"Aku mau periksa pintu sudah dikunci atau belum, soalnya mau tidur!" jawab Yura terdengar masuk akal.
"Ya sudah tidur saja duluan, biar nanti aku yang kunci!" seru Abidzar yang dijawab anggukan oleh Yura. Yura segera masuk ke kamar dan mencoba untuk tidur, tetapi gagal. Ia terus teringat dengan percakapan Abidzar tadi. "Kenapa aku jadi mikirin ya, itu sudah tugasnya. Lagipula sudah lama bekerja di sana," batin Yura yang entah mengapa tiba-tiba jadi resah. Tidak lama kemudian Abidzar datang dan melihat Yura tengah tidur miring menghadap tembok. Ia kemudian merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit. Entah mengapa hatinya belakangan ini merasa gelisah. Seolah memberi tanda akan terjadi sesuatu. Ketika baru saja terpejam, Abidzar tiba-tiba terjaga. Ia tampak terkejut ketika tidak melihat Yura di sisinya. Dengan perlahan turun dari ranjang dan mencari istrinya itu. Abidzar melihat seseorang berpakaian ninja berada di kamar ibunya. "Yura, Umi?" panggil Abidzar sambil menghampiri. Orang itu berbalik dan tersenyum sambil menodongkan senjata api ke arah Abidzar. Tanpa berkata lagi langsung menarik pelatuk dan terdengar suara tembakan yang membuatnya langsung ambruk seketika. Sambil memegangi dadanya Abidzar melihat seseorang menghampiri. "Yura, kau ...!" "Kak, kenapa?" panggil Yura sambil mengguncang bahu Abidzar. Abidzar langsung menepis tangan Yura dengan peluh yang bercucuran. Ia akhirnya sadar baru saja bermimpi, tetapi seperti kenyataan. "Kak Abid, pasti habis mimpi buruk ya?" tanya Yura yang segera mengambilkan segelas air putih. Abidzar tampak mengangguk dan segera meneguk air purih itu sampai habis. "Terima kasih, aku mau salat tahajud dulu!" ucap Abidzar sambil turun dari ranjang. Selesai salat tahahud, Abidzar kembali teringat akan mimpinya tadi. Seolah memberitahu akan terjadi sesuatu yang buruk menimpanya. Akan tetapi, kenapa di mimpi tadi Yura menembaknya. Sungguh aneh sekali. *** Sementara itu di salah satu negara Eropa, di sebuah kastil. Seorang pria bermata elang sedang berdiri sambil menatap gunung es yang menjulang tinggi di depan sana dengan tajam. Wajahnya begitu dingin tanpa expresi sedikitpun. Seolah terbiasa merasakan kesepian yang sudah menjadi teman lamanya. "Aku sudah katakan tidak mau melakukan pekerjaan itu lagi," ujar pria itu tanpa menoleh ketika seorang lelaki bertubuh tinggi besar menghampirinya dari belakang. "Tugas terakhir, setelah ini terserah kamu mau mati sekali pun aku tidak perduli lagi!" sahut orang itu sambil mengeluarkan sebuah map dan meletakkannya di atas meja marmer. Pria bermata elang itu kembali bertanya, "Apa hebatnya dia sampai kalian tidak sanggup mengatasi dan membuatku harus turun tangan?" "Beberapa sniper terbaik gagal melumpuhkannya. Dia inteligen yang sangat hebat dan sudah banyak menggagalkan perdagangan sindikat International. Membuat Tuan Yama mengalami kerugian sangat besar karena kesulitan memasuki pasar gelap Asia terutama Indonesia," jawab lelaki itu memberitahu secara garis besarnya saja. "Kenapa tidak pakai cara halus?" tanya pria itu kembali. Lelaki itu kembali menjelaskan, "Itu masalahnya, dia tidak bisa disuap. Intelijen yang bersih dan jujur. Aku berjanji setelah ini tidak ada tugas lagi untukmu, kerjakan dengan rapi!" pesan lelaki itu. Pria bermata elang itu tersenyum simpul dan berkata dengan lantang, "Tidak ada orang yang bisa mengaturku, termasuk kau! Banyak orang yang bisa menjalankan misi ini, kenapa harus aku?" "Karena aku akan berikan bayaran yang setimpal untukmu!" ujar lelaki itu memberitahu sesuatu yang membuat lawan bicaranya terkejut dan tidak bisa menolak tawaran. "Kalau kau bohong, aku pastikan akan mengubur jasadmu di danau es itu, sekarang pergilah!" ancam pria itu dengan serius. "Kamu tahu sendiri kan informasiku tidak pernah salah. Ingat kesempatan ini hanya sekali, jangan sampai kau menyesal seumur hidup dan perlahan mati di puncak gunung es!" ujar lelaki itu yang segera berlalu. Pria itu kemudian berbalik dan perlahan membuka map di atas meja marmer. Ia segera membaca dengan saksama lokasi tugas yang harus dikerjakannnya. Setelah itu menatap dengan tajam sebuah foto beserta nama targetnya. 'Abidzar Abimanyu.' BERSAMBUNGLangit Makkah terlihat cerah hari ini, tapi hati Yura mendadak dicekam kekhawatiran. Di tengah lautan jamaah yang melantunkan doa-doa, Umi Hafsah tiba-tiba limbung dan jatuh dalam pelukannya."Umi!" seru Yura panik. Abidzar yang berada tak jauh langsung berlari menghampiri, wajahnya pucat.Ia segera membopong ibunya dan membawa ke pusat kesehatan terdekat. Akan tetapi, setelah diperiksa dokter jantung Umi Hafsah kian melemah. Jadi dirujuk ke rumah sakit terdekat. "Ya Allah, tolong beri kekuatan untuk ibu hamba!" doa Abidzar yang mulai cemas. Sepanjang perjalanan, Yura juga sangat khawatir. Ia menggenggam tangan ibu mertuanya dengan erat. Berulang kali memanggil namanya, berharap Umi Hafsah cepat membuka mata. "Umi, sadarlah!" ujar Yura yang takut terjadi apa-apa. Tidak lama kemudian, Umi Hafsah siuman. Nafasnya lemah, tapi senyum lembut tersungging di bibirnya. Ia menatap anak dan menantunya secara bergantian dan berkata lirih, "Yura, Abidzar…." Umi Hafsah meraih kedua tangan me
Agar tidak menjadi pusat perhatian, mereka berjalan perlahan ke sisi Masjidil Haram yang teduh. Duduk bersisian sambil menenangkan diri. Sungguh baik Abidzar maupun Yura tidak pernah membayangkan bertemu di tempat sebersih dan sesuci ini, setelah semua yang terjadi. "Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini," ujar Yura membuka pembicaraan. "Aku pun tak pernah menduga, Yura. Tapi mungkin pertemuan ini jawaban dari semua doa yang kita bisikkan dengan penuh harapan," balas Abidzar yang bersyukur dipertemukan dengan Yura lagi. “Maaf, aku tak pernah bermaksud meninggalkan Kakak dengan seperti itu,” ucap Yura sambil meremas pakaian ihramnya. “Aku tak menyesali perpisahan kita, tapi ....” Abidzar menarik nafas panjang. "Aku belum bisa menerima kehilangan yang tidak pernah bisa dijelaskan. Tentang cinta yang tidak bisa dimiliki. Selama tujuh tahun, aku hidup seperti bayangan yang masih terikat dalam sebuah janji. Aku selalu mencoba melupakanmu, tapi tidak bisa. Bahkan setiap malam na
Langit Makkah membentang dengan cahaya keemasan. Angin padang gurun berhembus lembut, membawa bisikan doa yang tak berkesudahan. Di antara lautan manusia yang mengelilingi Ka'bah, Yura menggenggam tangan mungil putranya, Arya, dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan dunia yang kini menjadi satu-satunya alasan ia berdiri tegak.“Subhanallah,” bisiknya lirih, setiap langkah mengiringi lafaz zikir yang terangkai dari kerinduan dan ketundukan. Matanya sembab oleh tangis yang ia tahan selama bertahun-tahun. Inilah perjalanan suci yang didambakan, bukan hanya ingin menyempurnakan ibadah. Aka tetapi, memanjatkan doa untuk menyelesaikan masa lalu yang masih membelenggunya. "Kenapa kamu mengajak kami ke sini? Menangkap ikan sambil berenang Arya dan Maura juga sudah senang kok," tanya Rain yang tidak suka tempat ramai seperti masjidil haram. "Entahlah aku hanya mengikuti kata hati," jawab Yura dengan santai. "Kamu benar-benar nekat Yura, pergi ke sini tanpa pemandu dan pengawal. Bisa ngamuk
"Mami, jangan diam saja ayo kita ke Bali!" ajak Arya sambil menarik ujung gamis Yura. Yura tampak berpikir keras agar Arya tidak ikut ke Bali. Bukan tidak percaya menitipkan anaknya sama Dragon. Akan tetapi, ia takut akan kemungkinan yang terjadi. "Sayang, kamu nggak bisa ikut Dady ke Bali karena kita mau. " Yura membisikan sebuah ide yang tiba-tiba terbesit di benaknya. "Aku mau Mami, Maura kamu mau ikut nggak ke--" Arya meniru Yura berbisik di telinga gadis kecil itu. Sambil bersorak girang Maura menyahuti, "Iya aku mau ikut, hore!" Yura tampak tersenyum lega karena berhasil membuat Maura dan Arya berubah pikiran. Akan tetapi, tidak dengan Dragon. Jujur ia masih tidak terima wanita itu belum bisa melupakan Abidzar."Ya sudah ayo kita siap-siap!" ajak Yura sambil menggandeng Arya dan Maura meninggalkan tempat itu. "Jangan egois, kamu sudah tahu bagaimana rasanya cinta tidak bisa memiliki, kalau mencintai Yura biarkan dia bahagia!" saran Rain terdengar bijak. Dengan dingin Drag
Malam itu kian merambat jauh, semilir angin menghapus jejak yang tertinggal di jalanan. Yura berdiri diam di ambang pintu, memandangi suaminya yang tertidur lelap di ranjang. Ia kemudian menulis surat yang telah dibacanya berulang kali, tapi tak pernah terasa cukup. Masa-masa kebersamaan mereka kini telah menyatu dengan gema kenangan yang tak bisa ia buang. Queenazalea dulu dikenal sebagai pembunuh bayaran paling tangguh dan hebat di timnya, The Ghost. Dengan julukan Phoenix ia menyelesaikan setiap misi dengan sempurna dan tanpa cela sedikitpun. Hingga satu hari tanpa sengaja ia mendengar percakapan rahasia ketua The Ghost dan putra tunggalnya Daren atau Dragon."Kau harus menikah dengan Letizia!" ujar Ramos dengan serius. "Tidak bisa, aku mencintai Lea." Dragon menolak dijodohkan.Mendengar penolakan putranya Ramos membentak dengan lantang, "Jangan gila kau, dia adikmu!" "Dia bukan adik kandungku!" sahut Dragon dengan berani. "Justru itu Ren, Lea bukan siapa-siapa. Lihatlah k
Rain yang baru pulang bergegas masuk ke kamar Yura sambil membawa pesanan adiknya itu. Ia tampak terkejut melihat Dragon ada di dalam kamar. "Ada apa ini?" tanya Rain sambil melihat wajah Yura dan Dragon yang tegang secara bergantian. Dragon lupa mengingatkan penjaga untuk tidak membiarkan siapa pun masuk. Ia kemudian mencabut senjata api dari balik jaketnya dan menodongkan ke arah Rain. "Jangan ikut campur, cepat lakukan Lea!" ujar Dragon yang membuat Rain terkejut bukan kepalang. "Jangan lakukan Yura!" seru Rain yang membuat Dragon bersiap menarik pelatuk. "Ayo tembak, kau boleh mengira aku bodoh selama ini Dragon. Tapi kalau aku tidak mengoperasikan lap top dalam sejam semua polisi dunia akan tahu di mana markas The Ghost. Kau akan tahu kan akibatnya, mereka akan membunuh kita semua!" ancamnya yang sudah memperkirakan tindakan Dragon. Kali ini ia tidak akan membiarkan pria itu semena-mena lagi.Dragon menarik kerah baju Rain dan menatapnya dengan geram. "Kurang ajar, mau jadi p