…..
Pulang ke penginapannya di Ibu Kota, pelayan bernama Dory menyambut Cleo dengan sepucuk surat di tangan. Ia mengatakan, petugas pos terlambat mengirimkan surat Cleo, beralasan jika kereta mereka mengalami kendala di perjalanan sehingga surat yang seharusnya sampai seminggu yang lalu baru bisa tiba siang ini.
“Terima kasih,” ucap Cleo saat menerima surat itu.
Duduk di depan meja rias, kepala Cleo diliputi banyak pertanyaan. Ia mengira, Sander hanya membual saja. Faktanya, surat dari rumah telah datang.
Usai membersihkan diri dan mengenakan gaun tidur, Cleo yang beres mengoleskan krim kecantikan di wajahnya, membawa surat itu ke atas ranjang. Sembari berbaring, ia membacanya di bawah temaram cahaya lilin.
“Duke Dorian melamarku untuk putranya?!” seru Cleo terkejut sampai terduduk kembali.
Mendadak, wajah tampan Sander bertebaran di benak Cleo. Pria muda yang sukses menarik perhatiannya di pertemuan pertama mereka ternyata calon tunangannya. Pantas saja, sepanjang bincang-bincang mereka bersama Alden dan yang lain, Cleo menyadari Sander yang terus mencuri pandang ke arahnya.
Sebagai bangsawan pinggiran, adalah hal lumrah bagi Cleo, kesulitan mendapatkan kesempatan untuk bersosialisasi dengan para bangsawan. Setelah lulus sekolah, Cleo yang menyadari betapa pentingnya koneksi dan relasi memutuskan tinggal sementara waktu di Ibu Kota. Selain memperluas lingkup pertemanannya, tinggal di Ibu Kota menjadi langkah besar Cleo untuk mencari calon suami yang berkualitas, baik dari segi pendidikan, status maupun kekayaan. Ibu Kota sendiri adalah ladang mencari jodoh terbaik karena di sinilah dunia sosialita bangsawan Elinor berkembang.
“Setahuku, reputasi Duke Muda Sander sangat baik. Dia jarang terlibat skandal. Jika ayah dan ibu memintaku untuk mempertimbangkan baik-baik lamaran ini, sepertinya mereka tidak ingin aku menolaknya.”
Cleo meletakkan surat itu ke atas nakas di samping ranjang. Pikiran wanita itu berputar cepat, memikirkan masa depannya. Lamaran ini, jika diterima, bukan hanya soal pernikahan, tetapi akan mempengaruhi posisi sosialnya di Dorian dan Elinor. Berdasarkan pengalamannya tinggal di Ibu Kota beberapa tahun ini, ia mengerti bahwa dunia sosialita merupakan medan pertempuran yang tak kasat mata. Para bangsawan saling bersaing membangun citra, dan yang paling kentara, mereka memperkuat kedudukan melalui pernikahan yang menguntungkan.
Setiap acara minum teh, pesta dansa, atau bahkan pertemuan kecil sekalipun, para madam dan lady selalu mencari cara menonjolkan kelebihan pasangan mereka. Ada yang membanggakan pangkat militer suaminya, ada pula yang memamerkan jumlah perkebunan keluarga milik calon mertua mereka. Beberapa bahkan dengan bangga menyebutkan hubungan jauhnya dengan raja, meski namanya tidak pernah tercantum di buku silsilah Keluarga Kerajaan.
Cleo duduk tegak, matanya tertuju pada bayangan yang terpantul di cermin. “Apakah aku siap meninggalkan dunia lajangku dan mengabdikan diri kepada suamiku?” pikirnya masih ragu. “Jika aku menerima lamaran ini,” lanjut Cleo, “maka aku bukan lagi Cleo dari Keluarga Austin, tetapi tunangan Duke Muda Sander Dorian, calon duchess Dorian. Itu berarti, aku akan dihormati, disorot, dan… mungkin ditakuti.”
Wajah Cleo menegang, membayangkan dirinya menghadiri pesta dansa, berjalan mengapit lengan Sander. Semua mata akan tertuju pada mereka, bertanya-tanya bagaimana seorang wanita dari keluarga bangsawan pinggiran sepertinya mampu menaklukan pria semenawan Sander Dorian.
Namun, Cleo pun sadar, semua kemewahan itu tidak mungkin datang tanpa tantangan. Kehidupan sosialita bukan hanya tentang ajang saling pamer pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga tentang bertahan dari gosip dan perundungan. Jika Cleo menerima lamaran ini, ia harus mempersiapkan diri menghadapi kecemburuan serta sindiran pedas dibalut kata-kata pujian dari para bangsawan. Cleo sangat yakin, untuk ukuran pria sesempurna Sander, pasti memiliki banyak penggemar.
Cleo mencoba mengingat lagi nasihat ibunya sebelum ia berangkat ke Ibu Kota. ‘Dunia bangsawan hanyalah panggung, Nak. Kau harus tahu kapan berbicara, kapan diam, dan kapan tersenyum meskipun hatimu tak ingin.’
Wanita lulusan terbaik Akademi Kerajaan di tahun angkatannya itu menarik napas panjang. Ia bangkit dari ranjang, membuka jendela kamar, membiarkan angin malam masuk dan mendinginkan kepalanya. “Aku tidak mungkin mundur. Jika ingin menjadi nomor satu di dunia sosialita Elinor yang keras, aku harus berani mengambil risiko.”
Cleo duduk kembali di kursi meja riasnya, mengambil pena serta kertas dari laci. Dengan hati-hati dan penuh perhitungan, ia mulai menulis surat balasan untuk orang tuanya. Di akhir surat, hatinya berdebar hebat saat menuliskan kalimat ini:
“Jika Ayah dan Ibu merestui lamaran Duke Dorian, maka saya siap menyambut Duke Muda Sander sebagai calon pendamping saya.”
Cleo menyegel surat itu dan meletakkannya di atas meja. Ia akan mengantarkannya ke kantor pos besok pagi.
…..
Ketukan di pintu kamar membangunkan Cleo dari tidur nyenyaknya. Di luar, Dory memberitahukan jika sarapan telah siap. Sembari menguap lebar, Cleo membuka selimut lalu turun dari ranjang. Setelah mencuci muka dan berganti baju, wanita itu keluar dari kamar.
“Selamat pagi, Lady Austin,” sapa Dory ramah, mempersilakan Cleo untuk duduk. “Sebelum saya lupa, saya ingin memberikan surat ini kepada Anda.”
“Surat? Kali ini dari siapa?”
Dory mengeluarkan amplop dari kantong celemeknya. “Duke Muda Sander Dorian.”
Mata cokelat Cleo membola. Untung saja ia belum menyeruput tehnya sehingga peristiwa memalukan tidak terjadi padanya pagi ini. “D-duke Muda Sander kau bilang?”
“Benar Lady. Jika Anda masih ragu, saya yakin di bagian depan amplop tertulis nama pengirimnya.”
Terbawa suasana, Cleo sampai menganggurkan potongan roti panggang yang diolesi madu di atas meja makan. Pandangan wanita itu terpaku lama pada amplop merah muda di tangan, mengeja kata demi kata nama si pengirim.
Sander Arthur Dorian.
“Kenapa tiba-tiba Duke Muda Sander mengirimiku surat? Apakah dia ingin menegur ketidaksopananku karena menolak ajakan Pangeran Alden tempo hari?” batinnya khawatir.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Cleo kembali teringat pada ketampanan dan kewibawaan sahabat Alden itu. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, sejujurnya ia tidak keberatan jika surat ini memang benar surat teguran. Karena dengan datangnya surat ini memberikannya sebuah alasan untuk bisa berkomunikasi dengan Sander.
Cleo menyentuhnya hati-hati, seolah amplop merah muda itu benda rapuh yang bisa pecah kapan saja. Ketika berhasil membuka segelnya, Cleo perlahan mengeluarkan lembaran kertas beraroma bunga lavender yang dinodai tulisan tangan rapi milik pria bernama Sander.
Mata cokelat Cleo menyusuri baris-baris awal surat tersebut penuh ketelitian.
Lady Cleo Austin yang terhormat,
Saya harap surat ini menemukan Anda dalam keadaan sehat dan bahagia. Saya akui, surat ini sedikit mendadak, tetapi saya tidak boleh menundanya lebih lama lagi. Dalam beberapa hari ke depan, istana akan menyelenggarakan pesta dansa untuk merayakan diangkatnya Pangeran Alden Lysander sebagai pangeran mahkota. Saya dengan penuh kerendahan hati, menginginkan Anda menjadi pasangan saya di acara tersebut.
Cleo berhenti membaca sejenak, memandangi tulisan itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya gemetaran. Ia membaca ulang kalimat terakhir untuk memastikan dirinya tak salah paham.
“Pasangan?” gumamnya masih belum percaya.
Saya memahami bahwa permintaan ini mungkin saja membebani hati Anda. Saya berharap, Anda mau mempertimbangkannya dengan hati yang lapang. Saya menantikan jawaban Anda, Lady Austin.
Hormat saya,
Sander Arthur Dorian.
Cleo mengatur napas, menangkan diri dari keterkejutan yang menghantam jiwanya. Sander ingin menjadikannya pasangan di pesta dansa kerajaan? Perkembangan hubungan ini terasa kelewat cepat, lebih lancar daripada yang pernah ia bayangkan.
Ingatannya berputar pada interaksi mereka di aula Akademi Kerjaan. Senyum hangat Sander, caranya mencuri pandang, nada suaranya yang tenang— ternyata semua itu bukan sekadar basa-basi biasa. Cleo mengerti, ternyata Sander benar-benar tertarik padanya. Pria itu berani mengambil langkah besar untuk memperjelas niatnya.
Cleo meletakkan suratnya di meja, menatap sarapan yang hampir tak tersentuh. Tidak ada waktu untuk melamun, batinnya. Ia pun menghabiskan makanannya, lalu pergi ke kamar untuk menulis surat lagi. Orang tuanya pasti senang menerima kabar baik ini.
…..
…..Ratu Shopie telah menetapkan jadwal ketat selama masa kehamilannya. Zelda tidak diperbolehkan menghadiri pesta dansa dan tidak diizinkan keluar tanpa pendamping resmi yang ditunjuk langsung oleh istana. Kebebasannya dirampas, dan kini, satu-satunya hiburan Zelda adalah menyapa para tamu lansia yang datang atas undangan sang ratu, mengajaknya bermain kartu, atau mengenang masa muda yang tidak pernah relevan dengannya.Sepanjang hari, Zelda hanya bisa tersenyum palsu sembari membelai perutnya yang mulai membuncit. Alden bahkan tidak tidur sekamar lagi dengannya. Sibuk. Terlalu banyak urusan parlemen, pertemuan diplomatik, dan persiapan kunjungan kenegaraan ke Anzoria untuk menjemput selir baru.Zelda gigit bibir, menahan rasa getir yang sudah berbulan-bulan mengendap. Seharusnya masa kehamilan seorang wanita menjadi momen paling berharga dalam hidupnya. Seharusnya ia dipuja, dimanjakan, dan dimuliakan. Bukankah ia sedang mengandung pewaris masa depan tahta Elinor?Sekarang, istana
…..Cleo Dorian duduk bersila di atas permadani, dikelilingi lautan kain satin, renda-renda tua, dan beberapa kotak penyimpanan yang dibuka setengah hati. Di depannya, tergelar beberapa potong gaun malam warna pastel yang sudah tidak ia pakai lebih dari dua musim. Gaun-gaun itu masih cantik, tetapi sebagian besar sudah ketinggalan tren.“Sudah waktunya kalian mendapatkan pemilik baru.”Kewalahan dengan banyaknya gaun yang terlantar, Cleo memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia terlihat membaca katalog kain dan busana yang didapatkannya dari rumah mode terkenal yang biasa menjadi langganan bangsawan. Mendadak, Cleo merasa tergoda untuk memborong beberapa karya mereka setelah melihat koleksi dari sketsa gaun musim dingin.Ketika asyik membolak-balikan halaman katalog, mata Cleo tak sengaja menangkap bayangan seorang gadis di ambang pintu.Abby.Pelayan muda itu mengenakan celemek abu pucat. Begitu menyadari Cleo sedang memandanginya, Abby yang sempat gelagapan akhirnya melangkah maju.
…..Ketukan ringan terdengar dari arah pintu. Cleo yang sedang asyik berdandan segera bangkit untuk membukanya sendiri. Wanita itu tampak terkejut melihat siapa yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Lady Adelaine Denta Leander datang berkunjung.“Selamat pagi, Lady Austin,” sapanya santun.“Selamat pagi, Lady Denta,” jawab Cleo. “Silakan masuk.”Adelaine mengikuti Cleo dan berhenti tak jauh dari meja teh yang belum dibereskan pelayan. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu. Kotak itu tampak tua, tetapi terawat dengan sangat baik.“Saya tahu waktu Anda terbatas,” ujar Adelaine, matanya masih enggan menatap langsung. “Dan saya bukan orang yang pandai bicara. Sebelum Anda berangkat, saya ingin menyampaikan permohonan maaf.”Cleo kembali terkejut. “Ya?”“Jika selama ini saya bersikap kasar atau menutup diri, itu semua bukan karena saya membenci Anda.” Adelaine menyodorkan kotak yang dibawanya. “Ini... untuk Anda. Hadiah perpisahan.”Kotak itu segera diterima Cleo dengan dua tangan.
…..Kicau burung dari kebun bawah berpadu harmonis dengan denting halus cangkir porselen yang disentuhkan Cleo ke piring tatakan. Uap teh beraroma kamomil mengepul pelan di sela mereka.Sander duduk bersandar ringan di kursi berlengan, mengenakan jubah tidur berwarna hitam dan kemeja tipis. Rambutnya masih berantakan, dan satu kancing di bagian atas bajunya dibiarkan terbuka, memperlihatkan sedikit kulit lehernya yang hangat tersentuh sinar matahari pagi. Sorot matanya tertuju pada Cleo yang tampak lebih gelisah dari biasanya, meskipun ia berusaha menyamarkan dengan senyum tenang dan tangan yang terampil menuangkan teh kedua untuknya.Tanpa berkata apa-apa, Sander menyentuh jemari Cleo pelan, membiarkan punggung tangannya menyentuh punggung tangan sang istri. Sentuhan itu ringan—seperti isyarat bahwa ia ada, dan mendengarkan.“Sepertinya sesuatu mengganggumu sejak kemarin,” ucap Sander pelan. Ia tidak menyuarakannya sebagai tuduhan, melainkan sebagai undangan untuk bicara.Cleo menata
…..Kereta kuda melaju pelan di jalanan menurun, dibayangi pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang di sisi kanan dan kiri. Embun pagi masih menggantung di udara, menyelimuti segala sesuatu dengan kelembapan lembut yang menenangkan. Di kejauhan, kabut mulai terangkat dari aliran air perak yang membentang seperti pita raksasa—Sungai Luminari, garis perbatasan alami yang selama berabad-abad memisahkan dua dunia, Dorian di barat dan Elinor di timur.Cleo menyingkap tirai kereta dan menatap keluar. Matanya menangkap pemandangan jembatan batu yang terbentang megah melintasi sungai itu. Struktur kokohnya berdiri tegak di atas arus yang deras. “Apakah itu Luminari?” tanyanya dengan suara tertahan.Sander mengangguk. “Ya, dan seberangnya nanti adalah tanah Leander Dukedom.”Kereta berhenti di kaki jembatan. Sander turun lebih dulu, lalu menawarkan tangannya pada Cleo. Mereka berjalan hingga tengah jembatan, membiarkan angin membawa suara riak sungai dan aroma basah dari rerumputan di kejauhan.
…..Langit malam di Pegunungan Adler tampak benderang oleh cahaya bulan yang menggantung utuh, membasuh lembah dengan sinar keperakannya yang lembut. Udara dipenuhi aroma rumput basah dan kayu pinus, menguar dari rimbunnya hutan di sekeliling. Seolah alam pun tengah bersiap menyambut sesuatu yang sakral dan tak terucapkan.Dari villa yang berdiri anggun di lereng bukit, Cleo melangkah turun bersama Sander. Gaun musim panasnya yang sederhana tersembunyi sebagian di balik mantel ringan berbahan wol. Rona keemasan dari lentera di halaman memantulkan kilau halus pada rambutnya, yang ia biarkan terurai malam itu.“Saya mendadak merasa gugup,” bisiknya, setengah kagum saat pandangannya tertuju ke seberang lembah. Nyala obor dari rumah-rumah penduduk desa tampak seperti kunang-kunang yang merayap menuruni lereng, membentuk alur cahaya yang hidup.Sander tersenyum kecil, menyesuaikan langkahnya agar selaras dengan Cleo. “Festival lentera dimulai setelah matahari benar-benar tenggelam,” ujarny