Share

Quasar
Quasar
Author: Imagenie

1. Dua Mata

Reza tengah di jalan lepas pulang sekolah saat melihat gerombolan anak laki-laki dan perempuan sedang mengerubungi sesuatu. Reza tidak ingin peduli, tapi saat mendengar seseorang terisak, mau tidak mau dia harus berperan sebagai pahlawan kesiangan sejenak.

"Ngapain lagi, sih? Ganggu orang mau pulang aja," gumamnya kesal. Iya, Reza kesal bukan main. Bukan pada si korban, tapi lebih pada dirinya sendiri.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada banyak tepung berceceran di jalan yang sepi. Lumayan pas dijadikan tempat untuk merundungi orang lemah.

Mata Reza menyipit, "SD tetangga, tuh. Kayaknya adik kelas."

Salah satu dari mereka melempari anak malang itu dengan kacang goreng. Reza bersiap untuk berteriak.

"Pak Polisi, ada yang lagi berantem," teriak Reza sekencang-kencangnya dari balik tembok persembunyian.

Sebuah suara sirine berbunyi dari ponsel yang dia bawa. Kelas enam SD bawa ponsel itu bukan hal aneh di zaman serba digital seperti sekarang, kan? Jangan kampungan, deh.

"Polisi, polisi."

"Ada polisi? Kabur, yuk."

"Si Cacat gimana?"

"Udah, tinggalin aja. Buruan kabur."

"Sukurin, bakal ditangkep polisi."

Suara grasak-grusuk dan langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar menjauhi lokasi. Setelah aman, Reza keluar dari persembunyian.

"You okay?" tanya Reza tanpa basa-basi, tanpa pula mau repot-repot membantu si korban yang tampak mengenaskan.

Badannya bau amis karena pecahan telor, rambutnya putih karena tepung. Wajah yang warna-warni penuh coretan spidol. Ah, lama-lama Reza jadi kasihan.

"Ma-makasih," ucap gadis itu dengan suara yang kecil.

Reza menghela napas lalu berjongkok di hadapan gadis itu. "Salah satu dari mereka nyebut kamu cacat. Kok, nggak kelihatan cacatnya di mana."

Iris coklat gadis itu mulai berlinang lagi. Reza kelabakan, "Lho, ngapain nangis? Aku cuma tanya. Kalau kamu beneran berkebutuhan khusus, aku anterin pulang."

Gadis itu menggeleng pelan. Tangan kecilnya memeluk erat tas yang juga kotor oleh tepung dan telor.

"Kamu ...," Reza melirik nametag gadis itu, "Oke, Salma, rumah kamu di mana, biar aku temenin pulang."

"..." Salma tidak menjawab, juga tudak mengiyakan. Ibunya sudah mewanti-wanti untuk berhati-hati dengan orang asing.

"Ck! Mau nggak? Kamu nggak malu pulang bau amis begini? Lihat, badan kamu penuh tepung semua."

Salma kemudian mendongak. Iris coklatnya dalam sepersekian detik mampu menghipnotis Reza.

Hah? Apaan, nih? Aku sakit jantung?

Reza menggelengkan kepala, "Yaudah, kalau enggak mau. Aku pulang."

Baru akan berbalik arah, ujung celana Reza ditarik pelan oleh Salma. Diam-diam Reza tersenyum sombong.

"Kenapa? Dari tadi ditanya diem aja. Bisa ngomong, kan? Atau kamu—"

"Bisa, aku bisa ngomong."

••¤¤••

Tiga anak laki-laki dengan baret 3 bar di pundak sebagai penanda bahwa mereka adalah murid tingkat tiga sedang duduk di atap sekolah. Yang satu sedang asyik makan pocky rasa matcha, yang satu sibuk dengan bukunya, dan yang terakhir sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Murid baru tahun ini cupu semua. Ke mana, sih, dedek-dedek gemes obral paha yang biasa ada di IG?" keluh Dirga, si cowok dengan sebatang pocky tadi.

"Mana ada yang begituan di Cakrawala? Noh, di SMA tetangga banyak Cabe-cabe Anyepnya," sahut Randi, cowok dengan buku fisika di tangannya.

"Apaan Cabe-cabe Anyep?"

"Iya itu, cewek yang udah tahu enggak ada bodinya, tapi mau sok-sokan seksi. Anyep nggak ada rasanya."

Dirga terbahak, "Si Anying. Bawaan doang buku fisika, isi otaknya mah tetep aja porno semua."

"Lah, lo tadi yang mulai bahas cabe, kan? Gue cuma ngelanjutin aja, kok."

"Alesan mulu lo—"

"Berisik amat, sih. Gue empos mulut lo berdua," potong cowok yang sedari tadi diam mendengarkan perdebatan dua sahabatnya.

Reza Mangkulangit, biasa dipanggil Eja oleh orang terdekatnya. Catat, cuma orang terdekat dan yang dia akui saja. Yang cuma sekadar numpang lewat di depannya, jangan coba-coba manggil Eja kalau tidak mau disembur dengan kata-kata pedasnya.

Dalam rantai murid-murid most wanted SMA Cakrawala, Dirga, Randi, Bayu dan Reza adalah yang teratas dari banyaknya murid di sana.

"Ja, lo emang enggak kepanasan dari pagi sampe tengah hari gini masih pake jaket?" tanya Dirga. Aneh saja, matahari sedang ada di atas kepala begini, sahabatnya masih betah memakai jaket.

"Lo mau lihat gue pake kaos oblong doang? Gue nggak bawa seragam."

"Si Gubluk. Lo niat sekolah apa nggak?"

"Ajaran lo kan, Ga? Siapa yang hobi pake sweater ke sekolah kalo bukan lo?" balas Reza telak.

"Buka jaket lo," perintah Randi sambil meletakkan bukunya di atas tas.

"Hah?" Reza dan Dirga langsung menatapnya ngeri. Reza dengan sigap menyilangkan tangan menutupi dadanya.

"Apa-apaan pose lo, Ja? Enggak nafsu gue sama badan lo. Buka jaketnya sekarang."

"Ogah. Mau apa lo nyuruh gue lepas jaket? Gue enggak pakai baju."

"Lo mau pilih nurut atau gue telanjangin sekalian di sini?" ancam Randi. Laki-laki itu melangkah mendekati Reza. Dirga dengan gentle melindungi Reza dengan merentangkan tangannya.

"Stop! Mau ngapain lo? Ran, gue tahu lo stres karena kalah dari Bayu buat dapetin beasiswa ke Amerika, tapi enggak gini juga kali."

"Bacot, Ga. Minggir!" Randi menyingkirkan Dirga dan menarik Reza mendekat.

"Apaan, sih? Ngapain lo narik jaket gue?" protes Reza.

"Nurut aja, Reza! Buka jaket lo. Lo pasti abis main, kan?" bentak Randi. Jika dia sudah tidak memanggilnya dengan nama Eja, tandanya Randi tidak mau dibantah.

Mendengar kata-kata Randi, Dirga langsung menoleh ke arah Reza, sedang yang ditatap hanya mendengus kesal.

Si Gubluk, bikin urusan makin panjang aja.

"Ja, serius? Lo masih main?" tanya Dirga serius. Dengan setengah hati Reza membuka jaketnya. Dirga dan Randi hanya bisa menghela napas lelah.

"Kapan lo mau berhenti?" tanya Randi pelan. Mereka bertiga mendadak punya mood yang sama-sama hancur.

"Enggak usah tanya apa-apa, bisa?" ketus Reza. Dirga tak berkomentar. Matanya fokus menatap apa yang sebenarnya mereka permasalahkan.

"Mikirin apaan, sih, lo, Ja? Bayu masih hidup di NY. Lo tenang aja. Paling dia lagi gencar-gencarnya ngamar sama bule sana."

Plak!

"Woy, mulut seksi gue ini, Anying," protes Dirga saat Randi dengan refleks menyambit mulut Dirga dengan buku fisika miliknya.

"Mulut lo emang beneran kudu di empos sama Eja, Ga. Bayu enggak kayak lo yang isi otaknya ena-ena doang." Randi benar-benar tidak habis pikir, suasana beberapa saat lalu baru saja menegang, dan Dirga malah melawak.

"Siapa tahu aja imannya goyang, kan? Lo tahu sendiri tipe cewek Bayu itu yang kebule-bulean kayak si Sarah anak SMA sebelah." Dirga membela diri, sambil merapat pada Reza yang ogah-ogahan di sebelahnya.

"Mantan gue, Bego."

"Udah mantan, kan? Masih aja diposesifin. Kasihlah, kesempatan buat Bayu itu."

"Bangke."

Sementara mereka berdebat, Reza memakai jaketnya kembali. Mata Reza menerawang ke bawah, pada segrombolan anak perempuan yang sedang berjalan santai di lapangan basket. Titik fokus Reza langsung mengarah ke seorang gadis yang tampak familiar di ingatannya.

Mirip, apa emang si cewek tepung dulu, ya?

"... Ja? Woy, Eja." Reza tersentak saat kepalanya ditempeleng Dirga begitu saja. Reza langsung menoleh dengan tatapan tajamnya.

"Lo apain kepala gue tadi?"

"Wow, santai, Sob. Salah lo sendiri dipanggil enggak gerak. Noh, bini lo nelpon," ucap Dirga dengan cengiran tanda damai.

Reza melirik ponselnya dan langsung mengangkat telepon tersebut, "Hm, ya? Di mana lo?"

"Wa'alaikumsalam, Reza Mangkulangit."

"Assalamu'alaikum, ngapain lo? Lagi di mana?"

"Wa'alaikumsalam, baru beres kelas. Gue lagi makan. Lo udah makan? Lagi jam istirahat, kan?"

Reza mengangguk meski lawan bicaranya tidak akan bisa melihatnya. Keduanya lalu mengobrol sebentar. Sedangkan Randi dan Dirga tak banyak bereaksi. Mengerti kalau keduanya sudah teleponan, tidak boleh ada yang mengganggu.

"Makin mesra aja sahabat lo, Ran," bisik Dirga.

"Makin nggak waras aja otak sama mulut lo, Ga," balas Randi.

"Sialan!"

Bermenit-menit ke depan, Dirga dan Randi hanya menatap punggung Reza yang sedang menelpon tak jauh dari mereka. Entah apa yang mereka pikirkan saat menatap punggung dingin itu. Mungkin mereka sepemikiran kali ini, terbukti saat keduanya saling lirik dan menghela napas.

"Lo berdua masih mau di sini?" tanya Reza setelah selesai mengangkat telepon.

"Udahan kangen-kangenannya? Tumbenan sebentar banget."

"Ran, lo mau ke kantin nggak? Tinggalin aja hama satu ini."

"Yaudah, ayo." Randi menepuk bokongnya, menghilangkan debu yang menempel di celananya lalu bergegas menyusul Reza yang sudah berjalan lebih dulu.

"Lho, kok gue nggak diajak? Eh, Setan." Dirga kemudian ikut menyusul kedua sahabatnya keluar dari atap sekolah.

Jam istirahat menjadi jam sibuknya area kantin sekolah, dan akan semakin berisik saat segerombolan cowok memasuki kampus dengan gayanya masing-masing. Ada yang stay cool, tidak peduli, atau malah tebar pesona.

"Ada apaan, sih?" tanya Dita cewek IPS 3, murid tahun ajaran baru sekolah ini. Masuk bersama sahabatnya, Salma.

"Gils! Itu kan Kak Reza sama gengnya. Mereka itu kakak kelas paling hits di sini," seru Dewi. Ah, ya, selain centil, Dewi ini adalah calon-calon penerus lambe turahnya sekolah. Tukang gosip dan kepo sekali.

"Kenapa bisa hits?" tanya Lidya yang duduk di sampingnya. Dengan mata berbinar Dewi menatap ketiga cowok yang kini duduk tak jauh dari mereka.

"Nih, ya, dengerin baik-baik karena ini adalah informasi pen—"

"Langsung ke intinya aja, Dew, enggak usah kebanyakan pembukaan. Lo mau cerita atau mau baca undang-undang?" potong Dita. Dewi mendengus kesal sejenak.

"Sabar, woy! Oke, gue kenalin kalian sama The Most Wanted guy SMA Cakrawala. Mereka itu kakak kelas paling digemari di sini." Dewi memulai ceritanya. Baik Dita, Salma, maupun Lidya menyimak dengan baik.

"Tuh, cowok yang lagi senyum-senyum itu namanya Dirga. Dia yang paling ramah—"

"Mungkin maksud lo paling tebar pesona?" potong Dita. Dewi memukul kepala Dita dengan sendok makannya yang masih bersih.

"Jangan nyela!"

Dita mengangguk malas. Kembali mendengarkan Dewi.

"Kak Dirga ini kapten futsal. Dia udah beberapa kali bawa timnya menang di beberapa turnamen. Di sebelahnya itu Kak Randi. Piala berjalannya SMA Cakrawala. Ketua OSIS, langganan juara olimpiade. Kalau dia senyum, boom! Lesung pipinya itu bakal bikin kalian melting sampe tumpeh-tumpeh."

"Nah, yang terakhir Kak Eja. Dia nggak punya track record yang menonjol, sih. Dia juga paling dingin di antara mereka bertiga dan suka menyendiri. Nggak terlalu banyak yang merhatiin dia. Padahal dia itu ganteng banget. Cuma kebanting aja sama pesona Kak Dirga dan Kak Randi."

Salma menoleh sekilas ke arah Reza yang juga sedang menatapnya tajam. Menyadari itu, Salma langsung menunduk. Reza sendiri tidak peduli dan kembali sibuk memakan makanannya.

"Sebenernya, masih ada satu orang lagi di antara mereka bertiga. Namanya Bayu, dia lagi ada di Amerika buat pertukaran pelajar. Harusnya dia udah balik minggu ini."

"Semacam kumpulan cowok-cowok tajir melintir dan pinter kayak di novel-novel gitu, ya?"

Dewi mengangguk menatap Lidya. "Bener, Lid. Gue kira yang kayak gitu cuma dalam novel, atau paling nggak, bakal ada di sekolah lain. Ternyata gue ngalamin sendiri."

Lidya dan Dewi cekikikan membayangkan akan seperti apa masa SMA-nya.

"Ah, iya—"

"Masih ada lanjutannya? Gue kira lo udah selesai ngelambe." Dita kembali memotong ucapan Dewi.

"Dibilang jangan nyela!"

"Ck!"

"Tapi gue denger-denger, Kak Reza ini punya masalah psikis gitu. Gue nggak tau sih, tapi, ada yang bilang pernah lihat Kak Reza ketawa sendiri di taman belakang."

"GGS, dong? Ganteng-Ganteng Sinting," celetuk Lidya pelan. Dita langsung mengangguk setuju.

"Ih! Itu, kan, cuma katanya, Lid," bantah Dewi.

"Kita baru dua minggu jadi siswa sini dan lo udah tahu hal sepele kayak gini? Kemampuan gosip sama stalker lo boleh juga."

"Ih! Ini bukan sepele. Gue kan sebelum masuk sini harus cari tahu tentang sekolah ini juga. Dan gue bukan tukang gosip!" elak Dewi.

"Terus namanya apa? Penggibah?"

"Udah-udah, pada nggak mau makan? Bentar lagi bel masuk." lerai Lidya. Dewi membuat pose seakan ingin memukul Dita. Dita hanya tersenyum miring melihatnya.

Kedua mata Salma dan Reza beradu. Salma menatap Reza penuh tanya, sedangkan Reza menatap Salma dingin. Saat mata Salma bergulir ke bawah, bola matanya melebar sejenak lalu menyipit sambil menatap Reza kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status