"Iya Bu, nggak tau kenapa tiba-tiba saja Laura ingin ikut ke rumah Ibu."
Aku masih saja terus mendengarkan percakapan antara Mas Fauzan dan Ibunya.
'Apa mungkin Mas Fauzan selingkuh? Tapi apa iya Mas Fauzan setega itu sama aku sampai ia berselingkuh?' batinku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
'Pokoknya aku harus membuktikan apakah Mas Fauzan berselingkuh atau tidak. Awas saja kamu Mas, kalau sampai kamu berselingkuh kamu akan tau akibatnya!'
Aku pun meninggalkan Mas Fauzan yang masih mengobrol dengan Ibunya. Aku biarkan saja dengan segala rencana yang Mas Fauzan rencanakan dengan Ibu. Aku yakin, suatu saat nanti bangkai itu akan tercium kalau memang benar Mas Fauzan menyembunyikan sesuatu di belakangku.
"Mas, Mas Fauzan." Aku berpura-pura tidak melihat di mana Mas Fauzan berada.
"Ya, Sayang. Mas di sini," ucap Mas Fauzan berteriak.
Aku pun menghampiri Mas Fauzan yang sedang duduk di teras rumah.
"Jadi ke rumah Ibu nggak, Mas?"
"Jadi dong, Sayang, bentar ya Mas ambil tas dulu di kamar." Mas Fauzan beranjak meninggalkanku menuju kamar untuk mengambil tas nya.
Aku menunggu Mas Fauzan duduk di kursi yang berada di teras rumahku dengan Mas Fauzan. Mas Fauzan tidak berlama-lama mengambil tasnya yang berada di dalam kamar.
"Ayok, Sayang kita berangkat."
"Ayok, Mas." Aku membuntuti Mas Fauzan yang berjalan menuju motor yang terparkir di halaman rumah.
Aku dan Mas Fauzan memakai helm kita masing-masing. Lalu aku duduk membonceng di belakang Mas Fauzan.
Rumah Ibu mertua tidaklah terlalu jauh. Dua puluh menit akhirnya kami pun sampai di rumah Ibu Mas Fauzan. Mas Fauzan memarkirkan motornya di halaman rumah Ibu. Aku turun dari motor dan melepas helm yang aku gunakan.
Aku dan Mas Fauzan masuk ke dalam rumah Ibu mertua.
"Assalamu'alaikum," ucapku dan Mas Fauzan serempak.
"Waalaikumsalam," jawab Ibu mertua dan juga adik Mas Fauzan yang bernama Putri.
Ya, Mas Fauzan adalah dua bersaudara. Mas Fauzan anak pertama dari Ibu dan Putri anak kedua dari Ibu. Jika kalian bertanya kemana Bapak mertua? Jawabannya adalah beliau telah berpulang. Beliau meninggalkan Mas Fauzan saat Mas Fauzan kelas enam SD dan Putri saat itu baru lahir.
"Ayo sini-sini masuk," titah Bu Ana, Ibu dari Mas Fauzan.
"Tumben kamu ikut, Ra?"
"Iya, Bu, lagi pengen ikut saja. Lagian sudah lama juga aku nggak ke sini," ucapku seramah mungkin terhadap Ibunya Mas Fauzan.
"Oh, kirain ada apa kok kamu ingin ikut ke sini. Kan nggak biasanya juga kamu ke sini," ucap Ibu terlihat sinis menatapku.
"Oh ya, Bu, ini uang jatah bulanan Ibu." Mas Fauzan menyodorkan amplop berwarna coklat yang aku yakini itu adalah uang gaji Mas Fauzan untuk Ibu.
Ibu pun tersenyum saat Mas Fauzan memberikan amplop yang berisi uang bulanan itu kepada Ibu. Ibu pun menerimanya dengan senang hati.
"Nggak apa kan Ra, kalau Fauzan ngasih ke Ibu nominalnya sama seperti Fauzan memberi ke kamu? Kadang malah lebih banyakan Ibu yang Fauzan kasih. Ya kamu kan tau sendiri ya Ra, kalau anak laki-laki selamanya akan menjadi milik Ibunya. Apa lagi Bapaknya Fauzan udah lama nggak ada. Jadi ya memang dia yang menanggung semua ekonomi Ibu dan juga Putri."
Aku pun hanya bisa tersenyum kecut mendengar ucapan dari Ibu mertua. Bagiku itu sebenarnya tidak pantas ia ucapkan denganku. Bagaimanapun juga aku ini menantunya. Tak bisakah ia berbicara yang sedikit mengenakkan?
Mau aku jawab juga percuma karena beliau lebih tua dariku. Ya mau tidak mau aku hanya membatin saja.
"Putri kemana, Bu?" tanya Mas Fauzan menanyakan dimana adiknya berada.
"Dia ada tuh di kamar lagi ngerjain tugas. Dia kan anak rajin." Ibu mengucapkan itu seolah-olah tengah menyindirku. Karena menurut Ibu mertua aku ini orangnya pemalas.
"Ya sudah deh, Bu, aku pulang dulu ya. Besok aku dan juga Laura harus kerja lagi kan." Mas Fauzan berpamitan pada sang Ibu.
Saat akan meninggalkan rumah Ibu, aku teringat perkataan Mas Fauzan soal kontrakan yang Mas Fauzan katakan di telepon tadi. Aku melihat kontrakan yang berada di sebelah rumah Ibu.
"Kenapa kalian buru-buru? Makan malam dulu lah di sini. Sana Zan kamu beli ayam bakar dulu di tempat biasa, Ibu sudah lapar nih."
Ketika Ibu mertua sudah memberi ultimatum,pasti Mas Fauzan akan menurut apa yang dikatakan Ibu. Ya mau tidak mau kita makan malam di sini terlebih dahulu baru pulang.
"Ibu mau ayam geprek?" tanya Mas Fauzan kepada sang Ibu.
"Iya Zan, belilah ayam geprek lalu kita makan bersama baru kamu pulang."
"Baiklah,Bu."
Aku dan Mas Fauzan bergegas untuk membeli ayam geprek pesanan Ibu mertua. Saat melewati rumah kontrakan yang dimaksud Mas Fauzan, terlihat ada wanita duduk di teras rumah yang melihat ke arahku dan juga Mas Fauzan saat kami melewati rumah yang ia huni. Perempuan itu pun mendekati kita dan menyetop motor yang kami naiki.
"Mas, Mbak, boleh tolong saya nggak?"
"Tolong apa?" ucapku sembari mengerutkan dahi.
"Saya mau minta tolong sama Mas nya buat betulin lampu di kamar saya yang tiba-tiba mati. Kebetulan suami saya lagi kerja di luar kota dan lusa baru pulang. Saya nggak bisa kalau gelap-gelapan. Mana sendirian pula di rumah." Perempuan itu terlihat gelisah saat meminta tolong. Aku dan juga Mas Fauzan saling pandang untuk meminta keputusan satu sama lain.
"Gimana? Boleh? Kasihan dia sepertinya sendirian di rumah." Mas Fauzan mencoba bernegosiasi denganku.
Aku sedikit lama berpikir hingga akhirnya aku pun mengangguk membolehkan Mas Fauzan membantu perempuan itu. Mas Fauzan bergegas kembali memarkirkan motornya tepat di depan rumah si perempuan tadi.
Lalu Mas Fauzan masuk ke dalam rumah untuk membantu perempuan itu membetulkan lampu yang mati. Aku dan perempuan tersebut sama-sama menunggu Mas Fauzan di ruang tamu. Namun, secara tiba-tiba saja perempuan itu meminta izin ingin pergi ke toilet dan aku tentu tidak bisa tidak mengizinkannya secara rumah ini pun rumah miliknya.
Namun, entah kenapa aku mempunyai firasat lain kepada perempuan itu. Setelah kepergian perempuan tadi yang kutahu namanya adalah Anita. Nama yang sempat disebut suamiku saat menerima telepon dari Ibu tadi, aku pun berinisiatif untuk mengikuti kemana perempuan itu pergi secara mengendap-endap.
Betul saja, ternyata perempuan yang bernama Anita itu menghampiri Mas Fauzan yang sedang membetulkan lampu. Hingga aku mendengar mereka membicarakan sesuatu.
Wanita yang memiliki nama Anita berbicara pelan, tetapi penuh penekanan dan aku masih bisa mendengarnya, "Mas … kamu kenapa bawa dia ke sini sih?!"
Setelah Laura menghilang dari pandangannya, Anita langsung mengumpulkan semua barang belanjaannya dan hendak dibawa masuk ke dalam kamar.“Mau kemana kamu, An?” tanya Fauzan kesal. Dia belum mendapatkan jawaban seperti yang dia inginkan, apalagi setelah mendengar kata-kata dari Laura, kecurigaannya bertambah kuat terhadap Anita.“Dahlah, Mas, aku capek, aku ingin mandi dulu,” jawab Anita tidak menggubris suaminya yang tengah memandangnya dengan geram. Anita sudah tidak terlalu peduli dengan kemarahan Fauzan, toh sudah ada Angga yang siap memanjakannya kapan saja dia mau.“An … Anita! Aaahhhhhh …!" Fauzan berteriak kesal. Lelaki itu menyugar rambutnya dengan kasar.“Sial, benar-benar sial!” umpat Fauzan kemudian membanting pintu rumahnya dengan kasar. Lelaki itu hendak pergi ke rumah ibunya untuk meredakan emosi dirinya yang sudah sampai di ubun-ubun. Kedua istrinya sama-sama tidak bisa dia atur dan semaunya sendiri, apalagi Laura sama sekali tidak mau memberikan uang kepadanya, sehing
RAHASIA SLIP GAJI SUAMIKU“Kamu jangan ngaco deh,” ucap Anta.“Aku serius tau. Ngomong-ngomong kamu udah punya suami belum?”“Menurut kamu gimana?” tanya Anita mencoba menggoda Angga.“Kalau dari wajah dan penampilan kamu sih kayak masih perawan ya,” ucap Angga sembari mengelus-elus dagunya dan menatap Anita dengan pandangan suka.“Hahaha! Padahal aku sudah punya suami, loh!” ucap Anita jujur kepada Angga.“Masa sih? Kok kayak belum pernah menikah ya?”“Serius aku sudah menikah.”“Terus kenapa kamu jalan sendirian? Ke mana suami kamu?” tanya Angga penasaran.“Suamiku? sebelas dua belas sih kayak istri kamu.”“Maksud kamu?”“Ya gitu,deh. Kamu pasti tau lah maksud aku, makanya aku pergi ke sini sendiri.”“Terus kenapa kamu nggak cerai saja sama suami kamu?”“Ya gimana mau cerai? Sedangkan aku saja nggak punya banyak uang untuk hidup aku. Mau nggak mau ya aku bertahan deh,” ucap Anita disedih-sedihkan agar Angga merasa iba kepadanya.“Duh, kasian banget sih wanita cantik seperti kamu men
Karena Anita merasa kesal dengan Fauzan yang tidak membelanya, Anita pun merajuk. Fauzan yang berusaha membujuk Anita agar tidak marah pun tidak mempan dengan segala bujuk rayunya. "Ayolah, Nit, jangan kayak anak kecil gini." Fauzan membujuk Anita agar Anita tidak marah. "Biar Mas! Mau kamu kata kayak anak kecil juga aku bodo amat.""Ayolah Nit, jangan gitu.""Kamu mau aku nggak marah kan Mas?"Tentu saja Fauzan mengangguk. Jangan sampai Anita marah dan tidak memberinya jatah nanti malam. "Kalau kamu mau aku nggak marah, sini kasih aku uang. Aku mau shoping. Selama jadi istri kamu kan aku belum pernah shoping.""Iya, nanti Mas kasih uangnya." Fauzan membelai rambut Anita. Anita pun membiarkan Fauzan membelai rambutnya asalnya uangnya lancar. "Aku minta lima juta Mas!""Li-lima juta? Kok banyak banget?""Ya kan aku mau shoping Mas!" Anita menyilangkan tangannya di dada. "Tiga juta aja ya Sayang.""Nggak! Aku nggak mau! Lima juta atau aku tetap marah sama kamu dan jangan harap aku
"Tapi lebih baik aku ke bank dulu saja deh. Biar hari ini aku cuti saja satu hari. Masih nggak tenang juga ini kalau sertifikat belum aman."Laura lalu merubah haluannya untuk pergi ke Bank. Karena Laura yakin, keluarga suaminya akan nekat untuk mengambil sertifikat itu kalau Laura tidak segera mengamankan. Laura akhirnya sampai juga di Bank. Ia lalu turun dari mobil dan masuk ke dalam Bank. Di sana, ia ditanya oleh satpam yang bertugas. "Selamat siang, Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam dengan ramah. "Iya Pak, saya mau menyewa safe deposit box bisa?""Tentu saja bisa, Bu, mari ikut saya. Saya antarkan untuk bertemu dengan atasan saya."Laura mengangguk dan mengikuti langkah satpam itu. Ia dipertemukan dengan petugas bank tersebut. "Silahkan duduk dulu, Bu," ucap satpam menunjukkan kursi untuk diduduki oleh Laura. "Terimakasih, Pak." Laura menjawab dengan sopan dan menganggukkan kepala. Ia pun lalu bertemu dengan petugas bank yang menangani bagian sewa SDB untuk mengam
RAHASIA SLIP GAJI SUAMIKUBAB 15"Terus gimana dong sama wisudanya Putri?" tanya Bu Ana. "Ya mau gimana lagi, Bu, orang Fauzan udah nggak kerja. Ya otomatis Fauzan nggak ada pemasukan kan. Kalau Ibu mau ya minta aja sama Laura. Itu sih kalau di kasih sama dia." "Aduuuuh, kamu ini nggak bisa diandelin! Udah biar Ibu aja yang minta sama Laura." Bu Ana meninggalkan Fauzan dan Anita yang terbengong dengan tingkah Bu Ana. Bu Ana menghampiri Laura yang berada di kamar. Tok. Tok. Tok. "Laura! Laura!" panggil Bu Ana. "Ra! Buka Ra!" ucap Bu Ana menggedor pintu kamar Laura. Laura yang mendengar merasa kebisingan dengan suara ketukan pintu Bu Ana terpaksa membukakan pintu agar Bu Ana tidak semakin bar-bar mengetuk pintu nya. "Ck! Mau apa sih ini nenek tua peot!" Laura menggerutu namun tetap membukakan pintu. "Ada apa, Bu?" tanya Laura dengan santai. "Kamu ini gimana sih! Kita bicara belum selesai lho. Kenapa main pergi aja.""Mau bicara apa lagi sih, Bu? Kan urusan Ibu biasanya juga
Saat Laura di dalam ruangan, ia teringat kembali dengan BPKB milik Fauzan. Laura berpikir kalau BPKB itu hanya dititipkan saja ke Sintia, tidak bisa memberikan pelajaran kepada Fauzan. Karena Laura ingin memberikan pelajaran buat Fauzan. Hari itu, Laura pun tidak fokus saat sedang bekerja. Ia masih saja memikirkan bagaimana cara untuk membalas perbuatan Fauzan. "Mending aku gadai saja itu mobilnya Mas Fauzan. Kebetulan aku tau akan menggadaikan dengan siapa. Yang jalur ekspres bebas hambatan."Laura pun mengambil handphone nya dan menelpon seseorang yang dia tau sebagai rentenir itu. "Halo, Mami, apa kabar?" sapa Laura berbasa-basi. "Wah, Laura, kabar baik. Ada apa ini tumben kamu telepon Mami?" tanya Mami Valen. "Aku mau gadai BPKB mobil nih, Mi, Mami bisa nggak?""Mobil apa nih?""Fortuner Mi, baru aja lunas Mi, belinya juga baru satu tahun. Dijamin masih mulus," ucap Laura menjelaskan. "Mau harga berapa kamu?""400 juta gimana Mi? Bisa nggak?"Mami Valen nampak berpikir dan m