Share

RAHASIA SUAMIKU
RAHASIA SUAMIKU
Penulis: Buluh Perindu

Dia Anakmu Juga

"Bang, bangun dulu!" 

Tak ada jawaban. Ardi tetap bergeming, tak bergerak. Kinan meradang. Laki-laki itu memang tak tahu diri. Sedari pagi, Kinan sudah bangun menyiapkan masakan untuk hari ini. Belum lagi membersihkan rumah dan menyiapkan kebutuhan Rafif, putera mereka yang sudah mulai pandai mengucapkan beberapa patah kata.

"Abang masih punya telinga atau tidak sebenarnya sih?! Aku ini lagi bicara denganmu, Bang!"

Kinan tak mampu lagi menahan amarahnya. Emosi jelas sedang menguasai dirinya melihat ulah laki-laki yang sebenarnya entah pantas atau tidak dipanggilnya suami itu.

"Abang dengar, Dek! Nggak perlu teriak-teriak  seperti itu. Malu sama tetangga pagi-pagi seperti ini sudah ribut saja."

Ardi mengucek matanya. Tapi tubuhnya masih tetap terbungkus dengan selimut. Tak ada niat melepaskan penutup tubuh yang pasti memberikan kehangatan padanya itu.

"Kalau Abang dengar, kenapa Abang tak bangun juga? Kalau Abang malu, mengapa Abang sepertinya sengaja memancing emosi?"

Kinan tak dapat lagi menahan rasa kesalnya. Lima tahun menikah, laki-laki itu tak juga berubah perangainya. Tak peduli. Tak peka. Tak pernah memikirkan perasaan istrinya.

"Abang tolong jaga Rafif hari ini ya! Yuk Ana sakit hari ini, kasihan kalau Rafif kita antarkan ke rumahnya. Abang kan libur hari ini."

Ardi mendadak membuka matanya dengan cepat. Selimut yang membungkus tubuhnya juga disibakkan dengan segera.

"Dek, kamu nggak salah menyuruh Abang menjaga Rafif hari ini?"

Kinan menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskan udara dengan kapasitas maksimal telah didapatkannya tadi.

"Telinga Abang selama ini nggak ada masalah kan? Abang tentu dapat mendengar jelas setiap kata yang kueja tadi kan?"

Ardi menggaruk kepalanya yang Kinan tahu pasti sebenarnya tak gatal. Kinan bertekad harus dapat membuat Ardi menjalankan salah satu kewajiban yang selama ini selalu diabaikannya.

"Abang nggak bisa, Dek! Nanti kalau Rafif cerewet, mau minum susu, atau mau buang air kecil bagaimana? Abang kan nggak paham, Dek. Tolong ... jangan suruh Abang menjaga Rafif! Abang pasti tak akan mampu."

Jujur, Kinan sebenarnya ingin tertawa mendengar ungkapan hati terdalam yang disampaikan suaminya itu. Dasar suami tak peka. Bahkan untuk kebiasaan anak sendiri, Ardi tak tahu. Wajar saja. Di usia buah hati mereka yang menginjak dua tahun itu tak pernah Ardi turun tangan langsung untuk menjaganya. Semua urusan Rafif diserahkan bulat-bulat kepada Kinan.

"Abang harus bisa! Sebelum mencoba, jangan pernah menganggap diri kita tak mampu. Bukankah seperti itu yang selalu Abang katakan selama ini?"

Kinan meraih tas hitam yang tergantung di dekat lemari pakaian.  

"Rafif tak mungkin aku bawa ke sekolah. Aku pasti tak bisa fokus mengajar nantinya. Lagi pula ini hari libur Abang. Sekali-kali menikmati hari libur dengan putera semata wayang kurasa tak ada salahnya."

Kinan memasukkan dompet ke dalam tas hitam yang sehari-hari menemaninya beraktivitas sebagai pendidik itu. Membereskan beberapa perlengkapan mengajar yang memang dari semalam telah disiapkannya.

"Abang ada janji dengan Rahmat hari ini. Mau melihat-lihat kebun sawit saudaranya. Kata Rahmat, mau dijual." Tegas kalimat itu diucapkan Ardi seraya mengangkat tubuhnya dengan sempurna dari tempat tidur yang menjadi saksi perjalanan kisah mereka lima tahun ini.

Kinan yang sedang berhadapan dengan cermin merapikan kerudung marunnya itu seketika membalikkan badannya. Posisi tubuh mereka langsung berhadapan.

"Abang mau beli kebun sawit? Abang punya uang?"Jelas sekali nada keterkejutan dari kalimat yang dilontarkan Kinan itu.

"Kan cuma melihat-lihat saja. Abang mana ada uang, Dek. Hutang bank kita saja belum lunas kan?"

Kinan terdiam sesaat. Rumah yang mereka tempati saat ini sebenarnya adalah milik orang tua Ardi. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Ardi tinggal di rumah itu sendirian. Kedua kakak perempuannya tinggal bersama suami dan anak-anak mereka di luar daerah.

Kinan menikah dengan Ardi setahun setelah laki-laki itu menjadi yatim piatu. Tak ayal, setelah pernikahan mereka, Ardi langsung memboyong Kinan tinggal di rumah itu. Tak lama setelahnya, kedua kakak Ardi meminta mereka berdua membeli rumah tersebut. Agar jelas tak menimbulkan sengketa di belakang harinya. Menurut Kinan itu hanya alasan agar dua wanita itu dapat uang mendadak. 

Tak punya pilihan, Kinan dan Ardi mau tak mau menjatuhkan pilihan pada bank tempat Ardi bekerja sebagai tempat untuk mendapatkan uang banyak guna membeli rumah warisan penuh kenangan itu. Sebagai pasangan yang baru menikah, tabungan mereka berdua terkuras untuk segala urusan mulai dari akad nikah sampai resepsi. Keduanya sepakat tak membebankan pada orang tua Kinan yang memang bukan golongan berada itu.

"Hubungi saja Rahmat nanti! Perginya sore saja! Aku kan kerjanya juga cuma sampai jam dua belas, Bang."

Lagi-lagi Ardi menggarukkan kepalanya berulang kali. Tak mampu lagi memberikan alasan untuk menolak permintaan Kinan. Walaupun sebenarnya bagi Ardi bukan lagi permintaan, tapi suruhan.

"Tak bisakah meminta tolong siapa gitu buat menjaga Rafif setengah hari ini, Dek? Abang takut kalau nanti kenapa-kenapa pas Rafif dijaga Abang. Nanti Abang lagi yang kamu salahkan!"

Kinan tak menjawab. Wanita itu lebih memilih melipat selimut dan merapikan tempat tidur yang acak-acakan. Menarik sisi-sisi seprai yang bermotifkan daun hijau itu agar kembali kencang. Merapikan bantal dan guling yang letaknya berhamburan.

"Apa susahnya berkorban sehari, Bang? Aku memintamu menjaga Rafif itu hanya untuk setengah hari. Setengah hari, Bang! Bukan berhari-hari. Lagi pula, Rafif itu bukan hanya anakku, Bang! Dia juga anakmu. Jadi bukan cuma aku yang harus bertanggung jawab untuk mengasuhnya, mendidiknya. Bahkan sampai di usianya hampir dua tahun ini belum pernah tanganmu memandikannya bukan? Masih layakkah dirimu menyebut ayah untuknya?"

Kinan menata suasana hatinya agar tak larut dalam emosi menghadapi laki-laki yang sungguh luar biasa ini. Selama ini dia diam. Ternyata diam itu bukanlah emas baginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status