Share

Chapter 3 – Andai Aku tidak Lahir dari Rahimmu

“Kamu membuat Mama malu. Kamu membuat Om Ferdy marah ke Mama,” Mama berucap ketus.

Aku memandang Mama dengan tajam. “Seharusnya aku yang marah,” ucapku setengah berteriak. “Aku mengalami hal mengerikan tadi malam,” sambungku yang sekarang dengan suara bergetar. Mataku juga sedikit berkaca-kaca.

Mama mencibir, “Jangan banyak alasan.”

“Banyak alasan?” Aku menatap tak percaya.

“Sudahlah, jangan mencari-cari alasan. Pokoknya besok kamu harus pergi ke tempat Om Ferdy. Dia memberikanmu satu kesempatan lagi.” Tanpa menunggu reaksiku, Mama berbalik dan meninggalkan kamarku.

Seketika air mataku pecah. Tubuhku terduduk lemas di atas kasur. Tidakkah Mama melihat kondisiku sekarang, dengan bibir bengkak dan memar di pergelanganku? Tidakkah dia sedikit prihatin denganku? Atau setidaknya, bisakah dia sedikit menunjukkan rasa bersalahnya saja? Kenapa dia berpura-pura tidak terjadi apa-apa seperti itu? Ah, seandainya saja aku tidak lahir di Rahim Mama, apakah aku tidak akan mengalami kejadian mengerikan itu?

“Mbak!” panggil Arfa di depan pintu.

Tanganku refleks mengusap-usap kedua mataku. “Ya Fa?”

“Mbak nggak papa?” Suara Arfa terdengar khawatir.

Aku memberikan gelengan lemah. “Nggak papa kok.”

Arfa memperhatikan wajahku, tepatnya bibirku. Dahinya juga terlihat mengernyit tajam ke arah leherku. “Apa yang telah terjadi Mbak?”

“Oh, ini tadi digigit nyamuk,” kataku sambil berusaha menutupinya dengan rambut.

Arfa menunjukkan raut yang tidak puas dengan jawabanku. Meskipun umur Arfa masih empat belas tahun, dia pasti tahu tanda di leherku bukanlah seperti yang aku lontarkan. Dia sedikit menghela napas, “Kalau ada apa-apa, Mbak harus bilang. Aku akan selalu ada di pihak Mbak.”

“Ya Fa, terima kasih,” tuturku. Dia mungkin sadar kalau aku  tidak siap untuk menceritakannya.

Tidak ada pembicaraan lagi di antara kami. Arfa keluar dari kamar. Aku kembali menangis tertahan.

0_<

Aku memasukkan baju-bajuku ke dalam koper. Aku memutuskan untuk kembali saja ke Malangkaya meskipun masa libur kuliah masih panjang. Jika aku menuruti keinginan Mama, mungkin saja kejadian mengerikan itu akan berulang. Cukup, hanya sekali saja. Kejadian malam kemarin benar-benar sangat menakutkan, bahkan malam tadi aku tidak bisa tidur. Di setiap aku memejam mata, aku merasa seperti kembali ke dalam kamar hotel itu.

“Mau ke mana kamu?” Mama mencegatku di tangga.

“Aku mau pergi ke Malangkaya.”

Mama memegang gagang koperku. “Kenapa cepat sekali? Bukankah liburanmu masih panjang?”

“Aku tidak ingin di sini,” aku melepaskan tangan Mama dari gagang koperku.

“Apa ini karena Mama menyuruhmu casting?”

Aku tidak mengindahkan ucapan Mama dan terus berjalan menuju pintu.

Mama menarik pergelanganku dan memaksaku untuk menghadapnya. “Dasar anak tidak tahu diuntung! Mama sudah susah-susah melobi Om Ferdy yang terkenal cukup pemilih itu.”

“AKU TIDAK PEDULI!” bentakku.

Plak!

Aku merasa sakit di pipi kiriku.

Sontak, mataku menatap tajam ke arah Mama.

“TAMPAR LAGI MA! TAMPAR! BIAR MAMA PUAS DAN TIDAK MEMAKSAKU LAGI!”

Sekali lagi Mama hendak melayangkan tangannya, tapi tangan Arfa menangkap lengannya diikuti suara tangisan Alby. “Cukup Ma. Kasihan Mbak Awina.”

Mama menghempas tangan Arfa, kemudian pergi menjauh. Air mataku langsung mengalir. Arfa mendekat dan memelukku, sambil mengusap-usap punggung. Alby yang melihat dari kejauhan juga menghampiriku dan memeluk kakiku. Aku menangis terisak-isak sambil membalas pelukan kedua adikku dengan erat.

"Tuhan, kenapa harus aku?"

0_<

Sudah beberapa hari berlalu. 

Tanganku kini refleks mengambil remote dan menekan power button--mencari hiburan. 

Namun, setiap kali mendengar suara Jevin di layar TV, tubuhku langsung beraksi waspada.

Bahkan ketika melihat poster wajahnya di reklame, kakiku berjalan tergesa-gesa seolah dia sedang mengejarku.

Beberapa malam belakangan ini sejak kedatanganku ke Malangkaya, aku selalu terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur hingga langit berubah cerah.

Parahnya, tubuh ini beberapa kali terperanjat jika seorang laki-laki tidak sengaja berdiri di sebelahku, padahal mereka tidak melakukan apa-apa.

Drrt!

Ponselku di depan TV bergetar.

Sontak, aku mengambilnya sebelum duduk di depan jendela kamar yang berhadapan dengan halaman kosan.

“Halo Fa!” sapaku begitu melihat nama yang terpampang.

“Kabar Mbak gimana?” 

Senyum kecil tersungging meskipun Arfa tidak bisa melihatnya. “Mbak baik, Fa.”

“Hari ini aku dan Alby mau ikut Bik Sumi ke pasar,” Arfa mulai bercerita.

Sejak kedatanganku empat hari lalu, Arfa memang rutin menelepon, setidaknya tiga kali dalam sehari.

Barangkali dia tahu kalau kosan masih sepi, para penghuni–yang sebagian besar mahasiswa–masih belum pulang dan  mungkin masih menikmati kebersamaan dengan anggota keluarga mereka.

Kebanyakan Arfa juga yang bercerita, entah tentang kegiatan yang sedang dilakukan atau membahas tingkah Alby yang selalu aktif.

Telepon kami berakhir tiga puluh menit kemudian.

Meskipun tidak bisa menghapus ingatan tentang kejadian di malam itu, sekurang-kurangnya rasa sesak di dadanya sedikit berkurang.

Tok… tok… tok..!

"Wina!"

Suara pintu yang diketuk diikuti namaku yang dipanggil, memaksa untuk bangkit dari posisiku dengan sedikit ogah-ogahan. Kutemukan sosok perempuan yang sangat jarang berinteraksi denganku. Bahkan, aku hanya tahu namanya dan sesekali berpapasan di lorong kosan dengannya.

“Oh, Mbak Yani. Ada apa ya Mbak?” tanyaku sedikit keheranan. 

“Mbak mau memberikan ini untukmu.” Mbak Yani pun menyodorkan kresek putih. “Tadi Mbak membawanya untuk teman Mbak, tapi ternyata dia nggak jadi datang. Malam tadi Mbak melihat kalau lampu di kamarmu menyala. Mbak menduga kalau kamu pasti sudah pulang. Makanya daripada mubazir, Mbak berikan saja ke kamu,” jelasnya.

Aku tertegun. Namun, dengan cepat kembali sumringah.

“Terima kasih Mbak,” jawabku cepat.

Lumayan untuk mengisi perutku yang berbunyi. Selain nafsu makan yang menurun, aku juga sangat malas untuk keluar kosan jika memang tidak benar-benar urgensi.

“Mbak sudah memakannya?”

“Belum. Mbak niatnya mau memakannya setelah memberikan ke kamu,” jawab Mbak Yani sambil menoleh sekilas ke dapur. “Mau makan bareng di belakang?”

“Oke Mbak,” jawabku dengan sedikit mengangguk, kemudian mengikuti langkah Mbak Yani.

“Kok kamu pulang cepat, Win?” tanya Mbak Yani di sela-sela meletakkan potongan chicken katsu di piring dan menumpah kuah kari di atasnya.

Aku bergeming sejenak. “Ehm, keluargaku sedang ada urusan Mbak, jadi sekarang–” Aku dan Mbak Yani refleks menoleh ke ponselku yang diletakkan di samping piring.

Tulisan ‘Mama’ tertera di layar dan aku dengan cepat membalikkan, sama sekali tidak berniat untuk menggubrisnya. Ada apa gerangan beliau meneleponku?

“Kok nggak diangkat?”

“Hah?” responku yang seolah tidak mendengar.

“Mamamu nelpon. Kenapa nggak diangkat?”

“Nggak kenapa-napa kok Mbak.”

“Mamamu Dariah Angelica, kan?”

Deg!

Mataku langsung membulat lebar. Kenapa Mbak Yani bisa tahu?

"Ma--maaf?"

0_<

Alsaeida

NANTIKAN TERUS KELANJUTANNYA. TERIMA KASIH. @Alsaeida0808

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status