Share

4. Tak Mungkin Bersama

"Arini?"

Dua bola mata Abi menatap Arini lekat.

"Arini?"

Abi mengulang panggilan, seolah tak percaya wanita yang dia cari selama bertahun-tahun kini ada di hadapannya. Tangan lelaki itu hampir saja menyentuh lengan Arini, tapi tiba-tiba ...

Bruuukkk!

"Astaghfirullah, Abi ... Mamamu!"

Abi terhenyak, ia segera membalikkan tubuh dan begitu terkejut saat mendapati mamanya jatuh tersungkur ke lantai. Ia abaikan Arini dan berlari menolong sang ibu. 

Hati Arini terasa sakit. Air mata kembali mengambang di kedua pelupuk. Ia memandangi lelaki itu yang terlihat begitu khawatir akan ibunya. Ia ingin berlari, tapi ikut khawatir pada perempuan yang masih berhak ia panggil ibu mertua itu. 

Arini berdiri mematung di tempatnya. Sedang di kejauhan ...

"Mama kenapa, Ma?"

Wanita paruh baya di hadapan Abi memegang dadanya kuat. Melihat hal itu sang anak semakin kalut. 

"Tolong ambilkan obat di dalam tas Mama, Tante," pinta Abi pada wanita yang berjongkok di sisinya. Wanita itu segera mengambil dan menyerahkan obat tersebut.

Dengan segera Abi memasukkan sebutir obat ke dalam mulut mamanya dan meminumkan sedikit air. Tanpa bicara ia menggendong sang ibu dan membawa keluar hingga masuk ke mobil.

Air mata Abi menetas, ia menangisi takdir yang begitu curang padanya. Kenapa, kenapa disaat ia menemukan Arini, hal ini justru terjadi. Abi tak mungkin tega membiarkan ibunya dan memilih untuk berbicara dengan Arini. Ibu sekarat, itu lebih utama. 

Tapi Abi sadar, apa yang dilakukannya itu, pasti membuat Arini kembali merasa sakit dan merasa tak diutamakan.

Abi mengusap wajah ketika sudah duduk dibalik kemudi.

"Tolong beresi semuanya, Tante. Aku bawa Mama ke rumah sakit terdekat," pesan Abi pada Tantenya.

Setelah itu Abi menghilang dari pandangan. Selepas kepergian Abi, berikut menyusul di belakang, Raden Ayu dan keluarganya. Juga seluruh keluarga pihak Abi yang datang ke rumah itu untuk menghadiri acara pertunangan tersebut. Semua menyusul ke rumah sakit.

*

"Ma ...."

Panggilan Naina membuyarkan lamunan Arini. Wanita itu mengusap mata.

"Kita pulang ya, Nak?"

Naina mengangguk.

"Ma, Om Abi kemana?"

"Om Abi membawa ibunya ke rumah sakit, Nak. Ibunya pingsan."

"Kenapa pingsan, Ma?"

"Mungkin kena serangan jantung."

"Ayo kita ikut menjenguk, Ma."

"Tidak usah, Nak. Kita tidak tahu beliau dibawa kemana."

"Tanya sama Bunda Raden Ayu, Ma. Naina pengen lihat Mamanya Om Abi."

"Jangan sekarang ya, Nak. Kita tunggu sampai tenang dulu baru nanti kita jenguk."

Lagi-lagi Naina terpaksa berdamai dengan penolakan mamanya. Arini memilih keluar dari rumah itu sembari menggenggam tangan sang anak. Ia berjalan keluar perumahan, hingga sampai ke pinggiran jalanan.

Arini berjalan beberapa meter hingga menemukan sebuah halte. Di tempat itu ia duduk menunggu bus yang akan membawanya pulang ke rumah.

Akhirnya sebuah bus berhenti di depan Arini. 

Wanita itu segera menaiki kendaraan tersebut. Hanya ada satu bangku kosong. Ia segera berjalan ke tempat tersebut.

Arini memberi sebuah senyuman pada lelaki yang akan menjadi teman duduknya di bus tersebut. Sungguh terkejut, saat mendapati lelaki itu tak lain adalah yang ia temui tadi di rumah Raden Ayu.

"Mas Khalif?"

Lelaki di hadapan Arini tersenyum.

"Mari duduk," sapanya sambil bergeser lebih dalam. Dengan perasaan sungkan Arini duduk di sebelah Khalif.

"Hallo anak manis, namamu siapa?"

Naina menatap lelaki di hadapannya.

"Namaku Naina, Om."

"Nama yang bagus, sini yuk duduk di pangkuan Om, biar Mamamu nggak kecapean mangku."

"Eh, jangan Mas. Biar saya aja yang pangku."

Arini duduk sempurna dan mendudukkan Naina di atas kedua pahanya.

"Kalian pulang kemana?"

Arini menyebut alamat rumahnya.

"Mas nggak ikut Raden Ayu dan keluarga menjenguk calon mertuanya Adinda?"

"Ngapain, bukan urusan saya. Mending nemenin kamu."

"Nemenin saya?"

Arini menunjuk dirinya.

"Iyalah. Nemenin kamu sama Naina. Kamu mau nggak Om nemeni sampai rumah?" tanya Khalif pada Naina. Bocah itu hanya mengangguk.

Arini tak lagi bertanya, dia memilih diam dan memandang ke samping. Bukan tak ingin ramah pada Khalid, tapi di benaknya peristiwa tadi di rumah Raden Ayu masih melintas lalu. 

Pandangan Abi, suaranya, ah Arini sangat rindu bisa bersama kembali. 

Tapi tentu saja itu hanya akan menjadi asa yang tak pernah bisa ia gapai. Baru melihatnya saja, ibu mertua sudah kena serangan jantung. Apalagi jika Abi kembali ingin bersama. Pasti kejadian tujuh tahun silam akan kembali terulang.

Arini menghela napas berat. Ia menanamkan niat kuat dalam hati, bahwa sekarang dan sampai kapanpun, tidak akan membuka hati kembali untuk Abi. Jika memang mereka berkesempatan bertemu, maka itu hanya akan digunakan untuk menuntut talak. Tidak lebih. 

Naina boleh saja tahu bahwa Abi adalah papanya, tapi berharap kembali, bocah itupun harus paham bahwa jika bersama akan menyakiti banyak orang, maka lebih baik berpisah.

"Naina udah sekolah?" 

Pertanyaan Khalif membuyarkan lamunan Arini.

"Udah Om."

"Udah kelas berapa?"

"Baru kelas satu, Om."

"Sekolah dimana?"

Naina menatap sang ibu.

"SD Negeri 30, Mas."

"Kenapa nggak disekolahkan di SD swasta saja, Arini? Pasti sistem pendidikannya lebih bagus."

"Saya tidak punya biaya, Mas. Lagi pula, dimanapun sekolah asalkan si anak itu serius, pasti sukses."

"Kalau Oom pindahkan kamu ke sekolah yang lebih bagus mau nggak?"

"Mau banget, Om."

"Jangan Mas, Naina udah cocok sekolah di tempat biasa. Sekolah yang lebih bagus itu diperuntukkan bagi mereka yang punya penghasilan minimal lima juta perbulan. Bukan untuk kami, Mas."

"'Kan tadi saya bilang saya yang biayakan. Naina nanti tiap pagi Om yang jemput, terus pulangnya Om yang antar."

"Mau, Om."

"Naina!"

Arini menatap sang anak dengan dua mata ia lebarkan. Kemudian ia kembali menatap Khalif.

"Tolong Mas, jangan bujuk Naina untuk menyukai hal-hal yang tidak cocok untuk dia."

Khalif tersenyum, menatap wanita ayu di hadapannya yang menyiratkan kemarahan, entah kenapa semakin membuat degup tak biasa di dalam dada.

Arini memalingkan wajah, saat menyadari Khalif tersenyum mendapati amarahnya.

Bus terus berjalan, Khalif terus membercandai Naina. Sedang Arini semakin merasa tak nyaman. Ketika bus berhenti, Arini segera bangkit untuk turun. Ia pikir Khalif hanya akan mengikutinya sampai di situ, ternyata tidak. Khalif ikut turun.

Arini menghentikan langkah dan menatap lelaki itu.

"Mas mau kemana?"

"Mau ke rumah kamu."

"Siapa yang ajak?"

"Naina."

Arini menatap Naina tak percaya."

"Benar kamu yang ajak Om Khalif?"

Naina tersenyum.

"Mama tadi nggak dengar di bus? Kalau nggak boleh, harusnya Mama larang waktu Naina ajak Om Khalif ke rumah."

Arini menghela napas. Kapan putrinya dan lelaki itu berbicara demikian, kenapa ia tidak dengar? Mungkin karena terlalu sibuk memikirkan Abi.

"Mas nggak akan lama kok, Mas cuma mau tahu aja, posisi rumah kalian dimana?"

Arini terdiam, dan tak lagi mempermasalahkan. Ia berjalan lebih dulu.

"Jangan seperti orang marahan gini donk."

Khalif mencoba mengejar Arini.

"Terus harus seperti apa, Mas?"

Khalif berdiri di samping Arini.

"Begini. Jalannya berbarengan. Naina maukan pegangan sama tangan kiri Om?"

Naina mengangguk, membuat pandangan Arini kembali tertoleh pada Khalif. Lagi-lagi, lelaki itu hanya tersenyum. Senyum yang membuat Arini merasa jengkel.

Sampai di rumah. 

"Ini rumah kami, Mas."

Khalif mengangguk.

"Yasudah Om pamit, ya. Tapi besok masih boleh main ke rumah nggak?"

"Boleh, Om."

"Naina."

Arini mencoba memperingatkan sang anak. Naina tersenyum malu.

Akhirnya langkah sang lelaki kembali terangkat. Ia semakin yakin pada niatnya untuk mendekati Arini. Ia tak butuh Mas Arya untuk mendapatkan wanita itu, Khalif lebih suka tantangan. Baginya Arini adalah tantangan yang harus ia dapatkan. 

Bagaimanapun caranya.

*

Arini menatap langit-langit kamar, setelah mengalami kejadian tadi di rumah Raden Ayu sedikitpun ia tak bisa berhenti memikirkan Abi. Wanita itu membalikkan badannya menatap Naina.

Arini mengelus dan mengecup pucuk kepala sang anak. Enam tahun membesarkan putrinya seorang diri. Tapi ia kuat dan tegar.

Arini berbicara seorang diri.

Naina, dahulu Abimu meminta agar Mama mengugurkanmu, Sayang. Dia menuruti kemauan ibunya. Tapi Mama tidak melakukan hal itu. Mama ingin kamu hidup dan menebar kebaikan bagi banyak orang. 

Terbukti, banyak yang menyukaimu. Dan kamu selalu melakukan apa yang terbaik.

Sekarang saat Abimu kembali muncul di hadapan kita, entah kenapa Mama merasa takut.

Arini mengusap mata yang tiba-tiba basah. Kesedihannya hilang saat mendengar salam yang berasal dari depan rumah.

Arini membangunkan tubuh lalu berjalan ke depan. Ia membuka pintu tanpa mengecek dahulu seperti yang ia lakukan tiap ada yang bertamu malam-malam.

Begitu pintu terbuka, dua netra Arini terbelalak. Tangannya dengan segera hendak kembali menutup pintu. Tapi lengan kekar lelaki yang berdiri di depan pintu dengan cepat menahan pintu tersebut.

"Tolong jangan ditutup pintunya Dek, Mas ingin bicara sama kamu."

***

Bersambung

🥺

Semoga Arini kuat menghadapi setiap masalah dalam hidupnya.

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Qur'an

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
arini mnt talak sm abi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status