Share

Bab 3 Biar Dia Pergi

RAHASIA TIGA HATI

Part 3 Biar Dia Pergi

"Apa-apaan kalian. Ini kantor bukan kamar?" Bu Rika berkata dengan tatapan marah dan benci pada menantunya.

Livia menarik diri dari rangkulan sang suami.

"Nggak tau tempat dan situasi ya kalian. Kamu juga nggak sadar posisi, Livia. Di kantor kamu dan Bre sebagai apa. Nggak punya attitude." Omelan menyembur dengan angkuhnya dari mulut Bu Rika.

"Ma, kami nggak melakukan apapun yang memalukan. Livia istriku," bantah Bre.

"Maaf, saya permisi dulu. Hari ini saya akan memastikan semua pekerjaan dan tanggungjawab saya selesai, Pak Bre. Besok saya sudah nggak ngantor lagi. Permisi!" Livia berkata dan mengangguk sopan pada atasannya.

Bu Rika terkejut mendengar ucapan Livia. "Maksudmu apa?"

"Saya resign, Bu Rika. Permisi."

"Tunggu, Liv!" Bre menahan Livia yang hampir menggapai pintu. "Aku nggak ngizinin kamu berhenti kerja."

"Saya punya hak untuk resign ketika rasa nyaman sudah tidak ada lagi dalam lingkup pekerjaan saya. Anda tidak berhak mencegah saya, Pak Bre," jawab Livia formal.

"Nggak bisa. Di sini kamu ikut aturanku."

"Biarkan kalau dia ingin berhenti. Masih banyak staf yang lebih potensial dari Livia," sahut Bu Rika.

Livia segera membuka pintu dan pergi dari sana. Bersikap seperti tidak terjadi apa-apa di hadapan para staf lainnya. Meski hatinya tersayat-sayat. Mama mertua yang ia anggap sebagai pengganti ibunya, tidak seperti yang ia harapkan selama ini.

Pura-pura bahagia dan baik-baik saja itu sungguh menyiksa. Padahal para karyawan juga pada tahu bagaimana hubungan Livia dengan keluarga mertuanya. Nyaris staf yang menginginkan kenaikan jabatan, yang mencari muka, berpihak pada keluarga Bre dan turut menjaga jarak darinya. Namun staf rendahan yang jujur dan tidak suka menjilat, jatuh iba padanya. Walaupun begitu mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa, selain diam. Karena mereka juga sangat butuh pekerjaan. Membela Livia tidak ada untungnya.

Dengan perasaan campur aduk, Livia meneliti pekerjaan yang harus diselesaikannya. Dia tidak boleh pergi meninggalkan tanggungjawab.

Kenny yang hendak ke ruangan Fery memperhatikan Livia dengan perasaan bersalah. Tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Ketika tengah fokus meneliti laporan di layar laptop, sekretaris Bre menghampiri sambil membawakan setumpuk berkas.

"Ini apa?" tanya Livia.

"Pak Bre, menyuruh Bu Livia untuk memeriksa dokumen ini sebelum di arsipkan."

"Nggak bisa. Ini bukan tugasku. Aku staf keuangan di sini. Lagipula besok aku sudah resign," jawab Livia tanpa menatap Tina, sekretaris Bre. Dia kembali fokus pada layar bening di hadapannya.

Gadis itu terkejut dengan pengakuan Livia yang hendak berhenti kerja. "Tapi Pak Bre yang menyuruh saya mengantarkan berkas ini pada, Bu Livia."

"Saya nggak peduli. Bilang sama Pak Bre kalau saya menolak tugas darinya."

Tina diam mematung. "Kamu kembalikan atau biarkan saja di situ dan nggak akan aku kerjakan."

Akhirnya Tina membawa berkas itu pergi. Livia hanya melirik sekilas punggung Tina yang menjauh. Dia tidak peduli dan takut sekarang. Meski di kiri kanan, banyak telinga menajamkan pendengaran.

Jika bicara tentang cinta, tidak ada orang yang ingin berpisah dari insan yang sangat dicintainya. Namun bertahan dalam keadaan tidak dihargai, juga bukan pilihan yang tepat. Dia mencintai Bre semenjak mereka duduk di bangku kuliah. Usia mereka selisih tiga tahun.

"Livia, kamu tahu apa tugas seorang staf?" Tiba-tiba saja Bre sudah berdiri dan mengagetkan istrinya.

"Tugas staf mematuhi instruksi dari atasannya. Kenapa kamu menolak perintahku," lanjut pria yang memakai kemeja warna abu-abu dan menatapnya lekat.

"Pak Bre, jangan lupa. Beberapa bulan yang lalu posisi saya sebagai sekretaris Pak Bre sudah diganti dengan Mbak Tina. Saya bekerja di bawah perintah Bu Kenny sekarang ini."

"Aku atasan kalian dan kamu nggak bisa menolak perintahku. Hari ini kamu masih staf di sini."

Livia melepaskan mouse di tangannya dan fokus menatap sang suami. Ini hanya alasan Bre saja supaya ia tidak bisa resign seperti rencananya.

"Oke, saya akan mengerjakan dan menyelesaikan hari ini juga. Besok saya bukan lagi karyawan di sini." Livia bangkit dari duduknya untuk menghampiri Tina dan meminta berkas tadi agar diberikan padanya.

Semua telinga menajamkan pendengarannya, karena mata mereka tidak berani memandang apa yang terjadi antara bos dan istrinya.

Setelah berkas di antar, Livia fokus untuk menyelesaikan. Rupanya tidak hanya setumpuk, tapi Tina mengirimkan setumpuk lagi. Melihat itu Livia ingin menangis. Namun ia tahan setengah mati agar jangan sampai menumpahkan air mata.

Kenapa Bre begitu kejam padanya. Semenjak ia menyetujui perceraian yang diucapkan mama mertuanya malam itu, membuat Bre marah pada Livia. Namun apa arti pertemuan dengan keluarga Agatha waktu itu. Bukankah Bre pun ada di sana?

Ketika tengah melamun, asisten Bu Rika menghampiri. "Bu Livia, ditunggu ibu di ruangannya."

Tanpa menjawab, Livia segera berdiri dan masuk ruangan mama mertuanya.

"Saya senang kamu mengundurkan diri." Baru masuk ruangan, Livia langsung disambut perkataan demikian oleh ibu mertuanya. "Saya harap, pertimbangkan juga untuk berpisah dari putra saya. Saya nggak ingin anak saya hidup dengan anak seorang pecundang seperti ayahmu."

Darah Livia mendidih mendengar kalimat terakhir mertuanya. "Ayah saya tidak seperti itu. Itu semua fitnah untuk menghancurkan keluarga saya."

Bu Rika tersenyum sinis. "Semua sudah terbukti, nggak usah kamu membela diri. Saya menyesal membiarkan Bre menikah denganmu. Kamu tinggalkan perusahaan, kamu tinggalkan juga rumah saya."

Netra Livia berkaca-kaca mendengar kalimat menyakitkan dari seorang ibu. "Jangan khawatir, Bu Rika. Saya kabulkan permintaan Anda. Permisi."

Livia kembali ke meja kerjanya dengan hati hancur untuk kesekian kalinya. Namun sekuat hati, ia menahan diri agar tidak menunjukkan kerapuhan itu dihadapan banyak orang.

***L***

"Liv, kamu nggak makan dulu." Bre kembali berdiri di hadapannya waktu break istirahat dan makan siang.

Wanita itu menggeleng.

"Kutunggu di ruanganku. OB akan membawakan makananmu ke sana." Selesai bicara Bre melangkah kembali ke ruang pribadinya. Saat itu ruangan memang sepi karena para staf tengah istirahat. Hanya Livia yang tersisa.

Namun hingga beberapa menit kemudian, Livia tidak kunjung menyusul. Bre kembali ke luar menghampiri. "Kamu mau aku suapi di sini?" kata Bre jengkel.

"Saya nggak ingin dianggap tidak memiliki attitude, Pak Bre. Saya bisa makan sendiri nanti," jawab Livia dengan nada formal dan terus fokus memilah berkas.

Bre menghela nafas panjang. Ternyata Livia tidak menyerah dan benar-benar ingin pergi meninggalkan perusahaan. Ia sebenarnya juga menyadari, kalau perlakuan keluarganya sudah kelewat batas pada istrinya. Namun ia pun meyakini kalau ayah mertuanya yang selama ini bermain curang dalam berbisnis.

Livia terus bekerja tanpa mempedulikan Bre yang berdiri di depannya.

"Kamu benar-benar ingin berhenti?"

"Ya," jawab Livia singkat. Nanti kalau sudah di rumah, ia akan memberitahu apa yang diucapkan mama mertuanya tadi.

"Kamu dapat pekerjaan di mana?"

Diam. Livia tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu, karena sebenarnya dia belum mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Namun ia yakin, Alan pasti bisa membantunya.

"Liv, kenapa diam?"

"Pada akhirnya nanti kamu akan tahu, Mas. Maaf, jangan ganggu aku. Biar kuselesaikan pekerjaan ini."

"Alan yang membantumu mendapatkan pekerjaan itu?" Bre terus mengejar pertanyaan sampai ia mendapatkan jawaban. Namun Livia tidak menjawabnya.

Orang yang paling dekat dengan sang istri adalah Alan dan Dina. Kalau Dina jelas tidak mungkin karena dia ibu rumah tangga yang hanya membantu ibunya mengelola toko roti. Sudah pasti Alan yang membantu Livia.

Bre pergi dengan perasaan kecewa. Sedangkan Livia terus fokus bekerja meski pikirannya ke mana-mana. Bagaimana caranya menjelaskan tentang kondisi rumah tangganya sekarang. Ia takut ayahnya akan kambuh lagi.

"Liv, kamu nggak pulang?" tanya Kenny yang menghampirinya sore itu. Ketika ruangan sepi karena para pekerja sudah pada pulang.

"Pekerjaanku belum selesai, Mbak."

"Kamu serius mau berhenti kerja?"

Livia mengangguk. Kenny kemudian melangkah pergi. Namun tidak lama kemudian kembali sambil membawakan burger dan teh manis. "Makanlah dulu, sejak tadi kamu nggak beranjak dari meja kerjamu."

"Makasih. Mbak, sudah repot-repot belikan aku makanan."

Kenny menarik satu kursi dan duduk di hadapan Livia.

"Apa rencanamu setelah berhenti dari sini?"

"Mencari pekerjaan lain."

"Keadaan akan semakin rumit, Liv. Kamu bekerja di lain tempat, tapi kamu masih tetap tinggal di rumah mama."

"Aku akan pulang ke rumah ayahku, Mbak."

Kenny terkejut.

"Aku tahu, keluarga telah merencanakan sesuatu yang besar di belakangku. Aku juga tahu kalau hari Sabtu kemarin kalian nggak pergi ke Madiun." Ucapan Livia membuat Kenny kembali terkesiap. Livia tahu dari mana, tidak mungkin Bre yang cerita.

"Liv, jangan bercerai," ucap Kenny pelan.

"Apa yang Mbak tahu dan tidak kuketahui?"

"Tanyakan pada Bre. Mbak pulang dulu." Wanita itu bergegas meninggalkan Livia sendirian. Ia pun khawatir kalau Fery akan memergokinya bicara dengan Livia selesai meeting nanti.

Sikap wanita itu membuat Livia makin yakin kalau ada rahasia besar yang mereka sembunyikan. Benarkah antara Bre dan Agatha hari Sabtu kemarin lamaran. Kalau benar terjadi, kenapa Bre tidak menyetujui untuk bercerai dengannya. Jadi tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti ini.

Berulangkali Livia menarik napas dalam-dalam untuk melonggarkan pernapasan. Orang lain melihatnya begitu tangguh, tapi yang sebenarnya perasaan telah remuk redam. Dia menahan semuanya agar sang ayah tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Livia tidak ingin ayahnya kembali mengalami tekanan batin yang akan membahayakan kesehatan dan keselamatannya.

Sesekali ia bercerita pada Alan atau Dina. Hanya pada mereka berdua, Livia bisa terbuka menceritakan kemelut yang dialaminya.

Namun esok atau lusa, sang ayah pasti curiga kenapa ia pulang membawa pakaiannya. Pada akhirnya akan tahu apa yang ia sembunyikan selama ini. Livia cemas. Sebelum ayahnya diberitahu, lebih baik ia konsultasi dulu dengan dokter Pasha. Untuk memastikan kondisi ayahnya benar-benar siap menerima kenyataan yang akan diungkapkannya.

Livia mengeluarkan ponsel dari laci meja kerja. Menghubungi dokter Pasha.

"Assalamu'alaikum, Livia." Dokter itu langsung mengangkat teleponnya.

"Wa'alaikumsalam, Dok. Maaf, kalau saya menganggu."

"Ada apa? Apa ada masalah dengan Pak Rosyam?"

"Nggak, Dok. Ayah saya baik-baik saja. Saya ingin menemui dokter besok. Tapi kalau dokter Pasha tidak sibuk."

"Oh, mau ngajak saya breakfast?"

Livia tertawa. Dokter di seberang juga tertawa renyah.

"Saya ingin konsultasi mengenai ayah saya, Dok."

"Oke. Pagi ya, sebelum saya berangkat ke rumah sakit."

"Iya."

"Oke, saya tunggu besok pagi jam tujuh."

"Makasih, Dokter. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Sebelum memberitahu, memang lebih baik ia konsultasi dulu dengan dokter yang paham betul bagaimana psikologis ayahnya sekarang ini.

Bre yang baru selesai meeting kaget melihat Livia sendirian, masih sibuk di meja kerjanya. Jadi istrinya belum pulang?

Next ....

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
klu sdh tau g diinginkan mertua, kenapa harus menunggu diusir??? terlalu menyembunyikan masalah dan pura2 tidak tau itu hanya menunjukkan kelemahan dan kebodohan. biasanya wanita karir apalagi mantan anak pengusaha biasanya g menye2 penuh drama.
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
nyesek .........
goodnovel comment avatar
Yanyan
bre emang anak mami yg gak mau melepaskan istrinya walaupun tersakiti.. keputusan Livia udh tepat ..jangan jd wanita lemah dan bodoh apalagi kamu pintar Livia ..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status