Share

Part 4

"kenapa?" Tanya Nicky masih bingung. Padahal biasanya karyawan lain selalu ingin cepat-cepat pulang kerja, tapi gadis ini malah ingin menambah jam kerjanya.

"Saya juga gatau mau ngapain kalau di rumah." Jelas Arisa sambil menggaruk kepalanya.

Nicky tampak berfikir. Ini bukan masalah dirinya memaksa Arisa untuk pulang. Tapi jangan sampai ada berita soal apapun yang ia tidak pernah ingin dengar. Apalagi di kantornya.

"Mmm, begini. Saya bukannya tidak ingin di temani. Tapi, bagaimana pun kamu dan saya berbeda gender. Dan saya tidak mau mendengar berita miring soal saya. Belum lagi kamu adalah temannya Ben. Jadi, kurasa kamu bisa mengerti maksud saya." Jelas Nicky yang sudah meninggalkan kursinya dan berdiri di samping meja kerjanya.

Arisa meneguk liurnya. Ia lupa fakta kalau dirinya dan Nicky berbeda gender. Belum lagi status mereka yang hanya bos dan sekertaris. Dan di malam seperti ini tidak mungkin orang tidak curiga kalau melihat mereka masih berduaan di kantor jam segini. 

Gadis itu menunduk sejenak lalu mengangguk. "Baiklah Pak. Kalau begitu saya permisi dulu."

Nicky mengangguk. "Sampai ketemu besok. Jangan lupa untuk menyiapkan jadwal saya."

"Baik Pak." Jawabnya lalu merapikan barang-barangnya yang masih berantakan di atas meja dan bergegas untuk pamit.

Nicky memperhatikan gadis itu berjalan meninggalkan ruangannya dan tersenyum sejenak sebelum memutuskan kembali melanjutkan kerjaannya.

-

Hari ini adalah jadwal Daniel untuk pulang dan pria itu sudah bergegas meninggalkan rumah sakit saat netranya mendapati Arisa berdiri di meja administrasi.

Berniat menyapa, pria itu menuntun langkah kakinya mendekati gadis tersebut. "Ada urusan apa kesini?" 

Arisa yang baru akan berbalik karena urusannya di bagian tersebut aduah selesai terlonjak kaget karena tidak pernah berfikir akan berhadapan kembali dengan dokter tersebut. 

"Dokter!!!" Arisa menahan teriakannya dan segera mengelus dadanya karena terlalu kaget.

Pria itu segera tersenyum. "Maaf." Ujarnya singkat tanpa mengubah pandangannya.

"Dokter mau kemana?" Tanya Arisa karena melihat tas punggung yang di bawa pria itu.

Daniel melirik punggungnya mengikuti arah pandang gadis tersebut. "Hari ini jadwal saya istirahat." Jawabnya singkat. Membuat Arisa hanya mengangguk sebagai responnya.

"Sudah selesai?" Tanya Daniel lagi. Membuat Arisa yang sibuk memperhatikan kertas-kertas di tangannya kembali menatap pria tersebut.

"Iya. Sekarang udah mau balik kantor lagi."

"Dokter, mau pulang?" Tanya salah satu wanita yang menjaga di bagian resepsionis dengan gayanya yang seperti malu-malu. 

Membuat Arisa yang melihatnya tampak heran. 

"Iya, saya balik dulu ya." Daniel menjawab dengan nada datar dan seadanya membuat Arisa kembali kebingungan. "Yuk." Lanjutnya pada Arisa yang tanpa sadar segera di ikuti oleh gadis itu.

Tak lupa ia berpamitan pada para pegawai di bagian resepsionis yang masih tampak bahagia setelah pertanyaan mereka dijawab oleh Daniel.

"Mereka sepertinya suka sama Dokter, ya?" Tanya Arisa yang sudah ikut berjalan disamping Daniel. Dan menyadari kalau saat ini dirinya sedang menjadi tatapan para suster dan pegawai disitu.

"Entahlah. Saya juga gak tau." Ucapnya singkat tanpa mengalihkan perhatiannya ke Arisa.

"Kalau begitu, saya permisi dulu." Ucap Arisa kemudian dan berjalan meninggalkan Daniel yang kemudian memperhatikan gadis yang kini sudah membelakanginya itu.

"Waktunya pulang." Singkatnya dan mengarahkan langkah kakinya menuju parkiran mobil. 

Daniel mengendarai mobilnya seperti biasa. Tenang dan santai. Dan butuh waktu sejam untuk dirinya bisa tiba di rumahnya.

"Eh, abang aku udah pulang." Sapa Dante sambil lalu saat mendapati kakaknya baru akan memasuki kaamrnya. Kebetulan kamar Dante dan Daniel memang bersebelahan jadi Dante yang baru keluar kamar langsung tau kehadiran kakaknya itu.

"Hmm." Singkat. Seperti itulah jawaban Daniel jika disapa oleh sang adik yang cerewet dan gak normal. Menurut Daniel. Karena dirinya tenang dan kalem, sementara adiknya cerewet dan suka bertingkah aneh. Itulah kenapa dia menyebut adiknya tidak normal. 

Daniel segera merebahkan diri dikasur sejenak sebelum memutuskan untuk membersihkan diri. Bagaimana pun dirinya baru dari rumah sakit dan ia tidak tau virus atau penyakit apa yang menempel di tubuhnya.

Setelah selesai mandi, ia segera turun ke ruang tengah karena ia yakin keluarganya saat ini pasti sudah berkumpul di ruangan tersebut. Entah Papanya yang duduk di sofa sambil sarungan, Mamanya yang ngelesehan di lantai sambil main ponsel, dan adiknya yang sudah ia yakini posisinya yang tidak terbayangkan. 

"Loh, Kakak udah pulang?" Tanya Mamanya yang pertama menyadari kehadiran Daniel.

Daniel segera menyalami tangan Mamanya kemudian Papanya dan langsung berjalan ke arah kulkas untuk mengambil minuman.

"Gimana usahanya, Dan? Aman?" Tanya Daniel di sebelah Dante setelah sang adik menyalami tangannya dan menenguk minuman dingin di tangannya.

"Sejauh ini sih masih aman kak." Jawab Dante dengan nada santai namun serius. 

Dan Daniel hanya mengangguk sebagai responnya. Karena dirinya juga tidak tau ingin membalas apa lagi. 

"Kamu di rumah sakit gimana, kak? Aman kan?" Kali ini Mamanya yang bertanya. Karena menyadari raut wajah anaknya yang tidak biasa. 

"Pasien Daniel ada yang meninggal pas Daniel yang tanganin." Jawab Daniel lesu. Dan entah kenapa hal itu selalu membuatnya menjadi merasa sangat bersalah. Padahal kemarin-kemarin dirinya tidak pernah merasa sebersalah ini kalau salah menangani pasien.

"Ya Tuhan." 

"Terus gimana?"

"Kok bisa?" 

Daniel menatap adiknya dengan attapan heran. Tapi segera beralih menatap Mama sama Papanya. "Ya emang kondisinya udah drop sebelum operasi. Dan kayaknya dia udah tau juga kalau gak bakal selamat. Tapi dia gak mau ngasih liat ke anaknya jadi dia pura-pura terlihat sehat-sehat."

"Anaknya cewek atau cowok, kak?" 

"Pasti cewek tuh anaknya, kalau si bapaknya gak mau ngomong-ngomong." Tebak Papanya menjawab pertanyaan Dante barusan. Dan di jawab anggukan oleh Daniel.

"Kasian." Iba sang Mama. "Terus gimana sama anaknya? Keluarganya yang lain masih ada, kan?" Tanyanya lagi prihatin.

Daniel menggeleng. "Setau Daniel cuman Ayahnya doang yang keluarga si cewek itu." 

Mama Daniel kembali memasang raut sedih. "Kasian banget. Kapan-kapan kamu ajakin main ke rumah."

"Diih, Mama apaan. Daniel aja gak kenal sama ceweknya." Respon Daniel cepat sedikit berbohong. Toh memang sepenuhnya dia belum mengenal si cewek, selain nama, rumah dan nama Ayahnya yang tidak lain ada pasiennya sendiri. 

"Kenalan dong, kak. Pasti anaknya baik." Sahut Dante tiba-tiba dan sudah merebut minuman dingin dari tangan sang kakak.

Keduany mata Daniel menyipit menatap Dante. "Dih, ngapain? Entah di sangkanya gue aneh-aneh lagi ke dia"

"Gue nyuruh lu kenalan bang, bukan nyuri uang. Ya gak aneh dong."

"Tau nih si kakak. Kaku banget. Kayak gak pernah pacaran aja" Papanya ikut menambahkan.

"Ya emang gak pernah." Dante kembali bersuara membuat Daniel segera menunduk karena ucapan adiknya memang benar. 

"Yaudah, gausah pacaran. Kamu cari calon istri aja langsung. Umur kamu juga udah berapa."

"Tau nih, si kakak." 

"Nyaut mulu lu." Balas Daniel pada Dante yang mulutnya gak pernah mau berhenti bicara. Heran. Cowok kok mulutnya kayak cewek. Lemes banget. Untung kelakuannya gak kayak cewek.

Setelah sesi bincang-bincang dan makan malam keluarga tersebut berakhir dan waktu juga sudah menunjukkan waktu juga sudah menunjukkan waktu istirahat, semua penghuni rumah tersebut kembali ke kamar masing-masing. 

Daniel terduduk di meja kerjanya sembari membuka-buka jurnal-jurnal yang akan ia pelajari ketika ia kembali teringat dengan pasiennya yang meninggal beberapa hari yang lalu.

"Kenapa bapaknya malah nyuruh gue kenalan sama anaknya, ya?" Tanya Daniel ke dirinya sendiri. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah memiliki hubungan apapun. Dan selanjutnya hubungan mereka hanyalah sebatas dokter dan pasien. Lalu ada urusan apa si bapak mengenalkannya ke anaknya? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status