Share

Tabu

"Apa?!"

"Apa yang barusan Dewi katakan?!"

"Apakah Dewi baru saja memanggil gelandangan itu sebagai Tuan?"

Semua orang terkejut dan tidak mempercayainya.

Saking terkejutnya, bahkan sampai ada yang menampar pipinya sendiri.

"Plak!"

"Auh...sakit! Ini bukan mimpi!"

"Tidak mungkin! Ini benar-benar tidak mungkin!"

"Dewiku... Dewi Bell yang selama ini aku puja dan kagumi ternyata memanggilnya Tuan?"

"Ini... ini... apakah ini Neraka?"

....

Mengabaikan semua keterkejutan disekitarnya, ekpresi Bella masih hormat dan dengan lembut sedikit melirik gelandangan di sampingnya, dan membuka bibirnya, "Tuan, apakah Anda membutuhkan---"

"Aku perlu membersihkan diri." Suara ringan dan acuh tak acuh terdengar.

"Membersihkan diri?" Bella terkejut dan segera mengangkat kepalanya.

Tapi wanita itu tidak memiliki waktu untuk terkejut dan harus segera mengejar orang dia panggil "tuan" itu kedalam hotel.

Seperti seorang pelayan, Bella menunjukkan jalan kepada pria tanpa identitas itu, dan tidak sekalipun bersuara.

Arabella Bella, artis yang selama ini dikagumi banyak orang dan dipuja sebagai Dewi itu ternyata berjalan dibelakang pria asing itu dengan sikap hormat dan tenang.

Pemandangan seperti itu, bahkan jika sekarang banyak orang di hotel, tidak ada seorangpun yang bisa mencernanya sama sekali.

Semua orang terdiam, dan hanya bisa menyaksikan Dewi mereka pergi begitu saja tanpa bersuara.

Hanya ketika Bella dan pria asing itu masuk lift, ledakan ekpresi segera terjadi di antara semua.

"Woow! Ini benar-benar berita besar!"

"Dewi Bell yang selama ini dikira banyak orang tidak tertarik pada pria ternyata telah memilih seorang gelandangan!"

"Selain memilihnya, dia bahkan juga memanggilnya sebagai tuan."

"Bukan hanya itu saja! Tapi Bella yang selama ini di panggil Dewi ternyata juga memiliki panggilan akrab "bebek" pada namanya."

"Ini... ini... ini benar-benar ledakan besar!"

"Jika berita seperti ini diterbitkan, besok pasti akan menjadi headline di koran dan telivisi selama berminggu-minggu!"

.....

Di saat yang bersamaan, dalam kantor polisi, seorang pria dengan pangkat yang lebih tinggi dari Arinda telah datang, dan wajahnya tampak merah dan biru.

Burhanudin, yang merupakan Komisaris Polisi masih tidak bisa menyembunyikan kilatan-kilatan emosi di mata tua nya..

"Sial! Ini benar-benar sangat berani!"

Wajahnya yang sudah penuh keriput tapi tegas menunjukkan kemarahan sambil tak henti-hentinya menggertakkan giginya.

Melihat ke arah video cctv dan pada Arinda yang masih trauma tanpa bisa berkata di kursi, wajah Burhan tampak sangat frustasi.

"Sudah cukup dengan semua masalah baru-baru ini, sekarang juga terjadi di kantor polisi. Berandalan mana yang sangat berani melakukan ini semua?" Burhan hampir tidak bisa menahan amarahnya, dan membuat bawahan di sekitarnya ketakutan.

"Bukan hanya sekedar menyerang kantor polisi, bajingan ini juga berani membunuh tiga polisi dengan sangat kejam!"

"Bajingan seperti ini, jika kamu tertangkap, bersiap-siaplah untuk mengalami hukuman yang lebih buruk daripada kematian."

Dengan kemarahan dihatinya, Burhan  melihat tiga orang bawahannya dan berkata, "Cepat pergi, dan cari bajingan ini!"

Tiga orang bawahan, yang tampaknya masih muda itu tidak segera pergi, tapi hanya saling memandang selama beberapa waktu.

Melihat tiga bawahannya seperti ini, Burhan hampir ingin berteriak dan berkata, "Apa? Kenapa kalian masih disini? Cepat pergi dan cari pelakunya!"

"Tapi Pak, kita sudah mencari hampir di seluruh sudut kantor polisi, tapi tidak menemukan bukti sama sekali. Bahkan cctv juga tidak bisa menunjukkan apakah itu orang atau hantu. Darimana kita harus mencarinya?" Jawab seorang polisi yang sedikit lebih tua.

Komisaris Burhan sudah marah, ditambah dengan jawaban seperti itu, akhirnya dia berteriak, "Apa kalian pikir aku bodoh!? Apa kalian pikir aku tidak tahu apa yang terjadi!? Apa kalian!? Apakah kalian menganggap diri kalian sebagai anjing?"

"Sebagai polisi, apakah kalian masih membutuhkan petunjuk didepan hidungmu untuk melakukan pencarian! Kalian anjing, sekarang pergi keluar dan jangan kembali ke hadapanku sampai menemukannya!"

"Jika kalian tidak bisa menemukannya, aku akan segera meminta seseorang untuk membelikan kalian tulang dan kalung anjing!"

"Tidak pak, terimakasih. Kami tidak membutuhkan tulang atau kalung anjing. Sebenarnya kami lebih membutuhkan kalung emas dan--"

"Keluar! Keluar sekarang juga!"

Emosi komisaris Burhan kali ini tidak bisa lagi ditahan.

Dia berteriak sangat keras dan membuat ketiga polisi amatiran itu ketakutan setengah mati segera berlarian keluar tanpa sepatah kata lagi.

Tentu saja tidak ada yang tahu kemana mereka akan pergi dan mencari pelakunya.

Setelah tiga polisi muda itu keluar, Pak Burhan menghela nafas panjang untuk menenangkan emosinya sambil mengelus keningnya yang mulai terasa sakit.

"Astaga, kenapa sekolah kepolisian bisa meluluskan tiga orang idiot seperti mereka? Lebih parahnya lagi, kenapa harus aku juga yang harus ditugaskan untuk membimbingnya?"

Mengeluh entah pada siapa, Pak Burhan mendatangi Arinda, yang masih linglung di kursi kantornya dengan selimut menutupi tubuhnya, dan ekpresinya yang tak menentu.

Melihat wajah Arinda yang tampak pucat disana, ada senyum ramah dan hangat serta penuh perhatian di wajah Burhan.

"Arin, sebenarnya paman ingin meminta beberapa petunjuk darimu, tapi saat melihat kondisimu sekarang, paman pikir kamu harus pulang dan beristirahat."

Saat mendengar kata-kata itu, Arinda yang linglung perlahan menggerakkan kepalanya kearah komisaris Burhan dengan senyum yang dipaksakan dan berkata, "Paman, saya baik-baik saja. Jika paman ingin meminta informasinya, saya bisa menceritakan semuanya."

"Tidak perlu," komisaris Burhan segera menggelengkan kepalanya, dan berkata, "Kamu sekarang juga dihitung sebagai korban, dan sudah sangat beruntung untuk tidak kenapa-kenapa. Yang terpenting sekarang adalah beristirahat dan jangan sampai--"

"Dia seorang pria. Saya tidak tahu pasti berapa umurnya, tapi dia berpenampilan seperti orang gila dan sangat berbahaya...." Arinda tiba-tiba berbicara, dan mulai bercerita.

Dimulai saat Arinda pertama kali bertemu dengan pria misterius itu sampai pada akhirnya dia menghilang, Arinda menceritakan semuanya.

Entah telah berapa lama Arinda bercerita, wajah Komisaris Burhan tampak menjadi sangat serius dan bermartabat.

"Gadis, apakah kamu yakin jika dia menanyakan tentang musibah kebakaran rumah kemarin?"

Tidak ada yang Arinda sembunyikan, dia mengangguk dan menambahkan, "Dia menanyakannya. Bahkan dia juga tahu bahwa korban yang tewas bukan hanya dua orang."

Sampai Arinda menceritakan ini, Komisaris Burhan mulai terdiam dan wajah tuanya tampak berkerut dengan ekpresi yang tak menentu.

Melihat diamnya Komisaris Burhan, Arinda merasa ada yang salah, dan buru-buru bertanya, "Paman, apakah ada masalah?"

Komisaris Burhan tidak menjawab, tapi dia tampak panik berjalan bolak-balik beberapa langkah didalam ruangan sambil melihat sesuatu dibalik kejauhan, dan menutup pintu.

Tingkah laku Pak Burhan yang seperti itu mau tak membuat Arinda semakin penasaran, dan tidak bisa menahan diri untuk tidak bisa memasang ekspresi serius.

"Paman masih belum bisa memastikannya, tapi paman harap itu bukan dia. Paman perlu mengumpulkan beberapa bukti lain untuk mengkonfirmasinya."

Kedua alis Arinda terangkat dan menyatu, memikirkannya selama beberapa waktu, tiba-tiba kilatan cahaya muncul di kedua matanya.

"Benar! Sebelum pergi, dia sempat memberikan suatu pesan..." Arinda berhenti disini untuk mencoba mengingat lagi.

"Sepertinya dia mengatakan sesuatu tentang "red". Aku tidak yakin apa maksudnya, tapi dia berpesan untuk memberitahukan itu kepada atasan." 

Saat Arinda berbicara, wajah Komisaris Burhan sudah sangat serius. Tanpa kata, dia segera berjalan ke arah jendela kantor polisi, dan menarik korden di semua jendela agar tidak dilihat dari luar.

Belum cukup sampai disitu, pria paruh baya itu juga mengunci pintu kantor agar lebih aman.

Kemudian kembali melihat ke arah Arinda dengan ekpresi serius, dan dengan nada sangat pelan bertanya, "Red? Apakah kamu yakin itu adalah red dan bukan R.E.D?"

"Em..." Arinda kembali memikirkan pertanyaan Komisaris Burhan beberapa waktu sebelum dengan ringan menjawab, "Kupikir dia memang mengatakan "RED" dengan di eja. Tapi kenapa, bukankah itu sama saja?"

"Tidak!"

Menjawab dalam satu kata, wajah Komisaris Burhan sudah menjadi merah dan basah dengan butiran-butiran keringat dingin yang mulai membasahi keningnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status