Hidup gadis berkacamata tipis itu tidak seindah seperti bayangan para tetangga di sekitar rumahnya. Sejak masih kecil, dia merasa terasing di keluarganya sendiri. Awalnya dia tidak pernah tahu alasan kedua orang tua dan sang kakak enggan peduli padanya.
Lunara Danastri Wirajaya nama yang disematkan dan hanya sang kakek dari pihak sang ayah yang memberi nama saat dia terlahir di dunia. Kasih sayang dan perhatian hanya Danastri peroleh dari sang kakek juga beberapa pelayan di rumah megahnya termasuk pengasuh yang merawatnya ketika bayi. Danastri tak pernah mendapatkan perhatian maupun kasih sayang. Kedua orang tuanya cuek, tak banyak bicara dan sering meninggalkannya bersama pelayan ketika mereka pergi untuk berdinas. Sedangkan sang kakak laki-laki pun sama. Hingga suatu hari dia memahami alasan kedua orang tuanya. "Mulai sekarang Dinara akan tinggal bersama kita," ujar sang ayah dengan suara tegas. "Kita sudah menceritakan kepadamu mengenai Dinara, bukan? Jadi kamu akan memiliki saudara," sambung sang ibu memperkenalkan gadis bergaun biru dengan rambut sebahu. Kebenaran yang menyakitkan yang harus dia dengar di usianya ke sepuluh tahun. Ternyata dia adalah bayi yang tertukar. Mereka baru mengetahui saat Danastri berusia lima bulan saat tes darah. Sejak itulah mereka terus mencari keberadaan sang putri kandung sementara Danastri perlahan diabaikan. "Dia adikku. Adikku yang sebenarnya," timpal sang kakak bangga. "Selamat datang di rumah ini, Dinara. Senang berjumpa denganmu," kata Danastri dengan mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Oh tentu saja aku senang berjumpa dengan keluarga asliku." Dinara menyindir dan menangkis tangan Danastri untuk berkenalan. "Sudah jangan pedulikan dia. Ayo ayah tunjukkan kamarmu." Danastri hanya dapat tersenyum. Keluarganya sekarang sudah menemukan putrinya yang asli. Dengan langkah pelan, dia mengikuti keempat orang tersebut menuju lantai atas. Di sana ada tiga kamar. Kamar dirinya, kamar alm sang kakek dan kamar tamu. "Ibu ... ayah aku ingin kamar yang ini," rengeknya saat melihat kamar yang ada balkon dan berhadapan langsung di taman. "Iya ini bagus untuk kesehatannya Dinara, Yah," usul sang kakak menyetujui kamar itu dipakai oleh adiknya. "Boleh kok sayang. Apapun untukmu, akan kami berikan," sahut sang ibu sembari membelai rambut Dinara. "Tapi Yah ... ibu. Ini kamarku. Bukankah kalian sudah menyediakan kamar Dinara di sebelah kamarku?" Danastri berusaha untuk membela kamar. "Ih ... ibu. Aku takut di kamar ini. Kata Mas Genta, kamar ini bekas alm kakek. Aku kan takut." Suara yang dibuat manja agar diperhatikan. "Kamu saja yang di kamar kakek. Pindahkan saja pakaianmu sedangkan yang lain jangan," perintah sang ayah dengan tegas. "Ayah, kamarku ini tempat yang didesain oleh kakek. Tidak bolehkah aku menempatinya?" Danastri memohon, tetapi tidak digubris. "Aku suka ini, Yah. Boleh ya, Bu?" Dinara anak yang dulunya hidup tak punya kini memiliki segalanya dan dia ingin menguasai semua hal kehidupan Danastri. "Apa salahnya sih mengalah? Sudah untung kami tidak mengusirmu dan bahkan masih menyekolahkanmu," imbuh sang kakak yang membuat Dinara tersenyum kemenangan. "Jangan ribut di hari bahagia. Biar Sumi yang mengambil barang-barangnya dan memindahkan ke kamar kakek." Danastri tak dapat melawan. Benar kata sang kakak dia harusnya bersyukur mereka tak membuangnya dan masih menyekolahkannya. Danastri memandang keluarganya yang tengah bahagia dengan hati pedih. Kamar yang didesain dari arsitek terkenal oleh kakeknya kini ditempati oleh Dinara. Putri asli keluarga Wirajaya yang ditukar sedangkan keluarga kandung dirinya ternyata sudah lama meninggal. Danastri melihat kebahagian jelas terpancar di mata keluarganya. Danastri menyunggingkan senyum pedih ketika sang ibu memeluk, sang ayah membelai rambut Dinara dan sang kakak yang membuat lelucon. Semua itu tak pernah dia dapatkan. "Non, ayo bibi bantuin beberes di kamar tuan besar," ucap wanita paruh baya menyunggingkan senyum hangat. "Tidak apa-apa, Bi. Saya bisa melakukannya sendiri," jawab Danastri seraya melangkah pelan menuju kamar alm sang kakek. Danastri memasuki kamar yang seharusnya milik Dinara, tetapi gadis itu tak menginginkannya karena takut jika alm kakeknya muncul tiba-tiba. Danastri merindukan sang kakek yang menyayanginya. Kepergian tuan besar Wirajaya dua tahun membuat Danastri masuk rumah sakit. "Tidak apa-apa kamarku di sini. Aku bisa merasakan kehadiran kakek." "Kamar ini sama bagusnya dengan kamarku yang dulu," ucap Danastri menguatkan dirinya sendiri. Sejak saat itulah semua yang dimiliki Danastri berhasil direbut oleh Dinara. Gadis yang suka memerintah pelayan, tak mengalah, pemarah jika permintaannya tak dikabulkan dan pandai bermain sandiwara. **** ( Tiga bulan sebelumnya ) Tahun berlalu begitu cepat. Danastri telah tumbuh menjadi gadis yang kecantikannya melebihi Dinara yang membuat iri hati nona besar itu. Keseharian Danastri tak pernah berubah. Tak dianggap dan yang paling menyakitkan dia hanya diajak bicara sesekali saja. Meskipun diperlakukan seperti layaknya patung, dia tetap ceria dan tak pernah berkeluh kesah bahkan saat sang ayah menyuruhnya berkuliah di dalam negeri saja dia menerimanya. Namun semuanya berubah saat notaris kepercayaan sang tuan besar mengumumkan hak warisan, semua terkejut dan tak terima terutama Dinara yang jatuh pingsan lalu dilarikan ke rumah sakit. ["Saya Daru Wirajaya menyerahkan semua aset kekayaan kepada cucu perempuan saya yang bernama Lunara Danastri Wirajaya. Ketika usianya sudah dua puluh tahun, dia akan menerima warisan saya dan dia berhak untuk menggantikan posisi putra saya atau cucu laki-laki jika mereka tak bisa menjalankan bisnis."] ["Semua harta benda, perkebunan dan rumah sakit berhak dimiliki Lunara Danastri. Bagi siapa saja yang menentang maka mereka berhak keluar dari rumah saya."] Pernyataan alm sang kakek membuat suasana tegang, dipenuhi kemarahan dan emosi. Mereka tidak menerima padahal Bagas sang putra satu-satunya pun tidak mendapatkan warisan. Di tengah situasi yang membara, Danastri memilih menghindar sementara waktu. Dia berdiri di pinggir pusara sang kakek. Hujan gerimis menetes membasahi bahunya. Dia berdiri paling belakang, payungnya setengah rubuh tertiup angin. "Kenapa kakek menyerahkan warisan kepada Danastri? Danastri tak pantas menerimanya, Kek. Danastri bukan bagian dari keluarga ini." "Bukankah yang berhak Mas Genta dan Dinara?" "Danastri tak akan mampu menjalani perusahaan itu, Kek." Pada akhirnya Danastri menangis di pusara sang kakek. Dia tahu dirinya akan semakin dibenci oleh keluarganya terutama sang ayah. Apalagi Dinara kini tengah terbaring di rumah sakit. "Maaf Kek. Danastri tidak akan menerima warisan tersebut. Danastri hanya ingin hidup tenang tanpa ada keributan di antara ayah ibu, Dinara dan Mas Genta." Dengan keyakinan penuh Danastri memutuskan tak akan menerima warisan tersebut. Dia memilih menyerahkannya pada sang ayah, karena baginya kebahagian keluarganya lebih penting. Danastri segera berlalu dari makam dan menemui kedua orang tuanya di rumah sakit. Meski dia tahu semua itu tak akan mengubah kasih sayang ayah ibunya terhadap dirinya yang telah lama terbuang. "Bagaimana gadis itu mendapatkan warisan dari ayah? Tak masuk akal." "Dia bukan dari bagian keluarga ini. Seharusnya Dinara yang berhak." Danastri pikir saat dia bertemu dengan kedua orang tuanya, mereka akan senang akan keputusan yang diambilnya. Namun dia terkejut sesampai di depan pintu ruang rawat inap, keempat orang tersebut sedang membicarakan dirinya. "Bagaimana jika dia menerima semuanya, Bu? Aku tidak mau itu terjadi. Dia akan menjadi sombong dan mengusir kita." Danastri mendengar suara Dinara yang merengek. "Genta juga tidak terima, Yah. Enak saja bukan darah dari keluarga Wirajaya malah dia yang mengambil semuanya." "Kita singkirkan saja dia selamanya." Kalimat yang dilontarkan sang ibu--Vero membuatnya mengatupkan bibir rapat. "Kita buat seolah-olah dia kecelakaan setelah kita mengusirnya dari rumah." Itu suara sang ayah yang ikut memprovokasi. "Tapi sebelum itu. Kita harus mencari surat warisan ayah yang kedua, Mas. Surat yang sampai sekarang hilang. Surat itu kata notaris adalah surat mengenai jati diri Danastri.""Sudah sadar? Merepotkan sekali dirimu." Belum sepenuhnya sadar dari pingsannya, Danastri harus mendengar ocehan kekesalan dari sahabatnya. Mata gadis itu terbuka pelan dan melihat Julius duduk bersidekap dengan wajah terlihat marah. "Kenapa kau menolongku dan membawaku ke rumah sakit?" tanya Danastri lemah sembari bangun dan menyandarkan kepala di sisi ranjang. "Itu karena bibi Sumiati terus meneleponku hanya untuk membawamu ke rumah sakit. Apa pelayan-pelayanmu tidak bisa melakukannya sendiri?" Julius terus mengomel seraya bangkit dari tempat duduknya. "Maafkan mereka, Julius. Mereka hanya tahu dirimu yang menjadi sahabatku selama ini." Ditatapnya Julius dengan lembut hingga membuat pemuda itu tampak bersalah. "Baiklah aku akan pulang dan jangan pernah menghubungiku lagi kalau kau sakit atau hal apapun. Kau sudah dewasa bukan anak kecil," gerutu Julius mengambil jaket hendak pergi.
[ Kisah Danastri di Masa Lalu ]Sejak kedatangan Dinara, kedua orang tua serta sang kakak lebih memerhatikan gadis itu. Semua permintaan dipenuhi bahkan merebut barang Danastri tak dipermasalahkan oleh Bagas maupun Vero.Danastri tahu diri dan selalu mengalah. Mereka menempuh pendidikan di sekolah yang berbeda, Dinara bersekolah di tempat elit agar Dinara bisa berteman dengan anak-anak para petinggi. Namun hal yang tak diketahui mereka, Danastri bersekolah di tempat para anak pandai yang memiliki IQ di atas rata-rata. Semua itu karena sang kakek Daru ikut andil.Daru Wirajaya tak pernah mengakui dan percaya jika Dinara yang ditemukan Bagas di panti asuhan luar kota adalah cucu kandungnya yang tertukar. Meski sudah ada keterangan tes darah, hati kecil Daru tetap mengakui Danastri cucu kesayangannya.Danastri hanya mendapatkan limpahan kasih sayang dari sang kakek. Dinara iri dan cemburu, karena dia tak bisa merasakan kedekatan dengan sang kake
Mobil hitam keluaran terbaru milik keluarga Wirajaya melintasi gerbang rumah peristirahatan mereka. Dari jendela belakang, Dinara menatap ke luar dengan dagu terangkat. Ia baru saja pulang dari pesta sosialita—yang lebih banyak diisinya dengan menyindir dan menjelekkan seseorang.Sopir keluarga segera membuka pintu mobil cepat agar tak kena imbas kemarahan sang nona besar. Dinara akan marah jika sopirnya lama melakukan tugasnya untuk mengantar atau menjemput dirinya ke manapun.Dinara tak pernah menghargai semua tugas yang dikerjakan pelayan di rumahnya hanya karena dia putri pewaris yang harus dihormati dan diperlakukan layaknya tuan putri kerajaan. Tindakannya tersebut membuat para pelayan tak menyukainya."Lama sekali sih buka pintunya? Pada ke mana saja kalian ini?""Maaf Nona Dinara, kami berdua sedang membersihkan kamar nona," ucap salah satu pekerja dari dua pekerja yang melayani Dinara."Dasar pembantu tak becus. Miskin pula," sahutnya sambil mendengkus kesal.Pintu harus dibu
Sudah dua minggu lamanya Danastri dirawat di paviliun Jayanatra. Luka di kepalanya dijahit oleh dokter keluarga. Luka di tangannya mulai membaik meski kadang Danastri dihantui mimpi buruk.Jika mimpi buruknya datang Danastri demam. Setiap kali demamnya kambuh, Widipa selalu duduk di sampingnya dan ketika Danastri terbangun, pria itu sudah menghilang seperti bayangan.Di hari kelima kedatangannya di paviliun yang terletak di daerah pebukitan, Danastri tersadar dan terkejut mendapati dirinya berada di tempat yang asing. Para pekerja bungkam saat dia bertanya."Siapa yang menolongku?" Dia bertanya pada seorang pelayan wanita muda yang merawatnya selama ini."Tuan muda kami, Nona. Dia menemukan anda di dasar jurang lalu membawa anda ke sini," jawabnya tenang sembari menyiapkan obat untuk Danastri."Boleh aku menemuinya?" tanya Danastri yang ingin mengucapkan rasa terima kasihnya."Tuan muda sedang tidak ada di sini, Nona. Lebih baik anda fokus pada penyembuhan. Jika anda membutuhkan saya,
Dan pembicaraan itu pun terjadi. Bagas, Vero dan Genta merencanakan aksinya. Mereka menggunakan Dinara sebagai umpan untuk mengusir Danastri dari rumah warisan Daru.Mereka sudah menyiapkan dengan matang dan tepat sasaran. Dinara sengaja membuat ribut di lantai atas karena masalah gaun yang dimiliki Danastri. Dinara merebut gaun itu dengan paksa. Dinara berpura-pura jatuh seolah Danastri yang mendorongnya."Dasar anak kurang ajar! Kau sungguh keterlaluan, Danastri!" Vero sang ibu berteriak marah."Selama ini Dinara tak pernah menganggumu. Lihat perbuatanmu membuat dia pingsan. Apa kau tidak tahu dia memiliki jantung lemah?" Sang ayah pun Bagas tak kalah marahnya."Bukan aku, Yah. Dinara jatuh sendiri," sahut Danastri membela diri tanpa tangisan."Bagaimana bisa dia jatuh sendiri? Jangan mengada-ada!" Sang kakak Genta pun ikut-ikutan menuduhnya."Sudah untung kami menampungmu di sini. Sekarang kamu semakin keterlaluan. Detik ini keluarlah dari rumah ini! Kau bukanlah bagian dari keluar
Hidup gadis berkacamata tipis itu tidak seindah seperti bayangan para tetangga di sekitar rumahnya. Sejak masih kecil, dia merasa terasing di keluarganya sendiri. Awalnya dia tidak pernah tahu alasan kedua orang tua dan sang kakak enggan peduli padanya.Lunara Danastri Wirajaya nama yang disematkan dan hanya sang kakek dari pihak sang ayah yang memberi nama saat dia terlahir di dunia. Kasih sayang dan perhatian hanya Danastri peroleh dari sang kakek juga beberapa pelayan di rumah megahnya termasuk pengasuh yang merawatnya ketika bayi.Danastri tak pernah mendapatkan perhatian maupun kasih sayang. Kedua orang tuanya cuek, tak banyak bicara dan sering meninggalkannya bersama pelayan ketika mereka pergi untuk berdinas. Sedangkan sang kakak laki-laki pun sama. Hingga suatu hari dia memahami alasan kedua orang tuanya."Mulai sekarang Dinara akan tinggal bersama kita," ujar sang ayah dengan suara tegas."Kita sudah menceritakan kepadamu mengenai Dinara, bukan? Jadi kamu akan memiliki saudar