Share

Sabar, Sabar dan Sabar Lagi

“Sabar adalah kunci yang utama, di kala terjebak dalam duka. Yakinlah janji Allah itu tidak akan mengecewakan, bahwa disetiap kesulitan pasti ada kemudahan begitu pun dengan kesedihan pasti akan berganti dengan kebahagiaan.”

----------

Tiga hari sudah Nabilla hidup tanpa bapaknya, malam harinya gadis cantik itu hanya ditemani keheningan dan siangnya hanya kesenduan yang membuat dada Nabila sesak. Tiga hari sudah Nabilla tidak masuk sekolah, tiga hari itu bukannya Nabilla tidak ingin masuk sekolah, tapi ia sedang mencoba menata hidup dan menata hati setelah kepergian bapaknya.

Nabilla menatap pintu kamarnya ketika mendengar suara pintu dibuka, ia mendapati ibu dan Linda menatap dirinya dengan enggan. “Masakin kami sesuatu, sekarang.” Pinta Maya lalu meninggalkan Nabilla yang masih terdiam.

Nanbilla langsung menuju dapur dan memasakan sesuatu untuk ibu dan kakaknya. Ia hanya mendapati seikat kangkung dan tiga butir telur di dalam kulkas. Nabilla kemudian membuat tumis kangkung dan menggoreng telur yang sudah di campur dengan beberapa bumbu lalu dikocok.

Setelah selesai memasak, Nabilla membawa satu piring berisi tumis kangkung dan satu piring berisi telur dadar yang kemudian ia taruh di meja makan. “Siapa yang nyuruh kamu duduk?” Nabilla yang hendak mendudukkan dirinya akhirnya tetap berdiri ketika mendengar suara galak sang ibu yang menatapnya sinis.

“Nabilla mau makan, bu. Dari tadi pagi Nabilla belum makan.” Ucap Nabilla menunduk, ia tidak berani menatap wajah garang ibunya.

“Kamu boleh makan kalau kami sudah selesai makan, sana kamu cuci pakaian ibu sama Linda. Baju ibu sudah numpuk setelah beberapa hari ini tidak kamu cuci.” Maya mengusir Nabilla, sementara Nabilla mengangguk patuh dan menuruti perintah ibunya.

Linda tersenyum sinis melihat Nabilla yang selalu diperlakukan seperti itu oleh ibunya. Maya dan Linda pun makan dengan lahap dan nikmat mengabaikan Nabilla yang tengah menahan lapar ditambah harus menyuci pakaian milik Maya dan Linda yang sebanyak tiga ember cat besar.

Setelah selesai mencuci dan menjemur pakain-pakain milik ibu dan kakaknya, Nabilla kembali menuju dapur. Ia tidak melihat ibu dan kakaknya, berarti mereka telah selesai makan. Nabilla tersenyum, akhirnya ia bisa makan juga, karena jujur sedari pagi ia belum makan dan hanya mngisi perutnya dengan air putih saja. Namun senyum Nabilla hilang seketika saat melihat yang tersisa hanya sepiring kecil nasi putih tanpa sayur dan lauk.

Nabilla berusaha sabar, gadis ayu itu perlahan memasukan sesendok nasi yang sudah ia campur dengan garam ke dalam mulutnya. Nabilla menikmati makanannya walaupun terasa sedikit asin mengingat nasi putih tanpa sayur maupun lauk itu ia taburi garam supaya rasanya tidak hambar.  Nabilla bersyukur kala merasa perutnya sudah terisi dengan makanan.

Gadis berjilbab abu itu membawa piring bekas yang ditinggalkan ibu dan kakaknya di meja makan ke kamar mandi. Ibu dan kakaknya pasti sengaja membiarkan seluruh peralatan makan tergeletak agar dirinya yang mencuci. Lagi, Nabilla dengan sabar dan telaten mencuci semuannya kemudian menaruh kembali ke rak piring.

Belum selesai meletakkan semua piring ke rak, Nabilla harus segera berlari keluar untuk mengangkat jemuran karena tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Dengan sabar Nabilla mengangkat jemuran yang sebagian besar adalah pakaian ibu dan kakanya. Di tengah derasnya hujan Nabilla berdoa meminta kepada Allah, “Ya Allah aku tahu ini adalah ujian dari-Mu, meskipun begitu aku sangat bersyukur bisa memiliki merek yang merupakan keluargaku satu-satunya. Bantu aku dalam menjalani hidup ini ya Allah. Aku tahu dibalik semua kesedihanku enkau telah merencanakan kebahagiaan yang akan ku raih.” Batin Nabilla dalam hati, Nabilla mengusap matanya yang berair akibat air mata yang tercampur dengan air hujan.

Setelah selesai mengangkat jemuran dan memindahkan ke dalam rumah, Nabilla membersihkan diri sekalian mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat asar. Sembari menunggu azan yang berkumandang, Nabilla membaca Al-Quran dengan khusyuk.

----------

Di sisi lain………..

Kanaya tengah duduk di gazebo taman belakang rumahnya, dari kejauhan beberapa bodyguard tengah mengawasinya. Pagi tadi Dinnar berangkat ke Magelang untuk mengantar putra sulungnya Afnan kembali ke pesantren, dan berlanjut ke Ponorogo untuk menjenguk putra bungsunya Aflah.

Sebenarnya Kanaya ingin ikut mengantar dan menjenguk putra-putranya, namun sesuai saran dokter ia harus bed rest demi kesehatan dirinya dan janin yang tengah di kandungannya. Kehamillannya kali ini sangat berbeda, kehamilan kali ini berisiko tinggi mengingat usianya yang sudah 40 tahun lebih. Ia harus benar-benar menjaga kesehatan dengan baik agar kehamillanya tetap sehat hingga persalinan tiba.

Entah, ia juga tidak habis fikir kenapa bisa kebobolan seperti ini. Ia akui memang beberapa bulan terakhir ini ia dan suaminya asal main saja tanpa memperdulikan pengaman. Hingga tau-tau ia sudah mengandungg 14 minggu, mungkin benar orang sering bilang ‘makin tua makin jadi’ dan itu terbukti pada dirinya dan suami.

Hari semakin larut dan azan magrib akan segera berkumandang, namun sepertinya Kanaya masih enggan begeming dari tempatnya, entah apa yang sedang ia fikirkan. Beberapa bodyguard saling berbisik ingin meminta nyonyanya masuk namun mereka urugkan, takut membuat wanita cantik itu terganggu. “Kenapa?” Tanya Alvaro, ia baru saja pulang dari kantor.

Para bodyguard menunjuk Kanaya yang masih termenung di gazebo. Varo perlahan menghampiri kakak iparnya itu, entah apa yang tengah Kanaya pikirkan sampai ia tidak sadar jika ada seseorang yang duduk di sampingnya.

“Sampai kapan bunda harus bersabar nunggu kamu, Kak.” Gumam Kanaya sendu. Varo yang mendengar pun, menghela nafas pelan. Jadi ini toh, yang membuat kakak iparnya melamun hingga tidak menyadari kehadirannya. Bahkan sampai ia tidak menyadari sekarang sudah magrib.

“Butuh pelukkan?” Tawar Varo pada kakak iparnya yang tengah termenung itu. Ia baru tahu ternyata setelah beberapa tahun Kanaya masih menyimpan kesedihan yang tidak pernah diperlihatkan kepada orang sekitar.

Kanaya tersentak, melihat Varo yang sudah duduk di sampingnya. “Eh.., kamu udah pulang?” Tanya Kanaya. Varo melihat wajah Kanaya sendu, ia tahu perasaan Kanaya yang sudah delapan tahun terpisah dari putri yang ia lahirkan dengan bertaruh nyawa. Tidak ada ibu yang tidak sedih saat kehilangan putri yang dikandung sembilan bulan terlebih Alesha adalah Queen kebanggaan keluarga Agustaf.

Tanpa menjawab pertanyaan Kanaya, Varo membawa bumil yang tengah sedih itu ke dalam pelukannya. “Queen pasti kembali, bersabar lah sebentar lagi, mbak.” Ujar Varo meyakinkan.

Kanaya membalas pelukan Alvaro, “Sampai kapan, Ro? Delapan tahun Alesha ninggalin kita, apa dia baik-baik di luar sana? Mbak takut dia menderita.” Ujar Kanaya yang mulai terisak dalam pelukkan Varo.

“Alesha pasti baik-baik saja, mbak. Dia anak yang kuat, mbak nggak usah khawatir, cukup doain yang terbaik buat Queen dan jangan pernah bosan untuk bersabar.” Varo membiarkan Kanaya menangis dalam pelukannya, hingga beberapa saat kemudian tangis Kanaya mereda.

Varo mengurai pelukan Kanaya setelah tangis Kanaya tidak terdengar dan hanya terdengar azan berkumandang. Ia membawa Kanaya masuk dan mengantarkan ke kamarnya. Setelah itu Alvaro ke kamarya untuk membersihkan diri dan menjalankan shalat magrib sekaligus menunggu isya. Setelah shalat isya, Varo mengajak Kanaya makan malam, selama abangnya tidak di rumah ia harus menjaga dan memperhatikan kesehatan kakak iparnya itu.

“Jadi, kapan kamu ke Purwokerto?” Tanya Kanaya yang tegah mengambilkan nasi adik iparnya itu.

Alvaro mendekatkan piring, menerima nasi yang diambilkan oleh Kanaya, “Lusa, mbak. Setelah bang Dinnar pulang dari Ponorogo.” Jawab Varo.

“Berapa hari di sana, terus kamu nginep di hotel?” Tanya Kanaya lagi.

“Perkiraan sih tiga bulan, kayaknya aku nginep di rumah paman sama bibi deh mbak.” Jawab Varo yang sedang mengambil sayur dan lauk pauk.

Kanaya mengeryitkan dahi, “Lama amat, lagi ada masalah besar ya di Queen hotel?” Tanya Kanaya penasaran, setaunya hotel yang di bangun suaminya beberapa tahun yang lalu itu selama ini baik-baik saja.

“Nggak sih, tapi lagi ada pembangunan restoran baru di samping hotel. Dan bang Dinnar minta aku yang nanganin pembangunan itu. Dengan senang hati aku terima, sekalian mau nengokin makam bapak dan ibu.”Jelas Varo  dan dianggukan faham oleh Kanaya.

Mereka pun menikmati makan malam ditemani keheningan dan hanya terdengar denting sendok yang berbenturan dengan piring makan.  

Bersambung………..       

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status