Share

Air Mata di Pagi Hari

"Uang kemarin buat beli mainan Rafif belum diganti ya? Abang mau beli rokok hari ini."

Nasi yang hampir masuk ke mulut Kinan gagal akibat terhentinya gerakan sendok di udara seketika. Mulutnya menganga.

"Jangan pura-pura lupa begitu, Dek! Kan kemarin juga perginya denganmu?"

Kinan menutup mulutnya cepat. Matanya melotot menatap Ardi yang sedang duduk di seberangnya. Sendok yang berada di antara telunjuk dan jempolnya itu dihempaskan ke piring yang berisi nasi goreng telur.

"Awas kalau piringnya pecah, Dek! Itu piring peninggalan keluarga Abang. Warisan keluarga yang turun-temurun."

Kinan menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan pahit yang ada.

"Bang, kamu lebih menyayangi piring warisan leluhurmu atau aku dan anakmu?" Lirih kalimat itu mengalir dari bibir Kinan.

"Ya ... sayang semuanya lah. Piring itu warisan keluarga. Kamu dan Rafif itu anak dan istri Abang. Piring dan kalian itu sama berharganya di mata Abang."

Seperti tak berdosa, laki-laki yang bergelar suami Kinan itu meneguk kopi dari mug bergambar bunga matahari.  Lagi-lagi wadah kopi itu juga warisan keluarganya.

"Kamu masih waras, Bang?"

Kinan mencoba menghujam Ardi dengan netranya. Menunjukkan sisi kekuatannya sebagai wanita yang selama ini sama sekali tak pernah dianggap oleh laki-laki dengan profesi sebagai satpam sebuah bank pemerintah itu.

"Apa yang salah dengan ucapan Abang, Dek?"

Rasanya ubun-ubun Kinan perlu dibalur dengan bongkahan es batu agar tak menunjukkan luapan amarahnya.

"Abang pikir waras menyamakan istri dan anak Abang dengan benda mati tak berharga seperti ini?"

Lima tahun menikah dengan Ardi, tak pernah selama ini Kinan membantah ucapan gila yang senantiasa dilontarkan suaminya itu. Kesabaran belum tentu berbuah manis. Tak jarang, kesabaran justru menjadi pil pahit yang harus ditelan setiap hari.

"Adek sehat kan? Tumben seperti ini!"

Ardi mengangkat tubuhnya dari kursi yang ada di seberang Kinan. Meraba dahi istrinya itu untuk menebak suhu tubuh wanita yang selama ini dikenalnya sebagai istri penurut itu.

"Tak panas. Kamu lagi ada masalah sampai emosi seperti ini pagi-pagi seperti ini?"

Ardi kembali mendudukkan tubuhnya. Meneguk kopi yang tersisa hingga tandas.

"Tubuhku memang tak panas, Bang. Hatiku yang panas, membara bak api unggun yang menyala."

Kinan menggeser piring makan bermotif bunga mawar itu dari hadapannya. Selera makannya hilang. Tak ada nafsu lagi untuk mengisi perut di awal hari yang begitu menyakitkan ini.

"Selama pernikahan kita, apa yang sudah Abang berikan untuk istrimu ini? Pakaian? Aku selalu membelinya sendiri. Makanan dan kebutuhan rumah tangga kita pun aku beli dengan uangku, Bang. Gajiku. Hasil keringatku."

Kinan mengusap kasar wajah ayunya. Meraup dengan kasar udara yang ada di sekitarnya agar dapat memenuhi rongga paru-paru yang rasanya semakin sempit saja.

"Gas, listrik, susu Rafif, dan semua kebutuhannya aku yang menanggung. Lantas untuk beras yang Abang sendiri ikut menikmatinya juga aku yang harus menanggungnya?"

Kinan meraung dalam isakan tangisnya.  Untung saja, Rafif masih tertidur di dalam kamarnya. Putera semata wayang suami istri itu melanjutkan tidurnya setelah minum susu selepas Subuh tadi.

"Selama ini memang seperti itu kan, Dek? Uang gajimu untuk kebutuhan rumah tangga. Uang gajiku untuk membayar angsuran bank. Kamu lupa kalau rumah warisan ini kita beli dengan meminjam uang ke bank? Abang juga mengumpulkan sisa gaji Abang untuk membeli mobil. Bukan untuk foya-foya."

Ardi bingung dengan semua ini.  Selama ini Kinan tak pernah mengungkit-ungkit masalah uang dalam rumah tangga mereka. Wanita ayu yang menjadi istrinya itu mempunya profesi ganda. Senin sampai Jumat, Kinan menjadi guru taman kanak-kanak tak jauh dari rumah mereka. Hari Minggu seringkali dimanfaatkan Kinan untuk mencari tambahan dengan menjadi penyanyi di acara-acara resepsi pernikahan. 

Rafif biasanya akan dititipkan Kinan pada tetangganya saat dia bekerja. Pada hari Minggu jika mendapat orderan manggung, Kinan akan memberi tambahan kepada janda beranak satu yang telah mengasuh puteranya itu.

"Itulah salahku, Bang! Aku istri yang bodoh membiarkan dirinya menjadi tulang punggung keluarga."

Nyalang mata Kinan menatap Ardi yang sama sekali masih merasa tak salah.

"Siapa yang bilang kamu tulang punggung, Dek? Kita bahu membahu. Itu yang benar. Abang mengizinkan kamu bekerja agar dapat tetap membantu perekonomian keluarga kita. Lantas ... dimana salahnya? Abang benar-benar tak mengerti."

Kinan merasa ubun-ubunnya benar-benar telah terbakar. Laki-laki yang berhadapan dengannya ini hanya fisiknya yang normal, tapi jiwanya tidak. Apakah ini terjadi karena Kinan yang selama ini membiarkan begitu saja semuanya? Harusnya dari awal pernikahan Kinan tak membiarkan perlakuan Ardi ini terjadi. Harusnya Kinan mampu tegas dengan cara pengelolaan uang di rumah tangga mereka sejak dini.

Kinan berdiri dari duduknya. Berjalan perlahan dengan lelehan bulir bening di wajahnya. Membuka pintu kamar Rafif dan menguncinya dari dalam. Dirinya harus tetap waras. Memeluk Rafif merupakan salah satu cara menjaga kewarasannya.

Sayup terdengar ucapan di balik pintu kamar.

"Dek, nasi gorengnya Abang habiskan saja ya! Sayang mubazir kalau dibiarkan seperti ini! Apalagi nanti kalau sudah dingin."

Kinan memilih menutup indera pendengarannya dengan bantal. Gila. Hanya kata itu yang mampu diucapkannya.

Pagi ini tak ada nasi goreng yang  masuk ke perutnya. Air mata menjadi sarapannya di pagi Minggu ini. Haruskah Kinan merasa menyesal telah menikah dengan Ardi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status