"Abang bilang abak kita dibawa ibu? Terus mana anak kita? Kenapa rumahnya kosong?"
“Sayang, Abang bisa jelasin! Ja-jadi Ibu bawa anak kita itu ada alasannya. Anak kita cuma jadi pancingan aja kok. Nanti dibalikkin." "PANCINGAN APA? KENAPA GK IZIN AKU? ITU AMANYA MENCURI!" "Sabar dulu, ibu bilang sementara." "Aku gk bisa sabar, sekarang di bawa ke mana anakku?” tanya Dara dengan mata yang memerah. “Sayang, kamu tahu ‘kan kalau Mbak Eca itu enggak punya anak udah 15 tahun.” “Terus apa hubunganya sama Mita?” “Ya, jadi Ibu bawa Mita ke sana.” “Abang tahu enggak sih, aku hampir kehilangan nyawa waktu lahiran Mita. Kenapa Abang kasihkan begitu aja sama mereka?” Saat aku tidak tahu harus berkata apa pada Dara wanita itu malah pergi keluar rumah dengan langkah yang tertatih-tatih. Maklum saja ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah melahirkan beberapa hari yang lalu. “Abang enggak tahu juga kalau anaknya bakal diambil begitu aja. Apa lagi sampai dibawa ke rumah Mbak Eca.” “Bohong kalau Abang enggak tahu. Ini semua rencana kalian bukan? Abang yang udah ngerencanain semuanya? Ayah macam apa kamu yang ngasihin anaknya ke orang lain.” “Bukan orang lain, Sayang. Itu ‘kan masih keluarga kita.” “Kamu ini punya pikiran enggak? Aku hampir meninggal kemarin demi anak kita, tapi kamu kasihin anaknya begitu saja? Hewan saja enggak ada yang sekejam kamu.” Saat itu kebetulan banyak orang yang berhalu lalang di depan rumah kami, jadi jelas saja perkataan Dara sepertinya memancing rasa penasaran mereka. Terlihat beberapa dari mereka bahkan mendadak memelankan langkahnya. Sayangnya saat itu Dara yang menangis membuat keadaan jadi semakin kacau. Aku sudah berusaha menenangkannya, tetapi Dara justru menangis semakin keras. Beberapa tetangga ibu akhirnya mulai menghampiri kami satu persatu, sekarang jelas saja kami jadi dikerumuni banyak orang. “Dara yang sabar, ya! Kamu ini loh bagaimana sih Saka, anak sendiri kok dikasih orang lain. Kasihan istrimu ini nangis begini! Sabar ya Dara, tenang dulu!” ucap Bu Siwi. Sayangnya, semakin ditenangkan Dara justru menangis semakin keras. Kini ia bahkan sampai meraung di pelukan Bu Siwi. Aku sudah berusaha untuk menenangkannya, tetapi jangankan dipeluk. Disentuh saja ia tidak mau. “Mereka jahat banget sama aku, Bu. Aku salah apa sama mereka sampai anakku diambil.” “Istigfar dulu, Nak. Ini itu ujian buat kamu, sabar pasti ada jalannya.” “Ibu mana yang bisa sabar kalau anaknya dikasihin orang tanpa seizin aku. Ibunya saja enggak pernah merasakan gendong, kenapa sudah dikasihkan ke orang, hiks,” ucap Dara yang sambil terisak-isak. Ya Tuhan aku harus bagaimana, aku sendiri tidak tahu kalau Ibu akan setega itu membawa anak kami sebelum ibunya melihat dulu. “Kamu juga Saka, kenapa diam saja! Telepon ibumu! Suruh dia bawa anakmu balik, kamu ini bapak macam apa? Masa anak sendiri dikasih begitu saja. Kamu pikir melahirkan enak ya? Taruhannya nyawa tahu enggak?” pinta Bu Siwi dengan nada yang marah. Aku bukannya tidak pernah menelepon, bahkan sepanjang jalan menuju ke sini aku sudah berusaha menghubungi nomor Ibu dan Mbak Eca, tetapi tidak ada jawaban. Setelah kuperhatikan lagi sepertinya mereka memblokir nomorku. “Sudah Bu, tapi enggak pada aktif.” “Ya usaha, kamu samperin kek ke sana!” ucap Bu Siwi. Entah kenapa dia malah memperkeruh keadaan. Sekarang lihat saja Dara yang tadinya menangis sekarang ikut memaksaku juga. “Aku enggak mau tahu, ambil anak kita!” “Iya Dek, Abang mau ambil kok ini, tapi mau bagaimana lagi ini ditelepon susah.” “Jelas susah, mereka sudah pasti ngeblokir nomor kamu juga.” Kenapa Dara malah berkata seperti itu? Apakah dia juga diblokir. Ya Tuhan, jangan-jangan ini memang sudah mereka rencanakan. Ibu ini memang enggak bisa dipercaya. “Dara, Abang janji bakal bawa anak kita lagi, tapi Abang juga enggak mungkin bawa kamu. Rumah Mbak Eca ‘kan di Jakarta, perjalanan ke sana cukup jauh, kamu baru saja melahirkan. Pasti nanti kecapean di jalan.” “Aku ikut!” ucap Dara. “Kamu jalan saja masih sakit, istirahat di rumah saja.” “Memang ada jaminan kalau aku istirahat di rumah Abang bisa bawa anak kita pulang. Enggak ‘kan? Aku tahu Abang enggak bisa tegas sama Ibu, anak sendiri saja tega dikasih-kasih ke orang.” “Tapi, ‘kan Mbak Eca juga sudah 15 tahun enggak punya anak Dek. Sedangkan kita baru nikah saja alhamdulillah sudah dipercaya buat punya keturunan.” “Terus apa hubungannya sama aku Bang, dia enggak bisa punya anak terus jadi bebas ambil anak orang begitu saja?” “Enggak ambil Dek, Mbak Eca bilangnya cuma pinjam kok.” “Anak kok dipinjamin, yang bener saja Bang!” “Iya ini bagaimana sih kamu Saka, sudah biarin saja istrimu ikut! Orang kamu saja jadi suaminya enggak ada tegas-tegasnya sama sekali. Mana ada bapak yang ngasih anaknya begitu saja.” Bu Siwi kembali ikut campur. Sungguh keadaan jadi semakin kacau ketika orang lain ikut bicara. Dara jadi semakin emosional, terlihat bagaimana ia ingin segera pergi menuju rumah Mbak Eca. Sekarang mau tidak mau dengan segala risiko yang ada aku harus mengajak Dara menuju Jakarta. Benar saja baru beberapa menit perjalanan Eca sudah mulai meringis, tetapi setiap kali ditanya ia hanya menjawab sekadarnya. “Kamu yakin baik-baik saja?” “Udahlah, enggak usah mikirin aku!” Di sisi lain aku tidak tega dengan keadaan Dara, tetapi mau bagaimana pun aku tidak bisa menahannya sendirian di rumah, sudah pasti ia akan sangat tertekan dan gelisah memikirkan putri kami yang dibawa kabur ibuku. Entah kenapa Ibu bisa senekat ini, padahal sebenarnya aku juga tidak keberatan kalau memang dia ingin menjadikan anakku sebagai pancingan untuk Mbak Eca. Namun, aku memintanya nanti setelah Dara pulang dari rumah sakit. Ibu sudah setuju untuk menunggu Dara, tetapi kenapa saat aku kembali ia malah memanfaatkan kesempatan itu untuk membawa putri kami? Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya kami sampai ke rumah Mbak Eca, rumah besar bercat putih yang arsitekturnya bergaya eropa itu tampak sepi. Entah kenapa perasaanku jadi tak enak. Jangan-jangan penghuni rumahnya sedang keluar. Terlihat di mana garasi rumah mereka juga kosong. Benar saja sudah 10 menit kami berdiri di pintu rumahnya, tetapi tak ada tanda-tanda akan dibuka. Sampai kemudian seorang petugas keamanan menghampiri kami. “Pak cari siapa?” “Mbak Eca, Pak. Pada ke mana ya, kok dari tadi enggak ada yang bukain pintu?” “Oh, Mbak Eca dari kemarin keluar. Apa mungkin belum kembali?” “Keluar ke mana, Pak?” “Saya kurang tahu Pak, tapi kebetulan saya yang jaga kemarin terus lihat mereka bawa bayi begitu keluar. Kayaknya sih mau pergi jauh. Soalnya barang bawaannya banyak banget.” “Hah? Anak baru lahir diajak pergi jauh. Kriminal banget Mbak kamu Mas, bawa pergi anak orang. Itu bayi saya Pak, dia curi bayi saya!” ucap Dara dengan penuh emosi. “Ya Allah Dek, kok ngomong begitu?” tanyaku. “Kenapa? Cuma karena Mbak Eca kayak, terus bisa nyuri anak orang seenaknya. Jangan Abang pikir aku bakal diam saja, cuma karena aku anak orang enggak punya! POKOKNYA AKU AKAN MENCARI KEADILAN UNTUK BAYIKU YANG DIAMBIL KELUARGAMU!""Abang mungkin bisa nitip ke penjaga makam kalau Mbak Eka ke makam, biar telepon kamu atau minta nomor hpnya.""Kamu yakin Dek, kalau Mbak Eka bakal ke makan secara rutin.""Aku sih mikirnya Mbak Eka kalau memang bener-bener berubah, seharusnya bakal ke sana."Cara ini mungkin membutuhkan banyak waktu, tapi faktanya mencari Mbak Eka juga sesulit itu. Saka juga sudah menanyakan pada orang-orang di sekitar rumahnya, tapi tak ada yang pernah menemui Mbak Eka selain orang-orang yang rumahnya dekat pemakaman. Jadi, Saka hanya bisa menitipkan pesan pada temannya yang kebetulan punya rumah dekat makam juga, untuk memberinya kabar kalau Mbak Eka ziarah.Sebulan berlalu, akhirnya Saka mendapatkan informasi kalau Mbak Eka ziarah ke makam ibu. Tanpa pikir panjang Saka yang kala itu masih berada di rumah makan langsung meluncur ke sana. Untungnya temannya yang dititipkan pesan oleh Saka mencoba untuk menahan Mbak Eka dengan mengajaknya bicara banyak hal, alhasil begitu Saka samp
"Dara, bagaimana kabar kamu?"Kala itu wajah semringah Dara langsung berubah. Rupanya ia masih belum melupakan kejadian di masa lalu."Mbak mau ngapain ke sini? Mita udah enggak ada, tolong jangan ambil anakku lagi."Dara mungkin sudah mencoba mengiklaskan apa yang terjadi di masa lalu, tetapi siapa yang menyangka kalau ketika dihadapkan pada orang yang bersangkutan secara langsung. Ada sedikit rasa khawatir yang ia sendiri pun tidak mengerti kenapa bisa terjadi."Dara, maafin Mbak. Aku datang ke sini bukan mau ambil anak kamu. Mbak cuma mau silaturahmi aja.""Bang...."Kala itu Dara menatap Saka dengan wajah yang nanar. Rupanya Saka pun demikian, kenyataannya pria itu masih sedikit khawatir kalau perempuan ini punya niat yang tidak baik. Dari banyaknya waktu kenapa Mbak Eka harus datang tepat kala Dara baru saja melahirkan. Siapa juga yang tidak akan menaruh curiga."Mbak sebaiknnya kita bicara di luar aja ya, tunggu sebentar."Kala itu Saka jug
"Apa aku hamil ya?""Hah, Adek serius? Emang udah telat?""Udah 2 bulan sih enggak halangan.""Loh, kenapa enggak bilang Sayang?""Aku enggak mau aja bikin Abang berharap kalau beneran hamil.""Ya udah nanti di sana paling diperiksa. Apa mau beli test pack aja?""Boleh.""Ya udah nanti mampir ke apotek sebentar, Abang belikan buat kamu.""Makasih, ya!"Dara mendadak tak bisa tenang, jantungnya bahkan berdentum-dentum tak karuan, membayangkan jika ia harus kembali mengecewakan Saka. Entah kenapa rasa tidak tega, melihat Saka begitu bersemangat tatkala pria itu membelikan alat tes kehamilan untuknya."Apa pun hasilnya, sama sekali enggak akan mengurangi rasa cinta dan sayang Abang ke kamu."Dara hanya tersenyum tipis, jelas di hatinya ia merasa khawatir kalau hal serupa akan kembali terulang. Namun, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Ia masih hafal bagaimana rasanya hamil dan yang tengah ia rasakan saat ini sama persis.Di toilet Dar
Begitu Dara kembali untungnya keadaan sudah seperti semula. Rey sudah meninggalkan meja mereka, tetapi sepertinya Saka masih kesal dengankehadiran pria itu di sini.“Abang kenapa sih kok cemberut gitu? Ada yang bikin kesel?” tanya Saka.“Udah enggak ada sih sekarang, kita pulang aja sekarang yuk!”“Ayo! Ini juga udah siap kok.”Merasa Saka tampak terburu-buru, hal ini rupanya membuat Dara smenjadi semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya disembunyikan suaminya.Terbukti di perjalanan sampai mereka tiba di rumah pun Saka lebih banyak diam.“Abang, kenapa? Beneran enggak mau cerita?” tanya Dara kala mereka sudah sampai di rumah.Awalnya Saka tidak ingin menceritakan hal ini, ia bahkan tampak menatap istrinya hingga cukup lama. Seolah tampak begitu berat.“Enggak masalah kalau belum mau cerita sekarang atau Abang enggak mau cerita sama sekali. Adek enggak akan maksa.”“Abang tadi ketemu Rey di resto.”“
“Hehe, iya Sayang. Maaf. Ya udah sekarang kita ngapain?”“Keluar aja yuk.”“Abang enggak ada mobil.”“Mobil aku juga mobil Abang juga. Itu juga yang beli Abang, akukasih sticker aja makanya ganti warna.”“Kamu tuh ya, suka banget sama warna pink. Emang semuanya haruspink?”Kala itu saking gemasnya, Saka malah mencubit pipi istrinya.Sayangnya, keinginan mereka untuk jalan-jalan harus tertunda, karena banyak halyang harus diurus, terutama rumah mereka yang masih berantakan.Pada akhirnya mereka baru bisa jalan-jalan dengan tenang keesokanharinya. Ata juga sudah kembali ke Pontianak, karena memang ia hanya ambil masacuti 2 hari saja. Jadi di rumah ini hanya ada Saka dan Dara. Orang tua Darajuga sudah kembali ke rumahnya, Tante Disa memutuskan untuk memperjuangkanpernikahannya, meskipun ia tahu kali ini tidak akan mudah.“Sayang, hm kamu kapan bisa ke Pontianak juga?”“Kapan aja bisa. Sekarang juga boleh.”
“Aku duluan!”Sontak saja Dara langsung berjalan cepat kearah toilet. Di momen itu setelah menuaikan salah sunah pengantin, akhirnyarasa rindu mereka yang selama ini hanya bisa terpendam benar-benar terbayar.“Makasih banyak ya Sayang, maaf dulu Abanggagal jadi suami yang baik buat kamu.”“Aku juga bukan istri yang baik buat kamu.Yang lalu biarlah berlalu, kita hidup di masa sekarang. Aku yakin Allah pastienggak akan kasih ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.”“Benar, tapi jujur ujian kita berat banget.”“Maafin aku ya, dalam hal ini aku jugamengambil peranan yang cukup banyak. Aku bikin Abang memusuhi keluargasendiri.”“Enggak Sayang, kamu sama sekali enggak perluminta maaf. Enggak ada asap kalau enggak ada api. Abang sudah mencoba berdamaisama semuaya. Semoga kali ini kita tetap bisa sama-sama dalam menghadapi ujianapa pun.”“Aamiin.”Sedang asyik mengobrol pintu kamar merekamalah diketuk dari arah luar.