Wajah ibunda dokter Abi terlihat kaku, mata dan bibir sebelah kiri lebih jelas terlihat penurunannya. Sementara itu lengan sebelah kanan kaku, tak dapat digerakkan dengan bebas, sedang jemari tampak menegang. Wanita paruh baya itu bahkan tak dapat berbicara jelas. Sungguh jika diperhatikan dengan seksama, rasa iba begitu dalam membelai jiwa.Dalam rasa sakit yang juga harus ia pikul sebab tak dapat makan dan minum dengan normal, namun amarahnya pada sang anak dan menantu belum jua surut.Ia justru menuduh menantu tak diharapkan itu sebagai penyebab penyakit yang kini menimpa tubuhnya.Abi masih menanti di luar kamar, kedua saudara kandung yang sudah berada di ruang rawatan tak mengijinkan adik semata wayang mereka untuk masuk ke dalam. Akhirnya, demi dapat berbicara dengan sang ubu, ia dan istri bersedia menunggu jam berputar meski hanya duduk di kursi tunggu.Jam menunjukkan tepat pukul dua belas siang. Karena bosan menunggu, Naina jadi tertidur di pangkuan sang papa."Mas, Arini s
Arini tersadar, ia tak mengerti kenapa Anggun hendak memisahkannya dari Naina. Padahal mereka 'kan hanya akan menetap di rumah itu beberapa hari.Dengan segera Arini mengejar langkah Anggun."Sebentar Mbak Anggun."Panggilan Arini tak membuat Anggun menghentikan langkahnya, dia dan Naina kini sampai di depan sebuah kamar. Wanita yang masih memegang jemari Naina itu segera membuka pintu. Tapi Arini berhasil meraih lengannya."Mbak Anggun. Saya memanggil Mbak."Wanita itu akhirnya menoleh, tapi seketika jemari Arini ia sentak kuat. Arini masih mengatur degup jantungnya, ada apa dengan perempuan ini?"Naina biar tidur sama saya saja, Mbak. Dia belum terbiasa tidur sendiri, takutnya nanti malah menangis tengah malam.""Tidak bisa, Mbak. Jika mau menginap di rumah ini, maka Mbak harus bisa ikut peraturan yang saya buat.""Peraturan?""Iya, peraturan dimana jika yang bertamu membawa anak kecil, maka harus bersedia tidur terpisah. Anak kecil harus tidur di kamar yang sudah saya siapkan.""T
Dua bola mata Arini basah oleh air mata. Mendapati hal demikian, Abi segera meminta maaf."Maaf Dek, bukan gitu maksud ucapan Mas tadi."Arini tak menggubris, padahal sang suami tak henti mengecup punggung tangannya."Dari awal Arini sudah bilang, Mas ceraikan saja saya. Maka semua tidak akan seperti ini. Tentu Mama juga akan tetap sehat seperti dahulu. Tidak akan mengalami stroke. Semua karena Mas keras kepala, tetap meminta kembali pada Arini!"Wanita itu terus terisak, tangan mendorong tubuh Abi agar menjauh darinya, tapi lelaki itu dengan sekuat tenaga berusaha ingin menenangkan sang istri dalam pelukan."Tenang Arini, tenang."Abi tak lagi mengucap apapun, ia biarkan Arini menumpahkan air matanya tanpa jeda setelah berhasil memeluk wanita itu. Mungkin saat ini, hanya inilah yang bisa dia lakukan dalam meluapkan rasa sakit di dadanya. Beberapa menit, setelah Arini cukup tenang, barulah Abi melerai pelukan."Arini, dengarkan ucapan Mas ini. Mas tidak pernah menyesal dengan apa yan
Dalam keterkejutan, Arini melangkah masuk lebih jauh ke dalam ruang Ketua Yayasan."Silahkan duduk."Tak bicara, Arini masih diselimuti rasa tak percaya. Tidak mungkin ada manusia di dunia ini yang sangat mirip kecuali jika dua manusia itu adalah saudara kembar. Benarkah Mas Khalif memiliki kembaran?Arini menyingkirkan rasa penasarannya tatkala lelaki di hadapan mengajukan pertanyaan."Benar anda yang ingin mengisi tempat kosong sebagai guru di Yayasan ini?""Benar Pak?""Siapa nama anda?""Arini, Pak.""Oke, saya sudah memantau kinerja anda seharian ini. Dan buat saya tidak ada masalah. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu, dengan satu syarat, melengkapi data kepengajaran. Nanti kamu bisa minta formnya pada Mbak Ulya.""Baik, Pak.""Mengenai gaji, tiga bulan pertama masa training, gajimu lima ratus ribu perbulan. Setelah itu jika kamu dinyatakan lulus training, gajimu akan setara dengan karyawan lain yaitu satu juta perbulan."Arini menarik napas lega. Uang segitu walau tak seberapa, t
Sudah sedari tadi ibunda dokter Abi berusaha membangunkan perawat khusus yang bertugas menjaganya malam ini. Aneh, kemarin malam wanita itu bisa bergadang sampai subuh, tapi malam ini belum sampai jam sepuluh dia sudah tertidur tak sadarkan diri.Dengan susah payah akhirnya ibunda dokter Abi meraih air di atas nakas dengan usahanya sendiri. Tenggorokan teramat kering dirasa. Tapi dengan kekakuan tubuhnya, ia begitu kesulitan untuk meraih benda yang diinginkannya tersebut. Berharap sampai pada gelas yang ia maksud, namun melesat. Gelas itu justru terjatuh ke lantai. Pecah, bagai hatinya yang tak lagi berwujud semenjak kepergian anak tercinta.Suara pecahan itu membuat, sang perawat tersentak kaget. Ia segera membersihkan pecahan kaca berikut menanyakan apa yang dibutuhkan wanita paruh baya di hadapan.Ibunda dokter Abi menangis, dengan bibir dan mata sebelah kiri yang menurun. Ia bahkan kesulitan untuk sekadar mengeluarkan air matanya.Satu kata terucap kemudian, 'Ya Allah, kenapa ka
Arini sudah selesai menyiapkan sarapan, termasuk menyiapkan lauk untuk makan siang hari itu. Tepat pukul lima lewat tiga puluh menit, dia membangunkan Naina untuk melaksanakan shalat subuh. Sedang Abi baru saja tiba di rumah sehabis melaksanakan shalat subuh di mesjid terdekat.Arini menatap suaminya ragu-ragu. Ia ingin meminta tolong agar mengurus Naina masuk ke sekolah, tapi sedikit enggan."Ada yang mau kamu sampaikan, Arini?" tanya Abi sembari mendekati meja makan, dan duduk di salah satu kursi."Ini tentang Naina, Mas.""Naina kenapa?"Abi mencubit ikan lele yang digoreng Arini dengan dibumbui tepung. Lelaki itu tampak berselera."Arini nggak boleh membawa Naina kembali ke tempat bekerja. Mas bisa nggak ngurusin Naina masuk sekolah hari ini?"Abi tampak menarik napas. Ia merasa begitu bersalah pada sang istri. Bukankah urusan mencari rejeki, cukup menjadi tanggung jawabnya saja sebagai suami. Tapi, yang terjadi pada mereka, Arini bahkan harus ikut mencari kerja untuk mencukupi k
Ibunda dokter Abi menyemburkan air dari mulutnya tatkala terapis memintanya meminum air sebanyak 50 ml. Padahal tindakan ini sudah genap dilakukan selama emapt hari berturut-turut. Ini adalah salah satu terapi yang sedang dilakukan untuk pemulihan kemampuan bicara dan menelan wanita tersebut.Dua bola mata ibunda dokter Abi kembali basah oleh cairan."Tidak apa-apa, Bu. Jangan dipaksakan. Terapi untuk kasus stroke seperti yang Ibu alami memang tidak berlangsung cepat. Harus sabar, yang penting terus optimis bahwa Ibu pasti akan sembuh. Dan kembali bisa melakukan segalanya seperti dahulu."Ibunda dokter Abi mengangguk, Anya mengambil tissue dan menyapu mata ibunya.Perawat jaga memasuki ruangan, ia tak lain adalah Gio yang bertugas hendak mengganti cairan infus. Di saat itu pula ibunda Abi berbicara pada Anya meski dengan tersendat-sendat."Ca-ri, Abi, Nya. Ma-ma ing-in ber-te-mu me-re-ka."Anya terperanjat mendengar ucapan tersebut. Tapi ia tak mungkin melawan sebab tahu perlawanan ha
Sudah jam enam sore, akhirnya Arini bebas. Sedari tadi Khalid memerintahkannya beserta satu orang staf lain untuk lembur menjaga Saga. Dan baru lima menit yang lalu saat langit sudah kemerah-merahan barulah lelaki itu datang menjemput."Ini uang untuk kerja kalian hari ini.""Terima kasih, Pak."Arini dan temannya menjawab bersamaan, lalu mereka mengangkat langkah keluar dari pekarangan sekolah. Dengan memendam perasaan tak enak, dia menanti bemo atau apapun agar bisa sampai ke rumah.Pikirannya kacau, apa yang harus dikatakan nanti pada Abi. Sedang yang lelaki itu tahu, jam kerjanya hanya sampai pukul empat sore.Arini menarik napas berat. Ia melambai ke arah rekan kerjanya yang sudah dijemput suami. "Arini ...."Suara teriakan dari belakang membuat pandangan Arini tertoleh. Pak Khalid? Ada apa lagi?Arini kembali dilanda rasa khawatir."Arini apa kamu buru-buru?"Arini melirik jam di tangan."Emangnya kenapa Pak?""Saya minta tolong sekali lagi. Kebetulan cuma ada kamu yang tersisa