukup tenang. Aroma makanan lezat mulai menyebar, menambah kenyamanan suasana pertemuan penting antara dua keluarga. “Akhirnya kita bisa bertemu lagi, Pak Ardian, Bu Tania..” ujar Pak Dirga dengan senyum hangat, tangannya terulur menyambut kedatangan teman lamanya. Ada nada penuh memori di suaranya, seperti menyingkap persahabatan lama yang kembali tersambung. “Terima kasih, Pak Dirga, Bu Lestari. Kami senang kita bisa bertemu siang ini.. Maaf ya sudah menunggu kami.. Dan terima kasih undangan makan siangnya..” balas Pak Ardian sambil menjabat tangan mereka bergantian, terlihat akrab dan sopan. Bu Tania yang elegan tersenyum sopan, sementara Kayla berdiri di belakang mereka dengan senyum tak sabar yang ditahan-tahan. Raka, yang sejak tadi hanya sibuk menunduk menatap ponselnya, akhirnya mendongak juga. Tanpa banyak ekspresi, ia ikut bersalaman sekadarnya. Tak ada antusiasme di sorot matanya, bahkan bisa dibilang dingin. Tapi senyum manis Kayla langsung
Aluna mengerjapkan mata beberapa kali, pandangannya masih buram dan samar. Ia mengernyit, merasa terusik oleh suara langkah dan gerakan yang tidak dikenalnya. Ketika kesadarannya pulih sepenuhnya, matanya langsung menangkap sosok pria yang berdiri tak jauh dari ranjangnya. “Hei..! Apa yang lo lakukan..?! Lo tadi sentuh gua, ya..?!” serunya, suara serak namun penuh kecurigaan dan amarah, matanya menatap nyalang. Raka tak langsung menjawab. Pandangannya hanya melirik sekilas, lalu kembali ke tangannya yang merapikan selimut di ujung ranjang. Gerakannya tenang, terukur, seolah semua yang ia lakukan memang harus rapi dan presisi. “Selimut lo berantakan,” ucapnya datar, tanpa menoleh. “Sebentar lagi perawat datang. Jam sembilan dokter periksa. Kalau hasilnya baik, lo bisa pulang.” Dia menyilangkan tangannya di dada, menatap tajam kearah Aluna. “Memangnya jam berapa sekarang?!” tanya Aluna sambil menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan jam dinding. Jam tujuh,” jawab Raka tetap t
Lampu redup di kamar VIP itu membuat bayangan jatuh di wajah pucat Aluna. Nafasnya mulai teratur, meski tatapan matanya masih waspada. “Namamu siapa?” Aluna menjawab seraya membuka mata perlahan. “Al–una.” “Oh… Aluna,” Radit memecah keheningan, suaranya lega. “Maaf ya, tadi temenku nggak sengaja nabrak kamu.” Dia melirik sekilas ke Raka, lalu kembali fokus. “Sekarang gimana? Masih sakit di bagian kepala?” Aluna menutup mata sejenak, menarik napas dalam. “Pusing,” jawabnya singkat. “Oke, aku panggil dokter dulu,” ucap Radit sambil menekan tombol panggil perawat di sisi ranjang. Hening kembali menyelimuti ruangan. Raka, yang sejak tadi bersandar di sofa, mengalihkan pandangan ke jendela. Tapi matanya sesekali melirik Aluna, menelusuri wajah itu seperti mencari potongan memori yang hilang. ‘Kenapa mata itu nggak asing…? Siapa sebenarnya perempuan ini?’ pikirnya. Aluna bisa merasakan tatapan itu. Dingin, tajam, tapi juga seakan menuntut jawaban. Tatapan yang membuatnya ter
“Tega sekali kamu menipu kami! Bisa-bisanya mengaku sebagai anak kami?! Mengarang cerita dan membuat kami percaya?!”Tamparan itu telak menampar hidup Aluna. Sudah beberapa hari kedua orang tuanya, Pak Ardian dan Bu Tania, pergi ke luar kota. Dan hari ini... mereka kembali. Namun, bukan pelukan hangat atau senyuman rindu yang menyambutnya. Justru suara dingin dan tajam itu yang lebih dulu membelah udara.Dadanya berdegup kencang, wajahnya menegang. Ia melihat Mamanya berdiri di ruang tamu, matanya merah, namun sorotnya tidak lagi lembut seperti dulu.“A... Apa maksud Mama?” suara Aluna bergetar, nyaris tidak keluar dari tenggorokannya.Wanita yang selama ini ia panggil ‘Mama’ itu menatapnya seolah Aluna adalah parasit, penipu yang menjijikkan. Tak lama, Pak Ardian muncul dari arah belakang. Wajahnya tegas dan penuh kekecewaan.Suara itu... suara yang dulu selalu menjadi tempatnya berlindung, kini menghantamnya hati Aluna yang seketika itu hancur. “Aku gak ngerti... Aku gak ngerti m