“Setelah meninggal dunia, selain sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat ada do’a anak shaleh dan shalehah yang akan tetap mengalir untuk kedua orang tua. Pastinya mereka akan mendoakan yang terbaik untuk ayah bundanya biar masuk surga, dan bisa berkumpul di sana kelak.”
-----------
Di meja makan, Kanaya harus ekstra sabar menghadapi putranya. Kepala Kanaya yang akhir-akhir ini sering pusing, semakin pusing menghadapi tingkah Afnan yang mendadak menyebalkan bagi Kanaya. Bak ikan remora yang nempel di ikan hiu, Afnan pun nempel terus dengan Kanaya sembari meminta bundanya untuk mengiyakan keinginannya.
Sementara di sisi lain masih di meja makan, Dinnar tersenyum geli melihat tingkah putra sulungnya yang mendadak manja seperti itu. Beruntung istrinya itu mempunyai stok kesabaran yang unlimited jadi Kanaya tidak marah sedikitpun, mesti berkali-kali harus menghela nafas pelan.“Yang mau balik pesantren, nempel mulu sama bundanya.” Ujar pria tampan yang baru saja masuk ke dapur.
Tidak mendapat tanggapan dari keponakannya, Alvaro si pemilik wajah tampan itu bertanya pada Dinnar. Dan Dinnar hanya mengangkat kedua bahunya enggan menjelaskan.
“Ya bun, abang mohon.” Pinta remaja tiga belas tahun itu, entah sudah yang ke berapa kali Afnan memohon kepada sang bunda.
Kanaya menghela nafas pelan, ia selalu menuruti keinginan putra-putranya selagi ia mampu agar putra-putranya tidak kecewa. Tapi untuk keinginan kali ini sepertinya ia tidak bisa memenuhinya. Kanaya tengah berfikir, bagaimana cara menolak keinginan putranya yang tidak berhenti merengek supaya tidak kecewa.
Kanaya mengambil nafas dan mengeluarkannya pelan sebelum memulai berbicara. “Abang, maafkan bunda. Untuk kali ini bunda harus bikin abang kecewa, bunda nggak bisa mengabulkan permintaan abang. Abang tahu, usia bunda sudah tidak memungkinkan buat ngasih Afnan dan Aflah adik lagi. Usia bunda sudah 43 tahun, mungkin bunda kelihatan masih pantas untuk menimang bayi, tapi fisik atau tubuh bunda sudah nggak mampu buat mengandung lagi.” Ujar Kanaya sendu.
Terjadi keheningan di ruang makan, Dinnar menghentikan tangannya yang sedang menyendok makanan, ia menatap istrinya yang berkaca-kaca. Ia bisa merasakan apa yang tengah di rasakan istrinya saat ini. Sementara Afnan langsung menundukan kepala, ia menyesal telah membuat bundanya sedih seperti saat ini.
Kanaya bangkit dari duduknya kemudian ia berjalan meninggalkan dapur menuju kamarnya. Ia tidak marah pada putranya, hanya saja ia tidak ingin putranya melihat dirinya yang sudah tidak bisa membendung cairan kristal dari matanya yang sudah tidak bisa dibendung lagi. “Maafkan abang, yah. Abang udah bikin bunda sedih, pasti sekarang bunda marah sama abang.” Ujar Afnan yang masih setia menundukan kepala.
Dinnar bangkit dan kemudian duduk disebelah Afnan, ia mengelus punggung putranya itu. “Abang nggak salah, tapi lain kali lihat kondisi bunda dulu kalau mau ngomong sama bunda. Abang tahu sendiri kan, akhir-akhir ini bunda lagi nggak enak badan, sering pusing juga. Tadi bunda juga nggak bisa nemenin abang belanja karena bunda mendadak pusing, jadi ayah suruh uncle Rama yang anter kan. Bunda nggak sedih, bunda Cuma lagi pusing, jadi ke kamar duluan.” Ujar Dinnar menenangkan putranya yang sedang khawatir bundanya akan marah.
“Dan ingat, bunda nggak akan pernah marah sama abang. Sebesar apapun salah abang, bunda nggak akan marah asal abang segera menyadari kesalahan abang dan tidak mengulangi lagi.” Tambah Dinnar, Afnan pun tersenyum mengerti akan ucapan ayahnya.
“Ya udah, makanan-nya dihabiskan ya. Ayah mau lihat bunda dulu, takut bunda butuh sesuatu.” Ujar Dinnar.
“Habis ini, abang mau minta maaf sama bunda.” Kata Afnan sebelum ayahnya beranjak.
“Good boy.” Balas Dinnar mengusap kepala Afnan.
“Temenin dulu, ya.” Pesan Dinnar pada Varo.
Dinnar menyusul Kanaya ke dalam kamar, di dalam kamar tepatnya di ranjang besarnya Kanaya sedang terisak. Dinnar pun mendekati sang istri kemudian membawa tubuh Kanaya ke dalam pelukkannya. Ia memilih diam, enggan membuka percakapan dan membiarkan istrinya menuntaskan isakkannya. Hingga isakan itu mereda dan tergantikan dengkuran halus, Kanaya tertidur dalam pelukan Dinnar.
Perlahan Dinnar merebahkan kepala Kanaya pada bantal, namun bukannya tertidur pada bantal, malah lengan Dinnar yang dipakai untuk bantal. Sesekali Dinnar tersenyum saat melihat wajah ayu Kanaya yang nampak menggemaskan saat tidur.
Perlahan Dinnar melepaskan jilbab instan yang masih melekat di kepala Kanaya. Di rasa Kanaya sudah terlelap, Dinnar perlahan memindahkan kepala Kanaya yang masih betah dilengannya. Gerakan Dinnar terhenti saat matanya tidak sengaja melihat etalase kecil yang berada di samping meja rias. Etalase yang biasa di gunakan istrinya untuk menyetok pembalut, dia masih ingat bahwa isi dalam etalase itu tetap sama dari bulan-bulan yang lalu, tidak berkurang dan bertambah. Apa jangan-jangan? Beberapa spekulasi bermunculan dalam fikiran Dinnar hingga panggilan dari putranya membuyarkan lamunan Dinnar. “Ayah, bunda tidur?” Tanya Afnan pelan namun terdengar jelas oleh Dinnar.
Dinnar hanya mengangguk sebagai jawaban, jika bersuara takut istrinya terbangun. Dinnar berhasil memindahkan kepala Kanaya tanpa mengusik ketenangan sang istri yang tengah menikmati tidurnya. Ia mencium kening Kanaya kemudian membenarkan letak selimut sebelum ia turun dari ranjang. Afnan tersenyum melihat perlakuan manis sang ayah pada sang bunda, perlahan ia mendekat ke ranjang dan mencium kening Kanaya lama. Setelahnya Afnan meminta Dinnar untuk membantu memberesi barang yang akan di bawanya ke pesantren.
-----------
Esok paginya, Dinnar tengah bersandar di ranjang dengan tab yang berada di tangannya. Sementara Kanaya yang baru saja mandi, kembali membaringkan tubuhnya di samping sang suami. Tubuhnya terasa tidak bersahabat untuk beraktifitas pagi ini. Dinnar melirik istrinya yang nampak kurang sehat itu, ia jadi teringat pasal pembalut yang masih utuh di etalase. Ia ingin bertanya, namun takut akan menyinggung sang istri, terlebih ia ingat sudah beberapa bulan ini istrinya memang tidak kedatangan tamu bulanan. Dinnar juga ingat bahwa beberapa bulan ini lupa main aman dengan Kanaya, jadi boleh kah Dinnar berfikir bahwa Kanaya tengah mengandung saat ini? Namun mengingat usia Kanaya yang sudah tidak muda lagi, Dinnar jadi ragu. “Bun…” Panggil Dinnar.
“Iya,mas.” Jawab Kanaya yang masih berbaring di ranjang.
Dinnar meletakkan tabnya di meja lalu ikut berbaring di samping Kanaya. “Bunda udah nggak haid, ya?” Tanyanya pelan, takut menyinggung Kanaya.
“Eh.. maksud, mas?” Kanaya tidak faham dengan pertanyaan suaminya.
“Lihat..” Dinnar menunjuk etalase yang berisikan pembalut Kanaya yang tertata rapi di sana. “Beberapa bulan ini, bunda nggak haid? Pembalutnya masih utuh, nggak kurang dan nggak tambah.” Terang Dinnar.
Mendengar perkataan Dinnar perihal haid dan pembalut di etalase, Kanaya terdiam seketika berusaha mengingat-ingat kapan terakhir kali haid. Namun ia lupa kapan terakhir kali dirinya mendapatkana tamu bulanan itu.
Melihat Kanaya yang terdiam seperti itu membuat Dinnar merutuki pertanyaan-nya barusan, pasti Kanaya tersinggung. “Maaf, bukan-nya mas….”
Kanaya terlonjak dari tempat tidur, buru-buru berjalan menuju kamar mandi. Setelah sampai di dalam kamar mandi ia mengunci pintu. Ia mencari-cari benda yang ia simpan di etalase yang ada di kamar mandi.
Kanaya mengingat-ingat, kapan terakhir dirinya haid. Sepertinya sudah lama, namun ia lupa tepatnya kapan. “Astaga, apa itu artinya……..” Kanaya berspekulasi dirinya hamil, namun saat mengingat usianya yang tidak muda hatinya jadi sedih. Mungkin saja ia sudah menepouse kan.
Setelah menemukan benda yang dicarinya, sesegera mungkin ia menggunakannya untuk mendapat kejelasan. Kanaya menunggu dengan harap-harap cemas sembari memandang benda kecil yang sebelumnya telah ia celupkan ke dalam tampungan urinenya.
Beberapa menit……, Muncullah garis dua, itu artinya positif.
Kanaya menangis histeris, teramat sangat histeris hingga menembus penjuru rumah Dinnar. Dinnar yang sedari tadi menunggu di depan pintu yang terkunci dengan khawatir, kini semakin khawatir mendengar tangisan histeris Kanaya. Dinnar menggedor pintu kamar mandi itu. “Kenapa bunda nangis, Yah? Ayah jahatin bunda ya?” Tanya Afnan yang baru saja masuk kamar ayah-bundanya.
“Nggak ya, bunda tiba-tiba aja nangis di dalam kamar mandi.” Protes Dinnar yang tidak mau di salahkan putranya.
“Bohong, kalau bukan ayah terus siapa? Ayah nggak boleh bohong.” Dinnar diam, biarlah ia disudutkan oleh putranya. Sekalipun ia bilang yang sejujurnya putranya itu tidak akan percaya. Ia memilih menunggu Kanaya saja, biarlah istrinya itu yang menjelaskan.
Tidak berhenti menangis, Kanaya berjalan lemas membuka pintu kamar mandi, langsung memeluk Dinnar. Kanaya kembali menangis histeris dalam pelukan Dinnar.
“Hei-hei, bunda kenapa?” Tanya Dinnar hati-hati.
“Yah, bunda hamil.., HUAAAA!” Ujarnya sebelum menangis histeris lagi.
Dinnar terkejut dibuatnya, istrinya hamil? di usia 43 tahun? Mustahil kan?. Senyum lebar terbit di bibir dua laki-laki tampan beda generasi. Dinnar merenguh tubuh Kanaya dengan sangat erat sembari sesekali mengecup puncuk kepala istrinya yang tidak terbalut jilbab.
Dinnar mengusap-usap punggung Kanaya, menenangkannya. “ Sudah-sudah, kenapa kamu jadi nangis seperti ini, kayak orang kena musibah aja.” Ujar Dinnar.
“Memang kena musibah, aku hamil mas.” Ucap Kanaya sedikit frustasi.
Alis Dinnar menyat, “Maksud bunda, kena musibah karena kehamilan?” Tanya Dinnar
“Iya, usia aku udah tua mas. Kalau aku hamil pasti banyak risikonya buat aku ataupun buat janin kita.” Jelas Kanaya yang masih terisak.
“Bunda, anak bukanlah musibah melainkan anugerah terindah dari Allah yang diberikan kepada kita. Banyak orang yang menanti kehadiran buah hati bertahun-tahahun, tapi Allah masih belum percaya sama mereka.” Tutur Dinnar, sebenarnya ia juga khawatir, mengingat usia Kanaya yang sudah tidak muda lagi.
“Kelak kita pasti akan meninggal, setelah meninggal selain sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat ada do’a anak salih dan shalihah yang akan tetap mengalir buat kita. Pastinya anak-anak kita bakal mendoakan yang terbaik untuk ayah dan bundanya biar masuk surga dan bekumpul di sana kelak. Anak itu anugrah bukan musibah, sayang. Mas bakalan ngelakuin yang terbaik buat kamu dan bayi kita.”
Kanaya semakin megeratkan pelukan di tubuh Dinnar, Dinnar tersenyum akan hal itu, membalas pelukan Kanaya tidak kalah eratnya. Menyalurkan kebahagiaan yang sangat berlimpah menurutnya. “Jadi?” Dinnar ingin memastikan apakah istrinya menerima kehamilan itu apa masih ragu.
“Aku mau punya baby.” Jawabnya dalam pelukkan Dinnar.
Afnan yang sedari tadi melihat derama bundanya, mendekat dan ikut memeluk bundanya. Ia ikut merasakan kebahagian akan datangnya anggota baru itu. Ia harus segera memberi tahu kembarannya Aflah bahwa doanya di kabulkan, bundanya hamil dan akan segera memberikan mereka adik. Dan ia juga berharap, kehadiran adiknya kelak bisa membawa warna tersendiri dalam keluarga mereka. Seengaknya bisa mengurangi rasa rindu yang membuncah untuk kakaknya Alesha yang sampai sekarang belum tahu keberadaanya serta keadaannya.
Bersambung……
“Keluarga adalah rumah tempat berpulang, keluarga bukanlah hanya sekedar tempat pelampiasan ketika dunia mengalahkan kita. Tangan memang selalu terbuka, tetapi adakah tega kembali hanya untuk sebuah kebutuhan dan pergi ketika diatas awan. Keharmonisan dalam keluarga tidak datang begitu saja, namun keharmonisan itu harus dibangun bersama.”----------Aldelio Ahyar Agustaf, yang artinya sosok pemimpin yang berwibawa dengan sifat religius, yang terlahir di keluarga Agustaf.Serangkaian nama dengan makna indah, yang diberikan Dinnar untuk cucu pertamanya. Terselip harapan yang begitu besar, dengan doa-doa menyertai dalam setiap untaian kata. Cucu pertama Dinnar, putra pertama Alvaro, yang kelak saat besar nanti akan menjadi pemimpin yang berwibawa dengan akhlak yang baik.Bukan tanpa alasan, Dinnar memberikan nama indah itu untuk cucunya. Sosok pemimpin perusahaan besar itu, tentu saja ingin kelak ada keturunannya yang meneruskan memimpin perusahaan.
“Kata orang, cinta bukanlah sesuatu yang kita cari karena dia yang akan menemukan kita. Tidak peduli akan tempat, waktu, dan juga keadaan. Takdir akan menuntun kita untuk bertemu dengan seseorang yang membuat kita merasa begitu dicintai, seolah hanya kita lah satu-satunya cinta yang dimilikinya. Kamu tahu, bila kamu tidak sempurna, kamu mungkin bisa melakukan kesalahan, akan tetapi cinta sejati yang kamu dapatkan membuatmu sangat yakin bila tidak peduli apa yang terjadi nanti, kamu akan selalu mencintainya dan tidak bisa memadamkan rasa itu.”----------Alvaro yang melihat istrinya memejamkan mata, seketika terkesiap, membelalakkan matanya. Perasaan takut, khawatir, gelisah, kembali menyelimuti dirinya. Tanpa berpikir panjang, dengan tangannya yang gemetar, ia guncang-guncangkan tubuh lemas Alesha, guna membangunkan perempuan itu, lalu menatap pada Tyas, dengan tatapan penuh ketakutan.Tyas yang baru saja selesai menjahit bagian kewanitaan Alesha, se
Waktu adalah sesuatu hal yang memiliki ketetapan dan bernilai pasti. Tidak berputar dengan cepat, tidak pula berputar dengan lambat. Bumi pun, masih begitu stabil berputar pada porosnya, dari arah barat ke timur, tidak ada yang berubah sama sekali. Namun, entah kenapa karena aktivitas harian yang cukup padat, Alesha merasa hari demi hari seakan berlalu begitu cepat berganti, dari minggu ke minggu, hingga bulan ke bulan.Banyak hal yang Alesha lalui selama waktu terus berjalan. Dimulai dari drama Alesha yang kesal dengan sang suami, karena teramat sibuk dengan dengan berbagai pekerjaan di luar kota, bahkan luar negeri, hingga cukup jarang berkumpul dengan keluarga. Beruntung, Alesha mempunyai adik yang sangat menggemaskan dan pengertian, juga sayang padanya. Meskipun adiknya itu sering kali membuat drama, tetap saja Alesha sangat menyayangi Princess mungilnya itu.Sampai tiba waktunya, pria menawan itu memaksa Ayah mertuanya yang menjabat sebagai Presdir Agustaf Company, ya
"Tidak ada hubungan suami dan istri yang selalu cerah, namun mereka berdua dapat berbagi satu payung dan bertahan dari badai bersama-sama."----------Pernikahan bukan tentang akhir kisah cinta, melainkan awal baru bagi kehidupan baru. Menikah tentu saja tidak sama saat masih berstatus sebagai pasangan kekasih, terlalu banyak manis, hingga mengelak pedih yang bersembunyi dibalik rasa manis itu. Menikah berarti, mampu melihat semua sisi buruknya setiap hari, semakin hari akan melihat topeng yang satu persatu di tanggalan oleh pasangan. Ini lah, yang menyebabkan banyak pernikahan kandas. Merasa bahwa dirinya bukanlah sosok yang selama ini dikenal, karena banyak hal baru tentangnya, yang tidak ditemui sebelumnya.Menikah berarti berkomitmen untuk menerima semua hal yang menyebalkan itu. Menerima kekurangannya, dan melengkapi dirinya. Dengan menikahi sang pujaan hati, tidak bisa berharap bila semua akan berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Percayalah, menikah tidak sein
“Laki-laki yang baik, ia tidak akan tergoda dengan perempuan lain, pun dengan perempuan yang baik, ia tidak akan menggoda laki-laki yang sudah beristri.”-----------Matahari mulai mengintip di balik awan, sehingga sinarnya tidak terlalu terik, pagi ini. Awan hitam kecil menggantung di langit, angin bertiup pelan menghela dedaunan, dan perlahan masuk melalui jendela, menyibak pelan tirai yang menghias di sana.Pagi ini, karena ada rapat penting Alvaro terburu-terburu berangkat ke kantor, tanpa menunggu Alesha bangun. Ia sangat memaklumi kondisi sang istri, semakin perutnya membuncit, istrinya itu sudah merasa malas melakukan aktifitas. Dan, tentu saja Varo tidak masalah, yang penting Alesha tidak melalaikan kewajiban-kewajibannya.Seperti biasa, jika harus berangkat pagi-pagi sekali, Varo hanya meninggalkan sebuah memo di dekat ranjang tempat tidur mereka.Tidak lama, setelah Varo berangkat, Alesha pun bangun dari tidurnya. Saat Alesha meli
“Perasaan cinta memang luar biasa. Datang tanpa aba-aba, tanpa isyarat dan tidak terduga pula. Pun begitu, akan tetapi menikmatinya dan tanpa di sadari hidup yang di jalani sudah di porak-porandakan oleh kekuatan cinta.”----------Bukan Alvaro namanya, jika sesuatu hal yang ia inginkan tidak terlaksana. Apa lagi, ketika itu menyangkut orang yang ia sayangi.Sudah empat bulan, semenjak Alesha keluar dari rumah sakit, dan kandungan Alesha sekarang sudah enam bulan. Dan, selama itu juga, Alvaro belum pernah sekalipun menemani Alesha untuk periksa kandungan.Bukan tanpa alasan, Alvaro tidak menemani istrinya periksa kandungan. Pria menawan itu, selain disibukan dengan kerjaan di perusahaan Agustaf Company, ia juga harus meng handle restoran dan café, bahkan tidak jarang Varo harus ke luar kota berhari-hari untuk meninjau pembangunan restoran barunya yang ada di Malang, belum lagi jika ia harus menggantikan Dinnar bertemu kolega bisnisnya ke luar n