RAHASIA TIGA HATI - Sebelum Ikrar TalakFerry tak punya muka lagi keluar dari ruang persidangan. Di dampingi pengacaranya ia melangkah tanpa menoleh menuju ke arah mobilnya.Bu Rika yang lemas berusaha tetap kuat berjalan dan harus tetap terlihat baik-baik saja di hadapan awak media. Wanita itu melangkah di dampingi Pak Rinto. "Mbak, pulang dengan mobilku saja. Lelaki itu berbisik lirih.Sementara Kenny bersama pengacaranya lewat pintu samping dan terus masuk mobil. Hanya tersenyum pada beberapa wartawan yang mengejarnya. Bre pun sama. Berjalan cepat tanpa menanggapi pertanyaan-pertanyaan bak dengungan suara lebah."Sekarang bagi pemburu berita, mereka tidak menargetkan orang terkenal saja. Tapi kasus yang bisa di viralkan. Seperti kasusmu. Sangat empuk diolah jadi trending topik," kata Nina sambil nyetir meninggalkan halaman pengadilan.Kenny terduduk diam hanya mendengarkan. Jujur saja, ia masih gemetaran usai keluar dari ruang sidang. Hal yang seharusnya privasi, jadi konsumsi pub
Kenny tersenyum. "Livia memang pantas mendapatkan semua itu setelah mengalami banyak peristiwa dalam hidupnya. Sekarang diratukan oleh pasangannya.""Bre belum bisa move on kayaknya.""Ya. Dia masih sangat mencintai Livia. Tapi mau gimana lagi, sudah terlambat untuk berjuang. Padahal mereka berdua dulu pasangan yang sepadan."Ketika tengah asyik berbincang. Ponsel Kenny berpendar. Ada pesan masuk dari Bre.[Mbak, sore nanti aku ingin bertemu Leo dan Lena. Boleh?][Datang saja ke rumah. Nanti kukasih tahu ke mama. Sepertinya aku bakalan pulang malam hari ini. Pekerjaanku menumpuk."[Oke.]"Siapa?" tanya Nina."Bre. Ingin bertemu keponakannya.""Mereka sangat akrab?""Lumayan dekat. Sebelum cerai dengan Livia, bolak-balik aku bilang ke dia agar jangan cerai. Tapi akhirnya cerai juga. Sekarang nyesel. Dia sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Makanya nggak segan aku kasih masukan."Mobil berhenti di depan kantornya Kenny. Wanita itu turun dan Nina langsung meluncur pergi.***L***Kehami
"Iya." Livia kembali bersandar dan merangkul lengan sang suami. Namun tetap memperhatikan Irma yang melangkah ke tempat pendaftaran. Wanita itu tidak menyadari kalau di barisan pasien ada Livia bersama Alan.Irma tampak tegang dan tidak nyaman. Wanita itu tidak memandang ke mana-mana. Berjalan lurus mengambil tempat duduk terpisah di pojok bagian belakang. Di ujung barat, jauh dari tempat Livia berada. Di sana ia memakai masker kemudian sibuk dengan ponselnya.Baru saja kembali duduk setelah menunaikan salat Maghrib, perawat yang berjaga memanggil Livia. Gegas mereka masuk ruang pemeriksaan.Dokter langganan tersenyum ramah seperti biasanya. Karena tidak ada keluhan yang harus ditangani, Livia dibimbing oleh Alan naik ke atas ranjang pemeriksaan. Dokter dibantu seorang perawat melakukan USG. Hasil pemeriksaan semuanya normal. Alan dan Livia pun lega. Walaupun tiap hari tetap bekerja, nyatanya si janin baik-baik saja. "Bayi saya cowok apa cewek, Dok?" Livia tidak sabar untuk segera t
RAHASIA TIGA HATI - Aku LelahDunia seolah berhenti seketika itu. Bertemu dua insan yang pernah disakitinya. Bre terpaku di tempat untuk beberapa saat, dadanya bergemuruh. Setelah itu menghampiri dan meraih tangan Pak Rosyam. Digenggamnya erat lantas diciumnya. "Maafkan saya, Pak." Suara Bre serak karena menahan sebak.Pak Rosyam tersenyum seraya menepuk bahunya. "Tidak apa-apa, Nak Bre. Semua sudah berlalu. Apa kabarmu?"Bre mengangkat wajah lalu tersenyum getir. Tidak sanggup menjawab pertanyaan itu, karena sebenarnya dia sangat hancur sekali. Jika masih ada kesempatan, ia ingin memperbaiki semuanya. Menjadikan mereka orang-orang istimewa yang akan dibelanya mati-matian. Namun waktu yang berlalu tidak akan pernah kembali. Yang kembali hanya kesempatan, itu pun jika ada. Tapi rasanya mustahil sekali bagi Bre."Livia." Bre mengulurkan tangan pada Livia. Hatinya tambah sesak. Ingin rasanya menarik tubuh itu dan didekapnya erat. Membawanya terbang menjauh dari siapapun dan tidak peduli
Sementara mobil Bre melaju dengan kecepatan tinggi karena sadar sudah terlambat datang ke sidang terakhirnya. Berulangkali pengacaranya menelepon.Untungnya dia sampai di pengadilan tepat waktu. Pak Eko langsung mengajaknya masuk ke dalam. Di sana Agatha di dampingi pengacara dan sang ayah sudah duduk menunggu.Bre menangkupkan kedua tangan dan menghadap ke semua orang sebagai permintaan maaf karena datang paling terakhir dan tidak ada keluarga yang mendampingi.Suasana hening dan tegang, meski di luar banyak wartawan. Sebab sidang perceraian ini sifatnya private. Tidak boleh orang di luar anggota keluarga bisa masuk dan mengikuti sidang. Apa yang akhirnya wartawan ketahui, karena mereka mencari info sendiri.Semua urutan sidang perceraian dibacakan dan dibilang lancar oleh majlis hakim. Termasuk kehadiran saksi di sidang kedua, juga bisa diajak bekerjasama dengan baik. Hingga tiba saatnya Bre mengucapkan ikrar talak. Dan dipastikan tidak ada masa iddah bagi Agatha karena selama menik
Ponsel Alan berdering. Ada panggilan masuk dari Adi. Dijawabnya panggilan dan mereka berbincang-bincang sejenak."Sayang, Adi datang agak telat karena mertuanya barusan nyampe. Nggak mungkin kalau langsung ditinggal ke sini. Sabar, ya. Setengah jam lagi dia dan Mini otw.""Oke. Nggak apa-apa.""Mas saja yang motoin kamu." Alan mengangkat kamera dan mengarahkan pada sang istri. Spontan Livia mengambil pose meski hanya memakai kaus suaminya dan rambut yang diikat sekenanya. Untuk bawahan mengenakan hot pant yang sudah tidak bisa ditarik resletingnya karena tidak muat lagi di bagian pinggang. Untung tertutup oleh kaus yang juga ketat di bagian pinggangnya.Begini saja Livia terlihat sangat cantik. Logika apa yang bisa menjelaskan bahwa istrinya sungguh menarik meski perutnya membuncit, dada membusung, pipi chubby, dan timbunan lemak menumpuk di panggulnya. Standar kecantikan perempuan dengan pinggang ramping, perut rata, pipi tirus, sudah kalah oleh pesona ibu hamil yang pintar berganti
RAHASIA TIGA HATI - Ancaman"Ada apa?" Tanpa kata sapaan Bre menjawab telepon dari Irma. Sebenarnya malas berurusan dengan wanita satu ini. Tapi jika tidak dijawab, pasti akan terus mengganggunya."Bre, kakakmu di mana?" Suara Irma serak."Telepon saja ke nomernya. Tanya dia ada di mana?""Sejak kemarin teleponku nggak dijawab. Kudatangi rumahnya juga nggak ada.""Aku nggak tahu. Sudah dulu, aku ada urusan lain.""Tunggu. Titip pesen ke dia suruh nemui aku. Penting. Kalau nggak, aku akan melompat dari apartemen ini.""Apa maksudmu mengancam begitu?" "Aku hamil dan kakakmu nggak mau tanggungjawab. Dia menghilang nggak bisa dihubungi." Irma tersedu. Bre terdiam. Cerita apalagi ini. Kepalanya terasa tambah berat. Membuat bebannya semakin menumpuk saja."Nggak ada urusannya denganku. Aku nggak mau tahu tentang permasalahan kalian. Selesaikan sendiri. Kalau harus bertanggungjawab, aku hanya punya tanggungjawab pada anak-anak Mas Ferry dengan Mbak Kenny. Jelas mereka lahir dalam pernikah
Dahi Ferry mengernyit guna memahami ucapan Bre. Akhirnya paham juga kalau yang dimaksud sang adik ular betina adalah Irma."Untuk apa dia menelponmu?""Nyariin kamu mau minta tanggungjawab. Kenapa Mas menghindar setelah dia hamil. Lupa dengan apa yang kalian lakukan berdua? Sampai tega mengkhianati Mbak Kenny dan anak-anak."Ferry menghisap rokoknya kuat-kuat dan mengembuskan perlahan. "Belum tentu dia hamil anakku.""Apa maksudnya?" Bre tidak mengerti."Dia tidak hanya tidur denganku. Aku nggak pernah menemuinya lagi setelah kupergoki dia di apartemen bersama lelaki lain seminggu yang lalu."Bre tersenyum sinis. "Baguslah, perempuan seperti itu yang akhirnya membuat Mas kehilangan Mbak Kenny dan anak-anak.""Apa bedanya denganmu." Ferry menatap penuh ejekan pada sang adik."Ya, kuakui aku memang brengs*k. Tapi sesalku untuk diriku sendiri tanpa melibatkan perasaan anak-anak." Bre mencondongkan tubuh dan menatap tajam pada kakaknya. "Mas, jangan lupakan. Kalau aku seperti ini juga kar