Share

Bab 2

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2024-11-01 11:29:57

“Kamu mau ngelakuin apa Dara, ini bukan soal kaya atau miskin. Abang yakin kok Mbak Eca pasti balik lagi. Rumah dia di sini, mungkin mereka cuma jalan-jalan aja.”

“Anak sekecil itu diajak jalan? Mereka tuh ada enggak sih rasa khawatir sama anak orang lain yang bisa aja kenapa-kenapa di jalan. Selama hamil aku menjaganya dengan sangat hati-hati, terus bisa-bisanya orang lain memperlakukan anakku dengan sembarangan seperti itu,” ucap Dara.

Saat itu Dara langsung berjalan sambil memegangi dinding, sesekali aku melihatnya meringis kesakitan. Belum lagi wajahnya yang terlihat pucat pasi, bersamaan dengan keringat dingin yang mengucur di wajahnya, sudah pasti ia sedang menahan rasa sakit. Sayangnya, setiap kali aku menawarkan bantuan Dara malah menolaknya, ia lebih memilih untuk menanggung rasa sakit itu sendirian. Mau tidak mau aku jadi harus mengikuti Dara jalan kaki, sementara mobil kuparkir di depan rumah Mbak Eca.

“Sakit yang aku rasain sekarang itu enggak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Abang dan keluargamu lakukan. Kalian itu kayak bukan manusia yang punya hati, tega memisahkan ibu dan anaknya yang baru lahir,” ucapnya.

“Abang minta maaf Dek, kalau saja tahu Ibu akan senekat ini sudah pasti Abang enggak akan nitipin bayi kita ke Ibu.”

“Dari awal aku sudah bilang buat nitipin anakku ke orang tuaku. Kenapa Abang malah enggak mau, Abang bahkan melarangku buat nelepon mereka. Ini semua pasti karena rencana kalian ‘kan? Kalian memang sengaja mau anaknya saja. Jahat banget tahu enggak.”

“Kamu yang bilang sendiri kalau hubungan kamu sama orang tua kamu itu enggak baik, jadi buat apa kamu telepon mereka.”

“Seenggak baiknya ibu tiriku dia enggak akan misahin aku dari anakku. Sekarang cari anak kita sampai ketemu, kalau belum ketemu enggak usah pulang!”

Aku memang sengaja mengambil hp Dara saat ia akan melahirkan itu semua karena menurut cerita Dara hubungannya dengan mertuaku memang kurang baik. Jadi, aku pikir dari pada menambah bebannya jadi lebih baik menyembunyikan kabar ini dari mereka. 

Saat sedang menunggu di pinggir jalan aku pikir Dara sudah jauh lebih tenang, karena ia hanya duduk diam. Aku mulai memberanikan diri untuk mengajaknya pulang dulu, tetapi uluran tanganku bahkan ditepisnya begitu saja. 

“Enggak usah baik-baikin aku, kamu ini anggap aku manusia atau enggak. Kalau mau minta maaf, cari anakku sampai ketemu. Aku enggak akan pernah maafin kamu kalau Mita gak balik ke tanganku!”

Saat sedang berada dalam puncak emosi, tiba-tiba saja terdengar suara klakson mobil yang cukup keras dan berulang-ulang. Begitu dilihat rupanya sebuah mobil pajero sport terparkir persis di depanku.

“Kenapa Mas, kok klakson-klakson?” tanyaku yang bingung bercampur kesal. 

“Ini Mas saya dapat orderan grab atas nama Dara. Titiknya di sini, saya pikir Mas sama Mbaknya yang pesan, kalau memang bukan saya minta maaf.”

“Saya yang Dara, Pak. Saya yang pesan grabnya,” ucap Dara yang langsung berdiri dan bersiap masuk.”

“Oh kamu sudah pesan grab duluan, ya sudah kita langsung pulang saja!” ucapku.

Kebetulan sekali, wanita memang susah ditebak, tadi aku susah payah merayunya ternyata diam-diam ia sudah memesan kenadaraan untuk pulang.

“Pak maaf nanti saya cancel saja ya, tapi bisa enggak saya antarkan dulu ke dalam. Nanti saya tambahin buat ongkos gantinya. Saya juga bawa mobil tadi ditinggal di dalam. Dara mana hp kamu, sini Abang batalin!” ucapku.

“Kamu mau apa, Bang?” tanya Dara ketika aku hendak masuk ke mobil.

“Ya, pulang sama kamu.”

“Yang minta kamu pulang siapa? Memangnya anak kita sudah ketemu?”

“Jadi kamu mau pulang sendiri?”

“Ya.”

“Aku mau cari ke mana? Kamu lihat sendiri rumah Mbak Eca kosong, satpam bilang mereka lagi keluar dan enggak tahu ke mana.”

“Kamu suruh tunggu begini saja enggak mau. Aku tunggu 9 bulan buat ketemu anaknya, masih harus merasakan sakitnya melahirkan, tapi dengan mudahnya kamu kasihkan anak kita ke orang lain.”

“Dara Abang tanya sekali lagi kamu serius ngelakuin ini ke Abang?”

“Abang pikir aku bercanda. Masih mending aku kasih kamu kesempatan buat cari dulu.”

Saat itu Dara langsung menutup pintu mobil, sempat terdengar dari luar, kalau dia meminta sopir untuk langsung jalan.  Benar saja ia tega meninggalkanku seorang diri di sini. Aku bahkan tidak tahu ke mana mereka pergi. Ibu dan Mbak Eca bahkan memblokir nomorku, bagaimana bisa aku mendatangi mereka apa lagi mengambil anakku.

Saat itu aku ingat kalau kantor Mas Jerom berada di sekitar sini jadi aku memutuskan untuk langsung pergi ke sana juga. Sebagai seorang anggota dewan aku sendiri tidak tahu kalau Mas Jerom akan ada di kantor atau tidak, tetapi sudah sejauh ini aku tidak ingin melepaskan kesempatan ini begitu saja. Hal ini juga yang membuat ibuku sering kali membangga-banggakan menantunya. 

Semua karena pekerjaan Mas Jerom yang ia anggap terhormat. Entahlah aku rasa semua pekerjaan layak dihormati apa pun itu. Aku sudah sampai di gedung pemerintahan daerah, sayangnya Mas Jerom tidak ada di tempatnya. Rupanya sejak 2 hari yang lalu ia sudah cuti. 

“Rupanya Mas Jerom juga ikut, ya Allah ke mana sih sebenarnya mereka.”

Aku berusaha memanggil Mas Jerom lewat telepon, memang tersambung, tetapi sudah 10 kali panggilan tak kunjung diangkat juga. Kali ini aku benar-benar marah, Ibu ini sepertinya memang suka pilih kasih. Kenapa dia jadi tak punya hati seperti ini. Ia bahkan tidak memikirkan perasaan Dara yang baru saja melahirkan.

Saat itu karena sudah menyerah dengan keadaan aku tidak tahu lagi harus menghubungi siapa, sampai kemudian nomorku mendapat telepon dari ayah. Orang tuaku memang sudah berpisah sejak 15 tahun lalu dan ayahku sudah menikah lagi. Berbeda dengan ibu yang masih memilih untuk sendiri.

[Saka, selamat ya Nak. Sudah jadi Ayah, bagaimana keadaan Dara sudah baikkan? Maaf Bunda enggak sempat nengok.]

Rupanya Bunda Salsa yang menghubungiku. Entah kenapa suaranya yang lembut dan tutur katanya yang halus seperti menebarkan ketenangan untukku, berbeda sekali dengan ibu kandungku sendiri yang seringnya menyakiti hati setiap kali bicara denganku. Sayangnya mereka tinggal di luar pulau, jadi hal itu juga yang membuat keduanya tak bisa berkunjung saat Dara melahirkan.

[Alhamdulillah Bunda, Dara sudah baikan.]

[Alhamdulillah, maaf ya Bunda pakai nomor ayahmu. Hp Bunda lagi mati, tapi tadi Bunda telepon nomor isrtrimu kok enggak diangkat-angkat?]

[Bunda sebenarnya kami lagi ada masalah, Ibu bawa anak kami pergi dan enggak tahu ke mana?]

[Astaghfirrullah, kok bisa?]

[Hah, bagaimana? Di bawa ke mana anakmu sama Lusi?] tanya Ayah dengan nada yang terkejut rupanya sejak tadi Ayah ikut menyimak apa yang kami bicarakan.

[Aku enggak tahu Ayah. Aku sudah cari ke kantor Mas Jerom orangnya juga cuti. Dara kayaknya marah banget sama aku. Aduh, aku harus cari ke mana ya?]

[Kamu ini loh Saka, sudah tahu Ibumu ini enggak berprikemanusiaan. Kenapa anakmu kamu titip sama dia, kamu kalau perlu bantuan bilang saja ke Bunda. Jangan ke Ibumu. Kami juga bisa ngusahain pulang, walau jauh. Sudah, Ayah sama Bunda ke sana sekarang! Mau bilang apa Ayah sama Pak Toro kalau tahu cucunya dibawa pergi Ibumu.]

Aku tidak tahu kalau masalahnya akan sejauh itu. Aku sendiri bahkan tidak pernah berpikir kalau Dara bisa saja mengadu ke ayahnya. Bagaimana pun aku juga tidak bisa lupa kalau ayah Dara mantan atlet bela diri. Aku bisa menikah dengan Dara saja karena dikenalkan ayahku, yang sama-sama atlet bela diri tradisional.

 .

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putriku Bukan Barang yang Bisa Dipinjam   Bab 54

    "Abang mungkin bisa nitip ke penjaga makam kalau Mbak Eka ke makam, biar telepon kamu atau minta nomor hpnya.""Kamu yakin Dek, kalau Mbak Eka bakal ke makan secara rutin.""Aku sih mikirnya Mbak Eka kalau memang bener-bener berubah, seharusnya bakal ke sana."Cara ini mungkin membutuhkan banyak waktu, tapi faktanya mencari Mbak Eka juga sesulit itu. Saka juga sudah menanyakan pada orang-orang di sekitar rumahnya, tapi tak ada yang pernah menemui Mbak Eka selain orang-orang yang rumahnya dekat pemakaman. Jadi, Saka hanya bisa menitipkan pesan pada temannya yang kebetulan punya rumah dekat makam juga, untuk memberinya kabar kalau Mbak Eka ziarah.Sebulan berlalu, akhirnya Saka mendapatkan informasi kalau Mbak Eka ziarah ke makam ibu. Tanpa pikir panjang Saka yang kala itu masih berada di rumah makan langsung meluncur ke sana. Untungnya temannya yang dititipkan pesan oleh Saka mencoba untuk menahan Mbak Eka dengan mengajaknya bicara banyak hal, alhasil begitu Saka samp

  • Putriku Bukan Barang yang Bisa Dipinjam   Bab 53

    "Dara, bagaimana kabar kamu?"Kala itu wajah semringah Dara langsung berubah. Rupanya ia masih belum melupakan kejadian di masa lalu."Mbak mau ngapain ke sini? Mita udah enggak ada, tolong jangan ambil anakku lagi."Dara mungkin sudah mencoba mengiklaskan apa yang terjadi di masa lalu, tetapi siapa yang menyangka kalau ketika dihadapkan pada orang yang bersangkutan secara langsung. Ada sedikit rasa khawatir yang ia sendiri pun tidak mengerti kenapa bisa terjadi."Dara, maafin Mbak. Aku datang ke sini bukan mau ambil anak kamu. Mbak cuma mau silaturahmi aja.""Bang...."Kala itu Dara menatap Saka dengan wajah yang nanar. Rupanya Saka pun demikian, kenyataannya pria itu masih sedikit khawatir kalau perempuan ini punya niat yang tidak baik. Dari banyaknya waktu kenapa Mbak Eka harus datang tepat kala Dara baru saja melahirkan. Siapa juga yang tidak akan menaruh curiga."Mbak sebaiknnya kita bicara di luar aja ya, tunggu sebentar."Kala itu Saka jug

  • Putriku Bukan Barang yang Bisa Dipinjam   Bab 52

    "Apa aku hamil ya?""Hah, Adek serius? Emang udah telat?""Udah 2 bulan sih enggak halangan.""Loh, kenapa enggak bilang Sayang?""Aku enggak mau aja bikin Abang berharap kalau beneran hamil.""Ya udah nanti di sana paling diperiksa. Apa mau beli test pack aja?""Boleh.""Ya udah nanti mampir ke apotek sebentar, Abang belikan buat kamu.""Makasih, ya!"Dara mendadak tak bisa tenang, jantungnya bahkan berdentum-dentum tak karuan, membayangkan jika ia harus kembali mengecewakan Saka. Entah kenapa rasa tidak tega, melihat Saka begitu bersemangat tatkala pria itu membelikan alat tes kehamilan untuknya."Apa pun hasilnya, sama sekali enggak akan mengurangi rasa cinta dan sayang Abang ke kamu."Dara hanya tersenyum tipis, jelas di hatinya ia merasa khawatir kalau hal serupa akan kembali terulang. Namun, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Ia masih hafal bagaimana rasanya hamil dan yang tengah ia rasakan saat ini sama persis.Di toilet Dar

  • Putriku Bukan Barang yang Bisa Dipinjam   Bab 51

    Begitu Dara kembali untungnya keadaan sudah seperti semula. Rey sudah meninggalkan meja mereka, tetapi sepertinya Saka masih kesal dengankehadiran pria itu di sini.“Abang kenapa sih kok cemberut gitu? Ada yang bikin kesel?” tanya Saka.“Udah enggak ada sih sekarang, kita pulang aja sekarang yuk!”“Ayo! Ini juga udah siap kok.”Merasa Saka tampak terburu-buru, hal ini rupanya membuat Dara smenjadi semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya disembunyikan suaminya.Terbukti di perjalanan sampai mereka tiba di rumah pun Saka lebih banyak diam.“Abang, kenapa? Beneran enggak mau cerita?” tanya Dara kala mereka sudah sampai di rumah.Awalnya Saka tidak ingin menceritakan hal ini, ia bahkan tampak menatap istrinya hingga cukup lama. Seolah tampak begitu berat.“Enggak masalah kalau belum mau cerita sekarang atau Abang enggak mau cerita sama sekali. Adek enggak akan maksa.”“Abang tadi ketemu Rey di resto.”“

  • Putriku Bukan Barang yang Bisa Dipinjam   Bab 50

    “Hehe, iya Sayang. Maaf. Ya udah sekarang kita ngapain?”“Keluar aja yuk.”“Abang enggak ada mobil.”“Mobil aku juga mobil Abang juga. Itu juga yang beli Abang, akukasih sticker aja makanya ganti warna.”“Kamu tuh ya, suka banget sama warna pink. Emang semuanya haruspink?”Kala itu saking gemasnya, Saka malah mencubit pipi istrinya.Sayangnya, keinginan mereka untuk jalan-jalan harus tertunda, karena banyak halyang harus diurus, terutama rumah mereka yang masih berantakan.Pada akhirnya mereka baru bisa jalan-jalan dengan tenang keesokanharinya. Ata juga sudah kembali ke Pontianak, karena memang ia hanya ambil masacuti 2 hari saja. Jadi di rumah ini hanya ada Saka dan Dara. Orang tua Darajuga sudah kembali ke rumahnya, Tante Disa memutuskan untuk memperjuangkanpernikahannya, meskipun ia tahu kali ini tidak akan mudah.“Sayang, hm kamu kapan bisa ke Pontianak juga?”“Kapan aja bisa. Sekarang juga boleh.”

  • Putriku Bukan Barang yang Bisa Dipinjam   Bab 49

    “Aku duluan!”Sontak saja Dara langsung berjalan cepat kearah toilet. Di momen itu setelah menuaikan salah sunah pengantin, akhirnyarasa rindu mereka yang selama ini hanya bisa terpendam benar-benar terbayar.“Makasih banyak ya Sayang, maaf dulu Abanggagal jadi suami yang baik buat kamu.”“Aku juga bukan istri yang baik buat kamu.Yang lalu biarlah berlalu, kita hidup di masa sekarang. Aku yakin Allah pastienggak akan kasih ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.”“Benar, tapi jujur ujian kita berat banget.”“Maafin aku ya, dalam hal ini aku jugamengambil peranan yang cukup banyak. Aku bikin Abang memusuhi keluargasendiri.”“Enggak Sayang, kamu sama sekali enggak perluminta maaf. Enggak ada asap kalau enggak ada api. Abang sudah mencoba berdamaisama semuaya. Semoga kali ini kita tetap bisa sama-sama dalam menghadapi ujianapa pun.”“Aamiin.”Sedang asyik mengobrol pintu kamar merekamalah diketuk dari arah luar.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status