Share

Lelah

"Assalamu'alaikum, Bang."

Tak ada balasan salam yang didengarnya. Kinan membuka pintu ruang tamu setelah menyimpan flat shoes coklatnya di rak sepatu yang tepat berada di pintu masuk.

Isi rumah tampak sepi. Tak ada terdengar aktivitas apapun di dalamnya. Kinan melihat ke arah dapur. Tak ada siapapun di sana.

Melangkahkan kakinya menuju kamar tidur, sayup Kinan menangkap suara celoteh khas Rafif dari balik pintu. Ada sedikit kelegaan di hatinya.

Perlahan Kinan membuka pintu kamar yang sedikit tertutup. Matanya membelalak, takjub melihat pemandangan yang ada ruangan dengan luas  sembilan meter persegi itu.

Rafif, putra kesayangannya itu sungguh hampir tak terlihat wajahnya. Duduk di atas kasur tipis yang memang sering digunakannya untuk bermain dengan taburan serbuk putih menutupi raut wajah bocah itu. Sementara itu, tak jauh dari Rafif tampak sang suami. Laki-laki itu dengan santainya memainkan jemari pada layar pipih yang ada di genggamannya. Tak peduli dengan penampakan putera semata wayang mereka.

"Bang, Rafif kenapa dibiarkan memainkan botol bedak seperti ini? Mana posisinya dalam kondisi terbuka lagi. Bedak itu pasti masuk ke dalam mulutnya, Bang."

Cepat Kinan membuka lemari, mengambil sehelai sapu tangan dari dalamnya. Mengusap perlahan bedak yang menempel pada wajah Rafif.

"Abang memang sosok ayah yang luar biasa! Lebih penting memainkan gawai daripada mengajak anak bermain. Abang tak takut resiko bedak itu banyak tertelan oleh Rafif?"

Nada suara Kinan cukup tinggi. Bagaimana tidak emosi, Ardi benar-benar tak memperhatikan tingkah anak mereka yang memang belum mengerti apa-apa.

Perlahan Kinan menuju dapur untuk membasahi sapu tangan yang digunakannya dengan air. Setelah itu kembali dengan langkah tergesa untuk kemudian mengusap wajah Rafif dengan hati-hati, terutama di area hidung dan mulut. Kinan memperhatikan dengan cermat, apakah bedak itu terhirup ke hidung Rafif atau bahkan tertelan olehnya.

"Abang kan nggak ngerti, Dek. Rafif tadi agak rewel, makanya Abang cari mainan. Pas dikasih botol bedak, Rafif senang. Lagi pula tadi Abang lihat tadi posisinya tertutup."

Kinan hanya mampu menggelengkan kepalanya perlahan. Capek setelah beraktivitas untuk membimbing anak-anak belajar mengeja aksara saja sudah menguras tenaganya. Sekarang harus terkuras lagi emosinya melihat perangai suami yang luar biasa.

"Rafif itu sudah besar, Bang! Posisi tutup bedak seperti ini gampang saja diputarnya. Abang harusnya lihat juga sebentar-sebentar. Jangan cuma fokus pada game terus, Bang! Abang nggak takut kalau Rafif kenapa-kenapa?"

Menurunkan nada suaranya, Kinan tak ingin emosinya semakin terkuras melihat tingkah Ardi yang sebetulnya cukup membuat tekanan darahnya dapat meningkat.

Tak lagi memperpanjang masalah yang Kinan yakin tak akan ada ujungnya, wanita itu memilih melepaskan kerudungnya. Mengambil sehelai daster berwarna biru dengan motif bunga, Kinan pun lantas mengganti pakaiannya. Setelah meletakkan pakaian kotornya ke kamar mandi, Kinan kembali ke kamar dan langsung menemani Rafif bermain.

Matanya kembali membelalak saat mengangkat tubuh Rafif. Popok sekali pakai yang digunakan batita itu muatannya sudah penuh.

"Abang ... berarti dari tadi Abang hanya sibuk main game saja ya! Sampai-sampai pipis Rafif sudah penuh saja Abang tak sadar."

Niat hati tak ingin marah. Tapi Kinan gagal. Usahanya untuk sabar akhirnya harus gagal saat menemukan kenyataan lain yang lebih luar biasa. 

Melihat Kinan yang sudah mulai emosi, Ardi melepaskan gawainya. Mengangkat tubuhnya dari bantal yang sedari pagi tadi menjadi temna setianya.

"Manalah Abang tahu kalau pipisnya Rafif bakal penuh, Dek. Lagi pula, Rafif nya nyaman-nyaman saja. Kamu saja yang terlalu membuat ribet masalah sepele seperti ini!"

Ya Allah, ingin rasanya Kinan memukul kepala laki-laki itu jika tak ingat dosa. Barangkali saja, aliran darah ke otak Ardi tak lancar hingga daya kerjanya menurun dan menjadi terhambat.

"Rafif diam bukan berarti aman, Bang! Abang tahu resiko jika pipisnya ini berkumpul terlalu lama di kulit. Ruam, Bang! Kalau sudah ruam, lebih susah lagi mengobatinya."

Gegas Kinan membuka popok sekali pakai anaknya. Membawanya langsung ke belakang seperti biasa. Ada khusus kantong pembuangan yang dipisahkan dari sampah rumah tangga mereka sehari-hari.

Setelah mencuci tangannya, Kinan kembali ke kamar dan memakaikan pokok baru ke Rafif. Sebelumnya, Kinan memastikan kulit pantat Rafif terlebih dahulu. Untung saja, tak ada kelihatan ruamnya. Sebelum memakaikan popok baru, Kinan mengusap sapu tangan basah yang kebetulan masih ada di dekatnya ke area pantat Rafif. Kinan berharap, semoga saja tak ada rasa gatal di daerah itu. Menepuk-nepuk sedikit bedak di area itu menjadi upaya Kinan selanjutnya.

Ardi tak lagi terlihat di kamar. Kinan tak peduli. Wanita itu lebih memilih membereskan mainan yang berserakan di kasur. Waktu makan siang Rafif sudah tiba. Kinan memilih menyuapi putranya dulu, baru dirinya. 

Melangkahkan kakinya menuju dapur sambil menggendong Rafif, justru pemandangan berikutnya membuat hatinya terhenyak. Ardi dengan santainya menikmati makan siang di dapur tanpa memikirkan Kinan yang pastinya lelah sehabis pulang bekerja. 

Lagi-lagi Kinan memilih mengacuhkan laki-laki itu. Tak guna jika akhirnya akan membuat hati semakin meradang nantinya. Kinan segera menyiapkan makanan Rafif yang memang sudah dimasaknya tadi pagi. Masih sama dengan menu sarapan Rafif. Nasi dengan lauk sup hati ayam dengan tambahan brokoli. Kinan cukup beruntung, urusan makan putranya itu tak rewel. Apa pun yang dimasak Kinan asalkan berkuah, Rafif akan langsung melahapnya. Tak heran, tubuh balita itu tergolong sehat dengan berat tubuh yang ideal.

Tak ada perbincangan di antara Kinan dan Ardi. Kinan fokus pada aktivitas menyuapi Rafif di depan televisi, sedangkan Ardi lahap dengan menu makan siangnya. Lempah kuning nanas kepala ikan tenggiri ditambah lalapan dan sambal tomat. Berkali-kali Ardi mengusap peluh di dahinya karena sambal buatan Kinan hari ini memang tergolong pedas. 

Saat Kinan memberikan minum kepada Rafif setelah mangkok makanannya tandas tak bersisa, Ardi lagi-lagi memberikan kejutan tak terduga.

"Dek, tadi ada tagihan sampah. Abang bilang sore atau besok saja kembalinya. Soalnya kamu kan tadi pagi tidak meninggalkan uang," ucap Ardi seraya berjalan mendekati Kinan.

Ubun-ubun Kinan rasanya bagaikan disiram bensin saja saat mendengar perkataan Ardi. Ibaratnya, sebentar lagi kepalanya siap meledak mendengar kata-kata ajaib Ardi tadi.

"Ya Allah Abang! Otakmu kemana sebenarnya! Kenapa tak dibayari dulu uangnya? Bukan jumlah yang besar, Bang. Hanya dua puluh ribu."

Kinan menghempaskan mangkok makanan Rafif dengan kasar ke lantai. Hampir saja mangkok itu dilemparnya ke wajah Ardi.

"Kan biasanya jatahmu buat bayar iuran sampah, Dek. Mengapa harus Abang?"

Kinan menyesal tak jadi melemparkan mangkok kecil berwarna hijau itu ke wajah Ardi. Harusnya itu dilakukan Kinan tanpa harus berpikir panjang lagi 

"Hanya Abang suami perhitungan yang sampai hati membiarkan istrinya menanggung semua kebutuhan rumah tangga! Walaupun biasanya aku yang bayar, tak ada salahnya kali ini Abang yang bayar karena kebetulan ketemunya dengan Abang. Tak harus berpatokan itu adalah jatahku untuk membayar."

Kinan meraung dalam tangisan. Rafif memandang wajah ibunya yang sudah bersimbah air mata. Mungkin, batita itu mencoba memahami makna tangisan ibunya.

"Aku lelah, Bang! Bahkan Abang tak berpikir kalau aku juga lapar setelah mencari nafkah di luar sana untuk ikut menanggung kebutuhan rumah tangga kita."

Masih dengan linangan air matanya, Kinan merangkul Rafif dan membawanya ke kamar. Tak banyak yang diharapkannya, pengertian sebagai seorang suami untuk istri yang juga ikut berjuang untuk masa depan mereka. Bukan suami yang perhitungan, tak memikirkan perasaan istri yang harusnya dinafkahi.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status