Share

Bab 7

Pov Author

"Ibu.... jangan sakiti Mbak Eka, ini bukan kesalahannya!" Seketika laki-laki bertubuh jangkung itu menjauhkan tangan ibunya dari wajah Eka.

Sudah terlihat bekas gambar lima jari di wajahnya, tapi perempuan itu tetap saja diam dan menundukkan kepalanya.

"Jangan berani-beraninya kau mempengaruhi Agung! Selama kau masih mau tinggal di sini!" ucap Sri dengan berang.

Susah payah ia mengusir Melati, eh begitu berhasil, anak perempuannya sendiri yang menggagalkannya.

"Maaf, Bu! Aku tidak bermaksud-"

"Ah, sudah tutup mulutmu! Jangan sampai aku melihatmu mempengaruhi Agung lagi! Atau kau tanggung sendiri akibatnya!" Sri meninggalkan dua bersaudara itu begitu saja.

Agung menghampiri kakaknya.

"Maafkan aku ya, Mbak! Gara-gara aku, mbak sampai dipukul ibu."

Agung meminta maaf seperti saat mereka masih kecil.

Eka yang berumur lima tahun lebih tua, selalu melindunginya dari amarah Sri.

Begitu erat persaudaraan mereka, walau Sri kerap membedakan keduanya.

"Mbak nggak apa-apa, kok! Ingat pesan mbak tadi, pastikan Melati dan keponakan mbak baik-baik saja, ya!" Wanita itu mengulas senyum sebelum hilang di balik pintu.

Diam-diam, ia mengusap bulir di sudut matanya dengan punggung tangan.

Nasibnya tidak lebih baik dari Agung. Kalau Agung yang sudah menikah saja masih dikuasai ibunya?

"Bagaimana bisa aku menikah? Kalau sikap ibu seperti ini? Mana ada laki-laki yang mau menikahiku?" Begitu ketakutan Eka setiap kali ada laki-laki yang mendekatinya.

"Ayo Melati, angkat teleponnya!" desis Agung saat panggilannya berhasil tersambung.

"Argggh, kenapa tidak diangkat?Apa kamu benar-benar marah padaku, Mel?" racaunya lagi.

Agung melempar gawai di tangannya begitu saja ke ranjang.

"Lebih baik kususul saja, dia ke panti sekarang!" 

Agung tidak membersihkan diri, ia hanya mengganti pakaian lalu menyambar kunci mobil di atas nakas.

Setengah berlari, kakinya yang jenjang menuruni anak tangga.

"Kamu mau kemana, Gung?" Suara Sri menghentikan langkah Agung.

Saking terburu-buru, laki-laki itu tidak melihat Sri yang sedang sarapan di ruang tengah.

"Ini sudah siang, aku mau ke toko, Bu! Memeriksa beberapa stok barang yang habis!"

Agung memutar badannya lalu menghampiri Sri yang duduk di meja makan.

Wanita itu menatap dengan pandangan menyelidik. "Beneran kamu mau ke toko? Bukan mencari wanita itu?

"Benar, Bu. Aku harus mengecek lagi laporan yang dibuat Anwar kemarin!" Agung menyebut nama seorang karyawan yang selama ini dipercaya sang ibu untuk membantunya mengelola toko.

"Baiklah, ibu percaya! Kamu tidak akan membuat ibumu ini sakit jantung lagi!" Sri menurunkan sendok di tangannya lalu meraih gelas berisi air putih.

Agung bernapas lega, setidaknya sang ibu percaya.Perkara ia berbohong, itu urusan nanti.

Dengan ringan ia melangkah, bayangan Aruna seakan melambai-lambai padanya.

Beruntung lalu lintas tidak begitu padat, Agung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Sesekali di lihatnya layar gawai yang dilemparnya tadi.

Jari tangan kirinya menekan tombol hijau berkali-kali untuk menghubungi Melati.

Namun, hasilnya nihil.

"Mungkin Melati masih marah, tak apa! Setelah ini aku akan minta maaf dan membawanya pulang!" gumam Agung pelan.

Perjalanan satu jam terasa sangat lama, begitu sampai di perempatan jalan, Agung berusaha mengingat letak panti itu.

Maklum, sudah hampir tiga tahun, dan bangungan di sekitar lingkungan itu sudah banyak berubah.

Banyak gedung berlantai dua, yang menyulitkan Agung untuk menemukan tempat itu.

Matanya menyipit begitu melihat bangunan sederhana yang terletak di kanan jalan.

Laki-laki itu dengan tidak sabar menepikan mobilnya dibelakang sebuah truk yang sedang parkir. Dilihatnya bangunan panti itu masih sama seperti dulu. Tidak banyak berubah seperti bangunan di samping kanan dan kirinya.

Seorang anak perempuan dan laki-laki nampak bermain di halaman.

Agung mengatur napasnya lalu turun dari mobil.

"Dek, mbak Melati apa ada?" Agung berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan anak perempuan yang sedang duduk di tanah.

"Mbak Mela?" tanya anak itu.

"Iya, maksudnya Mbak Melati dan Aruna, apa mereka tinggal di sini?"

Bukannya menjawab, Lisa berlari ke arah Rendi yang mendekat, mereka terlihat berbisik sebentar.

Dengan tidak sabar, Agung menghampiri keduanya.

"Mbak Mela sama dik Aruna sedang pergi!" Rendi sampai mendongak demi menjawab pertanyaan laki-laki di depannya.

"Jadi benar mereka tinggal di sini? Syukurlah!" Agung mengusap wajahnya.

"Tapi mbak Mela sedang pergi."

"Pergi kemana?" Agung sudah tidak sabar ingin bertemu dengan mereka.

"Pergi belanja sama ayahnya Aruna!" Jawaban Rendi sontak membuat Agung terkejut.

Pikirannya berkecamuk, Melati pergi dengan seorang laki-laki? Siapa? Siapa yang berani mengaku sebagai ayahnya Aruna?

"Om tunggu di sini ya!" Agung melangkah ke teras lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi.

Teras yang sebagian dindingnya dipenuhi dengan tanaman.

"Itu mereka datang. Ye, mbak Melati pulang, tadi om itu janji mau beliin kita mainan ya, Kak! Tadi aja kita dibawain cemilan." Celoteh Lisa.

Agung mengikuti jari telunjuk Lisa. Ekor matanya menangkap mobil yang tidak asing terparkir di halaman panti.

Beruntung tadi ia duduk di teras jadi ia bisa leluasa melihat ke arah jalan tanpa harus menampakkan diri.

Ia penasaran siapa laki-laki yang pergi bersama istrinya?

"Mobil itu...." Desis Agung.

Dadanya bergemuruh melihat pemandangan di depan mata.

Bagaimana bisa wanita yang baru saja pergi dari rumah itu, bisa tersenyum bersama laki-laki lain.

Tak nampak sedikitpun kesedihan di wajahnya.

Begitupun Aruna, bayi kecil itu tertidur lelap dalam gendongan laki-laki itu.

Sesekali keduanya melempar senyum

Mereka terlihat seperti keluarga bahagia.

Kurang ajar! Apa jangan-jangan benar kalau Aruna bukan darah dagingnya?

Kenapa mereka bisa sedekat itu? Apa yang tidak diketahuinya selama ini?

Cemburu memenuhi rongga hatinya.

Tangan Agung mengepal kuat, tapi ia masih menahan diri.

Samar-samar suara itu mendekat.

"Terima kasih ya, Mas! Sudah mau nganterin aku sama Aruna!"

Agung mengintip dari balik tanaman, Melati sedang meraih Aruna dari gendongan laki-laki itu.

"Iya sama-sama. Kalau ada perlu sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku ya! Biar bagaiamanapun, Aruna juga putriku!" 

Duuaaarrr....

Agung merasakan ledakan di dalam dadanya.

Seketika ia menendang pot yang ada di hadapannya.

"Mas... Mas Agung?" Melati terbata-bata menyebut nama suaminya yang muncul dari balik teras.

"Loh, Pak Agung...." ucap laki-laki itu sama kagetnya.

"Kenapa??? Kalian kaget, hah?" Agung menyeringai tajam.

Dipandangnya Melati dengan tatapan, entah.

Rendi yang melihat kekacauan itu segera meraih Aruna dari gendongan Melati lalu menuntun Lisa ke dalam rumah.

Dua anak itu terlihat ketakutan. Apalagi Ratmi sedang pergi mengurus sesuatu ke kantor kelurahan.

Rendi bergidik melihat pancaran kemarahan di mata laki-laki itu.

"Semoga semua baik-baik saja!" Anak laki-laki itu merapal doa.

Setelah anak-anak itu masuk.

Melati maju satu langkah demi memeluk suaminya.

"Mas, kamu sudah lama di sini?" ucapnya haru, menahan rindu seakan sudah begitu lama mereka terpisah.

Tangannya bergerak untuk meraih jemari suaminya.

Namun, Agung malah mengacungkan jari telunjuknya ke arah Melati.

"Berhenti di situ, wanita kotor! Jangan sampai kau berani menyentuhku!" Agung menatap tajam pada Melati.

Dilihatnya mata bening itu sudah berkaca-kaca.

"Apa... apa maksudmu, Mas?" suara Melati bergetar menahan marah.

"Jangan dekati aku, Mengerti!"

"Kenapa pak Agung?" Laki-laki yang sedari tadi diam itu berusaha menyela.

Tiba-tiba Agung meringsek maju mendekati laki-laki yang mengaku sebagai ayah Aruna itu.

Bugggghhhh.... satu pukulan ia layangkan di perutnya.

"Mas...." teriak Melati lantang.

"Dasar kau tidak tahu diuntung! Berani kau menusukku dari belakang, hah!"

Agung belum berhenti mendaratkan pukulannya sampai tangannya menghantam tubuh Melati yang tiba-tiba pasang badan demi laki-laki itu.

"Kamu...." desis Agung.

Yedhika Tonago

Assalamualaikum, Kak, sudah update bab baru, ya! Sila membaca, sehat selalu untuk kakak semua.🙏

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status