Sejak perbincangannya dengan Yuk Diana sore itu, batin Kinan semakin tak tenang. Hatinya selalu menduga-duga, apakah yang dikatakan Yuk Diana itu benar adanya? Apakah Ardi benar-benar telah melakukan perbuatan itu hanya untuk mendapatkan dirinya?Bukan hanya sekali atau dua kali, berkali-kali Kinan mendapatkan pertanyaan tentang pilihannya untuk melabuhkan hati pada Ardi. Bukan hanya dari orang lain, bahkan dari kedua orang tuanya sendiri. Bahkan sejak awal dirinya memohon restu."Kamu yakin mau menikah dengan Ardi, Nan? Maaf ... bukan Bapak tak setuju dengan pilihanmu. Bapak juga bukan tipikal memilih-memilih menantu. Yang penting anak Bapak bahagia, itu yang utama."Tampak Bapak menarik napas dalam-dalam. Putri pertamanya sudah dewasa, sudah layak untuk berumah tangga. Namun entah mengapa, hati kecilnya merasa tak rela dengan pilihan hati gadisnya."Perkenalanmu dengan Ardi baru enam bulan, cukup singkat bagi Bapak dan Ibu. Kamu sarjana, Nan. Se
Kinan melanjutkan gerakan tangannya yang sempat terhenti. Diambilnya piring dari rak. Saat hendak mengisi piringnya dengan lauk, lagi-lagi Kinan terperanjat. Lauk yang sudah dimasaknya tadi pagi hampir tak bersisa. Ayam yang dimasaknya dengan pucuk daun kedondong hanya tersisa beberapa potongan kecil saja. Tanpa daging sama sekali. Perut yang sudah terasa lapar memaksa Kinan tak banyak bicara. Diambilnya seluruh potongan ayam yang tersisa. Untung saja, pucuk daun kedondong yang ditambahkan dalam masakan khas daerah mereka itu cukup banyak. Cukup menjadi penambah lauknya siang menjelang sore itu. Daripada hanya sekadar makan nasi putih saja.Tepat suapan terakhirnya, Kinan melihat Ardi keluar dari kamar tidur. Raut wajahnya tenang, tak ada rasa bersalah. Wajahnya segar, berbanding terbalik dengan wajah Kinan yang menahan lapar dan rasa kesal."Abang habiskan lempah kuning ayamnya ya?"Kinan tak sabar mendapatkan jawaban atas praduganya. Sebenarnya
Kinan meletakkan gawainya di atas kasur. Dua puluh menit Kinan menghabiskan waktu berbincang dengan ibunya. Tak bertatap muka secara langsung, namun cukup untuk mengobati rasa rindu di hati atas wanita yang telah melahirkannya itu. Jarak yang membentang di antara mereka. Meskipun di pulau yang sama namun tetap saja Kinan tak dapat sering-sering menemui orang tuanya. Ada tanggung jawab yang tak boleh diabaikannya.Saling bertukar kabar, Kinan tetap memilih menutup semua pedih dan rasa sakit hati atas perlakuan suaminya. Bagaimanapun, Ardi adalah pilihannya. Lelaki yang dipercayainya dengan sepenuh hati dan jiwa sebagai sandaran hidup untuk menua. Bukan hasil perjodohan orang tuanya. Apalagi ayahnya cukup merasa keberatan atas sosok laki-laki yang dipilihnya itu sejak awal. Restu itu terpaksa diberikan karena Kinan yang bersikeras.Kinan menghela napas panjang. Kabar yang disampaikan ibunya tadi cukup membuat otaknya berpikir keras. Bukan tentang kesehatan kedua oran
"Aku minta sekali ini saja kamu mampu menggunakan hati dan otakmu, Bang! Aku mau kita memberikan uang untuk membantu resepsi Sekar nantinya. Paling tidak ... kita menyumbang satu pondok makanan nanti. Aku malu jika tak memberikan apa-apa, Bang! Aku bekerja, kamu juga bekerja. Tak mungkin kita tak menyumbang apa-apa, Bang!"Akhirnya Kinan harus berkata cukup keras untuk menyampaikan niatnya. Semoga Ardi paham dengan maksud hatinya."Apa kamu tak malu jika kita tak ikut menyisihkan sedikit rezeki kita pada Sekar, Bang? Aku malu! Walaupun mungkin Abang sudah putus urat malu itu."Apa Abang melarangmu? Kan tidak, Dek. Abang sudah bilang, jika ada uang ... berikan semampumu. Abang tak melarang. Silahkan!"Kinan harus berkali-kali mengucapkan istighfar. Walaupim reaksi Ardi sudah diduganya, tetap saja rasa kesal dan emosi muncul saat berhadapan dengan laki-laki ini. Hati boleh sama bentuknya, namun tak semua orang ternyata memiliki nurani. Jik
Kinan menggantung mukena yang baru saja dipakainya untuk salat Asar di cantolan samping lemari. Tubuhnya sangat lelah hari ini. Hari Minggu, hari yang seharusnya dimanfaatkannya untuk beristirahat dan menyiapkan tenaga yang kuat untuk aktivitas seminggu ke depan nantinya.Namun itu tak berlaku bagi Kinan. Hari Minggu akan dihabiskannya untuk menambah pundi-pundi tabungannya. Bukan karena gila harta, tapi semua itu terpaksa harus dilakukannya untuk tetap kuat menjalani kenyataan hidup yang sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan khayalan masa remajanya.Tadi saat hendak menjemput Rafif di rumah Yuk Diana, gawai Kinan berdering. Wanita yang hendak ditemuinya itu mengabarkan agar tak buru-buru menjemput Rafif. Batita itu sedang tidur pulas. Bahkan, Yuk Diana menyarankan agar Kinan beristirahat saja lebih dulu. Rafif akan diantarkannya jika nanti sudah bangun.Kinan meluruskan punggungnya yang terasa sangat penat. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar
"Kamu nggak keberatan kan Nan, kalau Kakak dan anak-anak menginap seminggu di sini?"Pertanyaan yang disampaikan Indah menyadarkan Kinan dari lamunannya. Karena keterkejutannya tadi, Kinan menjadi tak sadar diri jika ada orang lain di dekatnya."Tentu tidak, Kak. Kinan senang sekali malahan. Kami tak sempat mengunjungi Kakak ... Kakak yang mengunjungi kami. Maaf, Kak. Bukannya tak mau, hanya belum sempat membagi waktu saja."Kinan menyunggingkan senyum kecil di bibirnya, mencoba menghalau kebingungan yang sedang terjadi di balik ketidakjujuran Ardi, suaminya. Sambil melangkah menjinjing dua kardus di tangannya, Kinan menebak-nebak arah pikiran Ardi. Harusnya lelaki itu memberitahukannya tentang kedatangan dua wanita ini. Bohong rasanya jika Ardi sampai lupa dan tak ingat. Jika memang lupa, bukankah dapat mengabarkan Kinan dengan menelepon atau mengirimkan pesan? Bukan menjebak Kinan dengan cara seperti ini.Kinan akhirnya menemukan alasa
Kinan melangkahkan kakinya cepat ke warung Mang Ijal. Takut keburu tutup, mengingat hari telah sore. Kali ini, Kinan akan mencoba berbuat sesuatu yang selama ini tak pernah dilakukannya."Mang ... masih ada ikan nggak?" Kinan langsung memanggil Mang Ijal saat sosok itu dilihatnya sudah siap berkemas-kemas. Merapikan barang dagangannya untuk disimpan dan dijual kembali esok hari."Masih ada kepala ikan mayong saja, Nan. Tumben kami belanjanya sore?" Mang Ijal menghentikan aktivitasnya saat mendengar seruan Kinan. "Nggak ada ikan lain, Mang? Ada Kak Wina dan Indah baru datang. Mau liburan di sini katanya karena pas anak-anak nggak masuk sekolah. Ada ujian kelas enam."Tangan Kinan bergerak lincah menyibak sisa sayuran yang masih ada. Tak banyak pilihan jika sudah belanja sore hari seperti ini."Habis, Nan. Besok Mamang baru belanja lagi. Bagaimana ... mau nggak kepala mayongnya?" tanya Mang Ijal seraya membuka kotak berbahan gabu
Kinan menepuk dahinya. Tak menyangka, sudah menjadi rahasia umum tentang perangai almarhum mertuanya. Tak guna ditutupi, dirinya saja yang terlalu polos dan lugu sampai tak mengetahui rahasia bersama warga di dekat rumahnya ini.Ternyata sifat perhitungan suaminya ini bukanlah sesuatu yang menjadi rahasia rumah tangganya. Jika Mang Ijal saja tahu, bukan tak mungkin jika sebagian masyarakat kampung ini pun tahu."Ya sudah, Mang. Kinan balik dulu, mau masak. Titipan Kinan jangan lupa! Mamang tak perlu mengantarnya ke rumah. Nanti pulang dari sekolah, Kinan akan singgah mengambilnya sendiri. Terima kasih ya, Mang!" ucap Kinan sembari mengembangkan senyumnya.Tak perlu merasa malu atas sikap suaminya itu. Yang penting bukan dirinya yang bersikap memalukan seperti itu. Lagi-lagi Mang Ijal hanya mengacungkan jempol kanannya sebagai tanda persetujuan. Bahkan lelaki itu sempat mengucapkan kalimat yang cukup mengejutkan Kinan."Sering-sering saja