Prang! Prang! Tiba-tiba jendela kamar Adelia pecah, dihantam kursi oleh Arga dan Indah. Tak lama kemudian kedua orang itu masuk lewat jendela, dan menghampiri Adelia.
"Bangun bangsat! Perempuan mandul tidak tau diri!" bentak Arga. Tangannya langsung bergerak meraih rambut Adelia, dan menjambak wanita itu dengan sangat kasar.
"Ah!" jerit Adelia yang merasakan perih karena rambutnya ditarik dengan kuat oleh Arga.
"Ternyata kamu masih bisa merasakan sakit juga hah! Katakan di mana surat-surat penting itu disimpan!" murka Arga.
Adelia hanya mengatupkan bibir dan berusaha menahan rasa sakit agar tidak berteriak, karena semakin Adelia terlihat kesakitan, Arga dan Indah akan semakin kasar padanya.
"Mas, kalau cuma dibentak, dia mana mau ngasih tau kita! Pukul dong biar dia jera!" bentak Indah.
Arga tidak menjawab ucapan Indah, tapi tangannya langsung bergerak menampar pipi Adelia berkali-kali sampai bibir wanita itu pecah dan berdarah. Tak puas dengan menampar, laki-laki itu mencengkram dagu sang istri dengan sangat keras, hingga kuku-kukunya menancap di kulit mulus Adelia.
"Cepat katakan! Di mana kamu simpan surat-surat itu perempuan sialan! Bangsat!" dengus Arga.
Adelia tetap bungkam tidak memberi respon apapun, hal ini semakin menyulut emosi Arga.
"Jawab perempuan sialan! dasar sampah!" bentak Arga lagi.
Arga semakin kalap, karena Adelia hanya diam saja tidak mau memberi tau di mana dia menyimpan surat-surat penting yang diambil dari brankas. Dibukanya ikat pinggang yang dia gunakan, kemudian mulai memukul tubuh wanita itu sampai dia merasa puas dan akhirnya sang istri tak tahan lagi lalu pingsan.
"Mas, udah nanti dia mati!" teriak Indah, sambil berusaha menghentikan Arga yang kalap.
"Biar saja mati! Gak akan ada yang nyariin dia juga! Perempuan yatim piatu seperti itu, siapa juga yang akan peduli dan merasa kehilangan!" jawab Arga sambil ngos-ngosan mengatur nafasnya karena kelelahan memukuli Adelia.
"Tapi kalau dia mati sekarang, kita gak akan tau di mana dia simpan surat-surat itu!" bentak Indah gusar, sambil menarik tangan Arga untuk segera keluar dari kamar Adelia.
"Kita harus pindahkan Adelia dari kamar itu, jangan sampai dia bisa keluar dari rumah ini secara diam-diam." ujar Arga, sambil berbalik kembali ke kamar Adelia.
Arga mengangkat tubuh Adelia yang pingsan, kemudian membawanya ke gudang. Dia letakan begitu saja tubuh wanita itu di lantai dan ditinggalkan tanpa belas kasih.
Setelah mengunci pintu gudang, Arga kembali ke kamar tempat Adelia tidur, dan memeriksa semua barang-barangnya.
"Kira-kira dia simpan di mana ya? Kenapa jadi gak ada satupun barang berharganya di sini. Kemana semua perhiasannya?" gumam Arga.
"Coba di bawah tempat tidur Mas," ucap Indah.
Arga langsung mengecek bawah tempat tidurnya, tapi tetap tak ada yang bisa dia temukan.
"Bahkan HP-nya juga gak ada, ini seperti sudah direncanakan dari awal dia pindah ke kamar ini." balas Arga, sambil terus mencari surat-surat penting yang Adelia sembunyikan.
Tanpa Arga dan Indah sadari kalau HP Adelia, jatuh terselip di antara kaki ranjang dengan dinding. Tapi seandainya pun barang itu mereka temukan, tak akan ada apapun yang bisa mereka dapatkan. Karena Adelia mengakses semua hal yang dianggap penting itu di HP barunya, yang sekarang ikut tersimpan dengan aman di suatu tempat.
"Terus kita mau gimana Mas?" tanya Indah.
"Sial! Dasar brengsek! Tak pernah aku sangka dia akan selicik ini!" marah Arga.
"Kita istirahat saja dulu yuk Mas. Nanti kalau dia udah sadar, baru kita tanyakan lagi." ajak Indah, seraya menggandeng tangan Arga dan mengajaknya keluar dari kamar Adelia.
Sementara Adelia yang di dalam gudang, dia mulai sadar. Dia merintih menahan rasa sakit pada sekujur tubuhnya.
"Allah, lindungi aku dari kekejaman dua manusia itu." ucap pelan Adelia, sambil berusaha untuk duduk.
Sekujur tubuhnya penuh luka, bekas sabetan ikat pinggang. Sakit dan perih itu yang saat ini dirasakan. Wanita itu tersenyum miring, setidaknya Adelia sudah berhasil menyimpan di tempat yang aman semua barang berharga yang dia punya. Juga sebuah HP yang diakses langsung ke CCTV yang terpasang di rumah, sengaja dia siapkan untuk dijadikan barang bukti untuk menggugat Arga nantinya.
"Aku di mana? Astaghfirullah ... mereka mengurungku di gudang. Bagaimana caranya keluar dari sini?" keluh Adelia, setelah beberapa saat termenung.
Dengan sisa tenaga yang ada dia berusaha bangkit dan berjalan tertatih-tatih, berusaha mencari jalan keluar. Semua usahanya sia-sia, karena gudang itu hanya memiliki satu jendela yang berteralis.
Tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki mendekat ke gudang itu. Dengan cepat Adelia berbaring kembali dan pura-pura masih pingsan.
Tak lama terdengar pintu dibuka. Seseorang berusaha memegang tangan Adelia, tapi wanita itu tetap diam dan pura-pura masih pingsan.
"Dia belum juga sadar Mas, bagaimana ini?" tanya Indah.
"Biarkan saja dia mati sekalian! Menyusahkan saja, sudah mandul pembangkang!" dengus Arga.
"Kalau dia mati, terus kita gimana Mas? Ingat surat-surat penting hanya dia yang tau tempat penyimpanannya!" ketus Indah.
"Sial! Dia memang wanita sialan! brengsek! Sudah mau mati masih saja menyusahkan! Biarkan dia tetap di sini, jangan kasih makan dan jangan sampai keluar!" dengus Arga.
Emosi Arga semakin memuncak, ditendangnya tubuh Adelia yang terbaring di lantai kotor gudang itu. Kemudian dia berbalik dan pergi bersama Indah, meninggalkan wanita itu sendirian.
Dalam hati Arga, dia ingin membuat Adelia jadi gila, supaya tidak ada yang percaya dengan semua ucapan wanita itu. Bagaimana pun Arga tetap khawatir, kalau suatu saat sang istri akan memprosesnya secara hukum. Karena itu dia tidak mau menganggap enteng wanita pendiam seperti Adelia.
Dia berdiri di depan jendela kamarnya, sambil sesekali berkacak pinggang, kadang-kadang garuk-garuk kepala yang tak gatal. Resah, itu yang Arga rasakan. Di Satu sisi Arga ingin secepatnya menyingkirkan Adelia, dan menguasai hartanya bersama istri mudanya. Tapi di sisi lain, dia juga tidak bisa membuang Adelia begitu saja, karena semua surat-surat berharga ada di tangan wanita itu. Biarpun rumah itu sudah dirubah menjadi atas namanya sendiri, tapi jika surat-suratnya tidak ada, apa yang bisa dibuat?
"Aahhh ... Sial! Benar-benar sialan perempuan mandul itu! Brengsek!" geram Arga
Indah yang sedang duduk di tepi tempat tidurnya, sempat terkejut dengan teriakan Arga. Perlahan dia bangkit, dan dipeluknya laki-laki itu dari belakang.
"Mas, kita akan pikirkan cara lain untuk bisa mengambil surat-surat berharga itu. Sekarang kita istirahat dulu ya, biar nanti bisa berpikir untuk cari solusi," ucap Indah.
"Sial kau,! Kenapa ganggu aku terus? Diamlah! Aku lagi butuh tenang, supaya bisa berpikir! bentak Arga.
Indah dengan cepat melepaskan pelukannya ke Arga. Matanya sudah berkaca-kaca, dengan pelan dia berkata , "Kenapa bentak-bentak aku?"
Adelia bangun dengan kondisi semua badan terasa sakit, dan tulang-tulangnya seperti remuk. Dengan sisa tenaga yang ada, dia berusaha untuk kembali mencari jalan keluar, tapi hasilnya tetap nihil. Gudang itu benar-benar tanpa jalan keluar, karena satu-satunya jalan, adalah jendela yang berteralis. Adelia terus berpikir keras, bagaimana caranya supaya bisa keluar dari tempat itu. "Allah ... gimana caranya aku bisa keluar dari sini?" gumam Adelia. Dia duduk kembali, sambil terus memikirkan cara untuk keluar. Penyiksaan yang dia alami, meninggalkan rasa sakit yang luar biasa. Bukan cuma fisik yang tersakiti, tapi luka dalam hatinya jauh lebih parah. "Bagaimana caranya aku minta tolong? Dan pada siapa?" gerutu wanita itu. Terdengar suara langkah-langkah kaki, mendekati ruangan tempatnya berada. Adelia dengan cepat bereaksi, dia celingukan mencari sesuatu, sebagai alat untuk melindungi dirinya. Langkah kaki itu semakin dekat, tapi Adelia belum juga menemukan sesuatu yang bisa digunakan.
Sang Bos, berjalan memasuki ruangan, begitu sampai di samping ranjang pasien, matanya membulat sempurna, mulutnya menganga, dan tubuhnya terpaku. "A ... Adelia? Benarkah ini Adelia?" ucap Lelaki itu, ragu. "Bos kenal wanita ini?" tanya Pak Isman. "Gimana ceritanya, Pak Isman bisa sampai bertemu dia dan menolongnya?" tanya si Bos, tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan sang sopir. Pak Isman pun menceritakan semua detail kejadian, yang barusan dialami, hingga akhirnya dia memutuskan untuk membawa Adelia ke Rumah Sakit. Bosnya mendengarkan dengan seksama. "Apa Bos tau siapa wanita ini?" tanya Pak Isman, memberanikan diri, bertanya kembali. "Apa Bapak sudah lupa dengan Dia?" tanya balik Bosnya. Pas Isman yang mendapatkan pertanyaan, kembali memandang wanita malang yang ada di hadapannya. Dia me mengernyitkan alis, mencoba untuk mengingat, tapi tidak juga bisa mengingat siapa orang itu. Pak Isman, membuka mulutnya, ingin menanyakan kembali ke Bosnya, tapi suara pintu dibuka, membu
Dengan enggan Arga melangkah ke arah pintu. Tidak lama kemudian dia kembali lagi bersama Indah dan Roni."Siapa Mas?" tanya Indah."Pak RT, ngasih undangan buat pertemuan rutin lingkungan sini," jelas Arga, tanpa menunggu ditanya kembali.Indah hanya mengangguk saja, tidak menjawab kembali ucapan Arga. Sementara Roni, duduk diam sambil memperhatikan interaksi antara Arga dan Indah.Di Rumah Sakit, Syafiq duduk terpaku di samping tempat tidur pasien. Matanya menatap lekat, pada tubuh kurus yang belum juga sadarkan diri. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kanan Adelia."Sayang, bangunlah. Kamu harus ceritakan semuanya padaku. Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan semua ini padamu?" gumam Syafiq, pilu.Lelaki itu selalu berusaha untuk mengajak bicara Adelia, dengan harapan, wanita itu mendengar semuanya, tetapi lagi-lagi dia masih harus bersabar, karena yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Adelia masih terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit, dengan mata terus terpejam.Sy
"Adeliaaaaaa ...!" teriak Syafiq, sekeras yang dia bisa.Syafiq memejamkan matanya, dan tertunduk lesu di lantai. Kedua tangannya terkepal kuat, hatinya hancur karena tidak bisa menolong orang yang sangat dicintainya itu. Untuk beberapa saat Syafiq larut dalam kesedihan, hingga dia tersadar dan langsung mengangkat kepalanya, lalu mengarahkan pandangannya ke arah Adelia terjatuh.Lelaki itu terperangah melihat pemandangan di depan matanya. Ternyata ranjang yang membawa Adelia tersangkut, dan tidak jatuh ke dasar gedung. Dengan cepat Syafiq berdiri, lalu berlari ke arah ranjang itu."Adelia, mana Adelia?" ucap gugup Syafiq, begitu melihat ranjang itu kosong.Hatinya hancur ketika tidak mendapati Adelia di ranjangnya. Dalam pikirannya, Adelia terpelanting dari ranjang, dan jatuh ke bawah. Hatinya tiba-tiba hancur, dan harapannya sirna seketika. Dengan pelan, Syafiq mendekati seorang Ibu yang ikut berkerumun disitu, dan menanyakan tentang Adelia padanya. "Pak, Bu, di mana pasien yang ter
Saat ini, yang ada dalam hati Adelia adalah rasa ketakutan yang luar biasa, akan semua siksaan yang dia terima selama ini. Dan akibatnya, dia jadi memasang sikap waspada ke siapa pun, apa lagi ke Syafiq, orang yang baru dia lihat saat ini. Tapi melihat ke sekeliling, cuma ada lelaki itu yang selalu merawatnya, jadi pelan-pelan, wanita itu berusaha mempercayai lelaki itu.Kembali Adelia menatap wajah Syafiq, dia tersenyum, lalu berkata," Aku takut, tolong jangan tinggalkan aku sendirian.""Kamu tenanglah, aku pasti akan menolong dan melindungi mu, jangan takut," ucap Syafiq, sambil membawa Adelia ke dalam pelukan posesifnya.Adelia mengangguk, kemudian menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Syafiq, dan mencari rasa nyaman di sana. Wanita itu merasa terlindungi, saat merasakan pelukan hangat dari Syafiq.Lelaki itu mengelus lembut punggung Adelia. Dia tersenyum samar, lalu memejamkan mata. Tanpa terasa ada bulir bening muncul dari sudut matanya. Syafiq merasakan sesak dan nyeri dalam
"Adelia ... " ucap seorang wanita, dengan mata berkaca-kaca. "Hai Eva, sama Desta?" tanya Syafiq, ramah menyapa wanita yang baru datang."Sendirian, katanya Mas Desta masih ada kerjaan, jadi nanti dia langsung jemput kesini," jawab wanita itu.Adelia hanya memandang interaksi antara Syafiq dan wanita yang bernama Eva itu. Keningnya mengernyit, karena merasa familiar dengan wajah Eva, tapi semakin dia mengingat, kepalanya semakin terasa sakit.Eva yang merasa sedang diperhatikan oleh Adelia, segera menoleh dan tersenyum manis padanya. Eva mengulurkan tangan, ingin menyentuh tangan Adelia, tapi wanita itu langsung menghindar, dan meringkuk ketakutan."Jangan pukul saya ... jangan ... sakit!" teriak Adelia, ketakutan.Syafiq dengan sigap meraih tubuh Adelia, dan membawa ke pelukan, untuk menenangkannya. Adelia dengan cepat menyembunyikan tubuhnya dalam pelukan Syafiq. Hanya dengan cara seperti itu, dia merasa aman."Sayang, jangan takut. Eva ini, teman kamu sejak kecil. Apa kamu lupa sa
Setelah berbicara dengan Dokter, Syafiq memutuskan untuk membawa Adelia pulang ke rumahnya. Seperti saran dari Eva, lelaki itu membayar seorang Perawat, untuk menjaga kesehatan Adelia. Bagaimanapun wanita itu sedang hamil.Syafiq sudah selesai berkemas, saat Eva dan Desta datang menjemput. Adelia masih ketakutan, setiap melihat kedua orang itu. Syafiq harus bener-bener ekstra sabar, untuk menghadapi sikap Adelia yang sekarang, seperti anak kecil. Sama sekali tidak mau ditinggal sedikit saja oleh Syafiq."Sayang, kita pulang ke rumah ya. Nanti di rumah, kamu akan punya banyak teman, biar gak sendirian, kalau aku pas kerja," ucap Syafiq, penuh kelembutan."Aku takut! kamu jangan pergi," jawabnya. Setelah bicara seperti itu, Adelia langsung memeluk erat pinggang Syafiq, dan menyembunyikan wajahnya di balik tubuh Syafiq. Seperti orang ketakutan melihat Eva dan Desta.Eva dan Desta saling pandang, kemudian keduanya tersenyum mengejek Syafiq. Desta yang usil, menggunakan kesempatan itu unt
"Kalau ternyata kamu bisa hamil bagaimana Del?" tanya Eva.Deg! Adelia langsung menatap Eva tajam. Hatinya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Entah kenapa ada perasaan aneh yang menjalari hatinya. Seketika wajah Adelia menjadi pucat, hal itu tidak luput dari penglihatan Eva. Sebagai seorang Psikiater, Eva tau benar kalau hati sahabatnya itu, tidak sedang baik-baik saja.Diraihnya tangan wanita itu, lalu digenggam dengan hangat. Eva tersenyum, dengan lembut bertanya, "Apa yang sedang kamu pikirkan Del? Mau cerita sama aku?"Adelia menggeleng, lalu tersenyum sendiri. Melihat ini, Eva mencoba menggoda sahabat sekaligus pasiennya itu."Ehm, cie yang lagi membayangkan sikap manisnya Mas Syafiq," seloroh Eva."Eh, enggak. Aku lagi ngebayangin, kalau seandainya punya anak, pasti hatiku gak terasa sepi. Beda dengan sekarang, Mas Arga selalu bersikap dingin ke aku, dan terus-menerus memojokkan, hanya karena kami belum punya anak," terang Adelia.Wajahnya merona malu-malu. Eva jadi gemas meliha