Bima Kusuma menjalani dua kehidupan yang sangat berbeda. Di satu sisi, dia adalah mahasiswa yang rajin, dikenal dengan kepintaran dan ketajaman pikirannya di kampus. Namun, di balik penampilan akademisnya yang rapi, Bima juga menjalani kehidupan sebagai tangan kanan bos mafia terkemuka di kota.
Pagi itu, Bima memasuki ruang kuliah dengan senyum tipis. Ia menyusun buku-bukunya dengan rapi, berusaha menyembunyikan lingkaran hitam di bawah matanya. Di kelas, ia aktif berdiskusi, memberikan pendapat yang cerdas, dan menjawab pertanyaan dosen dengan percaya diri.
“Bima, kau selalu punya jawaban yang tepat,” puji dosen dalam kuliah Ekonomi. “Apa rahasianya?”
Bima tersenyum singkat, “Hanya berusaha untuk memahami materi dengan baik. Terima kasih, Profesor.”
Setelah pulang dari kuliah Bima pergi ke suatu tempat di sisi lain kota, suasana di sana sangat berbeda, penuh dengan ketegangan. Bima dikenal karena sikapnya yang dingin dan tegas. Ia sering memimpin operasi-operasi penting dengan sangat muaskan bos mafia disana.
Bos mafia, Mr. Tanaka, memanggil Bima untuk sebuah rapat rahasia. “Bima, kau adalah tangan kananku yang paling dipercaya,” ujar Mr. Tanaka, matanya menatap tajam. “Aku perlu kau menyelesaikan beberapa urusan penting malam ini.”
Bima mengangguk. “Aku akan mengurusnya, Boss. Apa yang harus aku lakukan?”
“Pastikan semuanya bersih dan rapi. Kita tidak bisa meninggalkan jejak,” perintah Mr. Tanaka.
Setelah rapat, Bima kembali ke apartemennya, di mana ia sering merasa tertekan. Kesibukan di dua dunia yang sangat berbeda ini mulai membuat hubungannya dengan Laras terasa renggang. Meskipun Bima berusaha keras untuk tetap menjaga kontak, waktu dan kesibukan yang tidak terhindarkan membuat komunikasi mereka semakin jarang.
Sedangkan di sisi Laras di dalam kamarnya Laras duduk di sofa dengan tatapan kosong. Dia membuka buku catatan keuangan dan menghitung pengeluaran bulanan. Pengorbanan yang dilakukannya untuk Bima terasa semakin besar, dan rasa bersalah serta harga diri yang hilang semakin menyiksa dirinya.
"Kenapa harus seperti ini?" Laras bertanya pada dirinya sendiri, sambil menutup buku catatan. “Aku sudah memberikan segalanya, tapi rasanya aku masih belum cukup.”
Di tengah-tengah tekanan yang dia rasakan, Laras mencoba untuk menemukan kebahagiaan pribadinya. Dia mulai menghadiri beberapa kegiatan sosial yang selama ini dia abaikan. Namun, kebahagiaan tersebut terasa semu, karena pikirannya selalu kembali ke tekanan dan masalah yang dihadapinya di rumah.
Pada pagi hari berikutnya, Laras mengikuti kelas yoga di pusat kebugaran, dia bertemu dengan seorang instruktur yang ramah, Ibu Maya, yang mulai berbicara dengan Laras setelah kelas selesai.
"Bagaimana kelasnya?" tanya Ibu Maya dengan senyum hangat.
Laras tersenyum kecil, “Itu cukup membantu. Aku merasa lebih tenang.”
Ibu Maya mengamati Laras dengan penuh perhatian. “Kadang-kadang kita perlu meluangkan waktu untuk diri sendiri. Jangan biarkan diri kita terjebak dalam peran yang membebani kita.”
Laras mengangguk, merasakan kata-kata itu menyentuh hatinya. “Terima kasih bu Maya, aku akan mencobanya.”
Ibu Maya meletakkan tangan di bahu Laras. “Kita semua butuh waktu untuk diri sendiri, Laras. Jangan ragu untuk mencari kebahagiaanmu.”
Setelah pertemuan tersebut, Laras merasa terinspirasi untuk lebih fokus pada dirinya sendiri. Meskipun kesibukannya tidak membiarkan banyak waktu luang, dia mulai mencoba untuk lebih memprioritaskan kebahagiaan dan kesejahteraannya.
Laras merasa ada perubahan kecil dalam dirinya setelah berbicara dengan Ibu Maya. Menghadiri kelas yoga dan berbicara dengan seseorang yang peduli memberinya semangat baru untuk menghadapi situasinya. Namun, malam hari ketika dia pulang ke rumah, semua beban dan tekanan dari rumah tangga kembali menghampirinya.
Maya dan Siska datang ke ruang tamu dengan wajah serius. Maya memulai percakapan dengan nada dingin.
“Laras, kami hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja,” ucap Maya. “Tapi, beberapa orang mulai berbicara tentang kau dan Adrian.”
Laras tertegun. “Berbicara tentang apa?”
Siska menyeringai. “Ada rumor tentang ketidakharmonisan dalam pernikahan kalian. Kami tidak ingin ada masalah yang bisa merugikan posisi kita di keluarga.”
Laras merasakan kemarahan dalam dirinya tetapi berusaha tetap tenang. “Rumor-rumor seperti itu tidak ada artinya. .”
Laras merasa kesal dan melanjutkan. “Aku akan menjaga semuanya agar tetap baik-baik saja.”
Maya dan Siska hanya menanggapi ucapannya dengan mentap Laras sinis dan senyum meremehkan setelah itu mereka berbalik dari kamar Laras.
Setelah Maya dan Siska pergi, Laras merasa semakin tertekan. Dia kembali masuk ke kamarnya dan merenung. Ia merasa hidupnya semakin berat dan semakin jauh dari kebahagiaan yang dia cari. Memikirkan tentang Bima, Laras merasa rindu dan terasing dari adiknya.
Di sisi lain, Bima tengah menjalani rutinitas malamnya yang padat. Bos mafia, Mr. Tanaka, memanggil Bima untuk rapat yang penting. Bima memasuki ruangan dengan penuh kewaspadaan.
“Bima, kita punya pekerjaan besar malam ini,” ujar Mr. Tanaka. “Aku butuh kau mengatur semuanya dengan rapi.”
Bima mengangguk. “Apa yang harus dilakukan?”
Mr. Tanaka menjelaskan rincian rencana mereka. “Kita akan menargetkan salah satu pesaing bisnis kita. Pastikan tidak ada kesalahan. Ini harus dilakukan dengan bersih dan cepat.”
Selama rapat, Bima merasa beban moral semakin menekan dirinya. Dia merindukan waktu ketika hidupnya lebih sederhana dan lebih fokus pada laras. Kesibukan dalam dunia mafia mulai membebani pikirannya, dan ia merasa semakin terasing dari Laras.
Tetapi dia sisi lain dia juga ingin mengurangi beban kakaknya yang terus memberikanya uang tiap bulan, ia ia ingin mengatakan kepada kakaknya untuk tidak lagi mengirimkan dia uang tetapi dia tidak tau alasan apa yang cocok untuk memberi tahu kakaknya, agar Laras tidak curiga dia terlimbat dalam dunia mafia.
Langit pagi di pelabuhan tampak mendung, seolah alam mengetahui bahwa pertempuran akan segera terjadi. Suara deru ombak bercampur dengan suara langkah kaki yang tergesa-gesa, membuat suasana semakin tegang. Di antara deretan kontainer yang menjulang, Bima, Adrian, Reza, dan tim mereka berdiri dengan penuh kewaspadaan.Bima merapatkan jaket hitamnya, tatapannya lurus ke depan. "Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menghancurkan Tanaka sebelum dia sempat menyerang lagi."Adrian, berdiri di samping Bima, menghela napas panjang. Meskipun matanya penuh kelelahan, semangat bertarungnya masih menyala. "Kita harus berhati-hati. Tanaka pasti sudah mempersiapkan pertahanan yang kuat."Reza dan Yusuf memimpin persiapan lapangan. Reza, dengan pengalaman taktisnya, membagi tim menjadi beberapa kelompok kecil. Yusuf, di sisi lain, memantau jaringan komunikasi untuk memastikan bahwa tidak ada kejutan dari pihak Tanaka."Tim satu dan dua akan menyusup dari sisi utara," kata Reza sambil menunjukk
Malam masih sunyi, tapi ketegangan meliputi suasana markas Bima. Adrian tengah duduk di meja besar yang penuh dengan peta dan dokumen. Di depannya, Bima berdiri dengan tangan terlipat, matanya tajam memandangi rencana yang sudah mereka buat untuk menyerang Mr. Tanaka. Setelah insiden pengkhianatan Darto, semua orang semakin berhati-hati."Semua sudah siap," ujar Bima, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. "Kita hanya tinggal menunggu waktu yang tepat."Adrian mengangguk, meskipun ekspresinya sedikit tegang. "Tapi kita tidak bisa santai. Tanaka pasti sedang menyusun balasan."Sementara mereka berdiskusi, beberapa karakter pendukung yang relevan mulai berdatangan. Ada Yusuf, ahli teknologi yang membantu Bima dan Adrian dalam mengawasi komunikasi digital Mr. Tanaka. Yusuf sudah berada di belakang layar sejak awal, namun keahliannya menjadi semakin vital setelah pengkhianatan Darto. Di samping Yusuf, ada Reza, pemimpin tim lapangan yang mengatur orang-orang Bima untuk serangan langsung
Bima duduk di ruangannya, memeriksa berkas-berkas rahasia yang berkaitan dengan rencana serangan mereka terhadap Mr. Tanaka. Semuanya terlihat sempurna di atas kertas, tetapi perasaan gelisah terus merayap dalam dirinya. Ada sesuatu yang salah—terlalu banyak kebetulan yang tak bisa ia abaikan. Serangan balik Tanaka datang terlalu cepat, seolah-olah dia sudah tahu rencana mereka.Bima memandang Adrian yang berada di seberang meja. "Aku merasa ada yang bocor," katanya pelan, tapi tegas.Adrian menatapnya dalam diam, menyadari betapa seriusnya situasi ini. "Kau pikir ada pengkhianat di tim kita?" tanya Adrian akhirnya."Lebih dari itu," jawab Bima dengan suara rendah. "Aku yakin seseorang telah menjual kita ke Tanaka."Penyelidikan segera dimulai. Bima menginstruksikan beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki tiap anggota tim. Dia tahu betul bahwa siapa pun yang berkhianat pada mereka harus ditemukan sebelum lebih banyak kerusakan terjadi. Adrian ikut serta, menginterogasi beberap
Ruangan itu dipenuhi aroma kopi yang baru diseduh. Namun, suasana di dalamnya jauh dari hangat. Di seberang meja, Bima duduk tegak, tatapannya tajam, mengamati Adrian yang sibuk membolak-balik dokumen di hadapannya. Mereka sekarang adalah sekutu tak terduga, bersatu oleh tujuan yang sama—menghancurkan Mr. Tanaka.Adrian meletakkan dokumen itu, menghela napas berat. "Aku sudah mempelajari semua ini," katanya, suaranya rendah. "Mr. Tanaka bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya jaringan yang luas dan kuat. Kita butuh strategi yang lebih matang."Bima menatap Adrian tanpa ekspresi, matanya meneliti setiap gerakan pria yang kini menjadi sekutunya. "Aku sudah tahu itu. Aku tidak perlu kau menjelaskan betapa berbahayanya dia."Adrian terdiam sejenak, menyadari bahwa Bima memang sudah lama mempersiapkan ini. “Baiklah, apa rencanamu?” tanyanya, menyadari bahwa taktik terbaik saat ini adalah membiarkan Bima memimpin.Bima mencondongkan tubuh ke depan, membuka map di hadapannya. "Kita serang
Suasana di rumah Adrian terasa semakin suram. Ketegangan menumpuk seiring waktu, terutama setelah serangkaian serangan yang mengguncang kerajaan bisnis keluarga Wijaya. Adrian, yang dulu tampak tak tergoyahkan, kini terlihat rapuh. Hari itu, Adrian akhirnya mengetahui kebenaran yang menghancurkannya: Bima, adik iparnya sendiri, adalah dalang di balik semua serangan.Adrian duduk di ruang kerjanya, tangannya bergetar saat memegang laporan terakhir yang diantarkan oleh orang kepercayaannya. "Bima..." gumamnya lirih, suaranya serak.Langkah kaki terdengar dari luar pintu. Bima masuk dengan tenang, tanpa ekspresi, dan duduk di kursi di seberang Adrian. Mereka saling menatap, ketegangan memenuhi ruangan.“Aku tahu kau akan segera mengetahuinya,” kata Bima tanpa basa-basi. “Aku sudah menunggu waktu ini.”Adrian terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Amarahnya bergolak, namun juga ada rasa keterkejutan yang sulit dijelaskan. “Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?” tanya Adrian, suaranya be
Di kantor, Adrian terus menerima telepon dari rekan-rekannya. Suara marah dan penuh kekecewaan datang dari berbagai pihak. Beberapa mitra bisnisnya memutuskan hubungan, investor menarik diri, dan kontrak-kontrak besar dibatalkan."Kami tidak bisa melanjutkan kerja sama ini, Adrian. Reputasimu sudah rusak. Ini akan menghancurkan kita juga."Adrian membanting teleponnya ke meja, wajahnya merah karena marah dan frustrasi. Semua yang dia bangun selama bertahun-tahun kini hancur dalam sekejap.Di sudut ruangan, Maya berdiri dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan suaminya dengan tatapan datar. "Ini sudah di luar kendali, Adrian. Kau harus melakukan sesuatu."Adrian mendongak, menatap Maya dengan mata yang penuh amarah. "Kau pikir aku tidak mencoba? Setiap hari aku mencoba memperbaiki ini, tapi serangannya datang dari segala arah. Aku bahkan tidak tahu siapa yang ada di balik semua ini."Maya mendekat, tatapannya tajam. "Kau perlu bertindak cepat, Adrian. Jika tidak, aku tidak akan iku