Share

6. Rasa Cemburu

Mengenai permintaan Abi, Arini sudah beristikharah. Kini hanya menunggu kepastian dari Allah. 

Ketika pagi menyapa, seperti biasa Arini sudah siap memasak, beres rumah dan mencuci pakaian. Tepat pukul enam dia membangunkan Naina, dan mengajak putrinya itu untuk bersiap-siap ke sekolah.

Sekolah Naina hanya berjarak 1 kilometer dari rumah, biasa mereka menaiki ojek agar dapat sampai ke tempat tersebut. Meski terlihat tenang, sebenarnya Arini berkali-kali mengecek ke luar rumah. 

Dia teringat akan kata-kata Abi semalam untuk datang menemui Naina pagi ini.

Bukan serupa pengharapan, mungkin keingintahuan. Benarkah lelaki itu akan menepati ucapannya?

Arini pasrah, saat mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh tapi tak ada satu manusiapun yang sampai ke rumahnya.

"Yuk Nak, kita pergi."

Arini mengajak sang buah hati. Tapi, kedatangan sebuah mobil membuat degup tak biasa menyentak jantung Arini.

"Mobil siapa itu, Ma?"

Arini menatap lekat, ia tak bisa menandai mobil siapa yang kini terparkir di depan rumahnya.

Tak lama, pengemudi kendaraan itu turun. Arini hanya menghela napas ketika mendapati yang turun bukanlah Abi, melainkan Khalif.

"Assalamualaikum anak shalihah."

"Waalaikum salam," jawab Arini dan Naina berbarengan.

"Om Khalif mau nganterin aku sekolah?"

"Sesuai janji kita kemarin."

"Hore asyik, boleh 'kan Ma, aku diantar Om Khalif?"

Wajah Naina tampak memelas. Arini berpikir sejenak, ia tak mungkin melepas anaknya pada lelaki yang baru beberapa hari ia kenal. Meski sedikit banyak tahu tentang sosok di hadapannya itu, tapi untuk hal apapun ia tak mungkin melepas begitu saja.

"Yaudah, tapi Mama juga ikut, ya."

"Wah, benaran Ma? Asyik ada Mama juga."

"Mas Khalif nggak keberatan 'kan jika saya juga ikut?" tanya Arini pada Khalif.

"Sangat tidak keberatan. Memang kedatangan saya ini tidak hanya untuk mengajak Naina, tapi bersama Mamanya juga biar tidak tersesat."

Khalif berucap sembari tersenyum manis. Arini akui, lelaki itu memang tampan, pesonanya memang begitu memancar. Tapi benarkah lelaki seperti itu jatuh cinta padanya?

Teringat bagaimana beberapa hari yang lalu, Raden Ayu pernah membicarakan tentang sosok Khalif padanya. Baik, sabar, penyayang, humoris, bahkan saat ia dikhianati istri, Khalif masih yang bersahabat dengan mantan istrinya itu.

Kala itu Raden Ayu tidak sekadar bercerita, tapi seperti mempromosikan adik sepupu suaminya.

"Silahkan masuk tuan putri."

Khalif membuka pintu belakang untuk Naina. Dengan wajah semringah bocah tersebut masuk ke mobil. Saat Arini hendak ikut masuk, Khalif dengan cepat menutup pintu. Lelaki itu kemudian membuka pintu depan.

"Ratu duduk di depan."

Khalif kembali mempersilahkan Arini masuk. Pandangan mereka sejenak bertemu. Arini merasa ada yang mengusik jiwanya. Pernah, dulu Abi memperlakukannya dengan perlakuan serupa. 

Berkali-kali lelaki itu menyebutnya ratu. 

"Kamu satu-satunya Ratu di hatiku, sekarang dan selamanya."

Arini paling tersanjung saat Abi mengucap gombalannya itu. Dilain kesempatan, Abi juga kerap bermanja dengan panggilan ratu.

"Mana donk ciuman termesra dari seorang ratu untuk rajanya?"

Arini pasti memberi apa yang Abi minta, sekalipun lelaki itu masih berjas putih dan belum mencuci tubuhnya.

Arini seketika menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir semua pikiran tentang Abi yang hendak mengacau paginya. Wanita itu lekas naik.

"Makasih, Mas."

Khalif tersenyum mendapati suara Arini yang tak sejutek kemarin.

"Kita berangkat."

Khalif menjalankan mobilnya, Arini berbalik hendak memastikan keadaan Naina di belakang. Tapi netranya berhasil menangkap sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Lalu sebelum mobil Khalif berbelok, ia dapat melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.

Abi?

Kamu terlambat Mas.

*

Khalif turun membukakan pintu untuk Naina. Ternyata Arini pun ikut turun.

"Hati-hati ya, Nak."

Naina mencium pucuk kepala sang anak. Perlakuan itu dibalas Naina dengan mengecup pipi sang ibu. 

"Oom nggak dicium?"

Naina melihat mamanya, dia tak pernah dekat dengan seorang lelaki. Karena tak biasa, Naina hanya meraih jemari Khalif lalu mencium punggung tangan lelaki itu. 

Khalif mengelus pucuk kepala sang anak.

"Belajar yang rajin ya, Nak."

"Makasih ya, Om."

Baru saja berbalik, Naina sudah disapa oleh seorang guru.

"Wah, hari ini Naina diantar sama Papanya, ya?"

Naina segera menatap Arini.

"Bukan Papanya, Bu. Beliau teman saya."

"Oh iya, maaf. Yaudah Naina langsung masuk ya, Nak."

"Ya Bu Guru."

Khalif menatap Arini dengan wajah cerah dan senyum yang menawan. Sedang Arini merasa gugup atas sapaan itu. 

"Terima kasih ya, Mas. Sudah mengantar Naina pagi ini."

"Jangan sungkan, saya bersedia mengantar Naina tiap pagi."

"Emang Mas nggak punya kesibukan yang lain?"

"Punya, ngantar Naina nggak ngehabisin waktu lebih satu jam pun. Mas justru suka, punya warna berbeda dalam hidup Mas sekarang."

Arini terdiam sejenak.

"Yuk saya antar kamu pulang, atau mau belanja dulu? Saya punya waktu banyak kalau pagi."

Kali ini Arini tersenyum.

"Tidak usah, Mas. Saya bisa naik ojek saja."

"Lha jangan ditolak, yuk biar sekalian."

"Sekali lagi maaf Mas. Nggak baik berdua saja dalam mobil, kita bukan mahram."

Khalif terdiam, dia semakin tertarik pada Arini. Tidak seperti kebanyakan wanita yang mengelilinginya. Khalif tak perlu menyibukkan diri mengajak wanita-wanita itu, justru mereka yang kerap meminta diajak jalan.

"Yaudah, kalau gitu, saya temani sampai kamu dapat ojek, ya?"

Arini tersenyum, lalu mereka berdiri di pinggiran jalan. Sepuluh menit berlalu, belum ada ojek yang lewat. Sebab biasa, hanya Naina yang diantar oleh kendaraan jenis itu. Yang lain kebanyakan naik mobil, seminimal memakai motor pribadi.

Masuk menit kelima belas.

"Sepertinya nggak akan ada ojek."

Khalif mengusir kebisuan diantara mereka. Arini seperti nelangsa.

"Bagaimana kalau kita jalan kaki sampai ketemu pangkalan ojek?" tawar Khalif.

Arini menatap lelaki itu.

"Biar Arini jalan sendiri aja Mas. Mas 'kan bawa mobil."

"Nggak papa, nanti kalau ketemu ojek, Mas minta diantar lagi sampai mobil."

Arini hanya menghela napas. Sepertinya ditolak pun Khalif akan memaksa. Lebih baik diiyakan saja.

Mereka sudah melangkah lebih dari sepuluh langkah.

"Boleh saya nanya sesuatu?"

"Nanya aja, Mas."

"Papanya Naina, apa masih sering menghubungi?"

Arini terhenyak, dia tak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari seorang lelaki.

"Nggak, Mas. Emang kenapa?"

"Nggak ada sih, cuma mau sedikit banyak tahu tentang kamu dan Naina."

"Untuk apa, Mas?"

"Ya siapa tahu bisa lebih dekat."

Arini terdiam, tak lagi memperpanjang bahasan itu.

"Bolehkan saya mau tahu tentang kamu dan Naina lebih banyak?"

"Siapa saya hingga Mas mau tahu lebih banyak?"

Khalif tersenyum mendengar pertanyaan itu.

"Kamu wanitalah, wajar 'kan duda seperti saya mau tahu lebih banyak tentang wanita yang menurutnya baik dan shalihah. Siapa tahu bisa diajak naik pelaminan."

Arini berhenti melangkah dan menatap Khalif. Lelaki itu mengulum senyum, sifatnya memang apa adanya.

"Mas mau PDKT sama saya untuk dijadikan calon istri?"

"Okelah jujur, iya. Boleh?"

Arini menahan napas dan memejam mata sejenak.

"Sepertinya Mas salah target."

Arini melanjutkan perjalanannya, Khalif mengikuti.

"Kok salah target, nggak ah?"

"Saya janda tidak berkasta, Mas."

"Saya duda."

"Mas duda berdarah ningrat."

"Emang kenapa kalau ningrat? Nggak boleh nikah sama orang biasa gitu? Pangeran William aja nikahin Kate Middleton. Dunia nggak menangis, malah tersenyum bahagia."

"Siapa Kate Mas, saya?"

"Kate wanita baik dan spesial, makanya Pangeran William jatuh cinta. Kamu juga seperti Kate buat saya."

Arini mengentikan langkahnya dan menatap Khalif. Tak lama, tawanya pecah. Khalif yang menyaksikan begitu menikmati.

"Kenapa tertawa?"

"Mas itu lucu. Nyamain saya sama yang jelas-jelas beda."

"Tapi boleh 'kan saya mencalonkan diri untuk jadi Papanya Naina?"

Arini kembali menghela napas. 

"Mas mau saya jujur perihal siapa diri saya sebenarnya? Bahkan Raden Ayu sendiri tidak pernah tahu bagaimana kehidupan saya selama ini."

"Saya siap mendengar."

Khalif tampak berdiri siap.

"Saya ini belum ditalak sama suami saya, Mas."

Dua bola mata Khalif membulat.

"Saya kabur dari rumah suami saya. Sebab ibunya tak pernah mengharapkan keberadaan saya. Mereka berdarah biru. Sama seperti Mas dan Raden Ayu. Sedang saya hanya wanita biasa yang hanya anak seorang petani. Saya memilih pergi karena ingin suami saya menjadi anak yang berbakti pada ibunya."

Jantung Khalif benar-benar seperti dijerat kuat. Ia merasa sesak mendengar penuturan Arini.

"Jadi selama ini dia tidak pernah tahu kamu dimana?"

Arini mengangguk.

"Tapi kami sudah bertemu, dan saya sudah meminta talak padanya."

"Lalu?"

Arini menatap lelaki itu yang tampak begitu serius. Ia tersadar, kenapa berbicara begitu banyak tentang hidupnya pada orang lain, orang yang bahkan baru berbicara dengannya kemarin?

 Ya Allah ...

"Apa dia mau menjatuhkan talaknya."

Khalif kembali menanyakan perihal itu.

"Dia akan menjatuhkan talak sesegera mungkin."

Arini mempercepat langkah hampir sampai pada beberapa lelaki berhelm kuning.

"Jika sudah dijatuhkan talak, bolehkah saya mencalonkan diri?"

Khalif masih tak mau menyerah.

"Saya mohon jauhi saya, Mas. Saya tidak mau kejadian serupa kembali terulang."

"Saya janji tidak akan menyakitimu dan Naina."

"Maaf, Mas. Saya bilang jauhi saya. Terima kasih untuk pagi ini. Besok jangan lagi datang."

Arini yang sudah sampai di pangkalan ojek, langsung menaiki salah satunya dan meminta diantar ke suatu tempat.

Khalif yang ditinggal, menarik napas berat. Beginilah rasanya mengejar seorang wanita? Khalif semakin jatuh cinta. Dia berjanji tidak akan menyerah sebelum Arini dimiliki siapapun.

*

Ternyata, tak jauh di seberang sana. Seorang lelaki yang berada di dalam mobil, terus memperhatikan Khalif dan Arini sepanjang perjalanan mereka. Lelaki itu memang tak tahu apa yang dibicarakan pasangan tersebut. Tapi rasa cemburu cukup besar bersarang dalam dada.

"Kamu tersenyum, tertawa ketika bersama lelaki itu. Bisakah Mas ikhlas melepasmu, Dek?"

***

Bersambung

🥺🥺

Mas Abi ...😭

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
rozi yana
suami yg x layak dipertahankan...yangbtelah menafikan hak seorang isteri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status