"Aku mau periksa pintu sudah dikunci atau belum, soalnya mau tidur!" jawab Yura terdengar masuk akal. "Ya sudah tidur saja duluan, biar nanti aku yang kunci!" seru Abidzar yang dijawab anggukan oleh Yura. Yura segera masuk ke kamar dan mencoba untuk tidur, tetapi gagal. Ia terus teringat dengan percakapan Abidzar tadi. "Kenapa aku jadi mikirin ya, itu sudah tugasnya. Lagipula sudah lama bekerja di sana," batin Yura yang entah mengapa tiba-tiba jadi resah. Tidak lama kemudian Abidzar datang dan melihat Yura tengah tidur miring menghadap tembok. Ia kemudian merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit. Entah mengapa hatinya belakangan ini merasa gelisah. Seolah memberi tanda akan terjadi sesuatu. Ketika baru saja terpejam, Abidzar tiba-tiba terjaga. Ia tampak terkejut ketika tidak melihat Yura di sisinya. Dengan perlahan turun dari ranjang dan mencari istrinya itu. Abidzar melihat seseorang berpakaian ninja berada di kamar ibunya. "Yura, Umi?" panggil Abidzar sambil menghampiri.
Menjalankan puasa untuk pertama kali memang berat bagi yang belum pernah melaksanakannya. Waktu akan terasa lama dan melelahkan. Bahkan sebagian orang memilih untuk tidur atau memperbanyak melakukan ibadah, tetapi ada juga yang beraktivitas seperti biasa. Sementara itu Yura justru mengisi waktu luang untuk terus melatih bacaan alqurannya sehabis salat subuh dengan bimbingan Abidzar. "Bacaan Yura sudah bagus, makhraj iqlab, idgham, izhar dan gunnah hampir benar semua. Untuk hari ini cukup dulu, nanti kita akan belajar lebih banyak lagi!" ujar Abidzar yang dijawab anggukan oleh Yura. Selain mengaji Yura juga diajarkan salat duha dan salat sunah lainnya. Kalau semua sudah dilakukan barulah ia menambah wawasan dengan membaca buku-buku islam yang berada di kamar suaminya. Tentu saja Yura sudah mendapat izin dari Abidzar. "Ngaji sudah, baca buku juga sudah. Ngapain lagi ya?" tanya Yura sambil berpikir. "Lebih baik aku lihat Umi sedang apa," ujarnya sambil ke luar kamar. Yura meli
"Kak Abid kenapa masuk ke kamarku?" tanya Yura yang membuat Abidzar mengernyitkan dahinya. Yura sadar kalau kamar ini milik Abidzar. Ia segera meralat ucapannya agar pria itu tidak tersinggung. "Maaf, maksudku Kak Abid tolong ke luar sebentar aku mau pakai baju!" ucap Yura yang jadi tidak enak hati. Abidzar tidak menyahuti dan segera membuka lemari. Setelah mengambil sesuatu, ia bergegas ke luar kamar tanpa menoleh ke arah Yura lagi. Yura tampak lega karena Abidzar tidak melihat luka di bahunya. Untung mereka sudah menikah, kalau orang asing sudah pasti Abidzar dihajar habis-habisan karena berani melihat tubuh Yura, meskipun memakai handuk. Yura segera mengambil kotak obat luka khusus miliknya. Setelah mengobati lukadan berpakain, ia kembali melanjutkan pekerjaannya tadi."Yura, sini Nak!" panggil Umi Hafsah dari dapur. "Iya Umi ada apa?" tanya Yura tanpa berani menatap mata ibu mertuanya itu. Umi Hafsah mengajak Yura duduk. Lalu ia menggenggam tangan gadis itu dengan penuh ka
"Kak Abidzar," panggil Yura yang tidak percaya, kalau penyusup itu adalah suaminya sendiri. "Apa maksud semua ini?" tanya gadis itu dengan heran. Abidzar mendekati Yura seraya berkata,"Kamu mungkin bisa membohongi Umi dengan bilang dikejar anjing di gang codet, tapi tidak denganku. Ternyata kamu mahir beladiri kyokushin, pukulan dan tendangan yang sempurna. Tidak heran bisa mengalahkan lima berandalan gang codet dengan mudah. Siapa kamu sebenarnya Yura?" Yura tampak terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Sambil menenangkan dirinya ia menyahuti, "Aku dari kecil tinggal di panti asuhan, jadi harus bisa jaga diri sendiri.""Aku percaya, tapi gerakanmu sepertinya sudah terlatih sebagai petarung sejati, bukan sekedar untuk membela diri," ujar Abidzar yang sangat berhati--hati terhadap orang asing, meskipun sudah menjadi keluarganya sendiri. "Ya sudah, kalau Kakak tidak percaya!" jawab Yura sambil masuk ke rumah. Abidzar tampak menggeleng dan segera menyusul istrinya. "Aku buka
"Ya Allah tolong selamatkan anakku!" pekik Umi Hafsah ketika mendapat kabar dari Farid kalau Abidzar tertembak dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Umi Hafsah sangat terpukul sekali karena takut akan kehilangan Abidzar untuk selama-lamanya. Tragedi itu persis seperti yang merenggut nyawa mendiang suaminya dulu. Sehingga membuatnya syok dan tidak sadarkan diri. "Umi!" teriak Farid dan Reyhan secara bersamaan dan segera menangkap tubuh ibu mereka, lalu membopongnya ke kamar. Tidak lama kemudian Yura pulang dan terkejut ketika melihat kedatangan kedua adik iparnya itu. "Kamu dari mana saja sih, kenapa ninggalin Umi sendirian di rumah?" tanya Farid dengan wajah yang tegang. "Aku habis jalan pagi, memangnya Umi kenapa?" jawab Yura sambil balik bertanya."Kak Abidzar tertembak ketika sedang bertugas dan sekarang Umi pingsan!" sahut Risa memberitahu. Mendengar itu Yura langsung masuk ke kamar Umi Hafsah. "Umi, bangun Umi!" ujar Reyhan sambil terisak di samping ibunya. "Ya Al
Abidzar berhasil melewati masa kritisnya. Ia sudah sadar, tetapi masih sangat lemah. Farid segera memberi kabar baik itu kepada keluarganya. Renita juga langsung menghampiri pujaan hatinya dengan senyum yang mengembang. "Syukurlah kamu selamat, aku tidak tahu bagaimana jadinya, kalau kamu sampai --"Mendengar itu Yura langsung memotong, "Tolong jaga batasanmu!" "Kamu tidak berhak melarangku karena kami saling mencintai!" sahut Renita yang tidak mau pergi meninggalkan Abidzar. "Jangan berdebat di dapan Kak Abid!" bisik Farid sambil melirik Yura. Yura tampak menghela nafas panjang dan memilih untuk pergi mengalah karena tidak mau membuat keributan. Namun, tidak berapa lama Renita dan Farid juga ke luar karena tim medis akan melakukan pemeriksaan terhadap Abidzar. Wanita dengan rambut bondol itu tampak membuang muka ketika bertatapan dengan Yura. "Ayo kita pulang karena Kak Abidzar harus dirawat intensif dan selama beberapa hari tidak boleh dijenguk dulu!" ujar Farid memberitahu yan
"Sebenarnya berat bagi kami untuk membebas tugaskanmu karena kamu salah satu agen terbaik. Tapi kami tidak rela kalau sampai kehilanganmu untuk selamanya. Jadi keputusan ini demi keselamatanmu semata!" ujar atasan Abidzar memberikan penjelasan secara detail. "Iya Pak, saya mengerti," jawab Abidzar yang menyadari keselamatannya sedang terancam. Mau tidak mau Abidzar menerima keputusan pengnonaktifan dirinya. Jujur akibat insiden ini membuatnya sedikit terpukul. Jadi ia minta pulang dan melakukan pemulihan di rumah saja, agar lebih fokus menenangkan diri. "Baiklah kami hargai permintaanmu!" ujar atasan Abidzar menyetujui dan memerintahkan beberapa orang polisi untuk mengantar sampai rumah. Abidzar kemudian memutuskan selama masa penyembuhan pisah kamar dengan istrinya. Jadi Umi Hafsah dan siapa pun yang datang menjenguk bisa melihat keadaannya secara langsung. Yura tidak mempermasalahkan pisah kamar dengan Abidzar. Justru ia merasa aman karena privasinya tetap terjaga. Lagipula bis
Hari demi hari berlalu luka tembak Abidzar mulai mengering dan sudah bisa melakukan aktvitas sendiri. Para rekan kerjanya tidak ada yang menjenguk. Mereka bukan tidak mau datang, tetapi Abidzar melarangnya. Jadi cukup bertatap muka secara online saja. Abidzar sengaja melakukan itu karena ingin melindungi keluarganya, terutama Yura. Ia merasa keadaan sudah tidak aman, bisa saja pembunuh itu masih terus mengincarnya bukan. Namun, tanpa Abidzar ketahui pengobatannya telah dihentikan oleh pihak asuransi tanpa alasan yang jelas. Jadi untuk membeli obat-obatan tertentu dan kontrol ke dokter harus memakai uang sendiri. Umi Hafsah dan Yura sepakat untuk merahasiakan itu. Mereka ingin Abidzar tenang dalam masa pemulihan. "Tolong jualin perhiasan Umi, Yura!" seru Umi Hafsah sambil memberikan sebuah dompet. "Buat apa Umi, kenapa harus dijual?" tanya Yura dengan heran. "Selama ini Abidzar menyerahkan semua gajinya kepada Umi. Tapi habis Umi sedekahnya kepada yang membutuhkan. Nanti kalau ada
Baru saja selesai kontrol, Abidzar dan Yura tampak terkejut mendapat kabar dari Farid, kalau rumah mereka kebakaran. Keduanya langsung pulang, tetapi karena macet ketika sampai keadaan rumah tinggal puing-puing bekas kebakaran yang masih berasap. Tidak ada yang tersisa semua hangus terbakar. Seperti baju dan berkas-berkas kerja Abidzar. Bahkan warga tidak ada yang berani mendekat, meskipun api sudah padam. Sementara itu Umi Hafsah berhasil diselamatkan dan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. "Ya Allah cobaan apalagi yang kamu berikan kepada keluargaku!" lirih Abidzar dengan penuh sesal, meskipun Umi Hafsah selamat dari kebakaran itu. Seandainya ia tidak pergi mungkin kejadiaan ini tidak akan terjadi. Abidzar yakin sekali musibah ini ada kaitan dengan penembakannya. Setelah nyawanya kini keselamatan ibunya yang terancam. Ini tidak bisa dibiarkan, ia harus bertindak sebelum keluarganya yang lain jadi korban. "Ya Allah, jika ini adalah takdir-Mu aku ikhlas. Tapi tolong berika
Setelah pulang buka puasa bersama Farid dan Reyhan, Umi Hafsah langsung masuk kamar. Sehingga membuat Yura jadi heran karena Umi Hafsah tidak pernah bersikap seperti itu. "Umi sudah pulang?" tanya Abidzar yang baru saja selesai salat tarawih bersama Yura. "Sudah baru saja, tapi kenapa Umi terlihat bad mood ya Kak?" sahut Yura sambil balik bertanya. "Mungkin Umi cape atau karena kita nggak ikut," jawab Abidzar menduga. "Ya sudah, aku mau siapkan bahan-bahan buat sahur dulu ya Kak," pamit Yura yang dijawab anggukan oleh Abidzar. Tidak lama setelah Yura pergi, Umi Hafsah datang menemui putra sulungnya itu. "Kenapa kamu tidak bilang sudah punya kekasih, kalau tahu Umi tidak akan menjodohkanmu dengan Yura. Biar dia jadi anak angkat saja, maafkan Umi ya!" ujar Umi Hafsah sambil menatap Abidzar dengan rasa bersalah. Abidzar tampak terkejut tiba-tiba ibunya berkata seperti itu. Ia mengerti siapa wanita yang dibilang sebagai kekasihnya itu. "Umi tidak bersalah karena aku dan Renita tid
Seorang wanita cantik dengan balutan busana seksi tampak melenggok menuju ke salah satu kamar hotel bintang lima di Singapura. Setelah menekan bel, pintu kamar itu pun terbuka. Meski sempat ragu ia memberanikan diri untuk masuk. Miss Flo tampak tekejut karena kamar mewah itu tidak terang benderang seperti biasanya. Hanya beberapa lampu saja yang menyala, sehingga keadaan menjadi temaram. Ia menelisik kamar itu dengan penuh kewaspadaan dan saksama. Jari-jari lentiknya tampak menggenggam erat sebuah paper bag. Seolah sudah siap jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. "Jangan takut, aku menjamin keamamanmu . Mulai dari masuk sampai ke luar dari hotel ini!" ujar seseorang yang membuat Miss Flo terkejut. Seorang pria memakai kemeja hitam yang digulung sampai siku dan masker senada menghampirinya sambil memegang dua gelas red wine. Ia kemudian menyodorkan tangan kanannya yang tampak kekar seraya berkata, "Senang bertemu denganmu Miss Flo, silahkan duduk!" Sambil tersenyum Miss Flo m
Hari demi hari berlalu luka tembak Abidzar mulai mengering dan sudah bisa melakukan aktvitas sendiri. Para rekan kerjanya tidak ada yang menjenguk. Mereka bukan tidak mau datang, tetapi Abidzar melarangnya. Jadi cukup bertatap muka secara online saja. Abidzar sengaja melakukan itu karena ingin melindungi keluarganya, terutama Yura. Ia merasa keadaan sudah tidak aman, bisa saja pembunuh itu masih terus mengincarnya bukan. Namun, tanpa Abidzar ketahui pengobatannya telah dihentikan oleh pihak asuransi tanpa alasan yang jelas. Jadi untuk membeli obat-obatan tertentu dan kontrol ke dokter harus memakai uang sendiri. Umi Hafsah dan Yura sepakat untuk merahasiakan itu. Mereka ingin Abidzar tenang dalam masa pemulihan. "Tolong jualin perhiasan Umi, Yura!" seru Umi Hafsah sambil memberikan sebuah dompet. "Buat apa Umi, kenapa harus dijual?" tanya Yura dengan heran. "Selama ini Abidzar menyerahkan semua gajinya kepada Umi. Tapi habis Umi sedekahnya kepada yang membutuhkan. Nanti kalau ada
"Sebenarnya berat bagi kami untuk membebas tugaskanmu karena kamu salah satu agen terbaik. Tapi kami tidak rela kalau sampai kehilanganmu untuk selamanya. Jadi keputusan ini demi keselamatanmu semata!" ujar atasan Abidzar memberikan penjelasan secara detail. "Iya Pak, saya mengerti," jawab Abidzar yang menyadari keselamatannya sedang terancam. Mau tidak mau Abidzar menerima keputusan pengnonaktifan dirinya. Jujur akibat insiden ini membuatnya sedikit terpukul. Jadi ia minta pulang dan melakukan pemulihan di rumah saja, agar lebih fokus menenangkan diri. "Baiklah kami hargai permintaanmu!" ujar atasan Abidzar menyetujui dan memerintahkan beberapa orang polisi untuk mengantar sampai rumah. Abidzar kemudian memutuskan selama masa penyembuhan pisah kamar dengan istrinya. Jadi Umi Hafsah dan siapa pun yang datang menjenguk bisa melihat keadaannya secara langsung. Yura tidak mempermasalahkan pisah kamar dengan Abidzar. Justru ia merasa aman karena privasinya tetap terjaga. Lagipula bis
Abidzar berhasil melewati masa kritisnya. Ia sudah sadar, tetapi masih sangat lemah. Farid segera memberi kabar baik itu kepada keluarganya. Renita juga langsung menghampiri pujaan hatinya dengan senyum yang mengembang. "Syukurlah kamu selamat, aku tidak tahu bagaimana jadinya, kalau kamu sampai --"Mendengar itu Yura langsung memotong, "Tolong jaga batasanmu!" "Kamu tidak berhak melarangku karena kami saling mencintai!" sahut Renita yang tidak mau pergi meninggalkan Abidzar. "Jangan berdebat di dapan Kak Abid!" bisik Farid sambil melirik Yura. Yura tampak menghela nafas panjang dan memilih untuk pergi mengalah karena tidak mau membuat keributan. Namun, tidak berapa lama Renita dan Farid juga ke luar karena tim medis akan melakukan pemeriksaan terhadap Abidzar. Wanita dengan rambut bondol itu tampak membuang muka ketika bertatapan dengan Yura. "Ayo kita pulang karena Kak Abidzar harus dirawat intensif dan selama beberapa hari tidak boleh dijenguk dulu!" ujar Farid memberitahu yan
"Ya Allah tolong selamatkan anakku!" pekik Umi Hafsah ketika mendapat kabar dari Farid kalau Abidzar tertembak dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Umi Hafsah sangat terpukul sekali karena takut akan kehilangan Abidzar untuk selama-lamanya. Tragedi itu persis seperti yang merenggut nyawa mendiang suaminya dulu. Sehingga membuatnya syok dan tidak sadarkan diri. "Umi!" teriak Farid dan Reyhan secara bersamaan dan segera menangkap tubuh ibu mereka, lalu membopongnya ke kamar. Tidak lama kemudian Yura pulang dan terkejut ketika melihat kedatangan kedua adik iparnya itu. "Kamu dari mana saja sih, kenapa ninggalin Umi sendirian di rumah?" tanya Farid dengan wajah yang tegang. "Aku habis jalan pagi, memangnya Umi kenapa?" jawab Yura sambil balik bertanya."Kak Abidzar tertembak ketika sedang bertugas dan sekarang Umi pingsan!" sahut Risa memberitahu. Mendengar itu Yura langsung masuk ke kamar Umi Hafsah. "Umi, bangun Umi!" ujar Reyhan sambil terisak di samping ibunya. "Ya Al
"Kak Abidzar," panggil Yura yang tidak percaya, kalau penyusup itu adalah suaminya sendiri. "Apa maksud semua ini?" tanya gadis itu dengan heran. Abidzar mendekati Yura seraya berkata,"Kamu mungkin bisa membohongi Umi dengan bilang dikejar anjing di gang codet, tapi tidak denganku. Ternyata kamu mahir beladiri kyokushin, pukulan dan tendangan yang sempurna. Tidak heran bisa mengalahkan lima berandalan gang codet dengan mudah. Siapa kamu sebenarnya Yura?" Yura tampak terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Sambil menenangkan dirinya ia menyahuti, "Aku dari kecil tinggal di panti asuhan, jadi harus bisa jaga diri sendiri.""Aku percaya, tapi gerakanmu sepertinya sudah terlatih sebagai petarung sejati, bukan sekedar untuk membela diri," ujar Abidzar yang sangat berhati--hati terhadap orang asing, meskipun sudah menjadi keluarganya sendiri. "Ya sudah, kalau Kakak tidak percaya!" jawab Yura sambil masuk ke rumah. Abidzar tampak menggeleng dan segera menyusul istrinya. "Aku buka
"Kak Abid kenapa masuk ke kamarku?" tanya Yura yang membuat Abidzar mengernyitkan dahinya. Yura sadar kalau kamar ini milik Abidzar. Ia segera meralat ucapannya agar pria itu tidak tersinggung. "Maaf, maksudku Kak Abid tolong ke luar sebentar aku mau pakai baju!" ucap Yura yang jadi tidak enak hati. Abidzar tidak menyahuti dan segera membuka lemari. Setelah mengambil sesuatu, ia bergegas ke luar kamar tanpa menoleh ke arah Yura lagi. Yura tampak lega karena Abidzar tidak melihat luka di bahunya. Untung mereka sudah menikah, kalau orang asing sudah pasti Abidzar dihajar habis-habisan karena berani melihat tubuh Yura, meskipun memakai handuk. Yura segera mengambil kotak obat luka khusus miliknya. Setelah mengobati lukadan berpakain, ia kembali melanjutkan pekerjaannya tadi."Yura, sini Nak!" panggil Umi Hafsah dari dapur. "Iya Umi ada apa?" tanya Yura tanpa berani menatap mata ibu mertuanya itu. Umi Hafsah mengajak Yura duduk. Lalu ia menggenggam tangan gadis itu dengan penuh ka