Share

Chapter 4 – Not an Angel without Wings

“Setahun lalu Mbak ke Kelantan dan menginap di samping rumahmu. Makanya Mbak tahu kalau Dariah Angelica adalah Mamamu,” ungkap Mbak Yani sebelum mengunyah potongan chicken katsunya.

“Ehm… Kata teman-teman kosan, Mbak punya kafe sendiri, ya?” kataku mengubah topik, berharap Mbak Yani tak tertarik membahas tentang sosok bernama Dariah Angelica itu.

“Bukan milik Mbak, tapi Mbak hanya mengelolanya saja. Namanya Spectra Cafe.

“Aku pernah ke sana Mbak. Tempatnya nyaman dan luas. Makanannya juga enak,” pujiku antusias, bukan semata-mata karena menghargai Mbak Yani ataupun supaya dia tidak teringat dengan siapa mamaku, tetapi memang begitulah keadaannya. Malahan Spectra Cafe menjadi salah satu list yang akan didatangi jika Arfa dan Alby datang ke Malangkaya nanti.

“Terima kasih. Mbak senang mendengarnya.” Senyum Mbak Rani tersungging. “Sebentar lagi  cabang kedua juga akan dibuka.”

“Ada buka lowongan kerja, Mbak?” tanyaku memastikan. Uangku sudah menipis.

Mbak Rani mengangguk. “Ada. Tapi hanya waitress saja.”

“Masih ada yang kosong nggak, Mbak?”

“Masih Win. Memang kenapa?”

“Aku bisa daftar nggak, Mbak?”

Dahi Mbak Yani sedikit mengernyit. “Bisa sih. Cuman….” Dia terlihat ragu-ragu hendak mengucapkannya.

“Aku sedang butuh uang, Mbak,” sambungku tanpa malu.

Mbak Yani bungkam cukup lama sebelum berucap, “Sabtu besok datanglah ke kafe.”

“Baik Mbak,” sahutku sumringah sebelum memasukkan sepotong chicken katsu ke dalam mulutku.

“Kamu sudah semester berapa sekarang, Win?” tanya Mbak Yani sambil mengambil remote TV yang memang tergeletak di atas meja. “Wah… Jevin!” ucapnya antusias ketika layar TV menampilkan sosok laki-laki bertubuh jangkung itu. “Mbak suka banget dengan lagu-lagu Jevin. Mbak adalah salah satu JevinLov,” lanjutnya riang.

Sementara tubuhku langsung bereaksi, menegang kaku dengan beberapa butir keringat yang terasa muncul di dahi. Bahkan chicken katsu yang sudah di kerongkonganku, kini sulit untuk ditelan, seolah potongan itu adalah potongan terbesar.

“Kamu mau ikut, nggak?”

“Hah! I-Iya Mbak?” ucapku gelagapan.

“Minggu ini dia akan mengadakan konser di Cilakap. Kamu mau ikut, nggak?”

Kepalaku dengan cepat menggeleng. “Nggak Mbak.”

“Beneran?” Mbak Yani memasang wajah tidak percaya.

Kini aku mengangguk tergesa-gesa.

Mbak Yani memicing keheranan. “Beberapa kenalan Mbak yang seumuran denganmu, rata-rata mereka pasti menyukai Jevin. Dia juga jago akting. Film terbarunya saja sukses besar. Menurutku, dia salah satu publik figur yang paling bertalenta. Dia juga ramah dengan penggemar. Dia dijuluki Angel without wings.

Aku hanya memberikan senyum paksa. Bingung menanggapi. Sebelum kejadian di malam itu, aku akui kalau aku cukup menyukai lagu-lagunya. Malahan aku berniat menjadi salah satu penggemar karena Arfa sering mengomentari kepribadian Jevin, yang selalu peduli dengan penggemar-penggemarnya. Tapi perbuatan kejamnya padaku menjadikan seperti pepatah nila setitik rusak susu sebelanga. 

“Dia ganteng banget, benar-benar terlihat seperti malaikat,” kata Mbak Yani berbinar kagum.

Dia bukanlah malaikat Mbak, tapi iblis, batinku.

0_<

Mataku yang semula menatap cermin, memastikan penampilanku sopan dan rapi dengan kemeja putih dan celana kain berwarna hitam, kontan menoleh ke atas kasur dimana ponselku yang baru saja berbunyi. Aku sekali lagi memperhatikan penampilanku sebelum mendekatinya. Ada sebuah SMS notifikasi dari bank, menginfokan debit yang masuk. Ada juga chat dari Mama, mengabarkan kalau dia baru saja mengirimkan uang.

Aku membalas singkat chat Mama dengan ucapan terima kasih, kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas. Memang sekarang masalah uang sudah terselesaikan, tapi aku tetap dengan rencanaku yang ingin bekerja di Spectra Cafe, meskipun hanya sebagai waitress. Semua gajiku akan ditabung dan mungkin akan berguna di saat-saat mendesak nanti. Kejadian masa depan tidak ada yang tahu, kan? Entah itu buruk atau baik. Seperti juga kejadian mengerikan di malam itu, aku tidak pernah menduga kalau akan mengalaminya.

“Sudah siap, Win?” tanya Mbak Yani, tepat saat aku baru menutup pintu kamar.

“Sudah Mbak,” jawabku bersemangat.

“Kita berangkat sekarang?”

Aku membalas dengan anggukan kepala, lantas berjalan beriringan menuju parkiran. Hari ini merupakan jadwal wawancara seperti yang dikatakan Mbak Yani dan dia berbaik hati memberikan tumpangan. Sekalian ke tempat kerja, katanya.

“Kamu sudah mendengar berita tentang Jevin?” tanya Mbak Yani di sela-sela memperhatikan spion kiri mobil, hendak berbelok ke kiri.

“Ng-Nggak Mbak,” jawabku yang selalu saja gugup ketakutan saat mendengar nama laki-laki itu.

“Mbak lupa kalau kamu bukan penggemarnya.” Mbak Yani menepuk pelan jidatnya. “Jevin dirumorkan berpacaran dengan Viska,” lanjutnya.

Aku menanggapi dengan senyum kecil. Sama sekali tidak berminat, tapi tidak ingin terlalu memperlihatkan.

“Mbak berharap kalau berita itu hanyalah rumor belaka. Seandainya Jevin memang memiliki pacar, setidaknya bukan Viska. Wanita itu tidak cocok dengannya. Dia pernah  tersangkut masalah penganiayaan tahun lalu. Jevin terlalu baik untuknya,” ungkap Mbak Yani.

Mendengar kalimat terakhir Mbak Yani, benakku berkecamuk. Jevin bukanlah sosok yang baik. Dia pemerkosa. Tapi apakah ada yang percaya jika aku mengatakannya?

“Tidak ada selebritis yang sebaik dia. Dia menyumbangkan semua hasil bayaran yang diterimanya dari film Diantara Kita ke yayasan penanganan kanker. Kata staf-staf yang bekerja dengannya, dia juga royal. Pantas saja kalau dia dijuluki Angel without wings,” Mbak Yani bercerita dengan decak kagum.

“Jevin gak sebaik yang Mbak ceritakan,” bantahku lirih.

“Ya Win? Tadi kamu bilang apa?” tanya Mbak Yani, dia pasti tidak mendengarkannya. Aku berkata nyaris tak bersuara.

Kepalaku menggeleng, “Nggak kok Mbak. Aku nggak bilang apa-apa.”

“Tapi selintas aku mendengar nama Jevin.”

“Aku tadi bilang kalau lagu-lagu Jevin sangat bagus,” alasanku.

“Benar Win, lagu-lagunya  memang sangat bagus dan hampir semua lagu yang dinyanyikan adalah lagu ciptaan Jevin sendiri.”

Untunglah Mbak Yani tak lagi berceloteh. Sepertinya telingaku sudah tak sanggup lagi mendengarkan nama Jevin.

Mobil yang kami naiki akhirnya berhenti di parkiran Spectra Cafe. Masih terlihat sunyi karena memang belum waktunya untuk buka. Aku dan Mbak Yani berpisah di pintu masuk. Aku bergabung dengan beberapa pelamar lainnya, sementara Mbak Yani masuk ke ruangan yang ada di samping tangga.

“Namanya siapa Mbak?” tegur wanita berkacamata di sampingku.

Aku mengulurkan tangan sambil tersenyum. “Awina Mbak. Kalau Mbak?”

“Karla,” ucapnya dengan menyalamiku. “Kalau dia Yofi. Kami satu kampus,” sambung Karla sambil menoleh ke kiri dan laki-laki di sampingnya langsung mengulurkan tangan.

Tubuhku sontak bergetar hebat--seolah takut sentuhan laki-laki. Keduanya menatap bingung ke arahku.

"Wina?" 

0_<

Alsaeida

TERIMA KASIH. @Alsaeida0808

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status