Home / Rumah Tangga / RAHASIA SUAMIKU / Air Mata di Pagi Hari

Share

Air Mata di Pagi Hari

last update Last Updated: 2022-07-27 11:03:34

"Uang kemarin buat beli mainan Rafif belum diganti ya? Abang mau beli rokok hari ini."

Nasi yang hampir masuk ke mulut Kinan gagal akibat terhentinya gerakan sendok di udara seketika. Mulutnya menganga.

"Jangan pura-pura lupa begitu, Dek! Kan kemarin juga perginya denganmu?"

Kinan menutup mulutnya cepat. Matanya melotot menatap Ardi yang sedang duduk di seberangnya. Sendok yang berada di antara telunjuk dan jempolnya itu dihempaskan ke piring yang berisi nasi goreng telur.

"Awas kalau piringnya pecah, Dek! Itu piring peninggalan keluarga Abang. Warisan keluarga yang turun-temurun."

Kinan menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit yang ada.

"Bang, kamu lebih menyayangi piring warisan leluhurmu atau aku dan anakmu?" Lirih kalimat itu mengalir dari bibir Kinan.

"Ya ... sayang semuanya lah. Piring itu warisan keluarga. Kamu dan Rafif itu anak dan istri Abang. Piring dan kalian itu sama berharganya di mata Abang."

Seperti tak berdosa, laki-laki yang bergelar suami Kinan itu meneguk kopi dari mug bergambar bunga matahari.  Lagi-lagi wadah kopi itu juga warisan keluarganya.

"Kamu masih waras, Bang?"

Kinan mencoba menghujam Ardi dengan netranya. Menunjukkan sisi kekuatannya sebagai wanita yang selama ini sama sekali tak pernah dianggap oleh laki-laki dengan profesi sebagai satpam sebuah bank pemerintah itu.

"Apa yang salah dengan ucapan Abang, Dek?"

Rasanya ubun-ubun Kinan perlu dibalur dengan bongkahan es batu agar tak menunjukkan luapan amarahnya.

"Abang pikir waras menyamakan istri dan anak Abang dengan benda mati tak berharga seperti ini?"

Lima tahun menikah dengan Ardi, tak pernah selama ini Kinan membantah ucapan gila yang senantiasa dilontarkan suaminya itu. Kesabaran belum tentu berbuah manis. Tak jarang, kesabaran justru menjadi pil pahit yang harus ditelan setiap hari.

"Adek sehat kan? Tumben seperti ini!"

Ardi mengangkat tubuhnya dari kursi yang ada di seberang Kinan. Meraba dahi istrinya itu untuk menebak suhu tubuh wanita yang selama ini dikenalnya sebagai istri penurut itu.

"Tak panas. Kamu lagi ada masalah sampai emosi seperti ini pagi-pagi seperti ini?"

Ardi kembali mendudukkan tubuhnya. Meneguk kopi yang tersisa hingga tandas.

"Tubuhku memang tak panas, Bang. Hatiku yang panas, membara bak api unggun yang menyala."

Kinan menggeser piring makan bermotif bunga mawar itu dari hadapannya. Selera makannya hilang. Tak ada nafsu lagi untuk mengisi perut di awal hari yang begitu menyakitkan ini.

"Selama pernikahan kita, apa yang sudah Abang berikan untuk istrimu ini? Pakaian? Aku selalu membelinya sendiri. Makanan dan kebutuhan rumah tangga kita pun aku beli dengan uangku, Bang. Gajiku. Hasil keringatku."

Kinan mengusap kasar wajah ayunya. Meraup dengan kasar udara yang ada di sekitarnya agar dapat memenuhi rongga paru-paru yang rasanya semakin sempit saja.

"Gas, listrik, susu Rafif, dan semua kebutuhannya aku yang menanggung. Lantas untuk beras yang Abang sendiri ikut menikmatinya juga aku yang harus menanggungnya?"

Kinan meraung dalam isakan tangisnya.  Untung saja, Rafif masih tertidur di dalam kamarnya. Putera semata wayang suami istri itu melanjutkan tidurnya setelah minum susu selepas Subuh tadi.

"Selama ini memang seperti itu kan, Dek? Uang gajimu untuk kebutuhan rumah tangga. Uang gajiku untuk membayar angsuran bank. Kamu lupa kalau rumah warisan ini kita beli dengan meminjam uang ke bank? Abang juga mengumpulkan sisa gaji Abang untuk membeli mobil. Bukan untuk foya-foya."

Ardi bingung dengan semua ini.  Selama ini Kinan tak pernah mengungkit-ungkit masalah uang dalam rumah tangga mereka. Wanita ayu yang menjadi istrinya itu mempunya profesi ganda. Senin sampai Jumat, Kinan menjadi guru taman kanak-kanak tak jauh dari rumah mereka. Hari Minggu seringkali dimanfaatkan Kinan untuk mencari tambahan dengan menjadi penyanyi di acara-acara resepsi pernikahan. 

Rafif biasanya akan dititipkan Kinan pada tetangganya saat dia bekerja. Pada hari Minggu jika mendapat orderan manggung, Kinan akan memberi tambahan kepada janda beranak satu yang telah mengasuh puteranya itu.

"Itulah salahku, Bang! Aku istri yang bodoh membiarkan dirinya menjadi tulang punggung keluarga."

Nyalang mata Kinan menatap Ardi yang sama sekali masih merasa tak salah.

"Siapa yang bilang kamu tulang punggung, Dek? Kita bahu membahu. Itu yang benar. Abang mengizinkan kamu bekerja agar dapat tetap membantu perekonomian keluarga kita. Lantas ... dimana salahnya? Abang benar-benar tak mengerti."

Kinan merasa ubun-ubunnya benar-benar telah terbakar. Laki-laki yang berhadapan dengannya ini hanya fisiknya yang normal, tapi jiwanya tidak. Apakah ini terjadi karena Kinan yang selama ini membiarkan begitu saja semuanya? Harusnya dari awal pernikahan Kinan tak membiarkan perlakuan Ardi ini terjadi. Harusnya Kinan mampu tegas dengan cara pengelolaan uang di rumah tangga mereka sejak dini.

Kinan berdiri dari duduknya. Berjalan perlahan dengan lelehan bulir bening di wajahnya. Membuka pintu kamar Rafif dan menguncinya dari dalam. Dirinya harus tetap waras. Memeluk Rafif merupakan salah satu cara menjaga kewarasannya.

Sayup terdengar ucapan di balik pintu kamar.

"Dek, nasi gorengnya Abang habiskan saja ya! Sayang mubazir kalau dibiarkan seperti ini! Apalagi nanti kalau sudah dingin."

Kinan memilih menutup indera pendengarannya dengan bantal. Gila. Hanya kata itu yang mampu diucapkannya.

Pagi ini tak ada nasi goreng yang  masuk ke perutnya. Air mata menjadi sarapannya di pagi Minggu ini. Haruskah Kinan merasa menyesal telah menikah dengan Ardi?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RAHASIA SUAMIKU   Rahasia Yang Akhirnya Terungkap (ENDING)

    "Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i

  • RAHASIA SUAMIKU   Pengakuan

    Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-

  • RAHASIA SUAMIKU   Siapa Pelakunya?

    Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan.  Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem

  • RAHASIA SUAMIKU   Teman Lama

    Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.

  • RAHASIA SUAMIKU   Siapa Dia?

    Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m

  • RAHASIA SUAMIKU   Mengulang Cerita

    Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status