LOGIN…..
“Lukisannya mengingatkanku pada pemandangan langit sore di pantai Pulau Selatan? Bagaimana menurutmu, Cleo?”
Wanita muda berparas cantik dalam balutan gaun sutra biru yang panjang dan longgar—pilihan bijak untuk hari terik di tengah musim panas, tampak mengangguk setuju. Dari balik hiasan topi berbulu di kepala, mata cokelat tuanya yang sebening Sungai Luminari memandang teduh lukisan yang dimaksud.
“Dilihat dari pembangunan ide, penguasan teknik, kreativitas dan keharmonisan warna, kualitas anak-anak akademi di bidang seni meningkat cukup pesat ya. Jika seseorang datang kepadaku dan berbohong bahwa lukisan ini karya seorang pelukis ternama, mungkin aku akan mempercayainya begitu saja.”
“Komentarmu terlalu berlebihan, Cleo. Aku tahu, kau tidak mungkin sebodoh itu.”
Cleo mengangkat bahunya ringan. “Mau bagaimana lagi, aku berkata jujur.”
Terhitung sudah setahun lulus dari pendidikan tingkat tiga Akademi Kerajaan, beberapa bulan yang lalu, Zelda mendapatkan undangan untuk menghadiri acara pameran seni. Enggan datang seorang diri, ia pun mengajak Cleo—temannya dari sekolah tata krama perempuan, untuk menemaninya. Zelda sengaja memilih Cleo karena kebetulan wanita itu juga alumni sekolah ini.
“Berbicara tentang Pantai Selatan, aku mendadak rindu berlibur ke sana,” ujar Zelda sembari membayangkan suara deburan ombak dan semilir angin sejuk dari balkon penginapan. “Tahun ini aku sangat sibuk sehingga melewatkan kesempatannya.”
“Sebaiknya kau undur dulu niat berliburmu itu.”
“Apa masalahnya? Ayah tidak mungkin menolak permintaanku.”
“Orang-orang Benua Utama berlibur ke Pulau Selatan untuk menghindari siksaan musim dingin. Kalau kau pergi di tengah musim panas seperti sekarang, kau akan mati kegerahan, Zelda.”
Zelda mengerjapkan matanya yang berbulu lentik, kelihatan cukup syok. “Benarkah itu?”
“Pulau Selatan termasuk wilayah tropis. Pulau itu panas sepanjang tahun, ditambah lagi tingkat kelembabannya sangat tinggi.” Cleo membuka kipas tangan berendanya, mengibas cepat benda itu. “Coba aku tanya, apa tujuanmu berlibur ke Pulau Selatan di tengah musim panas?”
“Menghindari musim panas.”
“Menghindari musim panas ke wilayah tropis? Sebagai orang yang lahir dan tinggal di daerah empat musim, mengunjungi Pulau Selatan adalah keputusan gegabah.”
Zelda sejenak kehilangan kata-kata. “Ucapanmu masuk akal. Pulau itu pasti sepanas neraka sekarang. Bagaimana cara penduduknya bisa bertahan hidup ya?”
Cleo sontak menutupi bibirnya menggunakan kipas tangan, menyembunyikan tawa kecilnya dengan gerakan anggun. Ia melirik sahabatnya yang kebingungan, seolah ini pertama kalinya mendengar cerita tentang eksotiknya iklim di Pulau Selatan.
“Zelda, mereka pasti sudah beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka tinggal,” jelas Cleo mulai bersemangat. “Karena sejak diciptakan, manusia dibekali insting bertahan hidup. Jika tidak, mungkin sudah lama manusia punah dari muka bumi ini.”
Di sela diskusi, Cleo menyempatkan diri menyapukan pandangannya ke sekitar. Beberapa pria bangsawan yang tak sengaja berkontak mata dengannya buru-buru menganggukkan kepala, bersikap sopan.
“Aku tidak mengira musim panas di Pulau Selatan akan semengerikan itu,” ungkap Zelda prihatin. “Pantas para bangsawan berkunjung saat musim dingin saja.”
“Pulau Selatan termasuk daerah teritorial Dorian Dukedom. Namun, gaya hidup dan budaya mereka jauh berbeda dengan budaya masyarakat Dorian di Benua Utama. Kalau kau mengamati keseharian penduduk Pulau Selatan lebih teliti, desain pakaian mereka dirancang sederhana. Kain yang digunakan pun umumnya katun atau linen yang gampang menyerap keringat. Selain itu, rumah-rumah yang mereka sewakan sebagai penginapan memiliki arsitektur bangunan dengan banyak jendela, gunanya untuk mempermudah sirkulasi udara.”
Tak terasa hari mulai beranjak siang. Aula sekolah perlahan dipadati pengunjung. Lelah mengipasi diri dan tidak kuat lagi dengan keramaian pameran, Zelda yang butuh udara segar mengajak Cleo keluar untuk beristirahat di taman sekolah. Menggelar tikar di bawah rindang pohon sepertinya ide yang bagus.
“Cleo, lihat siapa yang baru saja kutemukan?!” seru Zelda kegirangan. Melupakan jantungnya yang bergemuruh hebat, wanita itu berusaha tetap tenang dan melanjutkan langkahnya. Sembari terus menatap ke depan, sudut matanya tak kuasa mengabaikan kehadiran sang pangeran. Diam-diam ia mengintip sosok pria berambut pirang yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada.
Namun, ketika pandangan keduanya tak sengaja bertemu, Zelda justru berakhir panik. Ia pun mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menjaga sikap. Kelembutan wajahnya memang tak berubah, hanya dagunya terangkat sedikit lebih tinggi dari biasanya. Seulas senyum tipis menghiasi bibir, menyadari mata sang pangeran tertuju padanya.
Zelda dan Cleo memutuskan untuk tinggal saat Alden dan kawan-kawannya berjalan menghampiri mereka. Begitu jarak hanya terpaut tiga langkah, Zelda dan Cleo segera menyapa para pria terhormat itu.
“Salam hormat kami, Yang Mulia Pangeran.”
Zelda memperhatikan wajah pangeran, mencari tahu reaksinya. Pagi ini, ia rela bangun lebih awal untuk mempersolek diri, berharap calon tunangannya terpesona saat mereka berjumpa nanti. Zelda tahu, pria yang tengah menempuh pendidikan tingkat empat di Akademi Kerajaan itu menyukai wanita cantik.
“A-apa-apaan ini! K-kenapa pangeran mengabaikanku?” batin Zelda tersinggung mengetahui mata Alden tak lagi melihatnya. Mengikuti arah pandangan pria itu, Zelda terkejut mendapati sosok pangeran yang tampak terpikat pada keelokan Cleo Austin.
“Zelda, dari keluarga manakah lady cantik ini berasal? Sepertinya aku belum pernah melihatnya di Ibu Kota.”
Zelda menarik bibir, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya. Hatinya sesak menyaksikan Alden yang biasa memujinya di setiap pertemuan mereka, kini justru memandangi Cleo yang sorot penuh kekaguman.
“Saya… saya beruntung bisa memperkenalkan Lady Cleo Austin kepada Anda, Yang Mulia,” kata Zelda ragu. Tembok kesabarannya tergelitik oleh rasa cemburu yang mulai menggila.
“Austin? Ah, jangan-jangan yang kau maksud keluarga Marquess Austin?” Seolah sengaja mengabaikan keberadaan Zelda, Alden tak malu memandangi Cleo dengan ketertarikan yang kentara. “Oh Lady Austin, senang bisa berkenalan dengan wanita mempesona sepertimu. Apakah kau menyukai lukisan? Atau mungkin, kau lebih suka keramik?”
Belum juga pulih dari ketersinggungan, Zelda berubah geram begitu mendapati Cleo yang berpura-pura antusias menanggapi pangeran. Dari tempatnya berdiri, ia tahu perhatian wanita itu tertuju pada sahabat Alden, yakni Duke Muda Sander Dorian. Sikap Cleo kepada Alden dinilainya sangat tidak sopan.
“Saya menyukai keduanya, Yang Mulia.”
“Sempurna!” Alden tiba-tiba mengulurkan tangan dan tindakan tersebut mengejutkan semua orang. “Lady Austin, izinkan aku memperkenalkanmu kepada salah satu guru besar seni Akademi Kerajaan. Beliau orang tua yang berwawasan luas dan sangat ramah. Kau pasti menyukainya.”
Cleo mengamati uluran tangan Alden. Kembali menutupi senyumnya dengan kipas tangan berenda, Cleo menolak sopan tawaran tersebut. “Maafkan saya, Yang Mulia. Saya menghargai niat baik Anda, tetapi saya tidak memerlukan pengenalan lebih lanjut. Sebenarnya, saya dan Profesor Lucas berteman cukup baik,” ucap Cleo hangat.
“Sungguh? Aku tidak menyangka, kau berteman baik dengan Profesor Lucas. Kalian sering bertemu di acara pameran seni di tempat lain?” tanya Alden, perlahan menarik tangannya yang tak bersambut.
Cleo mengangguk dengan anggun, lalu menjawab, “Saya pernah mengikuti kelas beliau di tahun pertama saya.”
Mata Alden sontak berbinar. Kabar itu mengejutkannya. “Luar biasa, ternyata Lady Austin mantan murid Profesor Lucas. Bolehkan saya tahu, tingkat dan tahun berapa kau lulus, Lady Austin?”
“Tingkat tiga di tahun 187, Yang Mulia.”
“Ternyata kau seumuran denganku. Kenapa tidak melanjutkan pendidikanmu sampai tingkat empat? Kalau dulu kau melanjutkannya, mungkin kita sudah berteman sekarang.”
“Pendidikan tingkat tiga sudah cukup tinggi bagi seorang wanita seperti saya. Akademi Kerajaan telah membekali saya banyak pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat. Namun, untuk saat ini, saya lebih tertarik mengembangkan pengalaman di luar kelas, memperluas koneksi saya dengan orang-orang hebat,” jawab Cleo percaya diri tetapi tetap rendah hati.
Alden sontak menyenggol bahu sahabatnya seraya mengerling jenaka. “Dengarkan itu, Carl. Pendidikan memang penting, tetapi bersosialisasi juga sama pentingnya. Jangan hanya pedangmu saja yang diurus, rakyat juga butuh perhatianmu.”
Carl memincingkan mata, merasa tersindir. Setelah ditenangkan Sander, pria itu mampu menguasai dirinya lagi. “Saya menggunakan pedang untuk melindungi rakyat. Apa gunanya bersosialisasi jika keselamatan rakyat tidak terjamin.”
"Dasar bocah keras kepala." Alden menatap Zelda dan Cleo bergantian. Dengan sikap bangga, ia kemudian memperkenalkan mereka kepada kawan-kawannya. “Lady Adler,” katanya, “izinkan aku memperkenalkanmu kepada dua teman baikku, Duke Muda Sander Dorian dan Duke Muda Carl Leander.”
Zelda tersenyum manis, lalu menganggukkan kepala. Ia sering melihat keduanya di Ibu Kota, tetapi ini pertama kalinya mereka berkenalan secara resmi.
Ketika tiba giliran Alden memperkenalkan Sander kepada Cleo, alih-alih membalas perkenalan itu dengan basa-basi biasa, Sander justru melangkah maju dan berkata, “Senang akhirnya bisa berjumpa denganmu, Lady Austin.”
Ucapannya berhasil menarik perhatian semua orang, terutama Cleo.
“Kalian sudah saling kenal?” tanya Alden penasaran.
“Saya mengenalnya, meskipun Lady Austin mungkin belum menyadarinya.”
Ragu, Cleo membalas dengan tertawa kecil. “Jika memang kita pernah bertemu, saya rasa ingatan saya tidak sebagus yang saya kira. Lord Sander, bersediakah Anda memperjelas kapan dan di mana pertemuan itu terjadi?”
Sander tertegun, menyadari ia telah melakukan kesalahan. “Milady, sebenarnya kita belum pernah bertemu secara langsung hingga hari ini. Namun, saya sudah mengenal keluarga Anda dengan sangat baik.”
“Benarkah itu? Kebetulan ini mengejutkan sekali.”
“Mungkin sebentar lagi surat Marquess Austin akan tiba di kediaman Anda.”
“Surat?”
…..
…..Sir Cato berusaha menenangkan kudanya yang meringik gelisah ketika dipasangi pelana. Tugas malam ini cukup merepotkan. Sang duke muda memerintahkannya pergi ke penjara bawah tanah, menjemput tahanan yang rencananya akan dipindahkan ke wilayah terluar Dorian. Demi keamanan, proses pemindahan sengaja dilakukan saat tengah malam untuk menghindari kecurigaan.“Hari ini akan jadi hari yang panjang,” ujar Sir Cato sembari merapatkan jubah hitamnya. Meski musim panas, udara malam di Dorian tetap terasa dingin. “Hah… setidaknya satu masalah di manor berhasil dibereskan.”Pintu masuk penjara terbuka. Beberapa bawahan Sir Cato tampak menyeret keluar seorang tahanan wanita. Gaun lusuh berdarah masih ia kenakan. Tanpa mempedulikan rintihan pilunya, para bawahan Sir Cato melemparkan wanita itu ke dalam kereta barang. Mereka lalu mengunci pintu kereta, memastikan agar tahanan tak bisa kabur selama perjalanan.“Musnahkan semua barang-barangnya. Jangan sisakan satu bukti pun,” perintah Sir Cato p
…..“Pelan-pelan, atur napas Anda!” seru dokter yang memimpin proses kelahiran bayi Abby. “Tarik napas melalui hidung, keluarkan melalui mulut. Ya… betul, seperti itu.”Sesuai perkiraan, Abby melahirkan di pertengahan musim panas, tepat saat musim sosial baru dimulai. Jika biasanya para calon ibu ditemani suami mereka menghadapi situasi genting ini, maka berbeda dengan kasus Abby. Ia tak bersuami dan tak berkeluarga. Gadis malang itu berjuang sendirian, melahirkan bayinya di dalam penjara.“Bagus! Tetap rileks. Ujung kepala bayinya sudah terlihat!” seru dokter pada asistennya.Jeritan Abby menggema di sepanjang lorong batu yang lembap. Suara itu parau dan terputus-putus oleh isakan. Butiran keringat bercucuran di pelipisnya, menetes ke leher, membasahi gaun lusuh yang kini berlumuran darah dan air ketuban. Tubuhnya tampak kejang menahan sakit. Setiap kontraksi datang seperti gelombang siksaan yang membuatnya hampir kehilangan kesadaran.“S-saya… tidak kuat…” ratapnya di sela tangis.“
…..Lengkingan rasa sakit menyentak kesadaran para penghuni Istana Dahlia. Tamparan keras yang menyapu pipi kiri Zelda sukses merontokkan sikap arogan wanita itu. Alden, yang selama ini selalu sibuk mengurus masalah negara, tiba-tiba saja bertandang ke kamar hanya untuk menghardiknya di hadapan para pelayan. Disergap rasa malu yang tak tertahankan, Zelda menangis dalam kebisuan.“Selain Putri Mahkota, semua orang segera tinggalkan tempat ini!” teriak Alden penuh amarah.Kamar pribadi Zelda menjadi lengang begitu dikosongkan. Teror menbanjiri batin wanita itu. Kepalan tangan Alden yang kokoh tampak menyakitkan. Sembari berusaha menciptakan jarak aman, kepala Zelda sibuk bertanya-tanya. Kejahatan mana yang telah terendus Alden hingga pangeran bisa semarah ini?“Yang Mulia, saya tahu bahwa selama ini Anda tidak pernah mencintai saya. Namun, apakah perbuatan yang bijak mempermalukan istri Anda seperti ini?” seru Zelda mencoba membela diri. “Bagaimana pun juga, saya adalah ibu dari Pangera
…..Jika membandingkan kehidupan penjara sebelum dan sesudah kehamilannya terkonfirmasi, Abby bersyukur karena sekarang ia diperbolehkan menikmati makanan hangat yang layak konsumsi, atau matras tipis pengganti lantai batu sebagai tempat pembaringannya. Meskipun sikap para petugas penjara masih dingin, mereka tidak lagi memperlakukannya sekasar dulu. Sembari mengelus perut yang belum membesar, setiap waktu Abby selalu menyempatkan diri untuk mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada janin dalam kandungannya. Tanpa kehadiran janin ini, mungkin Duke Muda Dorian sudah lama menghabisinya, lalu membuang jasadnya ke dasar laut di pantai selatan.Selain menunggu jatah makanan atau melakukan pemeriksaan rutin bersama dokter, kegiatan sehari-hari Abby selama masa kehamilannya di penjara adalah belajar membaca dan menulis. Sebagai seseorang yang hidupnya kurang beruntung, buku ia anggap layaknya benda keramat. Menyentuhnya saja sulit, apalagi memilikinya. Selama bekerja menjadi pelayan pribadi
…..Derit pintu yang terbuka menyedot perhatian Sander dari buku di tangannya. Penjelasan tentang dasar ilmu ekonomi makro langsung buyar dari kepala. Pria itu mengira, setelah pertengkaran sengit pagi ini, rasa lelah akan mengantarkannya ke alam mimpi. Sayang sekali, amarah yang tak kunjung padam justru menghalanginya untuk jatuh terlelap.Sementara itu, di ambang pintu ruang kerja, terlihat sosok Cleo Austin, tengah memandanginya dengan wajah putus asa.“Lord, kita perlu bicara.”“Jika kau masih belum berubah pikiran, lebih baik tinggalkan aku sendiri.”“Kenapa bukan Anda saja yang berubah pikiran?”Kening Sander mengernyit dalam. Pria itu segera menyingkirkan buku yang menghalangi pandangannya. Ia yang awalnya berbaring santai di atas sofa tamu, buru-buru duduk sembari menampilkan ekspresi tegang. Butuh satu menit untuknya mencari balasan yang tepat.“Kau sungguh egois.”Cleo meremas lipatan gaunnya, menahan rasa dongkol yang bercongkol di dada. Menurutnya, kata egois lebih cocok d
…..Perut Cleo bergejolak tatkala indera penciumannya mengendus bau penjara yang pengap dan lembap. Sekujur tubuhnya merinding, merasakan udara dingin menusuk jubah panjang berbulu yang dikenakannya. Kondisi itu semakin diperparah begitu bau pesing bercampur darah datang menghajarnya. Cleo yang tak tahan dengan sambutan tak mengenakkan ini akhirnya tumbang, memuntahkan isi perutnya di pojok ruangan.“Madam!” seru Sir Hale panik. Pria itu gelagapan, tak terbiasa melayani seorang perempuan. Tangannya meraba-raba kantong baju dan celana, berharap menemukan selembar sapu tangan bersih. “Jika Anda tidak kuat, Anda tidak perlu menemui pelayan itu. Mari, saya antarkan pulang ke manor.”Cleo terbatuk kecil, tersedak ludahnya. “Uhuk! Jangan,” tolaknya cepat. “Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri dan memastikan kebenarannya.”Sebelum memutuskan masuk ke penjara, Sir Hale sudah lebih dulu memberitahu informasi terpenting dari pertemuan ini. Tentu saja, kabar kehamilan Abby membuat Cleo






