Share

Bagian 6 : Masih Peduli?

"Loh, Arzha di sini?" Shira yang baru selesai membersihkan meja menghampiri bocah lima tahun yang sedang menyuapkan es cream ke mulut.

"Onty Shira," ujar anak itu berbinar.

"Makannya pelan, Nak." Perempuan itu dengan kilat mengambil tissu di meja samping lalu membersihkan sisa es cream di bibir Arzha.

"Mami lagi pergi, aku dititip Papi," jawab bocah lelaki itu meringis.

"Udah jam sembilan, Arzha nggak sekolah?" tanya Shira sambil merapikan rambut anak tampan di depannya.

"Nggak tau." Geleng anak itu polos.

"Shir, persediaan gula di dapur abis, belanja gih." Luna berjalan mendekat.

"Ha?" Shira mendongak, membenarkan alat bantu dengarnya.

"Belanja gula!" Mulut Luna sampai menempel di telinga Shira, membuat perempuan itu refleks berdiri.

"Ya nggak usah begitu kalik, lu pikir gua tuli," omel Shira tidak terima.

"Ya emang lu tuli, Maemunah!"

"Onti Luna, jangan seperti itu." Suara kecil itu membuat keduanya menengok. "Onti Shira pasti sembuh, pasti." Jemari Arzha terulur, senyum polos itu mampu membuat siapa saja yang melihat akan merasa hangat.

"Terima kasih, Sayang, kamu baik sekali." Mata Shira berkaca. "Onti Luna cuma bercanda kok, anak pintar," lanjut perempuan itu sambil mengacak rambut Arzha.

"Jangan diambil hati, ya, anak bos, kami teman jadi suka seperti ini." Luna tersenyum kikuk, memandang anak setampan raja ini, Arzha sangat tampan benar-benar fotocopy pak Arga.

"Kata bu guru kalau salah harus minta maaf," ujar bocah itu penuh penekanan.

"Kan bercanda, jadi tidak perlu minta maaf. " Dengan mata melotot Luna menolak, yang benar saja?! Dia harus meminta maaf dengan perempuan bucin ini?

"Wah, Arzha pintar, benar kalau salah harus minta maaf, ya, Nak. Dan kalau ada teman kita yang salah sebagai sesama manusia kita juga wajib memaafkan." Shira tersenyum sangat indah.

"Iya, karena Allah saja Maha Pemaaf, apalagi kita manusia, iya' kan, onty?" Shira mengangguk mantap, mengacak pelan rambut anak tampan itu.

"Kamu pintar sekali, Onti bangga."

Pipi mungil itu bersemu. "Thank you, Onti."

"With my pleasure, Nak."

"Kacang mahal, mau lanjut kerja aja dah," sungut Luna kesal.

"Onti Luna belum minta maaf sama onti shira." Pergelangan tangan Luna tertahan.

"Arzha sayang, onti sudah memaafkan onti Luna kok," ucap Shira menyela.

Anak itu menggeleng. "Minta maaf dulu."

Shira menahan tawa, ingin sekali bergulung-gulung melihat ekspresi sahabatnya. "Oke, kalau itu mau Arzha, Onti Shira bisa apa."

"Onti, kenapa malah diam?" Mata polos itu mengerjab, memandang Luna penuh tanya.

"Shira, aku minta maaf, ya, tadi udah ngomong kasar sama kamu, besok lagi pasti aku ulang," cibir Luna.

"Apa?" tanya Arzha tiba-tiba.

"Besok nggak akan aku ulang." Penekanan Luna begitu kentara, membuat Shira menahan tawanya mati-matian.

"Good job, Onti." Tepuk tangan meriah itu terdengar, Arzha memberikan kedua jempolnya ke arah Luna.

"Kamu nggak sekolah, Tampan?" Luna tidak pernah tahan untuk tidak mencomot pipi Arzha. "Gantengnya tertampar visual banget kamu, Nak," lanjut perempuan itu tidak berkedip.

"Tangannya, nanti merah pipinya." Gamparan itu Shira berikan pada tangan Luna.

"Cakep banget asli." Entah sudah berapa ratus kali Shira mendengarkan pujian itu, King Arzha Alendra, Putra pertama Arga dan Eliza memang sangatlah tampan, walau mereka belum menikah tetapi hal itu bisa terjadi, tidak kaget karena keduanya dulu sama-sama berkuliah di luar negeri dan melakukan sex bebas.

"Onti lanjut kerja ,ya, Nak." Dengan teganya Shira tidak mengubris perkataan Luna, memilih berlutut di hadapan Arzha.

Bocah itu terlihat tidak ikhlas. "Aku ikut!"

"Daftar belanja udah aku buat, kamu tinggal berangkat." Indah muncul dari dapur membawa daftar panjang di tangan.

"Arzha ikut Onti Shira." Anak raja itu berkaca, bibirnya mengerut membuat siapa saja yang melihatnya ingin sekali mencium secara bertubi.

"Ajak saja, Shir, mau sekolah kesiangan juga." Suara berat itu terdengar.

"Eh," gugup Shira. "Berarti Arzha enggak sekolah, ya, Pak?"

"Maminya nitip dadakan, saya ada kerjaan mendesak, yaudah nggak apa sekali-kali." Arga berjalan ke dapur, mengaduk kopi hitamnya.

"Boleh ikut, Onti?" Mata anak itu berbinar dan Shira mengangguk pelan.

"Sekalian aku anter, mau?" Lelaki itu menyaut.

"Ehemmm." Luna memanasi. "Ini aku keselek ludah, kenapa kalian natap aku begitu." Alibi manusia itu memang juara.

"Nggak usah, Pak, dekat, naik bus juga sampai kayak biasa," tolak Shira ramah.

"Baiklah, jangan lupa ajak Arzha, dia senang sekali sama kamu." Dan perempuan itu hanya bisa mengangguk kaku.

*

"Cepetan cerita, kenapa lu teraktir kita makan mehong begini?" Luna memasukan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Habisin dulu, nanti gue ceritain. " Indah tersenyum, menyedot perlahan milk shake coklat miliknya.

"Elah, lu nggak tau apa jiwa kepo gua udah merontai-rontai, ini restaurant mahal lu ada duit kaga woi?!"

"Diem, Siti!  Tinggal makan banyak bacod aja dah." Shira menggebrak meja, mendapatkan lirikan maut dari meja sebelah.

"Nyesel banget bawa kalian para kaum misqueen ke restaurant mahal, malu-maluin, kampret!" Umpat Indah setengah malu.

"Heh, Memunah, lu kaga curigation itu si Indah ngapa jajanin kita, dia kan pelit banget soal beginian." Dengan mulut penuh nasi Luna masih bisa mengoceh.

"Bodo, yang penting makan enak," jawab perempuan itu bodo amad.

"Emang banyak bicit si Luna, ya, makan tinggal makan juga, heran!" Indah tidak habis pikir.

"Lu kenapa?" Indah mendongak, menatap Shira yang memegang dadanya.

"Nggak apa, ganjel aja." Perempuan itu menggeleng, kembali menyendokan nasih ke mulut.

"Shira kalau makan mehong mungkin emang gini, organ tubuhnya terlalu terkejut," saut Luna.

Perempuan itu menonyor kepala sahabatnya. "Enak aja, gua pernah tajir kalik."

"Malu, woi, lu berdua jaga sikap apa, ini restaurant mahal!" Air wajah Indah sudah membara. "Emang paling bener, tadi gua bawa lu berdua ke emperan!"

"Tangan gua gatel banget,kenapa sik," cicit Shira mengalihkan pembicaraan  saat suara Indah sudah mulai mengerikan.

Luna tertawa. "Alergi makanan mehong, maklum."

"Astafirullah, kamu ini berdosa banget." Shira mengerucut.

"Berdosa? Kamu yang berdosa!" teriak Luna tidak mau kalah.

"Kamu itu jangan solimin."

"Solimin, solimin, soliHAH!" Saut Indah membuat ketiganya tertawa, vidio viral yang beredar di sosial media itu memang membuat siapa saja ingin sekali menirukannya.

"Akhhh..." Shira meremas dadanya.

"Heh lu kenapa?" Tawa Luna terhenti melihat sahabatnya merintih.

"Shira, kamu kenapa pucet banget?" Muka khawatir Indah terpancar.

"Apa yang kamu lakukan?!"

"Kamu makan apa, Lashira?!" Dengan wajah merah padam lelaki itu memukul kasar meja hingga menyebabkan suara pecahan terdengar. "Udah nggak waras kamu, pengen mati?" Tatapan setajam paku itu berhasil menusuk kasar pengelihatan Shira.

Wanita itu terdiam, untuk sekedar menjawab bahkan dirinya tidak mampu, rasa sesak seperti bergulat tepat di jantungnya. "Dadaku, sakit."

Tanpa berpikir lelaki itu mengikis jarak, menendang kasar meja hingga hampir terguling dan setelahnya mengambil tubuh mungil separuh nyawanya. Mengabaikan tatapan sekitar yang sudah pasti seperti melucuti tubuhnya.

"Eh, eh mau dibawa ke mana?" Langkah pastinya terhenti, ketika seorang wanita menarik pergelangan tangan.

Jemari itu terhempas saat tanpa ampun Farrel menyingkirkan. "Temanmu bisa mati jika tetap dibiarkan! Dia tidak bisa menyantap makanan seperti ini!"


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status