Nicky berjalan memasuki ruangannya dan mendapati Arisa sudah sibuk di mejanya dengan 'to do list' yang ia tempelkan di sekitar meja dan layar komputernya.
"Eh, selamat pagi Pak." Sapa Arisa setelah menyadari kehadiran atasannya itu.
"Pagi." Sapa Nicky sambil tersenyum dan segera memasuki ruangannya sendiri dan menutup pintu ruangannya.
Belum sempat duduk, suara ketukan pintu ruangannya membuat Nicky berbalik dan menyuruh yang di luar ruangan membuka pintu tersebut.
"Iya, ada apa?" Tanya Nicky yang kembali berjalan ke kursinya dan meletakkan tas kerjanya di atas meja.
"Hari ini mbak Maya tidak masuk kerja Pak."
"Oh, kenapa?"
"Anaknya katanya lagi sakit, dan hari ini dia mau nganter ke rumah sakit." Jelas Arisa detail membuat Nicky mengangguk mengerti.
"Baik. Berarti kamu yang menggantikan dia, kan?" Tanya Nicky lebih ke memutuskan.
Arisa mengangguk mantap. "Iya, Pak."
"Kalau begitu kamu harus siap-siap karena dua jam lagi kita akan ada meeting di luar kantor. Tapi saya yakin kamu sudah tau soal itu."
"Iya, Pak. Saya juga sudah menyiapkan bahan meeting untuk Bapak presentasikan disana."
"Bagus. Kalau begitu kamu bisa pergi." Kata Nicky kemudian dan mempersilahkan Arisa kembali ke kursinya.
"Baik, Pak. Saya permisi dulu." Kata Arisa dan kembali menutup pintu ruangan tersebut.
Nicky hanya bergumam singkat dan kembali melanjutkan kegiatannya.
Dan Arisa kembali sibuk dengan pekerjaannya sebelum keduanya meninggalkan kantor untuk meeting diluar.
Meeting tidak berlangsung lama, karena saat makan siang selesai, keduanya sudah kembali ke kantor dan melakukan pekerjaan masing-masing mereka.
"Arisa, bisa keruangan saya, sebentar?" Tanya Nicky pada sebuah panggilan di telpon.
Arisa menekan tombol untuk menjawab pesan Nicky dan segera menuju ruangan atasannya itu.
"Kamu bisa mengirimkan catatan meeting yang tadi ke saya? Saya butuh dalam 30 menit." Jelas Nicky santai.
"Baik pak, akan saya kirimkan ke email bapak segera." Balas Arisa dan segeea permisi untuk meninggalkan ruangan tersebut. Tapi belum sempat menutup rapat pintu, Nicky kembali menahan.
"Kalau boleh saya minta tolong kasih tau pak Joko kalau saya ingin di bikinkan kopi."
"Baik, Pak." Setelah menjawab itu, Arisa segera kembali ke meja kerjanya dan menyampaikan pesan atasannya pada petugas pantry yang bernama Joko itu melalui interkom.
Setelahnya, ia kembali mengerjakan tugas dari atasannya.
Pukul 15.00, saat pekerjaannya telah selesai, ia berencana untuk beristirahat sebentar di pantry karena merasa mengantuk. Tapi sebelumnya, kakinya melangkah menuju toilet untuk sekedar mencuci muka.
"Kok bisa ya orang kayak Arisa jadi sekertaris Pak Nicky. Padahal kan dia B aja mukanya." Baru ingin mendorong pintu toilet, gerakan Arisa terhenti karena mendengar sebuah suara yang menyebut namanya di dalam tempat tersebut.
"Iya sih, tapi mungkin emang dia punya nilai lebih kali di mata Pak Nicky makanya dia bisa kepilih."
"Nilai plus yang lu maksud adalah tidur sama Pak Nicky, gitu?"
Dan selanjutnya hanya suara tawa yang terdengar dari dalam ruangan itu. Dengan langkah kesal dirinya kembali ke ruangannya. Melupakan niatnya untuk cuci muka dan membuat kopi di pantry.
Ia memikirkan ucapan dua orang di toilet yang dirinya tidak tau wajahnya seperti apa. Tapi, mendengar dirinya seperti di rendahkan membuatnya kesal, tapi dirinya tidak bisa mengatakan apapun untuk melawan.
Apa? Tidur dengan Pak Nicky? Saya bahkan tidak pernah bertemu beliau di malam hari kecuali hari pertama ia bekerja.
Tapi kenapa orang-orang itu bisa mengambil kesimpulan seperti itu?
Arisa mendesah pelan. Semua minatnya bekerja seketika hilang akibat ucapan tak beralasan kedua wanita itu.
"Arisa! Kamu tidak dengar saya manggil kamu?" Tegur Nicky membuat Arisa terlonjak dari duduknya, dan refleks merapikan rambut dan bajunya.
"Oh, maaf Pak. Saya tadi melamun." Katanya yang sedetik kemudian merutuki dirinya karena tidak profesional menjawab pertanyaan atasannya.
Nicky mengabaikan ucapan Arisa dan kembali berucap. "Bisa buatkan saya teh? Saya ada tamu."
"Tamu? Siapa Pak? Perasaan di jadwal hari ini bapak tidak ada yang mau datang?" Arisa bertanya kebingungan dan segera memeriksa catatannya membuat Nicky menggeleng-gelengkan kepala.
"Kamu bikinkan saja dulu. Bisa kan?" Tanya Nicky masih tenang. Membuat Arisa refleks menghentikan kegiatannya dan kembali menegakkan tubuhnya.
"Baik, Pak. Kalau begitu tunggu sebentar." Dan dengan langkah cepat, Arisa berjalan menuju pantry.
Sementara Nicky sudah kembali ke ruangannya dan duduk di sofa tamu bersama Ben di hadapannya.
"Kayaknya dia gak nyadarin kalo lu datang deh." Seru Nicky pada pria di hadapannya itu.
"Gue gak pernah di kabarin sama dia kalau dia keterima makanya gue coba datang kesini." Sahut Ben menjelaskan.
"Kenapa gak lu hubungin aja?"
"Lu liat gak, gue bawa hp?"
"Sialan." Keduanya tertawa kemudian.
"Buang gih hp lu. Gaada gunanya lu milikin."
"Hp tuh kayak cewek tau, kalau lu bitih baru deh lu cariin. Iya, kan?" Sahut Ben lagi menampilkan sisi dirinya yang sesungguhnya.
"Bangs*t emang lu. Kurang-kurangin deh mainin anak orang. Kena karma baru tau rasa lu."
Ben baru mau mengambil rokoknya tapi segera di tegur Nicky. "No smoking area, Ben. Ntar aja kalau lu balik."
Dan pria itu tampak sedikit tidak suka tapi tetap kembali memasukkan rokok dan koreknya ke dalam kantong celanannya.
Tepat setelah itu, terdengar suara ketukan dari pintu dan disusul dengan terbukanya benda tersebut dan menampilkan sosok Arisa yang sedikit terkejut karena mendapati seorang Ben yang duduk di hadapan Nicky dan balik menatapnya sambil tersenyum.
"Loh, Ben? Kamu ngapain kesini?" Tanya Arisa yang tidak beranjak dari tempatnya berdiri karena masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Eh, duduk dulu aja, sini. Ngapain berdiri disitu." Ucapan Ben barusan membuat Arisa terbelalak dan langsung beralih memandang atasannya yang juga ada disitu.
"Eh, maafkan saya Pak. Saya cuma bawain minuman untuk anda." Ucap Arisa kembali sopan setelah nada bicaranya yang terlalu santai barusan. Gadis itupun berjalan mendekat ke arah mereka dan meletakkan cangkir berisi teh ke hadapan Ben dan kembali menjauhkan diri.
"Gapapa. Duduk aja, Ris. Ben juga kesini nyariin kamu, kok." Jelas Nicky sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya yang kosong.
Arisa yang melihat itu tampak terkejut. Apalagi dengan kalimat Nicky barusan yang bilang kalau Ben kesini untuk menemuinya.
Tunggu! Sejak kapan dirinya jadi sedekat ini dengan Ben? Sampai pria iru dengan senang hati mendatanginya ke tempat kerjanya?
Mengabaikan pemikirannya, gadis itu segera duduk di sofa panjang tempat Nicky duduk. Namun tetap memberi jarak agar dirinya tidak terlalu berdekatan dengan atasannya itu.
"Ngomong-ngomong kok kalian bisa saling kenal?" Tanya Nicky memulai percakapan karena sunyi yang cukup lama.
"Dari teman ke teman." Ucap Arisa.
"Gue udah merhatiin dia sejak lama." Kalimat barusan membuat Arisa terbelalak kaget. Gadis itu menatap Ben dengan tatapan bingung.
Selama dia memperhatikan pria itu, tidak pernah terlihat kalau pria itu juga menaruh perhatian pada dirinya. Dan apa? Barusan pria itu bilang kalau selama ini dia selalu memperhatikan dirinya?
"Gue udah merhatiin dia sejak lama." Kalimat barusan membuat Arisa terbelalak kaget. Gadis itu menatap Ben dengan tatapan bingung. Selama dia memperhatikan pria itu, tidak pernah terlihat kalau pria itu menaruh perhatian sama dirinya. Dan apa? Barusan pria itu bilang kalau selama ini dia selalu memperhatikan dirinya? Nicky lalu membaca situasi saat itu. Memperhatikan Arisa yang tidak mengalihkan pandangannya dari Ben padahal Ben sudah mengalihkan perhatiannya ke minuman di hadapannya dan tanpa di suruh langsung menyeruputnya. "Manis. Kayak yang bikin." Ucap Ben sambil mengerling ke arah Arisa. Membuat wajah Arisa memerah karena malu. "Najis!" Sarkas Nicky dan beralih menuju meja kerjanya. Dan Ben hanya mengangkat bahu mengabaikan ucapan temannya itu. "Terus giman kerjaan lu? Nicky gak macam-macam kan?" Tanya Ben lagi membuat Nicky menatap sinis ke arahnya. "Lu kali yang suka macam-macam." Sahut Nicky membalas ucapan Ben. La
Hari ini Arisa kembali menemani Nicky meeting di luar kantor. Dan saat ini keduanya tengah makan malam di sebuah restoran tidak jauh dari tempat mereka meeting. Awaknya Arisa ingin menolak karena merasa tidak enak, tapi karena perutnya yang tidak bisa diajak kompromi dan menimbulkan suara yang membuat Nicky tersenyum menang, akhirnya keduanya berakhir di tempat ini. Arisa dengan tenang menyantap makanannya tanpa mempedulikan Nicky yang sudah memperhatikannya sejak tadi. Bahkan pria itu hanya menyuapi dirinya beberapa sendok saja. Sementara Arisa sudah makan setengah piring dari pesanannya. "Lu emang sedekat itu dengan ya sama Ben?" Tanya Nicky yang sepertinya tidak tahan untuk tidak menanyakannya. Mendengar pertanyaan tersebut membuat Arisa tersedak dengan makanan yang ia kunyah. Membuat Nicky terkejut dan buru-buru memberinya segelas minum. "Minum dulu, gih. Gitu aja kaget." Ledek Nicky setelah Arisa meneguk minumannya. "Maaf Pak, saya tidak
Malam ini adalah malam yang sudah sangat dinantikan oleh Arisa setelah hampir sebulan dirinya tidak memiliki waktu libur yang baik dan tenang. Dan akhirnya kali ini ia bisa berisitirahat dengan tenang karena sang atasan alias Nicky tidak memiliki jadwal lain di luar kantor, atau urusan rumah sakit yang masih harus dia selesaikan. Dengan posisi yang nyaman, dia berbaring di kasurnya sambil membaca novel karangan penulis kebanggannya setelah hampir setahun dibelinya namun belum pernah terbaca selembarpun. Namun pada lembaran kedua bacaannya, dering pada ponselnya segera menginterupsi kegiatannya dan dengan terpaksa sambil menghela nafas ia segera meraih benda tersebut dan langsung mengangkatnya tanpa melihat nama sang penelpon. "Halo!" Jawabnya dengan nada ketus yang tanpa sadar ia keluarkan. "Ris, sibuk gak?" Tanya dari seberang dengan suara yang sudah dihafal oleh Arisa. Arisa menghela nafas pelan sambil memejamkan matanya. K
Hari ini, Arisa terpaksa ijin tidak mausk kerja karena entah kenapa sejak semalam dirinya sudah merasa kurang sehat. Padahal paginya ia masih keluar untuk jogging. Dan saat ini ia hanya terus berbaring di tempat tidur karena kepalanya yang terasa sakit kalau dirinya memaksa untuk bangun. Bahkan untuk minum pun dirinya tidak sanggup. Jadi, iapun memutuskan untuk beristirahat seharian dan mengabaikan ponselnya yang ia letakkan di atas meja belajar yg jauh dari tempat tidurnya. Ketika ia bangun karena bunyi bel rumahnya, matanya tertuju pada jam dinding yang menunjukkan pukul 4 sore. Dengan sisa kekuatan yang dimiliki, ia memaksakan diri untuk bangkit dan berjalan menuju pintu masuknya untuk memeriksa siapa tamu yang datang tanpa dia undang tersebut. "Dokter?" Tanya Arisa suara parau dan raut wajah menahan sakit kepalanya sambil menatap heran kearah Daniel yang sudah menatapnya heran. "Loh, Ris? Kamu sakit?" Tanya Daniel dan segera
Daniel meletakkan berkas-berkasnya dengan asal di atas meja kerjanya. Sejak ia bangun hingga saat ini, kejadian di rumah Ariaa terus saja mengusiknya. Dirinya tampak menyesali hal yang ia lakukan pada gadis tersebut. Tapi dirinya juga tidak bisa diam saja setelah gadis itu menjawab seolah memberinya tantangan. Daniel terus saja merutuki dirinya karena tidak bisa menahan diri di depan gadis itu. Padahal selama ini, ia sudah menahan diri untuk tidak terjerumus ke dalam hal tersebut. Tapi kenapa dengan gadis itu diriny justru lemah. Kejadian kemarin kembali terlintas di kepalanya. Padahal hanya sentuhan singkat, ia tidak menyangka kalau bekasnya akan terasa sampai sekarang. Gila. Daniel akhirnya mengaggap dirinya gila. Ia kembali berfikir, apa yang akan terjadi selanjutnya kalau dirinya benar-benar tidak bisa menahan diri? Lalu ia kembali teringat Arisa. Setelah kejadian tersebut, Arisa justru tidak mengatakan apa-apa. Bahkan ekspresiny
Daniel menghentikan mobilnya tepat di belakang mobil yang juga terparkir di depan rumah Arisa. Tapi bukannya langsung turun, Daniel justru tetap berada di atas mobilnya dan berniat menunggu sang empunya mobil muncul. Pria itu melirik jam di tangannya yang sudah menunjukkan waktu 20.15 malam. Apa Arisa sedang menerima tamu? Tapi tidak ada tanda-tanda kalau di rumah tersebut sedang menerima tamu karena bahkan lampu ruang tamunya pun tidak menyala. Atau mungkin hanya orang lain yang tidak sengaja parkir di depan rumah Arisa? Karena malas menerka-nerka, Daniel pun segera mematikan mesin mobilnya dan berniat turun namun terhenti karena sosok pria yang entah siapa keluar dari dalam rumah Arisa namun tidak ada Arisa di belakangnya mengekor. Daniel mengurungkan niatnya untuk turun dari mobilnya dan tetap memperhatikan pria itu. Entah kenapa ada rasa kesal di dalam dirinya saat melihat seorang pria lain yang keluar dari rumah gadis tersebut. Diriny
Arisa terbelalak mendengar ucapan Daniel barusan. Bukannya memberi keputusan, pria itu malah melempar balik pertanyaannya. "Gimana kalau kita saling mengenal aja dulu?" "Lah, kooook" "Tunggu dulu. Maksud aku tuh gini. Kita kan sama-sama belum kenal satu sama lain." "Pacaran kan juga bisa sambil saling mengenal satu sama lain." Sahut Arisa yang tidak mau kalah. Apa-apaan sudah berani mencium orang sembarangan dan dia bilang mau kenalan dulu? "Terus kalau gak cocok?" Tanya Daniel kemudian. "Putus." Tanpa berpikir apapun Arisa segera menjawab pertanyaan Daniel. Membuat Daniel terbelalak. "Kok putus?" "Ya terus apa dong? Kan udah gak cocok." Timpal Arisa tidak mau kalah. "Ya terus kenapa mau pacaran?" Tanya Daniel lagi. Yang kali ini membuat Arisa kembali terbelalak dan tanpa sadar melempari Daniel dengan bantar guling. "Kamu barusan nyium aku dan sekarang kamu tanya kenapa mau pacaran? Ata
Daniel melepas snellinya dan segera beranjak dari kursi untuk meninggalkan ruangannya. Hari ini ia ingin istirahat penuh di rumah setelah sebulan lebih tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Sejam yang lalu adalah detik-detik menegangkan dari operasi yang ia lakukan. Mengingat korban yang ia hadapi kali ini adalah anak kecil yang mengalami benturan di dadanya akibat menabrak batu saat terjatuh dan sempat mengalami henti jantung beberapa saat membuatnya dan rekannya yang lain benar-benar harus berhati-hati dalam menangani pasien tersebut.Untung saja anak tersebut bisa di selamatkan meskipun harus memakan waktu yang cukup lama. Dan karena malam ini adalah jadwal liburnya, dan juga ada dokter lain yang menangani anak tersebut, jadi dirinya bisa dengan bebas melarikan diri dari rumah sakit."Hari yang panjang." Sahutnya sambil merenggangkan tubuhnya di tengah-tengah koridor rumah sakit sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju parkiran para dokter yang berada di