Share

membuat Fauzan mati kutu

RAHASIA SLIP GAJI SUAMIKU

Bab 3

"Mas ... kenapa kamu bawa dia ke sini, sih?!" tanya Anita tidak senang.

"Kamu yang kenapa tiba-tiba minta tolong gantiin lampu, sih?! Kamu gak takut ketahuan apa?"

Mas Fauzan menatap awas ke sekeliling ruangan. Sepertinya takut aku menyadari sesuatu yang mencurigakan dan akhirnya ketahuan olehku.

"Cih ... gak usah mengalihkan pembicaraan, Mas. Aku tanya kenapa kamu bawa dia ke sini?!"

"Aku bukannya mau bawa dia, Anita. Dia yang tiba-tiba mau ke rumah Ibu. Kangen Ibu katanya. Masa iya aku larang dia buat ketemu mertua sendiri. Yang ada Laura malah curiga sama aku."

"Ck, aku gak percaya, Mas."

"Aku gak bohong, Anita. Sumpah."

"Kalau kamu gak bohong, pokoknya sekarang kamu bawa dia pulang dan pamit nginap di rumah Ibu. Kamu mau kan menghabiskan malam ini bersamaku?"

Mas Fauzan tidak segera menjawab permintaan Anita yang terdengar tidak masuk akal. Mungkin sedang memikirkan bagaimana cara membuat Anita tenang dan agar aku tidak curiga.

"Mas, kamu kok diam aja, sih?!" sentak Anita yang kedengarannya makin kesal. Bahkan, suaranya telah naik satu oktaf. Padahal selama pernikahan kami, aku bahkan belum pernah membentak Mas Fauzan sama sekali. Semua itu karena rumah tanggaku dan Mas Fauzan selalu bahagia dan tenang. Mas Fauzan memang orangnya lembut, perhatian, dan tidak pernah marah kepadaku.

"Sstt ... jangan keras-keras, nanti Laura dengar," ucap Mas Fauzan setengah berbisik dan menutup mulut Anita dengan tangan kanannya. Wajahnya jelas terlihat ketakutan.

Sontak aku tahan napas dan segera bersandar di tembok  karena takut ketahuan. Aku terkejut karena mengira Mas Fauzan dan perempuan itu menyadari keberadaanku. Setelah merasa aman, aku kembali mengintip ke dalam rumah.

"Mas, kamu nginap aja, ya," rengek Anita lagi sambil bergelayut manja di lengan Mas Fauzan. Sepertinya wanita tidak berniat untuk melepaskan suamiku malam ini.

Mas Fauzan terlihat sedikit terkejut dengan keberanian dan permintaan Anita. Wanita itu meminta sesuatu yang sangat berlebihan. Bahkan saat mengetahui aku berada di luar rumah.

"Aku gak Bisa, Anita. Kamu mau Laura makin curiga? Dia tiba-tiba minta ikut ke rumah Ibu aja aku udah jantungan, apalagi kalau dia keberadaan kamu."

Ya Tuhan, aku tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. Seketika kurasa kepalaku berputar. Semua fakta mencengangkan yang kudapat hari terlalu berat untukku. Sebenarnya ada hubungan apa antara wanita itu dan Mas Fauzan sebenarnya? Kenapa mereka seperti sepasang kekasih? 

Meski percakapan yang kudengar hanya sepotong, tetapi entah kenapa perasaanku kuat jika Anita dan Mas Fauzan ada apa-apa. Aku bukan wanita bodoh. Setelah pulang dari sini aku akan melakukan penyelidikan untuk mencari bukti yang lebih banyak dan lebih akurat lagi. Kalau memang benar aku gak akan membiarkan pelakor itu memenangkan dan mendapatkan segalanya. Termasuk harta yang kami miliki. Sayangnya ada beberapa aset yang masih atas nama Mas Fauzan dan itu lah kebodohanku. Padahal semua itu dibeli dengan uangku.

 Berharap membeli dengan uangnya? Itu hal mustahil sebab jangankan untuk membeli sesuatu. Bahkan, untuk sekedar menabung dari uang nafkah yang ia berikan pun sangat sulit sebab uangnya yang diberikan padaku hanya pas-pasan. Aku harus pelan-pelan agar bisa semua jatuh ke tanganku entah bagaimana caranya nanti pokoknya aku harus membalikkan nama semua aset atas nama dia menjadi namaki. Sedangkan yang atas namaku ya biarkan saja karena semua itu memang aku beli dengan uangku. Aku kembali mengintip mereka dari celah pintu. Dan aku kembali menajamkan pendengaranku. 

"Tapi, Mas. Aku masih ingin bersamamu. Memangnya kamu gak merindukan aku, hm?"

Aku kembali menajamkan pendengaran. Perempuan yang ternyata bernama Anita itu terus saja merengek kepada Mas fauzan untuk segera memulangkan aku ke rumah dan kembali ke rumah ibu mertuaku untuk menginap. Dia benar-benar wanita yang gigih dan tidak pantang menyerah.

"Kamu tahu jawabannya apa, Anita," jawab Mas Fauzan dengan nada sedikit genit.

"Kalau begitu, kamu mau kan?"

"Aku mau, tapi gak bisa malam ini. Lain kali saja, ya. Aku janji akan meluangkan waktu untuk kamu. Tapi nanti, bukan sekarang. Aku gak mau Laura curiga kepadaku dan juga kamu. Nanti ujung-ujungnya akan berimbas ke kamu juga. Tolong kamu mengerti dan bersabar untuk kali ini saja, ya," bujuk Mas Fauzan lagi.

Alih-alih menjawab, Anita justru memunggungi Mas Fauzan. Wanita itu pasti sedang merajuk dan sengaja meminta perhatian lebih dari suamiku. Sialnya, Mas Fauzan justru terprovokasi dan memeluk Anita dari belakang.

Pemandangan itu sungguh membuat hatiku tercabik-cabik. Kilasan semua kenangan indah bersama Mas Fauzan bagaikan kaca yang pecah. 

"Jangan marah lagi, ya. Aku janji akan meluangkan waktu buat kamu. Kamu sendiri kan tahu kalau aku gak bisa lama-lama gak sama kamu. Nanti aku akan memberi alasan alasan yang tepat agar Laura tidak curiga. Kamu mau kan?"

Mas Fauzan lantas meregangkan pelukannya dan memutar tubuh Anita, lalu melepaskan tangannya. Mereka kini saling pandang dengan tatapan sayu. Namun, terlihat sangat menyakitkan untukku.

"Tapi kamu janji sama aku, ya, Mas. Awas saja kalau kamu ingkar janji." Anita berkata dengan nada sedikit mengancam dan segera dijawab dengan anggukan oleh Mas Fauzan. Tangan kanan Anita mengusap lembut lengan Mas Fauzan.

Ah, aku akhirnya sudah tidak tahan mendengar keduanya berbicara mesra. Akhirnya aku berdeham dan tentu saja Mas Fauzan segera melepaskan tangan Anita yang memegang lengannya agar aku tidak salah paham. Padahal aku sudah melihat dan mendengar lebih dari itu.

"E-eh, Laura. A-aku baru saja akan ke luar," ucap Mas Fauzan gugup.

"Iya, Mbak. Aku dan Mas Fauzan baru saja akan ke luar," timpal Anita membenarkan perkataan Mas Fauzan.

Aku tidak memberi tanggapan dan mengucapkan sepatah kata pun. Namun, saat mataku menyipit memandangi penuh curiga, Mas Fauzan justru tampak salah tingkah. Persis seperti seseorang yang tidak ingin kebohongannya ketahuan.

"Apa sudah selesai membenarkan lampunya atau belum?" tanyaku kepada Mas Fauzan tanpa memedulikan Anita.

"Ini sudah selesai kok."

"Lampunya sudah selesai diganti. Tadi habis dari kamar mandi aku mampir untuk melihatnya. Siapa tahu Mas Fauzan butuh bantuan. Eh, gak tahunya sudah selesai. Terima kasih, ya, Mas," ujar Anita menjawab sambil tersenyum manis ke arah suamiku. Wanita itu tampak tenang, tidak seperti Mas  Fauzan yang gelisah.

Gegas Mas Fauzan melangkah dengan cepat ke luar dari rumah tersebut. Sedangkan Anita berjalan dengan perlahan di belakangnya. Lalu, langsung saja kurangkul mesra lengan Mas Fauzan.

"Kita berangkat sekarang, yuk, Mas," ajakku kepada Mas Fauzan, masih sambil merangkul lengannya. Tentu saja Mas Fauzan tidak bisa menolaknya dan aku yakin Anita akan kepanasan melihat pemandangan tersebut.

Sengaja aku melakukan hal seperti itu hanya untuk melihat ekspresi wajah Anita. Sambil berjalan sesaat aku melirik ke arah Anita yang berjalan lambat di belakangku dan Mas Fauzan . Benar saja, Anita memandangku dengan tatapan tidak suka. Ah, aku sangat puas melihat wajah kesalnya itu.

Saat aku dan Mas Fauzan sudah berjalan sampai pintu, aku berbalik ke arah Anita dan berkata, "kalau minta tolong sama suami orang itu boleh-boleh saja, tapi harap tau dirilah. Sebab kamu juga sudah bersuami."

Anita tampak terkejut dan semakin kesal. Mungkin tidak mengira akan mendapat perkataan seperti ini dariku.

"Maksudnya gimana, ya, Mbak?" tanya Anita pura-pura tidak tahu.

"Aku yakin kamu wanita yang cerdas. Jadi, kamu pasti tahu apa yang kumaksud."

Kulihat Anita menatap Mas Fauzan. Seolah-olah meminta pertolongan agar menegurku. Namun, seperti prediksi, Mas Fauzan tidak berkata apa-apa dan justru membuang pandangan ke arah lain.

"Selamat tinggal, Anita," ucapku sambil tersenyum puas. Lalu, melenggang pergi bersama Mas Fauzan yang tampak kurang nyaman.

Kami kembali melanjutkan perjalanan untuk membeli ayam geprek pesanan ibu mertua.

"Apa maksud kamu bicara seperti itu kepada Anita, Laura?" 

"Aku gak ada maksud apa-apa kok. Hanya sekedar bicara aja. Masa kamu gak tahu sih?"

"Ya, tapi kan dia gak melakukan apa-apa."

"Aku tahu. Makanya aku hanya memperingatkan Anita. Kalau dia melakukan sesuatu, tentu akan lain ceritanya, Mas. Lagian kenapa kamu terlihat tidak senang begitu sih, Mas?"

"Gak tuh. Kamu salah lihat, Sayang. Aku hanya merasa tidak enak karena Anita terlihat kurang nyaman tadi."

"Oh, begitu."

Sudah kuduga jika Mas Fauzan akan mempertanyakan tindakanku. Karena bukan hanya Anita, melainkan dia juga tampak tidak senang dan tidak nyaman.

Sepanjang jalan aku memikirkan percakapan antara Anita dan Mas Fauzan. Tentang slip gaji suamiku dan jabatannya. Terlalu banyak kebohongan yang dilakukan Mas Rahman hari ini. Belum lagi ibu mertuaku yang bicaranya sedikit ketus dan kurang enak didengar.

Padahal selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun kepada Mas Fauzan. Aku selalu menerima keputusannya. Bahkan aku tidak melayangkan protes meski uang gaji yang katanya cuma sedikit untuk kubagi dua dengan ibunya. Justru aku sangat ikhlas karena aku sudah paham betul keadaan keluarganya.

Jika separuh gajinya untukku dan ibu, lantas ke mana sisa gaji suamiku? Aku harus mencari lebih banyak petunjuk. Selama ini aku bersabar dengan uang bulanan yang kecil, tetapi ternyata gaji Mas Rahman besar dan sudah diangkat menjadi supervisor. Entah kebohongan apa lagi yang telah disembunyikan Mas Fauzan dariku.

"Kamu kok diam saja sih, Sayang?" tanya Mas Rahman saat kami masih dalam perjalanan membeli ayam geprek.

"Gak apa-apa kok, Mas. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Hm, memikirkan apa? Apa kamu ada masalah?"

Aku menjadi sedikit kesal karena Mas Fauzan bertanya seperti itu. Padahal bukan aku yang memiliki masalah, melainkan Mas Fauzan.

"Aku hanya sedang memikirkan papan iklan yang tadi kita lewati. Tentang orang yang berselingkuh."

"Oh, ya. Aku tidak melihatnya. Memang apa tulisannya?"

"Tulisannya seperti ini, Mas 'Kalau pasanganmu selingkuh dan kamu tidak bisa berkata kasar, serahkan saja kepada Ben Cabe. Ada level tertinggi untuk pedas yang hakiki untuk pelakor'. Begitu, Mas."

Kulihat Mas Fauzan sedikit tersentak dengan apa yang baru saja kukatakan. Lalu, menengok ke kiri dan kanan mencari papan iklan yang kumaksud.

"Isinya unik sekali. Papan iklannya ada di sebelah mana, Sayang?"

"Gak usah dicari, Mas. Sudah lewat dari tadi."

Tentu saja Mas Fauzan tidak akan pernah menemukan papan iklan tersebut meski mencarinya sampai kiamat, karena memang papan iklan itu tidak pernah ada. Hanya karanganku saja.

"Ah, padahal aku penasaran bagaimana gambarnya."

"Cuma gambar cabe kok, Mas."

Mas Fauzan tampak kurang puas dengan jawabanku. Entah gambar apa yang diharapkannya berada di papan iklan itu. Tidak berapa lama kemudian kami tiba di warung ayam geprek langganan Mas Fauzan.

"Mas, ayam geprek plus nasinya lima porsi, ya."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si laura terlalu tolol sehingga gampang banget diselingkuhi. istri yg menye2 dan terlalu bucin memang g ada harganya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status