Share

BAB 5. TERKURUNG

Prang! Prang! Tiba-tiba jendela kamar Adelia pecah, dihantam kursi oleh Arga dan Indah. Tak lama kemudian kedua orang itu masuk lewat jendela, dan menghampiri Adelia.

"Bangun bangsat! Perempuan mandul tidak tau diri!" bentak Arga. Tangannya langsung bergerak meraih rambut Adelia, dan menjambak wanita itu dengan sangat kasar.

"Ah!" jerit Adelia yang merasakan perih karena rambutnya ditarik dengan kuat oleh Arga.

"Ternyata kamu masih bisa merasakan sakit juga hah! Katakan di mana surat-surat penting itu disimpan!" murka Arga.

Adelia hanya mengatupkan bibir dan berusaha menahan rasa sakit agar tidak berteriak, karena semakin Adelia terlihat kesakitan, Arga dan Indah akan semakin kasar padanya.

"Mas, kalau cuma dibentak, dia mana mau ngasih tau kita! Pukul dong biar dia jera!" bentak Indah.

Arga tidak menjawab ucapan Indah, tapi tangannya langsung bergerak menampar pipi Adelia berkali-kali sampai bibir wanita itu pecah dan berdarah. Tak puas dengan menampar, laki-laki itu mencengkram dagu sang istri dengan sangat keras, hingga kuku-kukunya menancap di kulit mulus Adelia.

"Cepat katakan! Di mana kamu simpan surat-surat itu perempuan sialan! Bangsat!" dengus Arga.

Adelia tetap bungkam tidak memberi respon apapun, hal ini semakin menyulut emosi Arga.

"Jawab perempuan sialan! dasar sampah!" bentak Arga lagi.

Arga semakin kalap, karena Adelia hanya diam saja tidak mau memberi tau di mana dia menyimpan surat-surat penting yang diambil dari brankas. Dibukanya ikat pinggang yang dia gunakan, kemudian mulai memukul tubuh wanita itu sampai dia merasa puas dan akhirnya sang istri tak tahan lagi lalu pingsan.

"Mas, udah nanti dia mati!" teriak Indah, sambil berusaha menghentikan Arga yang kalap.

"Biar saja mati! Gak akan ada yang nyariin dia juga! Perempuan  yatim piatu seperti itu, siapa juga yang akan peduli dan merasa kehilangan!" jawab Arga sambil ngos-ngosan mengatur nafasnya karena kelelahan memukuli Adelia.

"Tapi kalau dia mati sekarang, kita gak akan tau di mana dia simpan surat-surat itu!" bentak Indah gusar, sambil menarik tangan Arga untuk segera keluar dari kamar Adelia.

"Kita harus pindahkan Adelia dari kamar itu, jangan sampai dia bisa keluar dari rumah ini secara diam-diam." ujar Arga, sambil berbalik kembali ke kamar Adelia.

Arga mengangkat tubuh Adelia yang pingsan, kemudian membawanya ke gudang. Dia letakan begitu saja tubuh wanita itu di lantai dan ditinggalkan tanpa belas kasih.

Setelah mengunci pintu gudang, Arga kembali ke kamar tempat Adelia tidur, dan memeriksa semua barang-barangnya.

"Kira-kira dia simpan di mana ya? Kenapa jadi gak ada satupun barang berharganya di sini. Kemana semua perhiasannya?" gumam Arga.

"Coba di bawah tempat tidur Mas," ucap Indah.

Arga langsung mengecek bawah tempat tidurnya, tapi tetap tak ada yang bisa dia temukan.

"Bahkan HP-nya juga gak ada, ini seperti sudah direncanakan dari awal dia pindah ke kamar ini." balas Arga, sambil terus mencari surat-surat penting yang Adelia sembunyikan.

Tanpa Arga dan Indah sadari kalau HP Adelia, jatuh terselip di antara kaki ranjang dengan dinding. Tapi seandainya pun barang itu mereka temukan, tak akan ada apapun yang bisa mereka dapatkan. Karena Adelia mengakses semua hal yang dianggap penting itu di HP barunya, yang sekarang ikut tersimpan dengan aman di suatu tempat.

"Terus kita mau gimana Mas?" tanya Indah.

"Sial! Dasar brengsek! Tak pernah aku sangka dia akan selicik ini!"  marah Arga.

"Kita istirahat saja dulu yuk Mas. Nanti kalau dia udah sadar, baru kita tanyakan lagi." ajak Indah, seraya menggandeng tangan Arga dan mengajaknya keluar dari kamar Adelia.

Sementara Adelia yang di dalam gudang, dia mulai sadar. Dia merintih menahan rasa sakit pada sekujur tubuhnya.

"Allah, lindungi aku dari kekejaman dua manusia itu." ucap pelan Adelia, sambil berusaha untuk duduk.

Sekujur tubuhnya penuh luka, bekas sabetan ikat pinggang. Sakit dan perih itu yang saat ini dirasakan. Wanita itu tersenyum miring, setidaknya Adelia sudah berhasil menyimpan di tempat yang aman semua barang berharga yang dia punya. Juga sebuah HP yang diakses langsung ke CCTV yang terpasang di rumah, sengaja dia siapkan untuk dijadikan barang bukti untuk menggugat Arga nantinya.

"Aku di mana? Astaghfirullah ... mereka mengurungku di gudang. Bagaimana caranya keluar dari sini?" keluh Adelia, setelah beberapa saat termenung.

Dengan sisa tenaga yang ada dia berusaha bangkit dan berjalan tertatih-tatih, berusaha mencari jalan keluar. Semua usahanya sia-sia, karena gudang itu hanya memiliki satu jendela yang berteralis.

Tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki mendekat ke gudang itu. Dengan cepat Adelia berbaring kembali dan pura-pura masih pingsan.

Tak lama terdengar pintu dibuka. Seseorang berusaha memegang tangan Adelia, tapi wanita itu tetap diam dan pura-pura masih pingsan.

"Dia belum juga sadar Mas, bagaimana ini?" tanya Indah.

"Biarkan saja dia mati sekalian! Menyusahkan saja, sudah mandul pembangkang!" dengus Arga.

"Kalau dia mati, terus kita gimana Mas? Ingat surat-surat penting hanya dia yang tau tempat penyimpanannya!" ketus Indah.

"Sial! Dia memang wanita sialan! brengsek! Sudah mau mati masih saja menyusahkan! Biarkan dia tetap di sini, jangan kasih makan dan jangan sampai keluar!" dengus Arga.

Emosi Arga semakin memuncak, ditendangnya tubuh Adelia yang terbaring di lantai kotor gudang itu. Kemudian dia berbalik dan pergi bersama Indah, meninggalkan wanita itu sendirian.

Dalam hati Arga, dia ingin membuat Adelia jadi gila, supaya tidak ada yang percaya dengan semua ucapan wanita itu. Bagaimana pun Arga tetap khawatir, kalau suatu saat sang istri akan memprosesnya secara hukum. Karena itu dia tidak mau menganggap enteng wanita pendiam seperti Adelia.

Dia berdiri di depan jendela kamarnya, sambil sesekali berkacak pinggang, kadang-kadang garuk-garuk kepala yang tak gatal. Resah, itu yang Arga rasakan. Di Satu sisi Arga ingin secepatnya menyingkirkan Adelia, dan menguasai hartanya bersama istri mudanya. Tapi di sisi lain, dia juga tidak bisa membuang Adelia begitu saja, karena semua surat-surat berharga ada di tangan wanita itu. Biarpun rumah itu sudah dirubah menjadi atas namanya sendiri, tapi jika surat-suratnya tidak ada, apa yang bisa dibuat?

"Aahhh ... Sial! Benar-benar sialan perempuan mandul itu! Brengsek!" geram Arga

Indah yang sedang duduk di tepi tempat tidurnya, sempat terkejut dengan teriakan Arga. Perlahan dia bangkit, dan dipeluknya laki-laki itu dari belakang.

"Mas, kita akan pikirkan cara lain untuk bisa mengambil surat-surat berharga itu. Sekarang kita istirahat dulu ya, biar nanti bisa berpikir untuk cari solusi," ucap Indah.

"Sial kau,! Kenapa ganggu aku terus? Diamlah! Aku lagi butuh tenang, supaya bisa berpikir! bentak Arga.

Indah dengan cepat melepaskan pelukannya ke Arga. Matanya sudah berkaca-kaca, dengan pelan dia berkata , "Kenapa bentak-bentak aku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status