Share

Lelah

last update Last Updated: 2022-07-27 11:07:22

"Assalamu'alaikum, Bang."

Tak ada balasan salam yang didengarnya. Kinan membuka pintu ruang tamu setelah menyimpan flat shoes coklatnya di rak sepatu yang tepat berada di pintu masuk.

Isi rumah tampak sepi. Tak ada terdengar aktivitas apapun di dalamnya. Kinan melihat ke arah dapur. Tak ada siapapun di sana.

Melangkahkan kakinya menuju kamar tidur, sayup Kinan menangkap suara celoteh khas Rafif dari balik pintu. Ada sedikit kelegaan di hatinya.

Perlahan Kinan membuka pintu kamar yang sedikit tertutup. Matanya membelalak, takjub melihat pemandangan yang ada ruangan dengan luas  sembilan meter persegi itu.

Rafif, putra kesayangannya itu sungguh hampir tak terlihat wajahnya. Duduk di atas kasur tipis yang memang sering digunakannya untuk bermain dengan taburan serbuk putih menutupi raut wajah bocah itu. Sementara itu, tak jauh dari Rafif tampak sang suami. Laki-laki itu dengan santainya memainkan jemari pada layar pipih yang ada di genggamannya. Tak peduli dengan penampakan putera semata wayang mereka.

"Bang, Rafif kenapa dibiarkan memainkan botol bedak seperti ini? Mana posisinya dalam kondisi terbuka lagi. Bedak itu pasti masuk ke dalam mulutnya, Bang."

Cepat Kinan membuka lemari, mengambil sehelai sapu tangan dari dalamnya. Mengusap perlahan bedak yang menempel pada wajah Rafif.

"Abang memang sosok ayah yang luar biasa! Lebih penting memainkan gawai daripada mengajak anak bermain. Abang tak takut resiko bedak itu banyak tertelan oleh Rafif?"

Nada suara Kinan cukup tinggi. Bagaimana tidak emosi, Ardi benar-benar tak memperhatikan tingkah anak mereka yang memang belum mengerti apa-apa.

Perlahan Kinan menuju dapur untuk membasahi sapu tangan yang digunakannya dengan air. Setelah itu kembali dengan langkah tergesa untuk kemudian mengusap wajah Rafif dengan hati-hati, terutama di area hidung dan mulut. Kinan memperhatikan dengan cermat, apakah bedak itu terhirup ke hidung Rafif atau bahkan tertelan olehnya.

"Abang kan nggak ngerti, Dek. Rafif tadi agak rewel, makanya Abang cari mainan. Pas dikasih botol bedak, Rafif senang. Lagi pula tadi Abang lihat tadi posisinya tertutup."

Kinan hanya mampu menggelengkan kepalanya perlahan. Capek setelah beraktivitas untuk membimbing anak-anak belajar mengeja aksara saja sudah menguras tenaganya. Sekarang harus terkuras lagi emosinya melihat perangai suami yang luar biasa.

"Rafif itu sudah besar, Bang! Posisi tutup bedak seperti ini gampang saja diputarnya. Abang harusnya lihat juga sebentar-sebentar. Jangan cuma fokus pada game terus, Bang! Abang nggak takut kalau Rafif kenapa-kenapa?"

Menurunkan nada suaranya, Kinan tak ingin emosinya semakin terkuras melihat tingkah Ardi yang sebetulnya cukup membuat tekanan darahnya dapat meningkat.

Tak lagi memperpanjang masalah yang Kinan yakin tak akan ada ujungnya, wanita itu memilih melepaskan kerudungnya. Mengambil sehelai daster berwarna biru dengan motif bunga, Kinan pun lantas mengganti pakaiannya. Setelah meletakkan pakaian kotornya ke kamar mandi, Kinan kembali ke kamar dan langsung menemani Rafif bermain.

Matanya kembali membelalak saat mengangkat tubuh Rafif. Popok sekali pakai yang digunakan batita itu muatannya sudah penuh.

"Abang ... berarti dari tadi Abang hanya sibuk main game saja ya! Sampai-sampai pipis Rafif sudah penuh saja Abang tak sadar."

Niat hati tak ingin marah. Tapi Kinan gagal. Usahanya untuk sabar akhirnya harus gagal saat menemukan kenyataan lain yang lebih luar biasa. 

Melihat Kinan yang sudah mulai emosi, Ardi melepaskan gawainya. Mengangkat tubuhnya dari bantal yang sedari pagi tadi menjadi temna setianya.

"Manalah Abang tahu kalau pipisnya Rafif bakal penuh, Dek. Lagi pula, Rafif nya nyaman-nyaman saja. Kamu saja yang terlalu membuat ribet masalah sepele seperti ini!"

Ya Allah, ingin rasanya Kinan memukul kepala laki-laki itu jika tak ingat dosa. Barangkali saja, aliran darah ke otak Ardi tak lancar hingga daya kerjanya menurun dan menjadi terhambat.

"Rafif diam bukan berarti aman, Bang! Abang tahu resiko jika pipisnya ini berkumpul terlalu lama di kulit. Ruam, Bang! Kalau sudah ruam, lebih susah lagi mengobatinya."

Gegas Kinan membuka popok sekali pakai anaknya. Membawanya langsung ke belakang seperti biasa. Ada khusus kantong pembuangan yang dipisahkan dari sampah rumah tangga mereka sehari-hari.

Setelah mencuci tangannya, Kinan kembali ke kamar dan memakaikan pokok baru ke Rafif. Sebelumnya, Kinan memastikan kulit pantat Rafif terlebih dahulu. Untung saja, tak ada kelihatan ruamnya. Sebelum memakaikan popok baru, Kinan mengusap sapu tangan basah yang kebetulan masih ada di dekatnya ke area pantat Rafif. Kinan berharap, semoga saja tak ada rasa gatal di daerah itu. Menepuk-nepuk sedikit bedak di area itu menjadi upaya Kinan selanjutnya.

Ardi tak lagi terlihat di kamar. Kinan tak peduli. Wanita itu lebih memilih membereskan mainan yang berserakan di kasur. Waktu makan siang Rafif sudah tiba. Kinan memilih menyuapi putranya dulu, baru dirinya. 

Melangkahkan kakinya menuju dapur sambil menggendong Rafif, justru pemandangan berikutnya membuat hatinya terhenyak. Ardi dengan santainya menikmati makan siang di dapur tanpa memikirkan Kinan yang pastinya lelah sehabis pulang bekerja. 

Lagi-lagi Kinan memilih mengacuhkan laki-laki itu. Tak guna jika akhirnya akan membuat hati semakin meradang nantinya. Kinan segera menyiapkan makanan Rafif yang memang sudah dimasaknya tadi pagi. Masih sama dengan menu sarapan Rafif. Nasi dengan lauk sup hati ayam dengan tambahan brokoli. Kinan cukup beruntung, urusan makan putranya itu tak rewel. Apa pun yang dimasak Kinan asalkan berkuah, Rafif akan langsung melahapnya. Tak heran, tubuh balita itu tergolong sehat dengan berat tubuh yang ideal.

Tak ada perbincangan di antara Kinan dan Ardi. Kinan fokus pada aktivitas menyuapi Rafif di depan televisi, sedangkan Ardi lahap dengan menu makan siangnya. Lempah kuning nanas kepala ikan tenggiri ditambah lalapan dan sambal tomat. Berkali-kali Ardi mengusap peluh di dahinya karena sambal buatan Kinan hari ini memang tergolong pedas. 

Saat Kinan memberikan minum kepada Rafif setelah mangkok makanannya tandas tak bersisa, Ardi lagi-lagi memberikan kejutan tak terduga.

"Dek, tadi ada tagihan sampah. Abang bilang sore atau besok saja kembalinya. Soalnya kamu kan tadi pagi tidak meninggalkan uang," ucap Ardi seraya berjalan mendekati Kinan.

Ubun-ubun Kinan rasanya bagaikan disiram bensin saja saat mendengar perkataan Ardi. Ibaratnya, sebentar lagi kepalanya siap meledak mendengar kata-kata ajaib Ardi tadi.

"Ya Allah Abang! Otakmu kemana sebenarnya! Kenapa tak dibayari dulu uangnya? Bukan jumlah yang besar, Bang. Hanya dua puluh ribu."

Kinan menghempaskan mangkok makanan Rafif dengan kasar ke lantai. Hampir saja mangkok itu dilemparnya ke wajah Ardi.

"Kan biasanya jatahmu buat bayar iuran sampah, Dek. Mengapa harus Abang?"

Kinan menyesal tak jadi melemparkan mangkok kecil berwarna hijau itu ke wajah Ardi. Harusnya itu dilakukan Kinan tanpa harus berpikir panjang lagi 

"Hanya Abang suami perhitungan yang sampai hati membiarkan istrinya menanggung semua kebutuhan rumah tangga! Walaupun biasanya aku yang bayar, tak ada salahnya kali ini Abang yang bayar karena kebetulan ketemunya dengan Abang. Tak harus berpatokan itu adalah jatahku untuk membayar."

Kinan meraung dalam tangisan. Rafif memandang wajah ibunya yang sudah bersimbah air mata. Mungkin, batita itu mencoba memahami makna tangisan ibunya.

"Aku lelah, Bang! Bahkan Abang tak berpikir kalau aku juga lapar setelah mencari nafkah di luar sana untuk ikut menanggung kebutuhan rumah tangga kita."

Masih dengan linangan air matanya, Kinan merangkul Rafif dan membawanya ke kamar. Tak banyak yang diharapkannya, pengertian sebagai seorang suami untuk istri yang juga ikut berjuang untuk masa depan mereka. Bukan suami yang perhitungan, tak memikirkan perasaan istri yang harusnya dinafkahi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RAHASIA SUAMIKU   Rahasia Yang Akhirnya Terungkap (ENDING)

    "Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i

  • RAHASIA SUAMIKU   Pengakuan

    Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-

  • RAHASIA SUAMIKU   Siapa Pelakunya?

    Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan.  Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem

  • RAHASIA SUAMIKU   Teman Lama

    Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.

  • RAHASIA SUAMIKU   Siapa Dia?

    Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m

  • RAHASIA SUAMIKU   Mengulang Cerita

    Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status