Share

Chapter 5 – Mungkinkah?

"A--ah, iya."

“Yofi Mahendra, tapi panggil aja Yofi.” Dia semakin mengulurkan tangannya ke depan.

Aku menghela nafas pelan. Aku seharusnya tidak menunjukkan sikap defensif seperti ini. Sekarang aku sedang tidak sendirian. Yofi tidak mungkin bertindak macam-macam. Mungkin tidak semua laki-laki juga memiliki sikap seperti Jevin.

“Awina,” balasku sambil menyambut uluran tangannya.

“Kuliah di mana?”

“Di USUN, Universitas Sunway.”

“Kami juga di USUN,” timpal Karla dengan sumringah.

“Aku di Fakultas Ekonomi,” sahutku, yang semula ingin membatasi diri, tiba-tiba menjadi gembira karena ternyata kami satu almamater. Dan sepanjang menunggu waktu wawancara, kami banyak bercerita, kebanyakan membahas kegiatan kampus. Aku juga sudah tidak bersikap canggung dengan Yofi. Siapa sangka beberapa hari kemudian, kami kembali bertemu di Spectra Cafe. Kami sama-sama diterima sebagai waitress di sini.

“Meja nomor lima, Win,” kata Mang Abram, salah satu koki di sana.

“Sip Mang,” jawabku sambil mengangkat nampan yang berisi dua piring nasi goreng seafood.

Sudah dua bulan berlalu sejak diterima sebagai salah satu karyawan di kafe ini dan aku cukup menikmati pekerjaan ini. Yah, meskipun cukup melelahkan di hari-hari weekend.

Aku mendekati meja yang ada di samping pintu masuk. “Silakan Mbak Mas!” ucapku sambil meletakkan piring di hadapan masing-masing. Setelah memastikan tidak ada lagi permintaan dari pelanggan, aku kembali ke tempat Mang Abram yang sudah meletakkan nampan baru. Tapi baru dua langkah berjalan, aku merasa kepalaku berdenyut-denyut dan mataku sedikit berkunang-kunang. Aku terpaksa memegang meja kosong di sampingku, mencari penyangga. Tiga hari belakangan ini, kondisi tubuhku memang sedang tidak baik, sering mengalami pusing dan sakit kepala.

“Kamu baik-baik saja, Win?” tanya Karla.

Aku menegakkan tubuhku. “Aku nggak apa-apa Kar.”

“Beneran? Tapi wajahmu terlihat pucat.”

Bibirku memberikan senyum kecil, berusaha untuk tampak baik-baik saja. “Aku nggak papa kok.”

“Sebaiknya kamu istirahat saja di belakang, pelanggan juga sedang tidak banyak. Nanti biar aku laporkan ke Mbak Yani.”

“Nggak usah Kar, aku masih sanggup kok,” tolakku dan segera pergi ke konter Mang Abram.

“Kamu terlihat pucat Win,” komentar Mang Abram.

“Meja nomor berapa Mang?” tanyaku yang tak menggubris ucapannya.

“Nomor tujuh.”

“Oke Mang,” sahutku dengan gaya semangat mengangkat nampan. Tapi baru beberapa langkah bergerak, rasa pusing kembali menyerang. Aku hampir saja terjatuh jika tidak ada yang memegangku. 

“Kamu tidak apa-apa Win?” tanya Yofi yang terdengar khawatir.

Aku menjauhkan punggungku dari dadanya. “Ehm… ya.”

“Tapi kamu tampak tidak sehat?”

“Ada apa Yof?” suara Mbak Yani menginterupsi.

“Awina sakit Mbak.”

Kepalaku dengan cepat menggeleng. “Nggak kok Mbak.”

Mbak Yani memperhatikan wajahku saksama. “Istirahatlah ke belakang. Wajahmu pucat.”

“Aku baik-baik saja kok Mbak,” sangkalku.

Sekali lagi Mbak Yani menatapku saksama. “Kamu ke istirahat saja di belakang. Sebentar lagi jadwal shift-mu juga berakhir.”

Aku menghela napas kecewa. “Baik Mbak.”

“Berikan nampan itu,” pinta Yofi.

“Meja nomor tujuh,” timpalku yang langsung dibalas Yofi dengan anggukan kepala.

“Istirahatlah ke belakang!” kata Mbak Yani, kini terdengar seperti memerintah.

Aku mengangguk pelan dan kemudian bergerak menuju ruangan di samping konter. Aku menyandarkan tubuhku di lemari besi. Sekali-kali jemariku memicit kening. Rasa pening ini semakin menjadi-jadi, diikuti rasa mual yang mendadak menggerogoti.

“Minum ini Win,” suara itu memaksaku untuk membuka mata dan sudah ada Yofi menyodorkan segelas teh. “Supaya lebih baikan,” tambahnya yang memberikan gelas kaca itu ke tanganku.

“Makasih Yof,” balasku yang segera meminumnya.

“Mbak Yani memintaku untuk mengantarmu jika kamu sudah merasa sedikit baikan. Mbak Yani takut kamu kenapa-napa di perjalanan nanti.”

“Makasih,” kataku tanpa berniat menolak seperti sebelum-belumnya.

Bukan aku kegeeran atau terlalu percaya diri, tapi Yofi sering menunjukkan sikap kalau dia tertarik denganku. Tapi selama ini aku selalu berusaha bersikap biasa, lebih banyak tidak menanggapi. Setelah kejadian di hotel Chancellor itu, mungkin bisa dikatakan kalau aku mengalami sedikit trauma. Aku menjadi takut untuk berinteraksi dengan sosok berjenis kelamin laki-laki. Kadangkala aku masih tersentak ketakutan jika tidak sengaja bersenggolan.

0_<

Kondisiku masih belum membaik padahal aku merasa sudah cukup istirahat. Semejak Yofi mengantarkan pulang ke kosan, aku terus berbaring di tempat tidur hingga pagi bergulir. Rasa mual juga terus berdatangan hingga selalu bolak-balik ke kamar mandi.

Mataku baru saja hendak terpejam ketika suara ketukan pintu berbunyi. Dengan terhuyung-huyung aku mendekati pintu kutemukan Gladis--sahabatku--tersenyum di sana.

“Ya Dis? Ada apa?”

“Boleh minta pembalut nggak? Pembalutku habis tapi aku mager mau keluar.”

“Bentar ya, aku ambil dulu.”

Dengan langkah perlahan, aku mendekati lemari plastik di samping pintu kamar mandi. Tapi tiba-tiba tanganku terpaku sambil menatap jumlah pack pembalut yang masih bertumpuk banyak. Benakku coba mengingat-ngingat kapan terakhir menstruasi dan sekonyong-konyong tubuhku menjadi lemas.

Datang bulanku selalu rutin, hanya sekali-kali telat beberapa hari, dan sekarang aku sudah telat selama lebih dua bulan.

 Gladis pun datang menghampiriku dengan panik.

“Win?" panggilnya, "Kamu kenapa, Win?”

0_<

Alsaeida

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA. NANTIKAN TERUS KELANJUTANNYA. I***A: @Alsaeida0808

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status