Share

5. Kapan Kau Mengerti

Arini tahu akan ada dua pilihan jika mereka kembali membuka ruang untuk bicara, terluka dan tersakiti. Dua pilihan yang tak akan pernah berpihak padanya. Tapi ucapan Abi selanjutnya membuat hati wanita itu luluh.

"Mas mohon Dek, Mas rindu sama kamu."

Perkataan itu, membuat Arini mengerjap berkali-bali. Ia berusaha mengusir sekian banyak air mata yang hendak mendesak keluar. Baru mendengar satu kali saja kata rindu dari mulut Abi, hatinya sudah patah ara. Bagaimana jika yang lain.

"Arini ...."

Abi mendorong pintu lebih lebar. Dua netranya kini berhasil menatap Arini lekat. Sungguh, wanita itu juga dapat menyaksikan bulir bening yang membasahi mata lelaki di hadapannya, dan itu benar-benar membuat hati Arini perih.

"Mas sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama tak saling mengetahui kabar, kini kita kembali bertemu, Arini."

Arini membuang wajah.

"Katakan kenapa kamu pergi, Dek? Kamu membenci suamimu ini? Kamu membenci pria brengsek yang tega menyuruh seorang istri menggugurkan kandungannya? Kamu membenci lelaki yang lebih mementingkan ibu daripada istrinya sendiri? Kenapa kamu pergi Arini, kenapa tidak bunuh saja Mas ini. Supaya Mas menghilang dengan seribu penyesalan yang terdalam?"

Arini terdiam.

"Arini, katakan, apakah masih ada maaf untuk lelaki seperti Mas?"

Pandangan mereka bertemu. Sungguh, Arini masih dapat membaca perasaan cinta yang begitu besar dari dalamnya sorot mata Abi.

"Arini sudah memaafkan Mas Abi."

Lelaki itu tersenyum dalam tangis.

"Alhamdulillah, Mas bersyukur jika memang kamu sudah memaafkan semua kesalahan Mas. Tapi andai kamu tahu, Mas tidak bisa memaafkan diri Mas sendiri. Mas mengutuk diri setiap saat atas kebodohan yang pernah Mas lakukan padamu. Arini, katakanlah, apakah saat itu kamu--"

"Aku tidak jadi menggugurkannya, Mas."

"Alhamdulillah ...."

Abi menelungkupkan telapak tangan pada wajahnya.

"Dimana anakku Arini?"

"Dia sedang tidur, Mas."

"Apakah namanya Naina?"

Arini mengangguk.

Air mata Abi kembali berderai. 

"Ya Allah, tadi dia seharian merangkul pinggangku. Ternyata dia sangat rindu pada Papanya."

Tangis Abi kini bersambut, Arini pun sudah tak sanggup lagi bertahan. Ia biarkan air matanya luruh begitu saja.

"Ijinkan aku bertemu dengannya Arini?"

Arini menggeleng.

"Tidak sekarang, Mas. Ini sudah malam. Datanglah besok, aku akan mengenalkanku padanya."

Abi kembali memandangi wanita itu. Wanita yang sampai detik ini masih menduduki tempat terutama dalam hatinya. Ingin sekali ia memeluk, menumpahkan segala rindu yang selama ini terus ia bendung seorang diri. 

Tapi Abi paham, posisinya sekarang berbeda. Tujuh tahun telah berlalu. Ia juga mendengar ucapan Adinda tadi siang, bahwa kakaknya Raden Ayu berencana mencalonkan Khalif untuk Arini. 

Abi sadar, siapa dia lelaki yang bahkan mempertahankan seorang istri saja ia tak mampu. Mungkin Khalif seribu kali lebih baik untuk Arini. Bahkan kedua orang tua lelaki itu tak mempermasalahkan status Arini yang bukan dari keluarga Ningrat.

Untuk kebahagiaanmu Arini, meski hati tak lagi sempurna, aku ikhlas.

Abi mengusap kembali matanya.

"Aku akan datang besok, Arini."

"Oya, Mas. Ada satu hal yang mau aku pinta padamu."

"Katakanlah, Dek."

"Saat aku pergi dahulu, status kita masihlah suami istri."

Abi menarik napas. Ia paham apa yang akan disampaikan Arini sesaat lagi. Abi mencoba membesarkan hati.

"Aku ingin kamu mentalakku, Mas."

Berdiri Abi goyah, ternyata mendengar secara langsung lebih sakit daripada membayangkan.

"Mas nggak papa?"

Arini tampak khawatir saat Abi hampir terjatuh ke lantai.

"Tidak, Mas nggak papa. Kamu ingin kita berpisah?"

Arini menciba tegar.

"Iya, Mas. Aku ingin bahagia bersama Naina."

"Apa tidak ada lagi sedikit saja cinta di hatimu untuk Mas?"

"Bukankah cinta itu pengorbanan, Mas? Sama seperti ketika Mas mencintai Mama, Mas berkorban meski dengan menyakiti diriku."

Abi terdiam. Ia paham akan kesalahannya.

"Sekarang Mas bertanya apa aku masih mencintai Mas? Akan kujawab dengan bahasa yang lebih baik. Aku memberimu kesempatan untuk mengabdi pada ibumu. Nikahi wanita yang ia sukai, dan jauhi wanita yang tidak ia sukai. Kamu paham maksudku 'kan, Mas?"

Abi merasa hatinya tertusuk-tusuk. Ternyata wanita ini masih begitu mencintainya? Ya Allah, hukumlah aku untuk semua kesalahan ini.

"Baiklah Arini, Mas akan melakukan apa yang kamu pinta, tapi setelah Naina merasa punya kedua orang tua yang sangat mencintainya, walau cuma sehari."

Wajah Arini seketika teralihkan pada Abi. Lelaki itu memperlihatkan tiga buah tiket pesawat.

"Ijinkan sebelum berpisah, kita berikan apa yang seharusnya didapatkan Naina semenjak dahulu. Mas janji tidak akan menyentuhmu. Mas hanya ingin Naina bahagia saat melihat papa dan mamanya bisa akur meski sudah lama berpisah."

Angan Arini terlempar pada sebuah lukisan yang dibuat Naina bulan lalu. Bocah itu menggambar sebuah pemandangan yang didalamnya ada seorang lelaki, perempuan dan seorang anak kecil.

Ketika ditanyai Arini, Naina bilang itu adalah mama, papa dan dirinya. Naina lanjut bercerita tentang keinginan bisa sekali saja berlibur ke sebuah tempat bersama dua orang yang paling dia cintai di dunia ini. 

Hati Arini terkikis, perih. Apakah saat ini, Allah mengabulkan keinginan Naina tersebut?

"Kabulkan permohonan Mas ini, Arini. Mas hanya ingin sekali saja membahagiakan anak kita."

Arini menarik napas dalam.

"Baiklah, Mas. Saya setuju."

"Terima kasih, Dek. Mas pamit."

Berat, langkah Abi terangkat jua menjauh. 

Di balik kemudi, air matanya kembali luruh. Cinta yang menyakitkan. Tuhan saja tak memandang manusia dari kasta maupun kekayaan, Allah melihat manusia dari ketaatannya dalam beribadah.

Tapi kenapa manusia masih saja mempermasalahkan kasta dalam kehidupan mereka? Tidakkah perbedaan itu ada untuk saling melengkapi?

Ma, kenapa engkau tak pernah mau mengerti perasaan anakmu?

Katanya kau menyayangiku, apa yang aku suka kaupun suka.

Sejak kecil kau yang paling tahu semua tentangku, tapi kenapa kau tak mau tahu saat aku bilang telah jatuh cinta. 

Kau minta aku membuktikan cintaku untukmu, kau ragu sebab aku begitu serius memperjuangkan yang kau tolak. Andai kau tahu, aku bahkan sudah melukainya untuk menyenangkanmu.

Apakah kau lupa bahwa kau pernah berjanji ingin selalu melihatku bahagia? Kau membuatku terluka dengan pilihanmu. Kau sudah menghancurkan impianku, Mama.

Dan sekarang aku tahu,

kedewasaan membuatmu berubah dalam menyayangiku. Andai bisa, aku ingin selalu menjadi bayimu yang kau cintai dan kau penuhi segala keinginan tanpa penolakan.

Andai Ma, andai aku terlahir kembali, aku akan meminta pada Allah untuk tidak pernah menjadi dewasa.

*

Arini membasuh wajahnya dengan air wudhu, rasa sakit itu kembali terulang. Tapi kali ini lebih dari apa yang pernah ia alami dahulu. Akankah dia bisa kembali bangkit?

Ya Allah, pada-Mu kuserahkan hidup ini. Aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil dan dari kesewenang-wenangan manusia. 

Engkau yang mampu mengeluarkanku dari pekatnya masalah yang tengah kuhadapi ini. Engkau yang tahu apa yang terbaik, berikan kami yang terbaik menurutku, Rabb ...

Arini membentang sajadah, sujud demi sujud ia lakukan dengan khusuk meski tak dapat menahan tangis. 

Ia sudahi malamnya dengan doa panjang. 

Sebab ia tahu, apa yang baik dimata manusia, belum tentu baik di mata Sang Pencipta. Kali ini, ia tidak mau berbuat berdasar keinginan hati. Ia memohon petunjuk. Semoga esok ada sebuah keputusan atas pemintaan Abi tadi.

Pergi atau tidak. 

***

Bersambung

Ya Allah, sedih saat tahu isi hati Abi untuk mamanya. Semoga mereka semua bisa mendapat yang terbaik.

Bantu saya dengan follow, subscribe, koment dan tekan tombol love di cerbung ini ya.

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Quran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status